Adakah diantara anak-anak Anda yang bercita-cita menjadi pekerja sosial? Pernahkah mereka berteriak lantang, "Pekerja sosial" untuk menjawab pertanyaan guru di kelas tentang profesinya setelah dewasa nanti? atau adakah orangtua yang memersiapkan satu saja -diantara sekian anaknya- untuk menjadi pekerja sosial?
Pertanyaan lain, benarkah pekerja sosial (social workers) tidak pernah menjadi cita-cita yang dituliskan remaja-remaja yang menjelang dewasa dalam kertas mimpi mereka sepuluh tahun yang akan datang? Atau memang para orang tua tak memperkenankan dan mengarahkan anak-anaknya menjadi pekerja sosial, lantaran satu pandangan bahwa kegiatan sosial masih bisa dikerjakan sambil waktu, di paruh waktu dan sisa waktu. Misalnya hanya pada saat akhir pekan saja, atau disaat memasuki usia pensiun (produktif).
Pertanyaan lain yang juga harus dijawab. Apakah masalah sosial hanya bisa ditangani oleh pejabat negara bersangkutan? bukankah peran masyarakat begitu besar untuk membantu menyelesaikan permasalahan-permasalahan sosial, seperti kemiskinan, bencana alam, konflik sosial, dan berbagai bentuk patologi sosial yang terus menerus muncul dengan ragam dan bentuk terbarunya. Tak menjadi pentingkah keberadaan lembaga-lembaga sosial lengkap dengan para pekerja sosialnya? Dan, bukankah masalah kemiskinan, bencana alam, konflik dan lain sebagainya itu tak hanya datang di akhir pekan atau hari libur saja?
Bencana alam, kemiskinan dengan berbagai derivasinya, atau konflik bisa hadir kapan saja. Kadang menimpa orang-orang yang jauh dan sangat tidak kita kenal. Meski suatu saat dan sangat mungkin mendatangi orang-orang terdekat, sanak famili, kerabat, sahabat, bahkan diri kita sendiri. Dan yang pasti, butuh penanganan cepat, serius, tidak setengah-setengah, profesional, serta tidak menunggu akhir pekan.
Mengingat begitu banyaknya masalah-masalah sosial yang terus terjadi, dibutuhkan sinergi yang baik antara pemerintah, masyarakat dan lembaga sosial. Pemerintah sebagai penentu kebijakan, masyarakat sebagai bagian dari komunitas yang lebih besar yang turut memberikan sumbangsihnya, dan lembaga sosial sebagai eksekutor di lapangan yang mendapat mandat dan kepercayaan penuh, baik dari pemerintah maupun masyarakat luas. Idealnya seperti ini.
Lembaga kemanusiaan asal Cuba, Brigada Medicana Cubana, misalnya, bisa menjadi contoh ideal sinergi yang cantik antara pemerintah, masyarakat dan lembaga tersebut. Tanggal 5 September 2006, lembaga kemanusiaan tersebut akan meninggalkan Jogjakarta dan Klaten untuk kembali ke negaranya setelah sekitar 3 bulan mendedikasikan waktu, pikiran, tenaga, harta dan keterampilannya membantu para korban gempa Jogja dan Jawa Tengah. Lembaga tersebut membawa serta tim kemanusiaannya yang berjumlah sekitar 95 orang dan mendirikan 2 rumah sakit lapangan di Klaten. Sesungguhnya, apa yang dilakukan lembaga tersebut tak jauh berbeda dengan lembaga kemanusiaan lain dari negeri sendiri. Yang membedakan adalah, bahwa hampir setiap hari mereka mendapat telepon langsung dari Fidel Castro, pimpinan negara tersebut. "Bekerjalah sebaik-baiknya, kalian semua adalah kebanggaan kami karena datang mewakili negara," begitu kira-kira yang dipesankan Castro.
Sungguh, iri rasanya mendengar kisah mereka tentang perhatian dan dukungan penuh yang didapat dari pemerintah dan masyarakatnya. Kerinduan yang teramat sangat untuk kebanyakan lembaga sosial non pemerintah, untuk mendapatkan sekadar "Apa kabar para relawan?" dari pimpinan atau pejabat negara ini.
Terlepas dari adanya oknum dan lembaga yang kurang dipercaya lantaran kasus tertentu yang kemudian menciptakan negative image bagi lembaga sosial/kemanusiaan secara keseluruhan, sesungguhnya kerja-kerja lembaga-lembaga sosial dan kemanusiaan akan lebih solid, profesional, cepat dan bertanggungjawab jika kepercayaan dan dukungan terus diberikan. Memang, butuh waktu dan perjuangan melelahkan untuk menghadirkan dukungan dan kepercayaan tersebut. Karena untuk mendapatkan satu orang yang percaya saja begitu sulitnya, terlebih sebuah komunitas masyarakat.
Tentu saja, masyarakat berhak untuk menentukan percaya kepada siapa dan lembaga apa. Masyarakat juga berhak untuk mengkritik, mempertanyakan, dan meminta pertanggungjawaban dari lembaga yang dipercayanya. Jelas, karena mereka telah mencoba menitipkan amanah donasinya untuk disampaikan langsung kepada para penerima manfaat. Namun, selain tuntutan dan kritikan tersebut, dukungan yang lebih dan peningkatan kepercayaan adalah hal lain yang juga diharapkan.
Social Workers
Kembali ke persoalan pekerja sosial sebagai profesi. Banyak faktor yang menyebabkan orang belum mau menjadikan pekerja sosial sebagai profesinya. Pertama, soal bonafiditas. Sebagian besar masih menempatkan pekerjaan lain, misalnya Engineer, Banker, atau bahkan guru, jauh lebih bergengsi tinimbang menjadi pekerja sosial. Kedua, alasan benefit. Salary yang didapat sebagai pekerja sosial tidaklah besar, itu pun tergantung seberapa besar lembaga sosial tersebut. Alasan ketiga, dan ini yang paling banyak mempengaruhi adalah soal masa depan. Masa depan para pekerja sosial dianggap tidak jelas, sangat tergantung dengan kontinuitas lembaga itu sendiri. Berakhir lembaga itu, berakhir pula masa depannya.
Cobalah telisik, benarkah mereka yang bekerja sebagai pekerja sosial itu orang-orang yang kalah bersaing dan tidak mendapatkan tempat dalam pekerjaan lain? Ada anggapan seperti ini yang beredar di masyarakat. Sesungguhnya tidak demikian, pakerja sosial adalah sebuah pilihan, seperti halnya orang lain memilih untuk menjadi banker, enginer, dokter, arsitek, pengusaha dan lain sebagainya. Selalu ada alasan bagi setiap individu untuk menentukan dimana dan sebagai apa ia berkarir, begitu pula ketika seseorang memilih pekerja sosial sebagai profesinya. Cobalah datangi langsung lembaga-lembaga tersebut, orang-orang di dalamnya bukan sekadar lulusan SMA (highschool). Jebolan S1, S2 dan S3 dari perguruan tinggi terkenal dalam dan luar negeri kini menghuni lembaga sosial, sama halnya dengan mereka yang bekerja di perusahaan besar dan menjalani profesi lainnya.
Padahal, ada nilai kemuliaan yang diusung oleh orang-orang yang terjun langsung di lembaga sosial. Bahwa ada sebagian orang yang tidak berorientasi nilai salary (upah) ketika ia mantap memilih profesinya. Ketika kebutuhan untuk mengaplikasikan diri jauh lebih tinggi dari kebutuhan dasar dan status sosial, dan disaat kesadaran penuh keyakinan bahwa manusia yang paling baik adalah mereka yang bermanfaat bagi orang lain. Bukan berarti profesi lain tak bermanfaat untuk orang lain, karena ini sama halnya dengan mementahkan peran masyarakat luas untuk mendukung lembaga sosial/kemanusiaan. Tetapi para pekerja sosial ini, ingin menjadi orang yang bersentuhan langsung dengan para penerima manfaat, menyampaikan salam cinta dari para donatur yang menaruh kepercayaan ditangannya kepada orang-orang yang berhak dan tepat. Yang tak kalah pentingnya, ada kenikmatan yang takkan tergantikan saat melihat senyum para penerima manfaat. Meski tangan pekerja sosial hanyalah kepanjangan tangan dari para donatur, namun ada sebuah kebahagiaan yang tak sebanding dengan berapa pun bayarannya ketika mendengar ungkapan, "terima kasih, sampaikan salam kami untuk para dermawan".
Tantangan terbesar yang selalu dicari oleh para pekerja sosial dan secara tidak langsung oleh lembaga tempatnya berkiprah adalah mendapat kepercayaan dan dukungan. Sungguh, keduanya menjadi tolok ukur terpenting yang memberi kepuasan, sekaligus menjadi tantangan berikutnya, yakni menjaga kepercayaan dengan tetap amanah dalam menjalankan programnya. Ada yang bilang, dibutuhkan orang-orang `aneh`, `gila` dan bermental baja untuk bekerja di lembaga sosial. Ini ada benarnya, karena memang tidak mudah dan tidak semua orang mau serta mampu menjadi pekerja sosial.
Bayu Gawtama
Seorang pekerja sosial dari lembaga kemanusiaan ACT-Aksi Cepat Tanggap
7 comments:
Pak Bayu, insyaAllah saya siap jd 'pekerja sosial', jd klo ada lowongan di ACT, kasih info ke saya ya :) * Pengen sekantor sama Mbak Yana, Pak Bayu, Pak Imam dll, hehe :)
Pengen sih masuk dalam barisan pekerja sosial, tapi kemampuan ndak ada jeeh... Kecuali kalo ada lowongan maintenance web atau bikin buletin dan majalah insya Allah bisa
Setuju dg analisa kang Bayu, coz di negara qta ni Pekerja Sosial is second layer, tapi aq cm m nambahin bkn cm profesi PK doang tapi Petani dan Ilmuan yang punya keahlian spesifikpun msh langka.
Minat sebagian besar generasi anak2 kita(he he he pdhl aq blm nikah!)hampir 90% is becoming a doctor, engineer, yang cita2 jd dokter jg langka he he he...
Ehh ralat mksdnya setelah aq buat survei yg cita2nya jd gurupun langka seperti petani, klo ga da petani, mkn apa qta sati Indonesia. Merdeka!!!!
Dear Mas Bayu,
Each individual, whether he/she likes it or otherwise has some social responsibilities toward his/her surrounding (social)environment or community.. some are broad-minded and fully aware of this situation, and I am glad to learn that you are one of them :). It is from your continuous effort to socialize the importance of this that will add-up the numbers of the new people to join the force, and through the strategic alliances you and others like you can make the awareness and generate the broader interests to join..
Let's share the excitement and the satisfaction to engage further contributing more to the people, somebody out there (without you know it) are following the foot-steps! - keep spreadingthe positive seeds of passion to serve, it pays!.. and I am confident this won't take long for you to know that you'd be joined with those compassionate hundreds individuals :)
My kind regards to the family and I am all to your support, for humanity and for our children as we owe it to them.
Hugs from West Africa, Indeed..
Mas Bayu, salam kenal... senang baca blognya.. saya sangat tertarik ingin kerja sebagai social worker.. ACP rasanya saya pernah dengar dari teman saya, Ria Basuki ya...
Assalamu'alaikum wr.wb....
Saya mahasiswa Semester III di STKS Bandung...
Insyaallah akan mengabdikan diri sebagai seorang pekerja sosial...
Salam semangat Bocahbancar
Post a Comment