SMP Negeri 207 Jakarta Barat sangat beruntung pernah memiliki seorang guru olahraga bernama Pak Sumardjo. Pria baik hati yang lebih sering menjadi sahabat bagi siapa pun siswa di sekolah itu, ketimbang sebagai guru. Ya, diah guru sekaligus sahabat semua siswa, terlebih kami, tim pramuka, Palang Merah Remaja (PMR) dan tim gerak jalan sekolah.
Dari sekian banyak kebersamaan dengannya yang tak mungkin terbilang, ada satu penggalan episode yang tak akan bisa terlupakan, setidaknya oleh saya, dan mungkin oleh sebagian besar anggota tim gerak jalan PMR. Hampir seluruh tim putra dan putri bersedih karena kami tak memenangkan satu pun trophy yang disediakan panitia dalam lomba tersebut. Berbagai cara dan petuah Pak Mardjo kali ini tak mampu menembus pekat hati kami yang terselimuti kekecewaan. Perjalanan dari Kantor Walikota DKI Jakarta Barat menuju sekolah pun diliputi keheningan, nyaris tak satu pun dari anggota tim yang bersuara di dalam mobil angkot yang kami sewa.
Gelegar dan kilatan petir pun masih belum mampu memecahkan kebekuan, justru menambah suasana semakin pekat. Rintik hujan semakin deras, perjalanan semakin terasa lama karena jalanan mulai tergenang air. Saya ingat, saat itu baru sampai di kawasan Slipi, Jakarta Barat. Sebuah mobil mogok di depan mobil kami, dan sepuluh menit sudah kami tak bisa jalan lantaran mobil depan pun belum maju barang sesenti. Melihat kondisi seperti itu, Pak Mardjo turun dan membiarkan sepatu dan celananya basah, genangan air di jalanan sudah sampai ke betis.
“Dari pada terus sedih, nggak ada gunanya, mending kita dorong mobil di depan,” suara beratnya terdengar sejuk memecah keheningan dalam mobil. Saya dan beberapa teman pun langsung menceburkan diri di jalanan yang airnya semakin ke atas itu. Bahu membahu mendorong mobil yang mogok agar ke tepi, maksudnya agar mobil kami bisa berlalu melewatinya. Setelah mobil mogok itu sampai di tepi, berlomba kami masuk kembali ke dalam mobil, tapi tidak dengan Pak Mardjo. Ia justru menuju mobil lain yang juga mogok. Tangannya hanya mengayun lembut mengajak kami turun kembali. Tanpa menunggu hitungan ketiga, kaki-kaki kecil kami kembali terendam di genangan air. Tidak terasa, empat mobil sudah yang kami dorong dan tidak sadar kami melupakan semua kepahitan kekalahan dalam lomba pagi tadi. Hanya keceriaan dalam rintik hujan dan banjir yang menghiasi wajah kami.
Semoga berkat tangan-tangan kecil dengan tenaga yang kecil pula inilah, kami tak lagi terjebak macet akibat banjir itu. Beberapa pemilik mobil yang menawarkan uang pengganti lelah untuk kami ditolak halus oleh Pak Mardjo, “Kami hanya membantu, insya Allah ikhlas” sayup suaranya terdengar.
Di dalam mobil, sisa-sisa lelah masih nampak jelas dari nafas kami tersengal. Pak Mardjo tertawa senang melihat kami tak lagi sedih, “Nampaknya kalian sudah bisa melupakan kekecewaan tadi pagi. Itu karena kalian baru saja berbuat hal terbaik yang tidak semua orang melakukannya,” jelas sekali kalimat itu hanya terukir dari lidah lelaki bijaksana sahabat kami, Pak Mardjo.
***
Suatu hari saat kuliah, sebuah kabar sampai ke telinga saya. Pak Mardjo, guru sekaligus sahabat kami itu berpulang menemui Kekasihnya, jiwa tenang yang penuh cinta itu kembali kepada Pemiliknya. Tak ada air mata yang keluar dari sudut mata ini, karena apa pun tentangnya bukanlah kesedihan, melainkan bangga dan kagum yang tak terlukiskan.
Saya baru saja menyadari, bahwa aksi Pak Mardjo di genangan air itu adalah salah satu pelajaran terpenting yang tak pernah ia ajarkan di dalam kelas. Pelajaran tentang berbagi kepada siapa pun yang membutuhkan, berbagi tanpa perlu ada kepentingan di baliknya, berbagi tanpa perlu berpikir apa yang bisa didapat sesudahnya. Pak Mardjo, telah benar-benar menanamkan benih cinta yang teramat dalam, sehingga benih itu kini telah tumbuh dan terus menghiasharumi hati ini untuk dapat dibagi kembali kepada siapa saja.
Pak Mardjo, sungguh bunga cinta itu masih terawat indah dalam hati ini.
Bayu Gawtama
Nugraha, Teguh, Wasis dan Dicky, masih ada Pak Mardjo di hati kalian kan?
Anak Betawi yang Keliling Dunia Lewat Blog
Kate siape anak Betawi kagak bise maju? siape kate anak Betawi pade males dan banyak nyang jadi pengangguran? Bukan maksud nyombong atawe unjuk gigi, aye cuma ngasih tau kalo kagak semue anak Betawi kayak nyang ente kire...
Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...
Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...
Sunday, July 31, 2005
Sebab Kita Satu
Banyak hal yang ingin saya lakukan di masa SMP, banyak pula kegiatan yang ingin saya ikuti, meski tak jarang tidak sedikit yang akhirnya terbentur keterbatasan. Satu yang masih saya ingat terus hingga kini adalah saat saya terpilih masuk tim sekolah untuk mengikuti lomba gerak jalan Palang Merah Remaja (PMR) tingkat DKI Jakarta. Tentu saja saya senang bukan main, karena banyak anggota PMR yang berhasrat masuk tim terpaksa harus gigit jari karena tak terpilih. Sementara saya bersama dua puluh anggota tim lainnya tinggal bersiap dan berlatih lebih keras untuk memenangi perlombaan tersebut.
Sungguh rasa senang saya terhenti setibanya di rumah saat menyadari saya tak memiliki celana putih bagus untuk seragam tim. Setiap anggota diwajibkan menggunakan celana pendek putih dengan atasan kaos tim yang sudah disiapkan sekolah masing-masing. Sementara celana putih satu-satunya milik saya sudah sangat jelek yang saya pakai sepekan sekali setiap hari senin. Dan karena lombanya hari minggu, untuk upacara hari Senin mungkin saya tidak punya celana putih lainnya. Tidak hanya itu, saya pun tak memiliki sepatu Warriors -sepatu yang cukup ngetrend di tahun 1986an-.
Akhirnya saya menelepon komandan tim, Nugraha, untuk menyampaikan pengunduran diri agar ia bisa segera mencari pengganti saya. Mumpung masih sore, pasti dia bisa mencari jalan keluarnya untuk perlombaan besok pagi. Tapi, “Kamu tidak tergantikan, kumpul malam ini di rumah Teguh, kita cari jalan keluarnya”.
Sesuai waktu yang disepakati, lima anggota tim, Saya, Nugraha, Teguh, Wasis dan Dicky berkumpul di rumah Teguh. Rupanya masing-masing mereka membawa satu celana putih untuk dicoba-paskan oleh saya. Sayang, tubuh mereka rata-rata lebih besar dan sudah pasti celana mereka pun terlalu besar ukuran celananya untuk saya. Begitu juga dengan sepatu, tak satu pun dari mereka yang memiliki lebih satu sepatu untuk bisa saya pakai. Kalau pun ada, sepatu milik Kak Fajar, kakak perempuan Teguh. Tapi itu pun terlalu besar ukurannya.
Saya menyerah, sementara waktu terus berlalu. “Cari anggota yang lain yang punya sepatu itu dan punya celana putih bagus”. Tapi empat kepala di depan saya menggeleng, hingga Wasis bersuara, “Masih ada waktu, kita keliling ke rumah teman-teman, siapa tahu ada yang bisa meminjamkannya”. Serempak empat suara lain berkata, “Setuju”.
Lima pasang kaki kecil itu pun melangkah menyisir jalan membelah malam mengetuk satu persatu rumah teman sekolah. Hingga pintu ke empat, belum satu pun kami dapatkan dua barang yang dicari, kalau pun ada lagi-lagi soal ukuran. Tapi tak satu pun dari kami yang menyerah dan terus berpacu dengan malam, langkah kami seperti sedang berlomba dengan barisan bintang yang dikomandani bulan. Ya kami sudah berlomba terlebih dulu sebelum perlombaan dimulai.
Sampailah kami di rumah Niken, gadis cantik teman sekelas kami. Beruntung dia memiliki adik lelaki yang seukuran saya, lebih beruntungnya, sepatu Warriors dan celana putihnya pun sangat pas di kaki dan tubuh saya. Lengkaplah sudah, kami berlima pun berpelukan.
Dalam perjalanan pulang ke rumah Teguh, kami satu kan langkah layaknya sedang berbaris. Suara lantang Nugraha memecah malam menghitung langkah, tapi bukan satu, dua, tiga, melainkan, “Satu, karena kita satu, satu kita selalu satu, satu langkah kita satu”.
***
Tim PMR SMP 207 yang diwakili kami memang tak meraih trophy apa pun dalam perlombaan keesokan harinya. Tapi semalam kami telah memenangi perlombaan yang lebih penting dari gerak jalan itu, sebuah langkah yang tetap diatur dan dirapatkan agar tetap bersatu, tidak terpisahkan dan tak kenal menyerah. Adakah yang seindah persahabatan seperti itu?
Bayu Gawtama
Spesial buat Nugraha, Teguh, Wasis dan Dicky
Sungguh rasa senang saya terhenti setibanya di rumah saat menyadari saya tak memiliki celana putih bagus untuk seragam tim. Setiap anggota diwajibkan menggunakan celana pendek putih dengan atasan kaos tim yang sudah disiapkan sekolah masing-masing. Sementara celana putih satu-satunya milik saya sudah sangat jelek yang saya pakai sepekan sekali setiap hari senin. Dan karena lombanya hari minggu, untuk upacara hari Senin mungkin saya tidak punya celana putih lainnya. Tidak hanya itu, saya pun tak memiliki sepatu Warriors -sepatu yang cukup ngetrend di tahun 1986an-.
Akhirnya saya menelepon komandan tim, Nugraha, untuk menyampaikan pengunduran diri agar ia bisa segera mencari pengganti saya. Mumpung masih sore, pasti dia bisa mencari jalan keluarnya untuk perlombaan besok pagi. Tapi, “Kamu tidak tergantikan, kumpul malam ini di rumah Teguh, kita cari jalan keluarnya”.
Sesuai waktu yang disepakati, lima anggota tim, Saya, Nugraha, Teguh, Wasis dan Dicky berkumpul di rumah Teguh. Rupanya masing-masing mereka membawa satu celana putih untuk dicoba-paskan oleh saya. Sayang, tubuh mereka rata-rata lebih besar dan sudah pasti celana mereka pun terlalu besar ukuran celananya untuk saya. Begitu juga dengan sepatu, tak satu pun dari mereka yang memiliki lebih satu sepatu untuk bisa saya pakai. Kalau pun ada, sepatu milik Kak Fajar, kakak perempuan Teguh. Tapi itu pun terlalu besar ukurannya.
Saya menyerah, sementara waktu terus berlalu. “Cari anggota yang lain yang punya sepatu itu dan punya celana putih bagus”. Tapi empat kepala di depan saya menggeleng, hingga Wasis bersuara, “Masih ada waktu, kita keliling ke rumah teman-teman, siapa tahu ada yang bisa meminjamkannya”. Serempak empat suara lain berkata, “Setuju”.
Lima pasang kaki kecil itu pun melangkah menyisir jalan membelah malam mengetuk satu persatu rumah teman sekolah. Hingga pintu ke empat, belum satu pun kami dapatkan dua barang yang dicari, kalau pun ada lagi-lagi soal ukuran. Tapi tak satu pun dari kami yang menyerah dan terus berpacu dengan malam, langkah kami seperti sedang berlomba dengan barisan bintang yang dikomandani bulan. Ya kami sudah berlomba terlebih dulu sebelum perlombaan dimulai.
Sampailah kami di rumah Niken, gadis cantik teman sekelas kami. Beruntung dia memiliki adik lelaki yang seukuran saya, lebih beruntungnya, sepatu Warriors dan celana putihnya pun sangat pas di kaki dan tubuh saya. Lengkaplah sudah, kami berlima pun berpelukan.
Dalam perjalanan pulang ke rumah Teguh, kami satu kan langkah layaknya sedang berbaris. Suara lantang Nugraha memecah malam menghitung langkah, tapi bukan satu, dua, tiga, melainkan, “Satu, karena kita satu, satu kita selalu satu, satu langkah kita satu”.
***
Tim PMR SMP 207 yang diwakili kami memang tak meraih trophy apa pun dalam perlombaan keesokan harinya. Tapi semalam kami telah memenangi perlombaan yang lebih penting dari gerak jalan itu, sebuah langkah yang tetap diatur dan dirapatkan agar tetap bersatu, tidak terpisahkan dan tak kenal menyerah. Adakah yang seindah persahabatan seperti itu?
Bayu Gawtama
Spesial buat Nugraha, Teguh, Wasis dan Dicky
Saturday, July 30, 2005
(Karena) Cinta Bukan Janji
Selepas sholat Jum’at dalam perjalanan menuju rumah, sepeda saya ditabrak sepeda lain dari arah yang berlawanan. Akibatnya, roda belakang sepeda saya pun goyang dan bengkel sepeda adalah tujuan saya kemudian. Mungkin skenarionya sudah diatur demikian, bahwa ada seorang anak kecil yang melaju kencang dengan sepedanya langsung menabrak sepeda saya. Lantaran kecelakaan kecil itulah saya bisa berbincang ringan dengan Bang Juma’, tukang bengkel tempat langganan saya memperbaiki roda belakang sepeda.
Sewaktu saya membawa sepeda ke bengkelnya, Bang Juma’ baru saja membukanya setelah istirahat sholat Jum’at. Tapi bisa saya lihat wajahnya kurang cerah, padahal selain saya ada tiga sepeda lain yang menunggu sentuhan tangannya, dan sudah pasti rezeki miliknya seorang. “Langganan antri begini tampang masih suram aja bang?” saya beranikan diri membuka suara.
Seringai senyumnya terkesan dipaksakan, nampak jelas ada yang membuatnya demikian berat. “Biar banyak, bini Abang tetep manyun di rumeh,” logat betawinya sangat kental. Tanpa perlu disodorkan pertanyaan berikut, kalimat demi kalimat mulut Bang Juma’ terus mengalir tanpa henti. Rupanya, isteri Bang Juma’ sedang ngambek lantaran Bang Juma’ sering lupa sama janjinya untuk membelikan bakso di warung langganannya. Padahal, katanya, isterinya sedang ngidam kehamilan anak ke empatnya.
“Hamilinnye mau, tapi udahannye nggak mau tanggungjawab. Beliin bakso aje janjinye doang sampe enam kali,” Bang Juma’ menirukan celoteh isteri di rumah. Saya yang mendengarnya tertawa geli dan tergelitik untuk bertanya, “Memangnya Abang nggak beliin tuh bakso?”.
“Bukannye nggak mau, tapi duitnye yang nggak ade” Menurutnya, uang yang didapatnya dari bengkel sering habis untuk membayar hutang, sisanya yang sedikit untuk dibawa pulang bakal keperluan belanja sehari-hari. “Ketimbang beli bakso, beli beras dapet dua setengah liter”
Lelaki berbadan besar yang usianya empat tahun diatas saya itu sehari-hari dikenal baik, anak-anak yang belum punya uang pun tetap dilayani, walau pun nanti disuruh pulang minta uang ke orang tuanya. Meski kadang ada saja anak-anak yang tidak kembali membawa uang. “Biarin deh bang, barangkali aje anak Abang di jalan kenape-nape juga ditolong orang” ucap Bang Juma’ suatu hari.
Kembali soal bakso yang diminta isterinya, Bang Juma’ tertawa sendirian saat tangannya sedang memutar roda belakang sepeda saya. “Aneh-aneh aje ye kalo perempuan lagi hamil, bukan cuma yang diminta yang aneh, tapi omongannye kadang kedengerannye juga aneh. Tadi pagi, bini ngomong begini; setiap minta dibeliin ape-ape selalu janji yang dikasih. Cinta kan bukan cuma janji…”
Bang Juma, masih terus bersuara dengan celoteh-celoteh ringannya. Tapi apa yang dikatakan isterinya bahwa cinta bukan janji, memaksa saya membenarkannya. Cinta memang bukan janji, karena cinta hanya bisa dinilai dari apa yang diperbuat sang pecinta untuk yang dicintainya. Setidaknya pelajaran ini yang pernah saya baca dari syair Rumi.
Sepanjang jalan bersepeda menuju rumah kalimat isteri Bang Juma’ tetap terdengar di telinga saya. Dan kalau diingat-ingat, entah berapa banyak janji saya yang belum terlunasi terhadap anak-anak, juga isteri saya. Nampaknya saya harus menginventarisir kembali janji yang menguap bersama harapan orang-orang tercinta saya itu, mungkin juga mereka sudah lupa, atau sengaja melupakannya karena tahu bukan tanpa sebab saya tak memenuhi janji itu.
Satu, dua, enam… ah, banyak juga ternyata. Semoga saya bisa melunasinya satu persatu agar pikiran dan hati ini tak terus menerus terhantui oleh kata-kata isteri Bang Juma’, cinta bukan janji kan?
Bayu Gawtama
Yang senantiasa memperbaiki cinta
Sewaktu saya membawa sepeda ke bengkelnya, Bang Juma’ baru saja membukanya setelah istirahat sholat Jum’at. Tapi bisa saya lihat wajahnya kurang cerah, padahal selain saya ada tiga sepeda lain yang menunggu sentuhan tangannya, dan sudah pasti rezeki miliknya seorang. “Langganan antri begini tampang masih suram aja bang?” saya beranikan diri membuka suara.
Seringai senyumnya terkesan dipaksakan, nampak jelas ada yang membuatnya demikian berat. “Biar banyak, bini Abang tetep manyun di rumeh,” logat betawinya sangat kental. Tanpa perlu disodorkan pertanyaan berikut, kalimat demi kalimat mulut Bang Juma’ terus mengalir tanpa henti. Rupanya, isteri Bang Juma’ sedang ngambek lantaran Bang Juma’ sering lupa sama janjinya untuk membelikan bakso di warung langganannya. Padahal, katanya, isterinya sedang ngidam kehamilan anak ke empatnya.
“Hamilinnye mau, tapi udahannye nggak mau tanggungjawab. Beliin bakso aje janjinye doang sampe enam kali,” Bang Juma’ menirukan celoteh isteri di rumah. Saya yang mendengarnya tertawa geli dan tergelitik untuk bertanya, “Memangnya Abang nggak beliin tuh bakso?”.
“Bukannye nggak mau, tapi duitnye yang nggak ade” Menurutnya, uang yang didapatnya dari bengkel sering habis untuk membayar hutang, sisanya yang sedikit untuk dibawa pulang bakal keperluan belanja sehari-hari. “Ketimbang beli bakso, beli beras dapet dua setengah liter”
Lelaki berbadan besar yang usianya empat tahun diatas saya itu sehari-hari dikenal baik, anak-anak yang belum punya uang pun tetap dilayani, walau pun nanti disuruh pulang minta uang ke orang tuanya. Meski kadang ada saja anak-anak yang tidak kembali membawa uang. “Biarin deh bang, barangkali aje anak Abang di jalan kenape-nape juga ditolong orang” ucap Bang Juma’ suatu hari.
Kembali soal bakso yang diminta isterinya, Bang Juma’ tertawa sendirian saat tangannya sedang memutar roda belakang sepeda saya. “Aneh-aneh aje ye kalo perempuan lagi hamil, bukan cuma yang diminta yang aneh, tapi omongannye kadang kedengerannye juga aneh. Tadi pagi, bini ngomong begini; setiap minta dibeliin ape-ape selalu janji yang dikasih. Cinta kan bukan cuma janji…”
Bang Juma, masih terus bersuara dengan celoteh-celoteh ringannya. Tapi apa yang dikatakan isterinya bahwa cinta bukan janji, memaksa saya membenarkannya. Cinta memang bukan janji, karena cinta hanya bisa dinilai dari apa yang diperbuat sang pecinta untuk yang dicintainya. Setidaknya pelajaran ini yang pernah saya baca dari syair Rumi.
Sepanjang jalan bersepeda menuju rumah kalimat isteri Bang Juma’ tetap terdengar di telinga saya. Dan kalau diingat-ingat, entah berapa banyak janji saya yang belum terlunasi terhadap anak-anak, juga isteri saya. Nampaknya saya harus menginventarisir kembali janji yang menguap bersama harapan orang-orang tercinta saya itu, mungkin juga mereka sudah lupa, atau sengaja melupakannya karena tahu bukan tanpa sebab saya tak memenuhi janji itu.
Satu, dua, enam… ah, banyak juga ternyata. Semoga saya bisa melunasinya satu persatu agar pikiran dan hati ini tak terus menerus terhantui oleh kata-kata isteri Bang Juma’, cinta bukan janji kan?
Bayu Gawtama
Yang senantiasa memperbaiki cinta
Thursday, July 28, 2005
Makna Ketulusan
Kalau ada satu kata indah diantara kata indah lainnya, kata itu adalah “tulus”. Kata yang derajatnya sama dengan kata “jujur”, sama-sama kata yang lebih banyak berada di buku-buku cerita atau dongeng pengantar tidur, kata yang nyaris punah karena semakin langka orang yang menyematkan ketulusan dalam setiap perbuatannya, dan kata yang mungkin sebentar lagi akan segera masuk museum agar dapat dikenang oleh keturunan kita yang akan datang, bahwa dalam kehidupan orang-orang terdahulu pernah ada sikap dan perilaku tulus yang mewarnai hidup.
Saya termasuk yang sulit menilai apakah semua yang saya katakan dan lakukan sepanjang hidup ini telah berbingkai ketulusan, karena kadang masih saja ada kekecewaan yang tiba-tiba menyeruak tatkala saya tak mendapatkan apa-apa dari yang saya perbuat. Mengeluh, mengumpat, bahkan bersumpah atas nama Allah atas ketidakadilan yang saya terima. Padahal, siapa suruh saya berharap kepada manusia? Atau, mungkinkah saya tak lagi dapat membingkai semua pekerjaan saya dalam ketulusan, sehingga apa pun yang saya lakukan mesti berbuah keuntungan?
Nyaris diri ini tak lagi percaya ada ketulusan yang masih bisa terukir di muka bumi ini, sampai suatu ketika dalam perjalanan ke Subang, Jawa Barat, saya berkenalan dengan Kang Adi, seorang pedagang asongan di bis kota. Perkenalan dari ketertarikan saya atas ketulusan yang dilakukan Kang Adi terhadap tiga preman yang sedang mabuk di dalam bis.
Saya yang duduk di bagian tengah bis kota tersentak oleh makian seorang pria yang ditemani dua rekannya dengan wajah yang tidak kalam sangarnya. Yang dimaki, seorang pemuda pedagang asongan yang menjual aneka makanan seperti tahu sumedang, telur puyuh, jambu, mangga, dan kacang. Rupanya mereka memaksa membeli enam bungkus makanan hanya dengan selembar uang seribu rupiah.
Dimaki dan ujung kausnya ditarik tak membuat pedagang itu panik, “Maaf kang, kalau mau saya bisa kasih seberapa banyak Akang mau. Jadi nggak usah kasar begini,” ujarnya sambil menyodorkan beberapa makanan yang diminta tiga preman itu. “Ini uang Akang yang seribu, mungkin nanti Akang butuh buat beli rokok.”
Selepas itu, Kang Adi yang naik dari pintu belakang terus ke depan dan melewati saya. Tidak ada bekas ketakutan di wajahnya, justru seulas senyum dan air muka ceria yang ada. Sejak keributan di belakang hingga ia melewati saya dengan ketenangannya, membuat langkah ini pun berayun mendekatinya yang duduk di bangku belakang sopir. “Ada apa tadi Kang ribut-ribut di belakang?” saya membuka pembicaraan. Setelah itu pula saya tahu namanya Adi, usianya terpaut dua tahun di atas saya. Ia pun menganggap kejadian tadi bukan apa-apa, “sudah biasa,” terangnya.
Saya mengira apa yang dilakukannya dengan memberi enam bungkus makanan kepada tiga preman itu karena rasa takutnya, dan saya juga beranggapan Kang Adi hanya mencari selamat walau pun harus rugi. “Eh, bukan begitu. Mereka itu kan memang tidak punya uang, mereka cuma nggak tahu cara meminta. Ya jadinya kasar begitu.” Menurutnya, seandainya mereka minta baik-baik pun ia akan memberikannya dengan tulus.
“Akang nggak takut rugi?” tanya saya yang makin penasaran. “Waaah, buat orang kecil seperti saya, rugi atau dirugikan mah sudah biasa. Justru lebih rugi kalau saya sampai nggak ikhlas dengan kerugian itu, bisa-bisa nggak bisa tidur. Dagang kecil-kecilan seperti ini, kalau pun rugi ya ikhlasin aja, biar tidur tenang dan besok tetap semangat berdagang.”
“Tapi kan Akang tidak dapat keuntungan apa-apa dengan dengan memberi sekian banyak kepada tiga preman tadi?” Pertanyaan saya malah disambut cekikian kecilnya, “Abang orang Jakarta ya? Ketahuan sama saya kalau Abang orang kota, segala sesuatu diukurnya sama materi…” malu hati ini disebut seperti itu.
Hari ini, kata Kang Adi, tiga preman itu meminta paksa darinya. Tapi karena ia memberinya dengan baik dan ikhlas, Kang Adi yakin suatu hari bertemu kembali mereka akan memintanya baik-baik, bahkan sungkan meminta kepadanya karena ia terlalu baik. “Kalau semua orang bisa berbuat baik, yang berbuat jahat itu pasti malu. Kalau semua orang bisa bersikap lembut, yang lain pasti malu bersikap kasar, ya kan?” sebuah tanya yang jawabannya pasti “Ya”.
Aih, Kang Adi… bolehkah saya menjadi muridmu?
Bayu Gawtama
Sebuah kisah perjalanan ke Subang tujuh tahun lalu
Saya termasuk yang sulit menilai apakah semua yang saya katakan dan lakukan sepanjang hidup ini telah berbingkai ketulusan, karena kadang masih saja ada kekecewaan yang tiba-tiba menyeruak tatkala saya tak mendapatkan apa-apa dari yang saya perbuat. Mengeluh, mengumpat, bahkan bersumpah atas nama Allah atas ketidakadilan yang saya terima. Padahal, siapa suruh saya berharap kepada manusia? Atau, mungkinkah saya tak lagi dapat membingkai semua pekerjaan saya dalam ketulusan, sehingga apa pun yang saya lakukan mesti berbuah keuntungan?
Nyaris diri ini tak lagi percaya ada ketulusan yang masih bisa terukir di muka bumi ini, sampai suatu ketika dalam perjalanan ke Subang, Jawa Barat, saya berkenalan dengan Kang Adi, seorang pedagang asongan di bis kota. Perkenalan dari ketertarikan saya atas ketulusan yang dilakukan Kang Adi terhadap tiga preman yang sedang mabuk di dalam bis.
Saya yang duduk di bagian tengah bis kota tersentak oleh makian seorang pria yang ditemani dua rekannya dengan wajah yang tidak kalam sangarnya. Yang dimaki, seorang pemuda pedagang asongan yang menjual aneka makanan seperti tahu sumedang, telur puyuh, jambu, mangga, dan kacang. Rupanya mereka memaksa membeli enam bungkus makanan hanya dengan selembar uang seribu rupiah.
Dimaki dan ujung kausnya ditarik tak membuat pedagang itu panik, “Maaf kang, kalau mau saya bisa kasih seberapa banyak Akang mau. Jadi nggak usah kasar begini,” ujarnya sambil menyodorkan beberapa makanan yang diminta tiga preman itu. “Ini uang Akang yang seribu, mungkin nanti Akang butuh buat beli rokok.”
Selepas itu, Kang Adi yang naik dari pintu belakang terus ke depan dan melewati saya. Tidak ada bekas ketakutan di wajahnya, justru seulas senyum dan air muka ceria yang ada. Sejak keributan di belakang hingga ia melewati saya dengan ketenangannya, membuat langkah ini pun berayun mendekatinya yang duduk di bangku belakang sopir. “Ada apa tadi Kang ribut-ribut di belakang?” saya membuka pembicaraan. Setelah itu pula saya tahu namanya Adi, usianya terpaut dua tahun di atas saya. Ia pun menganggap kejadian tadi bukan apa-apa, “sudah biasa,” terangnya.
Saya mengira apa yang dilakukannya dengan memberi enam bungkus makanan kepada tiga preman itu karena rasa takutnya, dan saya juga beranggapan Kang Adi hanya mencari selamat walau pun harus rugi. “Eh, bukan begitu. Mereka itu kan memang tidak punya uang, mereka cuma nggak tahu cara meminta. Ya jadinya kasar begitu.” Menurutnya, seandainya mereka minta baik-baik pun ia akan memberikannya dengan tulus.
“Akang nggak takut rugi?” tanya saya yang makin penasaran. “Waaah, buat orang kecil seperti saya, rugi atau dirugikan mah sudah biasa. Justru lebih rugi kalau saya sampai nggak ikhlas dengan kerugian itu, bisa-bisa nggak bisa tidur. Dagang kecil-kecilan seperti ini, kalau pun rugi ya ikhlasin aja, biar tidur tenang dan besok tetap semangat berdagang.”
“Tapi kan Akang tidak dapat keuntungan apa-apa dengan dengan memberi sekian banyak kepada tiga preman tadi?” Pertanyaan saya malah disambut cekikian kecilnya, “Abang orang Jakarta ya? Ketahuan sama saya kalau Abang orang kota, segala sesuatu diukurnya sama materi…” malu hati ini disebut seperti itu.
Hari ini, kata Kang Adi, tiga preman itu meminta paksa darinya. Tapi karena ia memberinya dengan baik dan ikhlas, Kang Adi yakin suatu hari bertemu kembali mereka akan memintanya baik-baik, bahkan sungkan meminta kepadanya karena ia terlalu baik. “Kalau semua orang bisa berbuat baik, yang berbuat jahat itu pasti malu. Kalau semua orang bisa bersikap lembut, yang lain pasti malu bersikap kasar, ya kan?” sebuah tanya yang jawabannya pasti “Ya”.
Aih, Kang Adi… bolehkah saya menjadi muridmu?
Bayu Gawtama
Sebuah kisah perjalanan ke Subang tujuh tahun lalu
Monday, July 25, 2005
Antara Isteri dan Copet...
Copet, siapa yang tidak kesal dibuat oleh ulahnya. Boleh Anda tanyakan kepada siapa pun yang pernah mengalami nasib nahas mendapati dirinya kecopetan barang berharga. Dompet misalnya, sebagian korban menganggap uangnya tak seberapa karena yang terpenting adalah surat-surat penting dalam dompet tersebut. Atau barang berharga lainnya seperti telepon selular, yang paling mengesalkan bagi sebagian korban adalah saat harus memberi tahu nomor baru kepada kolega-koleganya, itu belum termasuk mendata ulang nomor telepon yang sudah pasti tak dihapalnya satu persatu.
Bicara soal copet, saya teringat sebuah perjalanan bersama seorang teman ke sebuah Mall di kawasan Kuningan, Jakarta untuk membeli piranti komputer. Tiga jam berputar-putar sepanjang Mall akhirnya barang yang dicari pun didapat dan setelah sepuluh menit lebih sedikit tawar menawar, tibalah saatnya membayar. “Eh, uang saya kemana ya?” tanya teman saya. Saya pikir ia tengah berkelakar dengan berpura-pura uangnya tak ada di kantongnya.
Ternyata sungguhan, ia yakin sejak semalam menyimpan uangnya di saku depan celananya dan tak pernah memindahkannya hingga berangkat pagi tadi bersama saya. “Dasar copet nih,” keluarlah kalimat sumpah serapahnya. Untunglah saya membawa uang yang cukup agar ia tak menanggung malu karena sudah melakukan tawar menawar.
Sepanjang jalan menuju rumah ia terus saja mengumpat sekaligus menyesali dirinya yang tak sadar menjadi korban pencopetan. Ia pun mengira-ngira dimana ia mengalami nasib nahas itu, entah di bis atau di angkot. Tapi sudah lah, uang sudah hilang mungkin bukan rezekinya, gerutunya masih tak rela.
Sore hari setelah sholat Ashar, teman yang pagi tadi saya antar membeli piranti komputer itu menelepon sambil tertawa terbahak-bahak. Aneh, siang tadi wajahnya merah dan hatinya pun kacau balau mengutuk perbuatan copet kurang ajar, sore ini malah terdengar senang sekali. Awalnya saya mengira ia sudah ikhlas dan mengambil hikmah dari kecopetan itu, tapi “Kamu tahu nggak, ternyata yang ngambil uang saya tuh isteri saya. Semalam dia ngambil dari kantong nggak bilang. Dan uangnya disimpan di laci,” ujarnya sambil terus terbahak-bahak.
Saya menduga, setibanya di rumah ia langsung menceritakan kejadian nahas yang menimpanya siang tadi sehingga harus meminjam uang saya. Mendengar ceritanya yang masih terus sambil terbahak-bahak itu, saya pun tak mampu menahan diri untuk tertawa. Yang saya tertawakan tentu saja kalimat kutukan dan sumpah serapahnya siang tadi, “Kalau ketemu saya cekek leher yang ngambil uang saya,” sudah pasti tak mungkin ia mencekek isterinya kan?
Semoga ia sudah menarik dan melupakan ucapannya siang tadi karena bisa jadi isterinya melakukan itu hanya untuk memindahkan saja. Pun sebenarnya ia juga hendak meminta izin kepada suaminya, bisa jadi saat itu suaminya sedang tidur atau tidak di tempat, namun ia terlupa untuk memberitahunya di waktu kemudian.
***
Terpikirlah saya tentang isteri, pernahkah ia mengambil atau memindahkan uang di saku kemeja atau celana saya yang sering tergantung menantang di balik pintu kamar? Cukup lama saya mencari jawabnya karena untuk bertanya pun saya tak berani, masak sih mencurigai isteri sendiri?
Rasa penasaran itu pun terjawab sudah ketika saya mendapati beberapa lembar uang kertas yang terpanggang di atas tutup panci untuk memasak air. Beberapa hari sebelumnya, di celana yang lain saya dapati beberapa lembar uang yang tergulung-gulung tak berbentuk. Rupanya lembaran-lembaran itu ikut tercuci dan terjemur bersama dalam saku celana kotor saya. Ooh…
Bayu Gawtama
Bicara soal copet, saya teringat sebuah perjalanan bersama seorang teman ke sebuah Mall di kawasan Kuningan, Jakarta untuk membeli piranti komputer. Tiga jam berputar-putar sepanjang Mall akhirnya barang yang dicari pun didapat dan setelah sepuluh menit lebih sedikit tawar menawar, tibalah saatnya membayar. “Eh, uang saya kemana ya?” tanya teman saya. Saya pikir ia tengah berkelakar dengan berpura-pura uangnya tak ada di kantongnya.
Ternyata sungguhan, ia yakin sejak semalam menyimpan uangnya di saku depan celananya dan tak pernah memindahkannya hingga berangkat pagi tadi bersama saya. “Dasar copet nih,” keluarlah kalimat sumpah serapahnya. Untunglah saya membawa uang yang cukup agar ia tak menanggung malu karena sudah melakukan tawar menawar.
Sepanjang jalan menuju rumah ia terus saja mengumpat sekaligus menyesali dirinya yang tak sadar menjadi korban pencopetan. Ia pun mengira-ngira dimana ia mengalami nasib nahas itu, entah di bis atau di angkot. Tapi sudah lah, uang sudah hilang mungkin bukan rezekinya, gerutunya masih tak rela.
Sore hari setelah sholat Ashar, teman yang pagi tadi saya antar membeli piranti komputer itu menelepon sambil tertawa terbahak-bahak. Aneh, siang tadi wajahnya merah dan hatinya pun kacau balau mengutuk perbuatan copet kurang ajar, sore ini malah terdengar senang sekali. Awalnya saya mengira ia sudah ikhlas dan mengambil hikmah dari kecopetan itu, tapi “Kamu tahu nggak, ternyata yang ngambil uang saya tuh isteri saya. Semalam dia ngambil dari kantong nggak bilang. Dan uangnya disimpan di laci,” ujarnya sambil terus terbahak-bahak.
Saya menduga, setibanya di rumah ia langsung menceritakan kejadian nahas yang menimpanya siang tadi sehingga harus meminjam uang saya. Mendengar ceritanya yang masih terus sambil terbahak-bahak itu, saya pun tak mampu menahan diri untuk tertawa. Yang saya tertawakan tentu saja kalimat kutukan dan sumpah serapahnya siang tadi, “Kalau ketemu saya cekek leher yang ngambil uang saya,” sudah pasti tak mungkin ia mencekek isterinya kan?
Semoga ia sudah menarik dan melupakan ucapannya siang tadi karena bisa jadi isterinya melakukan itu hanya untuk memindahkan saja. Pun sebenarnya ia juga hendak meminta izin kepada suaminya, bisa jadi saat itu suaminya sedang tidur atau tidak di tempat, namun ia terlupa untuk memberitahunya di waktu kemudian.
***
Terpikirlah saya tentang isteri, pernahkah ia mengambil atau memindahkan uang di saku kemeja atau celana saya yang sering tergantung menantang di balik pintu kamar? Cukup lama saya mencari jawabnya karena untuk bertanya pun saya tak berani, masak sih mencurigai isteri sendiri?
Rasa penasaran itu pun terjawab sudah ketika saya mendapati beberapa lembar uang kertas yang terpanggang di atas tutup panci untuk memasak air. Beberapa hari sebelumnya, di celana yang lain saya dapati beberapa lembar uang yang tergulung-gulung tak berbentuk. Rupanya lembaran-lembaran itu ikut tercuci dan terjemur bersama dalam saku celana kotor saya. Ooh…
Bayu Gawtama
Saturday, July 23, 2005
Jum'at Berkah
“Zakat penghasilan bulan ini sudah dikeluarkan, bang. Pasti belum dikeluarkan sama Abang kan?” Sebuah pesan pendek masuk ke telepon selular saya pagi ini. Biasa, isteri yang senantiasa mengingatkan urusan zakat penghasilan. Sejak menikah, saya yang tak pernah menutup-nutupi jumlah penghasilan sempat dibuat jengkel gara-gara isteri kerap menanyakan adakah penghasilan lain selain yang didapat setiap akhir bulan. Awalnya saya menganggap dia tak percaya dan curiga saya tak memberitahu penghasilan saya yang lain, padahal penghasilan saya memang cuma segitu-gitunya.
Setelah ia jelaskan maksudnya, barulah diri ini tersenyum sekaligus malu. Ia teramat perhatian untuk mengeluarkan zakat yang duasetengah persen dari setiap penghasilan yang kami terima, baik itu penghasilan bulanan maupun penghasilan dari hasil lainnya. Beruntunglah saya karena ada yang rajin mengingatkan.
“Diberikan ke siapa zakat kita dik,” tanya saya sekembalinya dari mengantar anak saya ke sekolah. “Baru separuhnya ke tukang sampah langganan, separuhnya lagi terserah Abang besok deh mau diberikan kemana,” jelasnya.
Cerita pun mengalir, tukang sampah langganan yang setiap dua kali sepekan mengangkut sampah di lingkungan tempat kami tinggal usai mengangkut sampah dari depan rumah. Isteri saya pun memanggilnya dan menawarkan dua buah sepeda bekas anak-anak saya yang mereka sudah enggan memakainya karena sudah ada yang baru. Tentu saja ia tak menampik tawaran isteri saya dan diangkutlah dua sepeda kecil itu. “Dijual harganya nggak seberapa, lebih baik diberikan kepada yang membutuhkan. Semoga lebih ada nilainya,” timbang isteri saya.
Belum beranjak tukang sampah itu dari rumah, isteri saya pun teringat bahwa kami belum mengeluarkan zakat penghasilan bulan ini. Maka ia pun memberikan sebagian dari yang seharusnya kami keluarkan kepada tukang sampah itu. Haru dan nyaris tak sanggup membendung bulir air yang siap tumpah dari pelupuk mata ketika isteri saya mendengar ungkapannya saat menerima uang buat sebagian orang itu tak seberapa nilainya, “Alhamdulillah, makan anak dan isteri dua jumat ke depan terjamin nih bu, terima kasih.”
Tak hanya isteri, saya yang tak mendengar langsung dari mulutnya pun merasakan getaran yang mengharukan. Betapa kecilnya uang yang kami berikan bisa membuat ia merasa ada jaminan makan selama dua jumat ke depan, lalu bagaimana dengan hari-hari sebelumnya? Dan bagaimana dengan pekan-pekan yang akan datang?
“Jum’at yang berkah buat saya, semoga hari ini keberkahan juga tercurahkan atas ibu sekeluarga,” tak lupa ia meninggalkan doa untuk keluarga kami. Lega lah sudah, sebagian rezeki yang Allah titipkan sudah diberikan kepada yang berhak. Diam-diam isteri saya mengamini doa bapak tukang sampah, agar Sang Pemberi rezeki pun memberkahi setiap pemasukan dan pengeluaran kami.
***
Sore harinya saya pergi ke Anjungan Tunai Mandiri (ATM) untuk mengambil sedikit dari tabungan kami guna keperluan belanja. Maha Suci Allah, puji syukur saya yang tiada bandingannya, ketika melihat saldo tabungan saya bertambah hampir enam kali dari yang pagi tadi dikeluarkan isteri saya. Rupanya Jum’at hari ini tidak hanya berkah bagi bapak tukang sampah itu, tapi juga bagi kami. “Mungkinkah Allah menjawab doa tukang sampah itu untuk kami? Hanya Allah yang tahu”.
Ketika saya menceritakan perihal ini kepada isteri, tak cukup kalimat syukur yang keluar dari mulutnya, tapi saya sudah bisa menebak apa yang ada di kepalanya. Saya yakin ia tengah menghitung lagi duasetengah persen yang harus dikeluarkan. Aih…
Bayu Gawtama
Setelah ia jelaskan maksudnya, barulah diri ini tersenyum sekaligus malu. Ia teramat perhatian untuk mengeluarkan zakat yang duasetengah persen dari setiap penghasilan yang kami terima, baik itu penghasilan bulanan maupun penghasilan dari hasil lainnya. Beruntunglah saya karena ada yang rajin mengingatkan.
“Diberikan ke siapa zakat kita dik,” tanya saya sekembalinya dari mengantar anak saya ke sekolah. “Baru separuhnya ke tukang sampah langganan, separuhnya lagi terserah Abang besok deh mau diberikan kemana,” jelasnya.
Cerita pun mengalir, tukang sampah langganan yang setiap dua kali sepekan mengangkut sampah di lingkungan tempat kami tinggal usai mengangkut sampah dari depan rumah. Isteri saya pun memanggilnya dan menawarkan dua buah sepeda bekas anak-anak saya yang mereka sudah enggan memakainya karena sudah ada yang baru. Tentu saja ia tak menampik tawaran isteri saya dan diangkutlah dua sepeda kecil itu. “Dijual harganya nggak seberapa, lebih baik diberikan kepada yang membutuhkan. Semoga lebih ada nilainya,” timbang isteri saya.
Belum beranjak tukang sampah itu dari rumah, isteri saya pun teringat bahwa kami belum mengeluarkan zakat penghasilan bulan ini. Maka ia pun memberikan sebagian dari yang seharusnya kami keluarkan kepada tukang sampah itu. Haru dan nyaris tak sanggup membendung bulir air yang siap tumpah dari pelupuk mata ketika isteri saya mendengar ungkapannya saat menerima uang buat sebagian orang itu tak seberapa nilainya, “Alhamdulillah, makan anak dan isteri dua jumat ke depan terjamin nih bu, terima kasih.”
Tak hanya isteri, saya yang tak mendengar langsung dari mulutnya pun merasakan getaran yang mengharukan. Betapa kecilnya uang yang kami berikan bisa membuat ia merasa ada jaminan makan selama dua jumat ke depan, lalu bagaimana dengan hari-hari sebelumnya? Dan bagaimana dengan pekan-pekan yang akan datang?
“Jum’at yang berkah buat saya, semoga hari ini keberkahan juga tercurahkan atas ibu sekeluarga,” tak lupa ia meninggalkan doa untuk keluarga kami. Lega lah sudah, sebagian rezeki yang Allah titipkan sudah diberikan kepada yang berhak. Diam-diam isteri saya mengamini doa bapak tukang sampah, agar Sang Pemberi rezeki pun memberkahi setiap pemasukan dan pengeluaran kami.
***
Sore harinya saya pergi ke Anjungan Tunai Mandiri (ATM) untuk mengambil sedikit dari tabungan kami guna keperluan belanja. Maha Suci Allah, puji syukur saya yang tiada bandingannya, ketika melihat saldo tabungan saya bertambah hampir enam kali dari yang pagi tadi dikeluarkan isteri saya. Rupanya Jum’at hari ini tidak hanya berkah bagi bapak tukang sampah itu, tapi juga bagi kami. “Mungkinkah Allah menjawab doa tukang sampah itu untuk kami? Hanya Allah yang tahu”.
Ketika saya menceritakan perihal ini kepada isteri, tak cukup kalimat syukur yang keluar dari mulutnya, tapi saya sudah bisa menebak apa yang ada di kepalanya. Saya yakin ia tengah menghitung lagi duasetengah persen yang harus dikeluarkan. Aih…
Bayu Gawtama
Thursday, July 21, 2005
Seperti Monyet?
Pernah lihat pertunjukkan topeng monyet? Kalau pun tidak sering, setidaknya pernah meski sekali. Saya mungkin termasuk orang seperti Anda yang sempat terheran dan berpikir kenapa seekor monyet bisa dan mau melakukan banyak hal yang diperintah pemiliknya, tidak jarang aksi hewan itu mengundang gelak tawa, terutama anak-anak.
Tidak sedikit anak-anak yang kecewa ketika pertunjukkan usai, kadang sebagian dari mereka kerap membuntuti rombongan topeng monyet itu berlalu. Namun ternyata, mereka meninggalkan jejak yang teramat dalam di benak saya, terutama sempat saya mengajukan beberapa pertanyaan kepada pemilik monyet itu usai mereka beraksi. "Sama saja dengan mendidik manusia pak, mereka harus diperlakukan secara manusiawi" dalam hati mungkin ia hendak mengatakan secara monyetawi.
Semakin saya tertarik, sehingga pertanyaan kedua pun meluncurlah. "Kenapa bapak bisa menganggap begitu sama mendidik monyet dengan manusia?". Saya sebenarnya tak ingin mengganggu perjalanannya, tapi seperti halnya anak-anak kecil yang penasaran sampai dimana rombongan topeng monyet itu terus melangkah, dan gerangan aksi apa lagi yang bisa dipertunjukkan oleh monyet kecil itu, saya pun demikian penasarannya.
"Monyet ini selalu saya berikan apa yang ia inginkan, saya tak pernah memaksakan kemauan saya, karena saya yakin ia seperti manusia yang memiliki kehendaknya sendiri." Sebuah penjelasan yang sementara masuk akal bagi saya. Meski saya pun lantas melanjutkannya dengan pertanyaan ketiga, "bisa diperjelas?"
"Kita berikan apa yang ia mau, selanjutnya biarkan ia melakukan apa yang kita mau. Ini juga seperti manusia pak, kalau bapak mau menguasai dan menggenggam orang lain dalam jemari bapak itu sangat mudah. Penuhi saja semua kebutuhan orang itu, niscaya ia akan lakukan apa pun untuk bapak, meski itu salah" filosofinya.
Benar juga, kalau dipikir-pikir manusia seringkali begitu taat kepada siapa pun yang memberi dan mencukupi semua kebutuhannya. Ia akan mengatakan A saat tuannya berkata A, tidak pernah ia menyebut B ketika tuannya menghendaki Z, begitu seterusnya. Dan itu bisa berlaku di mana saja, di level atas maupun bawah dalam lapisan masyarakat kita.
Ah saya kok jadi malu sendiri mendengar penjelasan pemilik monyet kecil itu, bukan malu saya tak sefilosofis dia, atau saya tak sepandai dirinya mendidik seekor monyet. Tapi malu pada diri ini yang kadang tak ubahnya seperti seekor monyet, betapa saya mau melakukan apa pun sekiranya itu menguntungkan buat saya, tak peduli lagi pada nilai-nilai kebenaran. Salah benar itu soal belakangan, yang penting saya melakukan apa yang orang lain minta agar kebutuhan saya terpenuhi.
Padahal sesungguhnya, Tuan saya sebenarnya yang meski tak pernah saya melihatnya, tapi sentuhan kasih sayangnya tak pernah padam, aliran nikmat dan limpahan anugerahnya tak pernah berhenti, seringkali saya tak mentaati perintahnya, mengabaikan peraturannya dan menerjang rambu-rambunya, tak mendengarkan peringatannya, bahkan pura-pura tak mengenalnya disaat Ia sering memanggil saya.
Saya tak sedang belajar pada monyet kecil itu, tapi saya baru saja mendapat pelajaran penting dari pemilik monyet yang secara tidak langsung seolah-olah tengah memberikan cermin kepada saya untuk berkaca. Samakah saya?
Bayu Gawtama
Tidak sedikit anak-anak yang kecewa ketika pertunjukkan usai, kadang sebagian dari mereka kerap membuntuti rombongan topeng monyet itu berlalu. Namun ternyata, mereka meninggalkan jejak yang teramat dalam di benak saya, terutama sempat saya mengajukan beberapa pertanyaan kepada pemilik monyet itu usai mereka beraksi. "Sama saja dengan mendidik manusia pak, mereka harus diperlakukan secara manusiawi" dalam hati mungkin ia hendak mengatakan secara monyetawi.
Semakin saya tertarik, sehingga pertanyaan kedua pun meluncurlah. "Kenapa bapak bisa menganggap begitu sama mendidik monyet dengan manusia?". Saya sebenarnya tak ingin mengganggu perjalanannya, tapi seperti halnya anak-anak kecil yang penasaran sampai dimana rombongan topeng monyet itu terus melangkah, dan gerangan aksi apa lagi yang bisa dipertunjukkan oleh monyet kecil itu, saya pun demikian penasarannya.
"Monyet ini selalu saya berikan apa yang ia inginkan, saya tak pernah memaksakan kemauan saya, karena saya yakin ia seperti manusia yang memiliki kehendaknya sendiri." Sebuah penjelasan yang sementara masuk akal bagi saya. Meski saya pun lantas melanjutkannya dengan pertanyaan ketiga, "bisa diperjelas?"
"Kita berikan apa yang ia mau, selanjutnya biarkan ia melakukan apa yang kita mau. Ini juga seperti manusia pak, kalau bapak mau menguasai dan menggenggam orang lain dalam jemari bapak itu sangat mudah. Penuhi saja semua kebutuhan orang itu, niscaya ia akan lakukan apa pun untuk bapak, meski itu salah" filosofinya.
Benar juga, kalau dipikir-pikir manusia seringkali begitu taat kepada siapa pun yang memberi dan mencukupi semua kebutuhannya. Ia akan mengatakan A saat tuannya berkata A, tidak pernah ia menyebut B ketika tuannya menghendaki Z, begitu seterusnya. Dan itu bisa berlaku di mana saja, di level atas maupun bawah dalam lapisan masyarakat kita.
Ah saya kok jadi malu sendiri mendengar penjelasan pemilik monyet kecil itu, bukan malu saya tak sefilosofis dia, atau saya tak sepandai dirinya mendidik seekor monyet. Tapi malu pada diri ini yang kadang tak ubahnya seperti seekor monyet, betapa saya mau melakukan apa pun sekiranya itu menguntungkan buat saya, tak peduli lagi pada nilai-nilai kebenaran. Salah benar itu soal belakangan, yang penting saya melakukan apa yang orang lain minta agar kebutuhan saya terpenuhi.
Padahal sesungguhnya, Tuan saya sebenarnya yang meski tak pernah saya melihatnya, tapi sentuhan kasih sayangnya tak pernah padam, aliran nikmat dan limpahan anugerahnya tak pernah berhenti, seringkali saya tak mentaati perintahnya, mengabaikan peraturannya dan menerjang rambu-rambunya, tak mendengarkan peringatannya, bahkan pura-pura tak mengenalnya disaat Ia sering memanggil saya.
Saya tak sedang belajar pada monyet kecil itu, tapi saya baru saja mendapat pelajaran penting dari pemilik monyet yang secara tidak langsung seolah-olah tengah memberikan cermin kepada saya untuk berkaca. Samakah saya?
Bayu Gawtama
Jatuh Lagi Bangun Lagi
Saya masih ingat dengan sangat jelas pertama kali ibu membelikan sepeda, sebuah sepeda mini berwarna merah yang dibeli saat ulang tahun saya yang ke delapan. Saya nekat minta dibelikan sepeda meski saya belum pernah sekali pun belajar naik sepeda, sebab sewaktu kecil pun sepeda saya selalu beroda empat. Dan semenjak pindah rumah, sepeda itu tak ikut serta pindah alias dijual.
Alhasil, ketika sepeda baru itu hadir di rumah hanya menjadi tontonan saya, abang dan adik-adik. Karena tak satu pun dari kami yang bisa menaikinya, padahal setiap kali melihat teman-teman bersepeda, rasanya mudah sekali mengendarainya. Tapi sekali dicoba, saya jatuh, begitu juga dengan abang dan adik saya yang lain. Itu pun sudah dibantu ibu yang memegangi di belakang, bahkan pernah satu kali ibu ikut terjatuh bersama saya dan sepeda baru itu.
Enam hari sudah sepeda baru itu lebih banyak menghiasi teras depan rumah ketimbang berputar-putar mengitari komplek perumahan. Untuk menghibur diri, sepeda yang berdiri di atas standard-nya itu saya naiki, berdua dengan adik saya yang duduk di boncengan (kursi belakang). Sementara kaki saya tetap aktif menggoes pedal sepeda, praktis sepeda hanya jalan di tempat. Semakin cepat roda berputar semakin senanglah kami, meski hanya jalan di tempat. Dan ketika mencapai putaran tertentu, tiba-tiba standard-nya tidak kuat menahan beban dan... sepeda pun melaju tanpa kendali. Kami pun jatuh, plus luka memar di kaki, tangan dan kepala.
Dari peristiwa itu, saya dan adik mengambil kesimpulan, jalan mengitari komplek perumahan dalam rangka belajar sepeda, atau pun berjalan di tempat dengan standard masih terpasang, kami tetap jatuh. Sakit yang diderita pun tidak berbeda, memar juga, berdarah juga. Jadi, kenapa kami tetap membiarkan sepeda baru itu hanya menjadi hiasan di teras rumah? pun kami naiki tak pernah melaju ke depan, tak pernah menghantarkan kami kemana-mana...
Akhirnya, kami keluarkan sepeda itu dan saya membiarkan adik lelaki saya mencobanya lebih dulu. Sekali ia mencobanya, jatuh, dua kali mencoba, dua kali jatuh, sepuluh kali jatuh, ia tetap bangun dan terus mencoba, sampai akhirnya dua meter sepeda itu pun melaju, senanglah ia meski kemudian jatuh lagi. Jika mau dihitung, sudah berapa banyak luka dan bekas luka yang kini menghiasi kaki dan tangannya. Dan pemandangan itu membuat saya gentar dan enggan mencoba. Bahkan ketika adik saya sudah bisa mengendarai sepeda itu pun saya belum berani mencobanya. Padahal sejak awal sepeda itu dibeli, saya lah yang paling menggebu untuk mengendarainya.
Sampai suatu hari, "Kalau nggak berani jatuh, nggak akan tahu enaknya naik sepeda. Dan sudah pasti nggak lebih banyak jalan yang bisa dilalui," adik saya menggurui. Saya pun tertegun, bisa-bisanya dia ngomong begitu mentang-mentang sudah bisa naik sepeda. Tapi diam-diam saya mengakui kata-katanya, dengan bersepeda dia sudah bisa pergi jauh lebih dari yang bisa saya tempuh dengan hanya berjalan kaki. Bahkan ia sudah sering bermain ke luar komplek, sementara saya hanya mendekam di tempat. Semua karena ketidakberanian saya mengambil resiko untuk jatuh bangun dan menerima semua luka yang diakibatkan dari belajar bersepeda.
Tak mau kalah, akhirnya saya beranikan diri mengambil resiko yang sama yang dilakukan adik saya dua bulan lalu. Jatuh sekali, coba lagi, tiga kali jatuh, bangun lagi dan terus mencoba. Sampai akhirnya, sepeda pun melaju lumayan cepat, padahal saya belum lagi mampu menggunakan rem dengan baik. Akhirnya, selokan pun jadi tempat pendaratan terakhir. Tak cuma sudut mata ini yang berair, bahkan beberapa bagian kaki pun sudah basah dengan cairan merah. Sakit, pasti.
***
Selayaknya belajar naik sepeda, jatuh bangun dan terluka adalah hal biasa. Justru ketika kita enggan mencobanya, takkan pernah kita tahu luka dan akibat yang diderita, dan sungguh, derita sesungguhnya adalah ketika kita tahu tak banyak tempat yang bisa kita jelajahi, tak lebih jauh jalan yang bisa kita tempuhi, karena itu takkan banyak pelajaran yang didapat.
Hidup ibarat bersepeda, senantiasanya kita menjaga keseimbangan. Jika tidak, maka kejatuhan pun kan kita derita. Namun saat kejatuhan itu lah kita benar-benar merasai perjuangan hidup sebenarnya, bukan pada saat kita mampu melaju dalam keseimbangan tanpa aral yang menghalangi. Pun jika sudah sedemikian melajunya menjalani hidup, ingatlah untuk sanggup berhenti jika arah yang dituju salah, atau menuju ke arah yang salah. Segera berhenti, untuk memutar arah sebenarnya, atau siap-siap terpuruk ke jalan yang kita akan sulit untuk kembalinya.
Bayu Gawtama
Alhasil, ketika sepeda baru itu hadir di rumah hanya menjadi tontonan saya, abang dan adik-adik. Karena tak satu pun dari kami yang bisa menaikinya, padahal setiap kali melihat teman-teman bersepeda, rasanya mudah sekali mengendarainya. Tapi sekali dicoba, saya jatuh, begitu juga dengan abang dan adik saya yang lain. Itu pun sudah dibantu ibu yang memegangi di belakang, bahkan pernah satu kali ibu ikut terjatuh bersama saya dan sepeda baru itu.
Enam hari sudah sepeda baru itu lebih banyak menghiasi teras depan rumah ketimbang berputar-putar mengitari komplek perumahan. Untuk menghibur diri, sepeda yang berdiri di atas standard-nya itu saya naiki, berdua dengan adik saya yang duduk di boncengan (kursi belakang). Sementara kaki saya tetap aktif menggoes pedal sepeda, praktis sepeda hanya jalan di tempat. Semakin cepat roda berputar semakin senanglah kami, meski hanya jalan di tempat. Dan ketika mencapai putaran tertentu, tiba-tiba standard-nya tidak kuat menahan beban dan... sepeda pun melaju tanpa kendali. Kami pun jatuh, plus luka memar di kaki, tangan dan kepala.
Dari peristiwa itu, saya dan adik mengambil kesimpulan, jalan mengitari komplek perumahan dalam rangka belajar sepeda, atau pun berjalan di tempat dengan standard masih terpasang, kami tetap jatuh. Sakit yang diderita pun tidak berbeda, memar juga, berdarah juga. Jadi, kenapa kami tetap membiarkan sepeda baru itu hanya menjadi hiasan di teras rumah? pun kami naiki tak pernah melaju ke depan, tak pernah menghantarkan kami kemana-mana...
Akhirnya, kami keluarkan sepeda itu dan saya membiarkan adik lelaki saya mencobanya lebih dulu. Sekali ia mencobanya, jatuh, dua kali mencoba, dua kali jatuh, sepuluh kali jatuh, ia tetap bangun dan terus mencoba, sampai akhirnya dua meter sepeda itu pun melaju, senanglah ia meski kemudian jatuh lagi. Jika mau dihitung, sudah berapa banyak luka dan bekas luka yang kini menghiasi kaki dan tangannya. Dan pemandangan itu membuat saya gentar dan enggan mencoba. Bahkan ketika adik saya sudah bisa mengendarai sepeda itu pun saya belum berani mencobanya. Padahal sejak awal sepeda itu dibeli, saya lah yang paling menggebu untuk mengendarainya.
Sampai suatu hari, "Kalau nggak berani jatuh, nggak akan tahu enaknya naik sepeda. Dan sudah pasti nggak lebih banyak jalan yang bisa dilalui," adik saya menggurui. Saya pun tertegun, bisa-bisanya dia ngomong begitu mentang-mentang sudah bisa naik sepeda. Tapi diam-diam saya mengakui kata-katanya, dengan bersepeda dia sudah bisa pergi jauh lebih dari yang bisa saya tempuh dengan hanya berjalan kaki. Bahkan ia sudah sering bermain ke luar komplek, sementara saya hanya mendekam di tempat. Semua karena ketidakberanian saya mengambil resiko untuk jatuh bangun dan menerima semua luka yang diakibatkan dari belajar bersepeda.
Tak mau kalah, akhirnya saya beranikan diri mengambil resiko yang sama yang dilakukan adik saya dua bulan lalu. Jatuh sekali, coba lagi, tiga kali jatuh, bangun lagi dan terus mencoba. Sampai akhirnya, sepeda pun melaju lumayan cepat, padahal saya belum lagi mampu menggunakan rem dengan baik. Akhirnya, selokan pun jadi tempat pendaratan terakhir. Tak cuma sudut mata ini yang berair, bahkan beberapa bagian kaki pun sudah basah dengan cairan merah. Sakit, pasti.
***
Selayaknya belajar naik sepeda, jatuh bangun dan terluka adalah hal biasa. Justru ketika kita enggan mencobanya, takkan pernah kita tahu luka dan akibat yang diderita, dan sungguh, derita sesungguhnya adalah ketika kita tahu tak banyak tempat yang bisa kita jelajahi, tak lebih jauh jalan yang bisa kita tempuhi, karena itu takkan banyak pelajaran yang didapat.
Hidup ibarat bersepeda, senantiasanya kita menjaga keseimbangan. Jika tidak, maka kejatuhan pun kan kita derita. Namun saat kejatuhan itu lah kita benar-benar merasai perjuangan hidup sebenarnya, bukan pada saat kita mampu melaju dalam keseimbangan tanpa aral yang menghalangi. Pun jika sudah sedemikian melajunya menjalani hidup, ingatlah untuk sanggup berhenti jika arah yang dituju salah, atau menuju ke arah yang salah. Segera berhenti, untuk memutar arah sebenarnya, atau siap-siap terpuruk ke jalan yang kita akan sulit untuk kembalinya.
Bayu Gawtama
Sunday, July 17, 2005
Satire Satiri
Satiri namanya, usianya kira-kira satu setengah kali usia saya, berarti sudah empat puluh limaan. Saya mengenalnya sejak hari-hari pertama tinggal di wilayah tempat saya menetap saat ini, sejak pertama kali saya melihatnya saat bersama shalat jamaah di masjid Al Barokah. Saya memang tak setiap waktu shalat bisa berjamaah di masjid tersebut, karena bisa jadi di waktu-waktu tertentu saya masih di kantor atau shalat di masjid yang saya temui di jalan. Dan harus saya akui, saya tak serajin dirinya yang senantiasa berusaha berjamaah di masjid setiap waktu.
Beberapa bulan belakangan masjid di wilayah tempat tinggal kami itu tengah direnovasi, dan selaku warga yang baik para warga pun bahu membahu mengulurkan tangannya menyumbangkan tenaganya dalam penyelesaian renovasi masjid tersebut. Meski tidak semua warga berpartisipasi, yang pasti selalu ada sosok Pak Satiri.
Lelaki yang tubuh dan wajahnya nampak lebih tua dari usianya itu nyaris tak pernah absen di setiap minggu pagi bahkan sebelum corong masjid berkali-kali memanggil-manggil jamaah yang masih asik di rumah. Saya sendiri, kadang menunggu panggilan untuk kerja baik itu terdengar baru bergegas ke masjid meninggalkan semua aktivitas di rumah.
Sampai di masjid, pastilah sudah ada beberapa orang yang tengah bersiap, sebagiannya justru sudah beraksi dengan peralatan yang tersedia. “Wah saya pasti tak pernah lebih dulu dari Pak Satiri,” sapa saya terhadap lelaki berperawakan kurus itu.
“Ini panggilan masjid pak, jadi saya mesti lebih cepat,” sindiran yang tepat buat orang seperti saya. Seharusnya saya yang lebih muda bisa lebih cepat tiba di masjid tinimbang dirinya. Tapi bukankah soal amal baik dan balasan yang bakal diberi Allah kelak juga tak pandang muda dan tua?
Sambil terus bekerja, obrolan dan canda pun tak pernah sepi mengiringi. Saya masih tetap terlibat obrolan ringan dengan Pak Satiri. “Saya ini pak, malu kalau absen kerja bakti untuk masjid. Pertama, saya sholat di masjid ini, bersosialisasi juga dengan warga masjid ini. Kalau pagi ini tidak kerja bakti, sore nanti atau maghrib saat berjamaah mau jawab apa saya kalau warga yang lain bertanya, padahal saya ada di rumah seharian.”
Baginya, tempat bersosialisasi paling tepat adalah shalat berjamaah di masjid. “Yang di masjid, insya Allah orang baik-baik, bukankah mereka yang selalu kita cari sebagai teman hidup di dunia?” sebuah nasihat yang tak mungkin saya bantah.
Alasan kedua ia tak ingin menghilang dari aktivitas kerja bakti di masjid dikemukakannya tepat ketika saya tengah merasa kurangnya pergaulan dengan masjid, mungkin karena hanya di beberapa waktu shalat saja saya ada di masjid setiap harinya. “Usia saya boleh dibilang sudah tua pak, lha nanti kalau saya mati kan juga dishalatkan di masjid ini.” Menurutnya, keluarga yang ditinggalkannya pasti akan malu kepada warga masjid jika ia tak pernah aktif di masjid tapi ketika meninggal dishalatkan di masjid tersebut. Duh, saya kok nyaris tak pernah terpikir kesana ya?
Saat sejenak istirahat, sambil mengunyah beberapa penganan yang dihantarkan ibu-ibu yang tak ingin ketinggalan beramal untuk masjid, Pak Satiri bertanya kepada saya, “Eh, saya dengar kalau turut membantu dalam membangun masjid, di surga nanti kita akan dibuatkan bangunan ya oleh Allah?” Saya hanya tersenyum seraya mengangguk malu untuk menjawabnya, teringat dua kali sudah saya absen dalam aktivitas kerja bakti pembangunan masjid ini.
Lelaki empat puluh lima tahunan itu, Satiri namanya. Ia memang tak sedang berpuisi di depan saya, tetapi tiga alasan yang dikemukakannya terdengar seperti satire buat saya. Ya, satire seorang lelaki bernama Satiri.
Bayu Gawtama
Beberapa bulan belakangan masjid di wilayah tempat tinggal kami itu tengah direnovasi, dan selaku warga yang baik para warga pun bahu membahu mengulurkan tangannya menyumbangkan tenaganya dalam penyelesaian renovasi masjid tersebut. Meski tidak semua warga berpartisipasi, yang pasti selalu ada sosok Pak Satiri.
Lelaki yang tubuh dan wajahnya nampak lebih tua dari usianya itu nyaris tak pernah absen di setiap minggu pagi bahkan sebelum corong masjid berkali-kali memanggil-manggil jamaah yang masih asik di rumah. Saya sendiri, kadang menunggu panggilan untuk kerja baik itu terdengar baru bergegas ke masjid meninggalkan semua aktivitas di rumah.
Sampai di masjid, pastilah sudah ada beberapa orang yang tengah bersiap, sebagiannya justru sudah beraksi dengan peralatan yang tersedia. “Wah saya pasti tak pernah lebih dulu dari Pak Satiri,” sapa saya terhadap lelaki berperawakan kurus itu.
“Ini panggilan masjid pak, jadi saya mesti lebih cepat,” sindiran yang tepat buat orang seperti saya. Seharusnya saya yang lebih muda bisa lebih cepat tiba di masjid tinimbang dirinya. Tapi bukankah soal amal baik dan balasan yang bakal diberi Allah kelak juga tak pandang muda dan tua?
Sambil terus bekerja, obrolan dan canda pun tak pernah sepi mengiringi. Saya masih tetap terlibat obrolan ringan dengan Pak Satiri. “Saya ini pak, malu kalau absen kerja bakti untuk masjid. Pertama, saya sholat di masjid ini, bersosialisasi juga dengan warga masjid ini. Kalau pagi ini tidak kerja bakti, sore nanti atau maghrib saat berjamaah mau jawab apa saya kalau warga yang lain bertanya, padahal saya ada di rumah seharian.”
Baginya, tempat bersosialisasi paling tepat adalah shalat berjamaah di masjid. “Yang di masjid, insya Allah orang baik-baik, bukankah mereka yang selalu kita cari sebagai teman hidup di dunia?” sebuah nasihat yang tak mungkin saya bantah.
Alasan kedua ia tak ingin menghilang dari aktivitas kerja bakti di masjid dikemukakannya tepat ketika saya tengah merasa kurangnya pergaulan dengan masjid, mungkin karena hanya di beberapa waktu shalat saja saya ada di masjid setiap harinya. “Usia saya boleh dibilang sudah tua pak, lha nanti kalau saya mati kan juga dishalatkan di masjid ini.” Menurutnya, keluarga yang ditinggalkannya pasti akan malu kepada warga masjid jika ia tak pernah aktif di masjid tapi ketika meninggal dishalatkan di masjid tersebut. Duh, saya kok nyaris tak pernah terpikir kesana ya?
Saat sejenak istirahat, sambil mengunyah beberapa penganan yang dihantarkan ibu-ibu yang tak ingin ketinggalan beramal untuk masjid, Pak Satiri bertanya kepada saya, “Eh, saya dengar kalau turut membantu dalam membangun masjid, di surga nanti kita akan dibuatkan bangunan ya oleh Allah?” Saya hanya tersenyum seraya mengangguk malu untuk menjawabnya, teringat dua kali sudah saya absen dalam aktivitas kerja bakti pembangunan masjid ini.
Lelaki empat puluh lima tahunan itu, Satiri namanya. Ia memang tak sedang berpuisi di depan saya, tetapi tiga alasan yang dikemukakannya terdengar seperti satire buat saya. Ya, satire seorang lelaki bernama Satiri.
Bayu Gawtama
Friday, July 15, 2005
Lelaki Sebelas Amanah
Sore kemarin hujan teramat deras hingga lepas maghrib. Janji untuk mengajak anak-anak keluar membeli makanan kecil pun tertunda hingga malam menjelang. Hujan masih rintik-rintik ketika saya dan kedua anak saya keluar rumah, sementara anak-anak saya ceria menghitung bintang, saya terlibat obrolan mengasikkan dengan bapak pengayuh becak yang kan mengantar kami ke tempat membeli makanan.
"Anaknya berapa pak?" tanya bapak separuh baya itu. "Sementara dua dulu pak, ini pun saya kerepotan," jawab saya sambil menoleh, nampaklah wajah tegar yang menyimpan banyak pengalaman. "Wah, dua sih belum repot pak, anak saya sepuluh..."
Tertegun hati ini, kembali saya menoleh untuk menatap lebih lama wajah yang baru saja menerangkan bahwa anaknya sepuluh. Di benak saya hanya terlukis angka "10" terus menerus memutari seluas jagad benak ini, hati pun bertanya, "sepuluh?" saya bukan tidak percaya dengan kata-katanya yang nampak jujur, justru saya tidak yakin akan kesanggupan saya jika saya diberi amanah sebanyak itu, yang jika ditambah satu isteri berarti ada sebelas amanah.
Mengayuh becak seharian penuh sejak pagi masih menggeliat hingga malam ketika orang seperti saya beranjak ke alam mimpi, sungguh tak pernah masuk di akal saya untuk bisa menanggung amanah seberat itu. Malu juga saya ketika menyatakan, "baru dua pak, ini juga sudah kerepotan". Padahal, setelah saya mengucapkan kalimat itu, langsung disambar pernyataan dari bapak pengayuh becak yang seolah-olah menganggap saya ini cengeng, lemah dan bukan lelaki, ya, karena anaknya sepuluh tapi tak ada satu kalimat pun darinya tentang repotnya mengurus anak.
Dalam perjalanan kembali ke rumah, saya tergumam, seorang guru lagi saya temukan malam ini. Anak-anak tetap pada keceriaannya menghitung bintang, sementara saya terus dibuat tertegun oleh ucapan dan petuah lelaki pengayuh becak itu. "Anak-anak itu amanah dari Gusti Allah pak, Dia tidak akan mengamanahkannya kepada kita kalau Dia tidak tahu kemampuan kita. Dia tahu persis bahwa lelaki seperti kita mampu dititipkan amanah" kakinya memang mengayuh becak, tapi lidahnya tak henti bertutur indah.
"Malu rasanya kalau kita mengeluh dititipkan amanah ini, wong Gusti Allah pun tahu kemampuan kita toh..." Ya, malu juga saya terhadap bapak. Anehnya beraninya saya bertanya soal rezeki, "Setiap amanah itu memang ada imbalannya pak, lha seperti bapak menumpang becak saya ini, bagi saya bapak dan anak-anak ini adalah amanah saya selama masih di atas becak saya. Tanggungjawab saya adalah mengantarkan bapak ke tempat tujuan, soal saya harus kehujanan dan besoknya sakit, itu bagian dari resiko saya menanggung amanah. Imbalannya, ya setelah bapak turun pasti ngasih uang toh ke saya?..."
Lama saya merenungi kalimatnya, serasa tidak yakin kalimat itu keluar dari bapak tua pengayuh becak. Saya seperti baru saja ditampar-tampar yang menyadarkan diri bahwa Allah tak pernah berdiam diri untuk setiap amanah dan tanggungjawab kemanusiaan yang kita jalani sebaik-baiknya sesuai dengan anjuran-Nya.
Sampailah saya di rumah, entah seberapa banyak anak-anak saya menghitung jumlah bintang yang sebenarnya hanya terlihat sedikit itu karena baru saja turun hujan. Sama seperti saya yang tak tahu harus membayar berapa kepada bapak pengayuh becak itu untuk pelajarannya malam ini.
Bayu Gawtama
"Anaknya berapa pak?" tanya bapak separuh baya itu. "Sementara dua dulu pak, ini pun saya kerepotan," jawab saya sambil menoleh, nampaklah wajah tegar yang menyimpan banyak pengalaman. "Wah, dua sih belum repot pak, anak saya sepuluh..."
Tertegun hati ini, kembali saya menoleh untuk menatap lebih lama wajah yang baru saja menerangkan bahwa anaknya sepuluh. Di benak saya hanya terlukis angka "10" terus menerus memutari seluas jagad benak ini, hati pun bertanya, "sepuluh?" saya bukan tidak percaya dengan kata-katanya yang nampak jujur, justru saya tidak yakin akan kesanggupan saya jika saya diberi amanah sebanyak itu, yang jika ditambah satu isteri berarti ada sebelas amanah.
Mengayuh becak seharian penuh sejak pagi masih menggeliat hingga malam ketika orang seperti saya beranjak ke alam mimpi, sungguh tak pernah masuk di akal saya untuk bisa menanggung amanah seberat itu. Malu juga saya ketika menyatakan, "baru dua pak, ini juga sudah kerepotan". Padahal, setelah saya mengucapkan kalimat itu, langsung disambar pernyataan dari bapak pengayuh becak yang seolah-olah menganggap saya ini cengeng, lemah dan bukan lelaki, ya, karena anaknya sepuluh tapi tak ada satu kalimat pun darinya tentang repotnya mengurus anak.
Dalam perjalanan kembali ke rumah, saya tergumam, seorang guru lagi saya temukan malam ini. Anak-anak tetap pada keceriaannya menghitung bintang, sementara saya terus dibuat tertegun oleh ucapan dan petuah lelaki pengayuh becak itu. "Anak-anak itu amanah dari Gusti Allah pak, Dia tidak akan mengamanahkannya kepada kita kalau Dia tidak tahu kemampuan kita. Dia tahu persis bahwa lelaki seperti kita mampu dititipkan amanah" kakinya memang mengayuh becak, tapi lidahnya tak henti bertutur indah.
"Malu rasanya kalau kita mengeluh dititipkan amanah ini, wong Gusti Allah pun tahu kemampuan kita toh..." Ya, malu juga saya terhadap bapak. Anehnya beraninya saya bertanya soal rezeki, "Setiap amanah itu memang ada imbalannya pak, lha seperti bapak menumpang becak saya ini, bagi saya bapak dan anak-anak ini adalah amanah saya selama masih di atas becak saya. Tanggungjawab saya adalah mengantarkan bapak ke tempat tujuan, soal saya harus kehujanan dan besoknya sakit, itu bagian dari resiko saya menanggung amanah. Imbalannya, ya setelah bapak turun pasti ngasih uang toh ke saya?..."
Lama saya merenungi kalimatnya, serasa tidak yakin kalimat itu keluar dari bapak tua pengayuh becak. Saya seperti baru saja ditampar-tampar yang menyadarkan diri bahwa Allah tak pernah berdiam diri untuk setiap amanah dan tanggungjawab kemanusiaan yang kita jalani sebaik-baiknya sesuai dengan anjuran-Nya.
Sampailah saya di rumah, entah seberapa banyak anak-anak saya menghitung jumlah bintang yang sebenarnya hanya terlihat sedikit itu karena baru saja turun hujan. Sama seperti saya yang tak tahu harus membayar berapa kepada bapak pengayuh becak itu untuk pelajarannya malam ini.
Bayu Gawtama
Tuesday, July 12, 2005
Arti Hadirmu
Dua pekan sudah saya di rumah setelah resign dari kantor tempat saya bekerja. Ada yang hilang dari keputusan yang harus saya ambil dua pekan lalu itu, pertama kehilangan status sebagai orang kantoran, kedua kehilangan saudara-saudara yang sudah sekian tahun bersama dalam keseriusan maupun kelakar, ketiga mungkin juga saya kehilangan banyak kesempatan yang biasa saya dapatkan selama menyandang predikat bukan lelaki pengangguran, dan terakhir yang sudah pasti yakni kehilangan sumber penghasilan tetap.
Dua pekan menyandang status "orang bebas" saya memang kehilangan banyak hal, setidaknya empat hal tersebut diatas. Tapi setelah dua pekan di rumah, saya justru banyak mendapatkan hal baru yang selama ini nyaris saya lupakan, yakni kehangatan dan kedekatan dengan keluarga. "Asiik ... hari ini Abi nggak kerja lagi," begitu riangnya si sulung melihat saya masih di rumah pagi hari saat ia baru saja membuka matanya. Ia, juga adiknya, seperti mendapatkan malaikatnya kembali yang selama ini hanya ia dengar suaranya melalui telepon di hari siang. Yang jarang mereka jumpai di malam hari jika tak memaksakan diri menahan kantuknya hingga pukul sembilan malam. Pun jika terpaksa mata harus terpejam, mereka berharap bertemu lelaki super sibuk ini dalam mimpinya, karena saat terjaga esok pagi, sang malaikat pun telah duduk sibuk di belakang meja kantor. Sebuah ciuman hangat yang senantiasa mampir saat malam dan pagi pun tak pernah mereka sadari.
Pernah suatu hari, saat tak lagi mampu menahan berat matanya si sulung berpesan kepada ibunya, "Kalau Abi pulang, bangunin ya" tentu saja pesan yang diteruskan isteri saya itu membuat mata ini berkaca, meski ibunya pun tak pernah membangunkannya dan membiarkan ia menikmati mimpinya.
Dua pekan sudah saya meninggalkan semua aktivitas harian di kantor, tak terasa begitu banyak waktu yang terlewati bersama makhluk-makhluk manis yang Allah titipkan untuk dijaga sebaik-baiknya. Tapi apa yang saya lakukan? dua pekan ini saya benar-benar merasa bahwa ada hak mereka yang tak terpenuhi, hak untuk menikmati kehadiran sosok lelaki berani tempat mereka berlindung, lelaki tangguh tempat mereka mengadu saat diolok temannya, lelaki tegar tempat mereka menyandarkan kepalanya ketika sedih, lelaki sejati yang kan mengusap perih lukanya dan membasuh air mata mereka dengan jari tangannya.
Sebagai lelaki, tugas saya memang mencari nafkah. Sebagai Ayah, sudah lazim jika saya mengukur jalanan seharian demi menjamin keluarga tetap memperoleh asupan energi. Tapi bukan berarti saya bebas mengabaikan kebutuhan mereka akan kehadiran sosok lelaki yang semestinya memberikan kekuatan penuh, melengkapi separuh kekuatan yang mereka peroleh dari ibunya. Semestinya pula saya menjamin energi cinta dari seorang Ayah terhadap anak-anak tetap terpenuhi. Bukankah energi cinta tak pernah tersebandingkan dengan berapa pun uang yang saya berikan?
Suatu hari ketika masih di kantor, saya mendapat telepon dari rumah yang mengkabarkan bahwa si bungsu menangis kesakitan ketika terjatuh saat belajar naik sepeda. Tahukah apa yang membuat hati ini begitu miris? karena yang disebutnya saat menangis adalah nama saya, yang dipanggilnya ketika meringis juga nama saya, dengan demikian ia begitu berharap saya lah yang mengangkatnya saat ia jatuh, yang membasuh lukanya kemudian memeluknya dengan penuh cinta.
Saya tak ingin kembali merasakan kemirisan yang sama saat ini dan senantiasa memaksimalkan kehadiran saya untuk mereka. Bukan soal lima menit atau lima puluh tahun saya bersama mereka, tapi terpenting dari soal waktu adalah seberapa dalam makna hadir saya untuk mereka. Tidakkah Anda juga demikian?
Bayu Gawtama
Dua pekan menyandang status "orang bebas" saya memang kehilangan banyak hal, setidaknya empat hal tersebut diatas. Tapi setelah dua pekan di rumah, saya justru banyak mendapatkan hal baru yang selama ini nyaris saya lupakan, yakni kehangatan dan kedekatan dengan keluarga. "Asiik ... hari ini Abi nggak kerja lagi," begitu riangnya si sulung melihat saya masih di rumah pagi hari saat ia baru saja membuka matanya. Ia, juga adiknya, seperti mendapatkan malaikatnya kembali yang selama ini hanya ia dengar suaranya melalui telepon di hari siang. Yang jarang mereka jumpai di malam hari jika tak memaksakan diri menahan kantuknya hingga pukul sembilan malam. Pun jika terpaksa mata harus terpejam, mereka berharap bertemu lelaki super sibuk ini dalam mimpinya, karena saat terjaga esok pagi, sang malaikat pun telah duduk sibuk di belakang meja kantor. Sebuah ciuman hangat yang senantiasa mampir saat malam dan pagi pun tak pernah mereka sadari.
Pernah suatu hari, saat tak lagi mampu menahan berat matanya si sulung berpesan kepada ibunya, "Kalau Abi pulang, bangunin ya" tentu saja pesan yang diteruskan isteri saya itu membuat mata ini berkaca, meski ibunya pun tak pernah membangunkannya dan membiarkan ia menikmati mimpinya.
Dua pekan sudah saya meninggalkan semua aktivitas harian di kantor, tak terasa begitu banyak waktu yang terlewati bersama makhluk-makhluk manis yang Allah titipkan untuk dijaga sebaik-baiknya. Tapi apa yang saya lakukan? dua pekan ini saya benar-benar merasa bahwa ada hak mereka yang tak terpenuhi, hak untuk menikmati kehadiran sosok lelaki berani tempat mereka berlindung, lelaki tangguh tempat mereka mengadu saat diolok temannya, lelaki tegar tempat mereka menyandarkan kepalanya ketika sedih, lelaki sejati yang kan mengusap perih lukanya dan membasuh air mata mereka dengan jari tangannya.
Sebagai lelaki, tugas saya memang mencari nafkah. Sebagai Ayah, sudah lazim jika saya mengukur jalanan seharian demi menjamin keluarga tetap memperoleh asupan energi. Tapi bukan berarti saya bebas mengabaikan kebutuhan mereka akan kehadiran sosok lelaki yang semestinya memberikan kekuatan penuh, melengkapi separuh kekuatan yang mereka peroleh dari ibunya. Semestinya pula saya menjamin energi cinta dari seorang Ayah terhadap anak-anak tetap terpenuhi. Bukankah energi cinta tak pernah tersebandingkan dengan berapa pun uang yang saya berikan?
Suatu hari ketika masih di kantor, saya mendapat telepon dari rumah yang mengkabarkan bahwa si bungsu menangis kesakitan ketika terjatuh saat belajar naik sepeda. Tahukah apa yang membuat hati ini begitu miris? karena yang disebutnya saat menangis adalah nama saya, yang dipanggilnya ketika meringis juga nama saya, dengan demikian ia begitu berharap saya lah yang mengangkatnya saat ia jatuh, yang membasuh lukanya kemudian memeluknya dengan penuh cinta.
Saya tak ingin kembali merasakan kemirisan yang sama saat ini dan senantiasa memaksimalkan kehadiran saya untuk mereka. Bukan soal lima menit atau lima puluh tahun saya bersama mereka, tapi terpenting dari soal waktu adalah seberapa dalam makna hadir saya untuk mereka. Tidakkah Anda juga demikian?
Bayu Gawtama
Thursday, July 07, 2005
Senyum Itu Kekuatan
Ada resah yang menggebu menyeruak di seluruh relung hati ini tatkala harus membawa pulang sebuah kabar yang saya pun berat menggenggamnya terus menerus dalam hati sepanjang perjalanan dari kantor menuju rumah. Sebuah kabar yang saya pastikan akan membuat sebongkah hati di rumah juga ikut menggebu. Berat, tapi saya memang harus menyampaikannya secara utuh kabar tersebut, tanpa menambahi apalagi menguranginya sedikit pun.
Sepanjang perjalanan saya pun membayangkan wajah manis di rumah sekilat berubah muram, penuh tanya yang kemudian seribu tanya itu kan menghujam wajah saya yang justru masih sibuk mencari jawab yang tak pasti. Kabar itu, berupa sebuah keputusan yang harus saya ambil segera, tetap bekerja atau mengundurkan diri dari kantor tempat saya bekerja saat ini. Sebuah kabar yang tidak semua isteri bisa menerimanya dengan ikhlas, dan keyakinan itu juga yang membuat saya resah sepanjang jalan membayangkan ketidakikhlasan isteri akan keputusan yang akan saya ambil. Karena ternyata, jauh di lubuk hati ini sudah tersimpan sebuah keputusan, bahwa saya memang harus mengundurkan diri.
Bagaimana pun muramnya wajah isteri kelak saya harus tetap menatapnya, semerah apa pun hatinya mendengar keputusan saya nanti, tugas saya adalah mendinginkannya, menenangkan dan membuatnya nyaman adalah tugas maha berat setelah keputusan ini saya ambil. Padahal, membuat keputusan ini pun sedemikian melelahkannya bagi saya, habis sudah energi ini terkuras untuk mencipta keputusan; tetap atau mundur.
Sampailah diri di rumah, walau hati enggan sekali sampai di rumah tak kuasa membayangkan perang dunia macam apa yang kan terjadi. Saya biarkan semua berlangsung, kecupan hangat penyambut kepulangan, tawa ceria anak-anak mendapati tulang punggung keluarga kembali tanpa kurang satu apa pun, bertubi-tubi kecupan sayang pun menyambar dari mulut-mulut kecil itu.
Sejenak sebelum malam menghabiskan waktunya, di sisa-sisa kekuatan mata menahan jaga lidah pun berucap perlahan menyampaikan kabar yang sejak siang tergenggam erat dalam hati. Tapi, tidak ada wajah muram, ia tetap manis seperti biasa, bahkan di tengah kegalauan hati ini menyampaikan keputusan itu wajah tenangnya semakin lah manis. Tidak ada hati mendidih dan bergejolak menerima kabar yang semula saya kira kan menciptakan perang dunia ke seribu. "Abang lebih tahu yang terbaik buat keluarga" Langit mendung pun tertutupi hamparan senyumnya malam itu.
Sungguh, energi ini telah terkuras habis untuk mengambil keputusan yang sulit ini. Bahkan saya nyaris tak percaya masih tersisa cukup kekuatan untuk menampung amarah dan ketidakrelaan isteri menerima keputusan yang saya buat. Tapi senyumnya malam itu, sungguh menjadi kekuatan sendiri dan mengembalikan kepercayaan diri yang teramat dahsyat bahwa Saya masih akan hidup seribut tahun lagi. Seandainya saya diberi usia seribu tahun pun takkan pernah sanggup menjalaninya tanpa sumber kekuatan berupa senyum ikhlas dari orang tercinta, yang mendukung penuh dan percaya seutuhnya bahwa lelaki tangguh ini akan melakukan yang terbaik untuk keluarganya.
***
Bukankah manusia paling mulia sepanjang sejarah manusia di muka bumi ini kerap membalas hinaan dan penindasan dengan senyum? tidakkah sahabat-sahabat mulianya juga senantiasa menerima setiap kesulitan dengan senyum? Karena mereka sadar, senyum adalah lambang kekuatan, senyum dapat membantu meringankan seberat apa pun ujian yang menimpa.
Langit memang mendung malam itu, tapi hati ini tak lagi mendung hingga detik ini karena senyum yang memberikan kekuatan penuh itu. Tak lupa diri pun membalas senyumnya sebelum ia terpejam disambut mimpi.
Bayu Gawtama
Sepanjang perjalanan saya pun membayangkan wajah manis di rumah sekilat berubah muram, penuh tanya yang kemudian seribu tanya itu kan menghujam wajah saya yang justru masih sibuk mencari jawab yang tak pasti. Kabar itu, berupa sebuah keputusan yang harus saya ambil segera, tetap bekerja atau mengundurkan diri dari kantor tempat saya bekerja saat ini. Sebuah kabar yang tidak semua isteri bisa menerimanya dengan ikhlas, dan keyakinan itu juga yang membuat saya resah sepanjang jalan membayangkan ketidakikhlasan isteri akan keputusan yang akan saya ambil. Karena ternyata, jauh di lubuk hati ini sudah tersimpan sebuah keputusan, bahwa saya memang harus mengundurkan diri.
Bagaimana pun muramnya wajah isteri kelak saya harus tetap menatapnya, semerah apa pun hatinya mendengar keputusan saya nanti, tugas saya adalah mendinginkannya, menenangkan dan membuatnya nyaman adalah tugas maha berat setelah keputusan ini saya ambil. Padahal, membuat keputusan ini pun sedemikian melelahkannya bagi saya, habis sudah energi ini terkuras untuk mencipta keputusan; tetap atau mundur.
Sampailah diri di rumah, walau hati enggan sekali sampai di rumah tak kuasa membayangkan perang dunia macam apa yang kan terjadi. Saya biarkan semua berlangsung, kecupan hangat penyambut kepulangan, tawa ceria anak-anak mendapati tulang punggung keluarga kembali tanpa kurang satu apa pun, bertubi-tubi kecupan sayang pun menyambar dari mulut-mulut kecil itu.
Sejenak sebelum malam menghabiskan waktunya, di sisa-sisa kekuatan mata menahan jaga lidah pun berucap perlahan menyampaikan kabar yang sejak siang tergenggam erat dalam hati. Tapi, tidak ada wajah muram, ia tetap manis seperti biasa, bahkan di tengah kegalauan hati ini menyampaikan keputusan itu wajah tenangnya semakin lah manis. Tidak ada hati mendidih dan bergejolak menerima kabar yang semula saya kira kan menciptakan perang dunia ke seribu. "Abang lebih tahu yang terbaik buat keluarga" Langit mendung pun tertutupi hamparan senyumnya malam itu.
Sungguh, energi ini telah terkuras habis untuk mengambil keputusan yang sulit ini. Bahkan saya nyaris tak percaya masih tersisa cukup kekuatan untuk menampung amarah dan ketidakrelaan isteri menerima keputusan yang saya buat. Tapi senyumnya malam itu, sungguh menjadi kekuatan sendiri dan mengembalikan kepercayaan diri yang teramat dahsyat bahwa Saya masih akan hidup seribut tahun lagi. Seandainya saya diberi usia seribu tahun pun takkan pernah sanggup menjalaninya tanpa sumber kekuatan berupa senyum ikhlas dari orang tercinta, yang mendukung penuh dan percaya seutuhnya bahwa lelaki tangguh ini akan melakukan yang terbaik untuk keluarganya.
***
Bukankah manusia paling mulia sepanjang sejarah manusia di muka bumi ini kerap membalas hinaan dan penindasan dengan senyum? tidakkah sahabat-sahabat mulianya juga senantiasa menerima setiap kesulitan dengan senyum? Karena mereka sadar, senyum adalah lambang kekuatan, senyum dapat membantu meringankan seberat apa pun ujian yang menimpa.
Langit memang mendung malam itu, tapi hati ini tak lagi mendung hingga detik ini karena senyum yang memberikan kekuatan penuh itu. Tak lupa diri pun membalas senyumnya sebelum ia terpejam disambut mimpi.
Bayu Gawtama
Monday, July 04, 2005
Yang Tak Terungkap
"Inikah cara Akang menyatakan ketidaktertarikan kepada saya?" Duh, entah kenapa saya masih tak mampu melupakan kalimat itu. Padahal, kalimat itu diucapkan pemilik suara itu lebih dari lima tahun yang lalu. Tapi setiap kali mengingat kalimat itu hati ini menjadi miris, karena hingga hari ini tak sepatah kata pun keluar dari mulut saya untuk memberikan penjelasan kepadanya tentang sikap saya.
Kira-kira enam tahun yang lalu, seorang sahabat wanita saya hendak mencarikan jodoh untuk sahabatnya. Sungguh kaget ketika dia menawarkan saya untuk mau dijodohkan dengan sahabatnya itu. Karena saya mengenal sahabatnya itu sebagai wanita baik, cerdas dan, shalihah, maka saya pun mengiyakan untuk perkenalan lebih dekat.
Perlu waktu bagi saya dan gadis itu untuk saling mengenal, namun jarak yang cukup jauh membuat komunikasi kami sedikit terhambat. Praktis hanya lewat suratlah sarana komunikasi yang terjalin, selain ketika jika kebetulan ia pulang kampung saat liburan kuliah. Tetapi karena sejak awal saya sangat yakin bahwa ia gadis yang baik, tidak ada keraguan sedikit pun bagi saya untuk meneruskan proses ini. Pun waktu yang saya butuhkan, hanya untuk memantapkan langkah saja.
Dalam masa perkenalan lebih dalam yang hanya melalui surat menyurat itu, seorang sahabat saya datang untuk menyampaikan maksud hatinya. Ia, seorang pria sederhana dengan cinta yang sederhana. "Bisakah Anda membantu saya agar saya diperkenalkan dengan si X?" Sebelumnya saya masih belum berpikir apa pun sampai ia mengutarakan kalimat berikutnya, "Sudah waktunya saya menikah, dan saya melihat si X adalah gadis yang tepat untuk saya".
Gadis X yang dimaksud adalah wanita baik, shalihah dan cerdas yang selama beberapa bulan ini menjalin komunikasi lewat surat karena jarak yang lumayan jauh. Gadis itu, gadis sederhana yang pasti disukai banyak pria dengan kelembutan sikap dan kehalusan akhlaknya. Sudah barang tentu, sahabat saya pun menghendakinya.
"Insya Allah, saya bantu," getir bibir saya mengucapkannya, ada yang kelu di lidah ini saat kalimat pendek itu mengalir ke telinga sahabat saya dan membuatnya tersenyum. Ia tahu, bahwa saya kenal dekat dengan gadis yang dikehendakinya, meski ia tak pernah tahu bahwa gadis itu tengah bersiap untuk dipersunting oleh saya.
Saya bimbang, saya menyukainya dan saya kira dia akan menjadi isteri yang baik. Tapi di sisi lain, sahabat saya menginginkannya. Dalam suatu kesempatan, saya menitip surat lewat sahabatnya yang lain untuk bisa bertemu dengannya, saya menunggu di waktu yang sudah saya janjikan, tapi lama saya menunggu ia tak juga datang. Saya tidak tahu apa yang terjadi, tak sampaikah surat saya?
Akhirnya, saya pun memfasilitasi pertemuan sahabat saya dengan gadis itu. Ada tatapan mata yang kosong dari gadis itu saat menatap saya, saya bisa berkaca dengan jelas di bening matanya yang menahan tangis. Saya tahu, ia memendam gemuruh dalam dadanya, tapi tahukah ia bahwa saya memiliki gemuruh yang sama? dan dua gemuruh itu tak pernah terdengar di telinga sahabat saya hingga akhirnya mereka menikah.
Setelah hari pertemuan itu, sebuah surat datang ke rumah, "Inikah cara Akang menyatakan ketidaktertarikan kepada saya?" Dan surat itu tak pernah terjawab hingga hari ini. "Maafkan saya dik, biarkan ini menjadi kenangan"
Bayu Gawtama
cubitan lembut mampir di pinggang saat isteri saya mendengar kisah ini
Kira-kira enam tahun yang lalu, seorang sahabat wanita saya hendak mencarikan jodoh untuk sahabatnya. Sungguh kaget ketika dia menawarkan saya untuk mau dijodohkan dengan sahabatnya itu. Karena saya mengenal sahabatnya itu sebagai wanita baik, cerdas dan, shalihah, maka saya pun mengiyakan untuk perkenalan lebih dekat.
Perlu waktu bagi saya dan gadis itu untuk saling mengenal, namun jarak yang cukup jauh membuat komunikasi kami sedikit terhambat. Praktis hanya lewat suratlah sarana komunikasi yang terjalin, selain ketika jika kebetulan ia pulang kampung saat liburan kuliah. Tetapi karena sejak awal saya sangat yakin bahwa ia gadis yang baik, tidak ada keraguan sedikit pun bagi saya untuk meneruskan proses ini. Pun waktu yang saya butuhkan, hanya untuk memantapkan langkah saja.
Dalam masa perkenalan lebih dalam yang hanya melalui surat menyurat itu, seorang sahabat saya datang untuk menyampaikan maksud hatinya. Ia, seorang pria sederhana dengan cinta yang sederhana. "Bisakah Anda membantu saya agar saya diperkenalkan dengan si X?" Sebelumnya saya masih belum berpikir apa pun sampai ia mengutarakan kalimat berikutnya, "Sudah waktunya saya menikah, dan saya melihat si X adalah gadis yang tepat untuk saya".
Gadis X yang dimaksud adalah wanita baik, shalihah dan cerdas yang selama beberapa bulan ini menjalin komunikasi lewat surat karena jarak yang lumayan jauh. Gadis itu, gadis sederhana yang pasti disukai banyak pria dengan kelembutan sikap dan kehalusan akhlaknya. Sudah barang tentu, sahabat saya pun menghendakinya.
"Insya Allah, saya bantu," getir bibir saya mengucapkannya, ada yang kelu di lidah ini saat kalimat pendek itu mengalir ke telinga sahabat saya dan membuatnya tersenyum. Ia tahu, bahwa saya kenal dekat dengan gadis yang dikehendakinya, meski ia tak pernah tahu bahwa gadis itu tengah bersiap untuk dipersunting oleh saya.
Saya bimbang, saya menyukainya dan saya kira dia akan menjadi isteri yang baik. Tapi di sisi lain, sahabat saya menginginkannya. Dalam suatu kesempatan, saya menitip surat lewat sahabatnya yang lain untuk bisa bertemu dengannya, saya menunggu di waktu yang sudah saya janjikan, tapi lama saya menunggu ia tak juga datang. Saya tidak tahu apa yang terjadi, tak sampaikah surat saya?
Akhirnya, saya pun memfasilitasi pertemuan sahabat saya dengan gadis itu. Ada tatapan mata yang kosong dari gadis itu saat menatap saya, saya bisa berkaca dengan jelas di bening matanya yang menahan tangis. Saya tahu, ia memendam gemuruh dalam dadanya, tapi tahukah ia bahwa saya memiliki gemuruh yang sama? dan dua gemuruh itu tak pernah terdengar di telinga sahabat saya hingga akhirnya mereka menikah.
Setelah hari pertemuan itu, sebuah surat datang ke rumah, "Inikah cara Akang menyatakan ketidaktertarikan kepada saya?" Dan surat itu tak pernah terjawab hingga hari ini. "Maafkan saya dik, biarkan ini menjadi kenangan"
Bayu Gawtama
cubitan lembut mampir di pinggang saat isteri saya mendengar kisah ini
Subscribe to:
Posts (Atom)