“Retno…” tersebutlah namanya. Mulanya ia ketakutan saat didekati, berlari cepat dan menelusupkan wajahnya di ketiak bunda. Namun, tak lebih dari tiga menit matanya mulai melirik meski separuh wajahnya masih dalam himpitan kehangatan bunda, ia mencoba mencari tahu siapa gerangan yang mendekatinya. Oops, kembali wajahnya menabrak dada sang bunda menghindari tatapan langsung dengan sosok asing yang kini semakin mendekat kepadanya.
Beberapa butir permen rupanya menarik perhatiannya, seketika ia berbalik dan “mau…” Ah, permen-permen ini memang masih menjadi senjata ampuh untuk memancing simpati para bocah sekaligus mengundang rekah senyum mereka. Awal persahabatan pun tercipta sudah.
Anak-anak pengungsi tetaplah anak-anak, mereka tetap ceria di mana pun berada meski pun binar mata mereka menyimpan segunung pertanyaan, tentang kenapa harus berada di tempat yang jauh dari rumah mereka, bagaimana dengan boneka dan mobil-mobilan kayu yang tak sempat mereka bawa, atau sejuta tanya soal teman-teman mereka yang tak turut bersama mereka di tempat pengungsi. Soal kenapa mereka ada di lokasi yang baru, “Gunungnya mau meletus,” riangnya mereka menjawab seolah gunung meletus itu tak ubahnya dengan letusan balon warna-warna di sebuah acara ulang tahun.
“Enak tinggal di sini?” tanya yang sebenarnya tak ingin terlontar karena siapa pun tahu tempat tingga ternyaman di dunia adalah rumah sendiri. Tak peduli seberapa buruk kondisinya, tanpa penerangan dan televisi, rumah sendiri adalah surga yang tak boleh tergantikan oleh apa pun. Di situ mereka lahir, di situ mereka besar bersama-sama, dan di situ pula anak-anak itu menyapa harapan mereka.
Tak diduga jawaban yang tak diharapkan pun terucap, “Enaakk….”. Retno pun tersenyum, begitu juga Wasilah, Adi, Rahman, Dani, Sholeh, Wati dan ratusan anak-anak lainnya di pengungsian. Keceriaan pun dimulai, ketika kelinci besar menangis meminta ampun kepada Pak Tani atas kesalahannya mencuri wortel di ladang, ketika seekor katak yang terkilir diselamatkan kuda sahabatnya dari terkaman beruang jahat. Atau saat mereka bernyanyi riang menjadi teko, pun dalam alunan nada syukur atas semua nikmat dan sayang yang Allah berikan.
Mulanya mereka ketakutan, binar matanya menyimpan sejuta tanya tentang orang asing yang mendekat kepadanya. Tak lebih satu jam berikutnya, satelah permen terkulum di mulut, setelah riang bernyanyi, bermain dan aneka gelak serta mimik dalam beberapa dongeng, justru mereka yang melekat. “Mas cerita lagi, bermain lagi…” beberapa tangan kecil menarik-narik ujung baju tak ingin sahabat baru ini pergi.
Rekah senyum itu yang tetap harus terjaga. Mereka adalah bidadari dan malaikat kecil yang tak boleh bersedih, apalah lagi menangis. Tak boleh ada mendung di wajah mereka. Sahabat-sahabat baru yang mampu mengubah ketakutan menjadi cinta, yang telah menciptakan keceriaan, dan menjadikan mimpi-mimpi indah mereka di malam hari berharap segera bertemu esok. Karena esok berarti ada ceria baru yang kan terulang, karena esok hari adalah harapan sesungguhnya. Sahabat-sahabat baru inilah yang selalu dinanti mereka.
Bagi mereka dan para sahabat baru itu, ada saat-saat yang teramat manis untuk selalu dikenang. Sampai kapan pun…
Bayu Gawtama
Senin sore di lereng Merapi
0852 190 68581 - 0888 190 2214
1 comment:
Salam buat bidadari2 kecil di lereng merapi, semoga senyum manis mereka membuat Merapi juga kembali tersenyum
Post a Comment