Cukup lama waktu yang saya butuhkan untuk mengembalikan kepercayaan diri setelah keterpurukan diri yang membuat garis hitam dalam catatan sejarah hidup saya. Catatan sejarah hitam yang tidak akan pernah bisa terhapus meski banyak air sudah yang keluar dari sudut mata, meski banyak doa yang saya harap bisa meringankan beban yang teramat berat menanggung malu dan dosa masa lalu.
Saat merasa seperti sendiri, saya menjelajahi bumi mencoba menemukan seseorang yang bisa membantu. Saya datangi seorang guru untuk menceritakan semua gundah. Ia yang dengan penuh kesabaran mendengarkan hingga huruf terakhir terucap dari lidah ini. Kemudian ia menulis beberapa kalimat dalam secarik kertas. "Bawa surat ini ke Masjid, temui anak-anak muda disana" hanya itu kalimat penutupnya.
Selepas maghrib, saya pun bergegas menuju tempat yang ditunjuk. Perlahan, malu dan merasa kotor diri ini untuk memasuki masjid, dan seketika saya merasa diri ini tidaklah berharga saat melihat wajah-wajah bersih, sebagian besar wanitanya menutup kepala mereka dengan jilbab, apalah diri ini. "Mari masuk, selamat datang. Kehadiran Anda sangat kami nantikan disini" Sungguh sebaris kalimat yang sangat hangat terdengar.
Sejenak hati ini terpaku merasakan sentuhan persahabatan yang luar biasa dari tatapan, sapaan dan tangan terbuka dari semua yang berada di dalam masjid. Terlebih ketika seorang dari mereka, merangkul pundak saya, "Inilah kami, sebuah keluarga besar yang akan juga menjadi keluarga Anda." Saya seperti baru saja mendapat peluk cium dan kehangatan yang luar biasa, nyaris menandingi kasih yang selama ini saya terima dari ibu. Ada keluarga baru disini, sahabat-sahabat baru dengan senyum dan sapa cintanya.
Hari-hari sesudah itu membantu saya melupakan masa lalu, meringankan beban menanggung dosa masa lalu yang benar-benar tidak pernah bisa hilang dari kenangan. Sahabat-sahabat baru itu seolah tengah membantu saya mengangkat beban yang teramat berat meski hanya dengan senyum, tepukan di punggung atau menyediakan telinga mereka untuk tempat saya membuang sampah mulut ini. Ya, karena kadang yang saya bicarakan kepada mereka bisa jadi tak penting bagi mereka, tapi sungguh telinga mereka tetap tersedia untuk kisah-kisah tak penting saya.
***
Dimana pun saya berada, kemana pun saya pergi, satu yang terpenting untuk saya temukan, yakni sebuah kekayaan bernama sahabat. Tidak seorang pun yang paling beruntung di dunia ini melainkan ia yang memiliki sahabat. Karena sahabat ada, untuk mereka yang terluka, untuk mereka yang tengah memikul berat beban, untuk menghapus air mata yang berduka, membantu seseorang berdiri dari keterpurukan dan menyediakan sayapnya untuk terbang bersama.
Akhirnya, sampailah saya pada satu kepastian hakikat, bahwa sahabat adalah kekayaan sebenarnya. Hilang satu, miskinlah sudah. Bertambah satu, semakin beruntunglah. Terima kasih untuk semua sahabat, Anda adalah kekayaan saya sebenarnya.
Bayu Gawtama
Anak Betawi yang Keliling Dunia Lewat Blog
Kate siape anak Betawi kagak bise maju? siape kate anak Betawi pade males dan banyak nyang jadi pengangguran? Bukan maksud nyombong atawe unjuk gigi, aye cuma ngasih tau kalo kagak semue anak Betawi kayak nyang ente kire...
Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...
Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...
Thursday, June 30, 2005
Monday, June 27, 2005
Seseorang dari Masa Lalu
Suatu kali saya diminta oleh beberapa pengurus remaja masjid untuk memberikan materi dalam salah satu acara kajian di masjid mereka. Ketika mereka menyebutkan lokasi acaranya, saya teringat seseorang dari masa lalu yang ingin sekali saya melupakannya. Jelas saya hapal sekali lokasi masjid yang disebutkan itu, karena belasan tahun silam saya sering berkunjung ke sana, bukan ke masjidnya, melainkan ke rumah seorang teman untuk main dan bermalam.
Ketika pengurus masjid itu menyebutkan lokasi acara, saya sempat ragu untuk menyatakan kesediaan saya memberikan materi dalam kajian bertema kerohanian tersebut. Saya hanya khawatir jika nanti di jalan menuju lokasi berpapasan dengannya. Padahal sudah lama saya memendam namanya, membuang jauh-jauh semua episode kehidupan yang pernah saya jalani bersamanya, menghapus segala kenangan yang pernah dilewati bersama, karena semua itu kerap membuat saya menangis menyesali masa lalu, masa lalu yang pernah hampir membunuh masa depan saya.
Bersamanya, saya telah pernah menjalani fase hitam dalam kehidupan ini. Dengannya, juga teman-teman lainnya kami pernah menggelar sebuah pesta bersama yang hampir semua minuman yang tersedia adalah minuman keras beralkohol, sebagian asap yang mengepul di ruangan itu juga bukan asap sembarangan yang biasa dijual di toko. Hari-hari berikutnya selama beberapa tahun juga saya jalani bersamanya dengan aksi kriminal kecil yang hasilnya pun kami gunakan untuk membeli minuman keras dan beberapa obat terlarang. Inilah fase hitam yang saya maksud, fase di masa lalu yang benar-benar ingin saya lupakan.
Ternyata saya tak pernah bisa menghapus semua kenangan itu, karenanya ketika hari disaat saya akan memberikan materi kajian di masjid yang lokasinya sangat saya hapal itu, saya berharap cemas agar tak bertemu dengannya di perjalanan. Saya bahkan khawatir ia melihat saya memasuki masjid, karena ia tahu persis, belasan tahun silam, suara panggilan sholat dari masjid itu adalah suara yang paling tidak kami gubris.
Bersyukur saya, sampai di dalam masjid saya tak bertemu dengannya, saya tak tahu harus menjawab apa kalau saja ia tahu saya berada di masjid itu untuk memberikan materi kajian kerohanian. Pasti, lidah saya kelu saat bertatapan dengannya, kelu dan tercekat disebabkan kekhawatiran ia kan bersaksi bahwa orang yang akan memberikan materi kajian adalah orang yang pernah bersamanya dalam fase kegelapan, di sini, tak jauh dari masjid ini.
Kurang dari setengah jam, masjid penuh dengan jama'ah yang kesemuanya orang-orang muda dan remaja. Seorang panitia membuka acara dan tak lama kemudian mempersilahkan saya untuk memulai kajian. "Assalaamu'alaikum..." baru saja kalimat itu terucap, bibir saya pun bergetar, saya menelan ludah yang tiba-tiba kering begitu mata saya menangkap sesosok wajah putih bersih di depan saya. Ia tersenyum manis, matanya bening dan rambutnya tersisir rapih serta berbaju gamis putih.
Saya nyaris tak sanggup melanjutkan kata-kata untuk memulai kajian itu. Lidah ini kelu mendapatkan tatapan penuh persahabatan dari si empunya wajah berseri itu. Dia, seseorang dari masa lalu yang selama ini sangat ingin saya melupakannya. Saya memang tak bertemu dengannya di perjalanan, ia juga tak melihat saya ketika masuk ke masjid. Tapi, justru saya melihatnya duduk dengan anggun di jajaran terdepan jamaah yang akan mengikuti kajian itu.
Tersenyumlah ia seraya mengangkat ibu jarinya ke arah saya. Beruntunglah saya bukan saya yang dulu lagi, karena seseorang dari masa lalu saya itu juga bukan dia yang dulu lagi. Allah Maha membolak-balikkan hati manusia.
Bayu Gawtama
Ketika pengurus masjid itu menyebutkan lokasi acara, saya sempat ragu untuk menyatakan kesediaan saya memberikan materi dalam kajian bertema kerohanian tersebut. Saya hanya khawatir jika nanti di jalan menuju lokasi berpapasan dengannya. Padahal sudah lama saya memendam namanya, membuang jauh-jauh semua episode kehidupan yang pernah saya jalani bersamanya, menghapus segala kenangan yang pernah dilewati bersama, karena semua itu kerap membuat saya menangis menyesali masa lalu, masa lalu yang pernah hampir membunuh masa depan saya.
Bersamanya, saya telah pernah menjalani fase hitam dalam kehidupan ini. Dengannya, juga teman-teman lainnya kami pernah menggelar sebuah pesta bersama yang hampir semua minuman yang tersedia adalah minuman keras beralkohol, sebagian asap yang mengepul di ruangan itu juga bukan asap sembarangan yang biasa dijual di toko. Hari-hari berikutnya selama beberapa tahun juga saya jalani bersamanya dengan aksi kriminal kecil yang hasilnya pun kami gunakan untuk membeli minuman keras dan beberapa obat terlarang. Inilah fase hitam yang saya maksud, fase di masa lalu yang benar-benar ingin saya lupakan.
Ternyata saya tak pernah bisa menghapus semua kenangan itu, karenanya ketika hari disaat saya akan memberikan materi kajian di masjid yang lokasinya sangat saya hapal itu, saya berharap cemas agar tak bertemu dengannya di perjalanan. Saya bahkan khawatir ia melihat saya memasuki masjid, karena ia tahu persis, belasan tahun silam, suara panggilan sholat dari masjid itu adalah suara yang paling tidak kami gubris.
Bersyukur saya, sampai di dalam masjid saya tak bertemu dengannya, saya tak tahu harus menjawab apa kalau saja ia tahu saya berada di masjid itu untuk memberikan materi kajian kerohanian. Pasti, lidah saya kelu saat bertatapan dengannya, kelu dan tercekat disebabkan kekhawatiran ia kan bersaksi bahwa orang yang akan memberikan materi kajian adalah orang yang pernah bersamanya dalam fase kegelapan, di sini, tak jauh dari masjid ini.
Kurang dari setengah jam, masjid penuh dengan jama'ah yang kesemuanya orang-orang muda dan remaja. Seorang panitia membuka acara dan tak lama kemudian mempersilahkan saya untuk memulai kajian. "Assalaamu'alaikum..." baru saja kalimat itu terucap, bibir saya pun bergetar, saya menelan ludah yang tiba-tiba kering begitu mata saya menangkap sesosok wajah putih bersih di depan saya. Ia tersenyum manis, matanya bening dan rambutnya tersisir rapih serta berbaju gamis putih.
Saya nyaris tak sanggup melanjutkan kata-kata untuk memulai kajian itu. Lidah ini kelu mendapatkan tatapan penuh persahabatan dari si empunya wajah berseri itu. Dia, seseorang dari masa lalu yang selama ini sangat ingin saya melupakannya. Saya memang tak bertemu dengannya di perjalanan, ia juga tak melihat saya ketika masuk ke masjid. Tapi, justru saya melihatnya duduk dengan anggun di jajaran terdepan jamaah yang akan mengikuti kajian itu.
Tersenyumlah ia seraya mengangkat ibu jarinya ke arah saya. Beruntunglah saya bukan saya yang dulu lagi, karena seseorang dari masa lalu saya itu juga bukan dia yang dulu lagi. Allah Maha membolak-balikkan hati manusia.
Bayu Gawtama
Friday, June 24, 2005
Sesal Hingga Pagi
Sungguh, semalam adalah penyesalan yang teramat pedih. Saya membiarkan seorang wanita bersebelah kaki bertopang dua tongkat berjalan lumayan jauh dari tempat ia turun dari angkot. Begini, saya menyetop angkot dan sebelum naik terlebih dulu bertanya ke sopir apakah mobil ini akan belok di ujung gang atau lurus, "belok," jawab sang sopir. Maka naiklah saya dan duduk di sebelah sopir tanpa memperhatikan beberapa penumpang di belakang.
Dua menit berselang, "Ya, ini mobil nggak lurus ya bang?" tanya seorang wanita di belakang. "Ya saya harus jalan donk..." suaranya terdengar lesu. Terperangahlah saya, terbelalak mata ini, dan runtuh seketika dada saya segera melihat wanita yang turun. Sulit ia menghulurkan tangannya untuk memberikan ongkos angkot karena satu tangannya erat memegang tongkat. "Bang, kalau begitu lurus saja, kasihan kalau ibu ini harus jalan," pinta saya segera. Tapi, "Wah, saya inginnya belok bang," beberapa suara di belakang.
"Sudahlah, nggak apa-apa saya masih bisa jalan kok," wanita dengan sebelah kaki itu pun mengalah. Saya menatapnya pedih, bahkan ketika mobil angkot berjalan pun saya tak bisa memalingkan pandangan saya darinya. Pelan setengah berbisik saya berkata padanya, "Maaf..." Meski saya tahu, hanya angin yang mendengar maaf saya.
Benar-benar malam yang mencekam, bukan karena hujan dan guntur yang tak hentinya. Tapi gemuruh di dada inilah penyebabnya, betapa saya tak mampu berbuat apa pun untuk mengubah keputusan sopir angkot untuk memutar arahnya melewati tujuan ibu muda yang saat berjalan pun terlihat lamban bersangga dua tongkat di pangkal lengannya. Padahal, jika angkot itu tidak berbelok dan mengambil jalan lurus pun saya hanya rugi waktu tak lebih dari sepuluh menit, toh akhirnya tujuan akhirnya tetap sama. Memang jika mengambil arah lurus, mobil harus memutar lebih jauh. Tapi, hanya sepuluh menit?
Tentu saja sulit mata ini terpejam karena bayang wanita bersebelah kaki itu terus menerus melintas, terbayang betapa menderitanya ia hanya karena ulah saya dan beberapa penumpang di belakang yang berkeras mempertahankan waktu yang tidak lebih dari sepuluh menit. Bukankah saya dan empat penumpang lainnya masih sehat dan memiliki kaki yang lengkap? Bagaimana jika saya menjadi dirinya yang hanya bersebelah kaki? Marahkah saya kepada semua penumpang itu?
"Ya Allah, jangan biarkan ia marah dan mengadukannya kepada-Mu. Sungguh saya tak bermaksud membuatnya tidak ridha atas perlakuan saya, menyesal hamba atas kelemahan ini, tapi jangan jadikan derita wanita bersebelah kaki itu sebagai alasan Engkau menghukum hamba." Menangis saya dalam sujud panjang tengah malam tadi.
Hingga pagi ini, rasa bersalah itu masih saja terasa. Sesal sejak semalam tak mau pergi begitu saja, mungkinkah ini pengganti derita sebelah kaki wanita yang semalam harus menahan berat tubuhnya berjalan puluhan meter? Saya yang sehat seringkali tidak bersyukur dengan apa yang saya miliki. Sementara orang yang lemah lebih sering bersyukurnya. Ah, makin pedihlah hati ini.
Bayu Gawtama
Dua menit berselang, "Ya, ini mobil nggak lurus ya bang?" tanya seorang wanita di belakang. "Ya saya harus jalan donk..." suaranya terdengar lesu. Terperangahlah saya, terbelalak mata ini, dan runtuh seketika dada saya segera melihat wanita yang turun. Sulit ia menghulurkan tangannya untuk memberikan ongkos angkot karena satu tangannya erat memegang tongkat. "Bang, kalau begitu lurus saja, kasihan kalau ibu ini harus jalan," pinta saya segera. Tapi, "Wah, saya inginnya belok bang," beberapa suara di belakang.
"Sudahlah, nggak apa-apa saya masih bisa jalan kok," wanita dengan sebelah kaki itu pun mengalah. Saya menatapnya pedih, bahkan ketika mobil angkot berjalan pun saya tak bisa memalingkan pandangan saya darinya. Pelan setengah berbisik saya berkata padanya, "Maaf..." Meski saya tahu, hanya angin yang mendengar maaf saya.
Benar-benar malam yang mencekam, bukan karena hujan dan guntur yang tak hentinya. Tapi gemuruh di dada inilah penyebabnya, betapa saya tak mampu berbuat apa pun untuk mengubah keputusan sopir angkot untuk memutar arahnya melewati tujuan ibu muda yang saat berjalan pun terlihat lamban bersangga dua tongkat di pangkal lengannya. Padahal, jika angkot itu tidak berbelok dan mengambil jalan lurus pun saya hanya rugi waktu tak lebih dari sepuluh menit, toh akhirnya tujuan akhirnya tetap sama. Memang jika mengambil arah lurus, mobil harus memutar lebih jauh. Tapi, hanya sepuluh menit?
Tentu saja sulit mata ini terpejam karena bayang wanita bersebelah kaki itu terus menerus melintas, terbayang betapa menderitanya ia hanya karena ulah saya dan beberapa penumpang di belakang yang berkeras mempertahankan waktu yang tidak lebih dari sepuluh menit. Bukankah saya dan empat penumpang lainnya masih sehat dan memiliki kaki yang lengkap? Bagaimana jika saya menjadi dirinya yang hanya bersebelah kaki? Marahkah saya kepada semua penumpang itu?
"Ya Allah, jangan biarkan ia marah dan mengadukannya kepada-Mu. Sungguh saya tak bermaksud membuatnya tidak ridha atas perlakuan saya, menyesal hamba atas kelemahan ini, tapi jangan jadikan derita wanita bersebelah kaki itu sebagai alasan Engkau menghukum hamba." Menangis saya dalam sujud panjang tengah malam tadi.
Hingga pagi ini, rasa bersalah itu masih saja terasa. Sesal sejak semalam tak mau pergi begitu saja, mungkinkah ini pengganti derita sebelah kaki wanita yang semalam harus menahan berat tubuhnya berjalan puluhan meter? Saya yang sehat seringkali tidak bersyukur dengan apa yang saya miliki. Sementara orang yang lemah lebih sering bersyukurnya. Ah, makin pedihlah hati ini.
Bayu Gawtama
Wednesday, June 22, 2005
Jejak yang Tertinggal
Saat masih aktif di pecinta alam, saya senang meninggalkan jejak berupa tulisan, "Gaw pernah berdiri disini", menancapkan bendera atau apa pun untuk memberitahu kepada pendaki sesudah saya bahwa saya pernah singgah di tempat itu sebelumnya. Atau sekiranya saya kembali ke gunung itu ingin sekali saya mencari jejak yang dulu saya tinggalkan, senanglah saya mengetahui tanda itu masih ada. Pun jika sudah hilang saya pun bergegas membuat tanda atau jejak baru.
Tidak hanya di puncak atau perjalanan mendaki, bahkan dinding kereta, bis dan kapal laut yang saya tumpangi pun saya sempatkan untuk sekadar mencoretkan nama saya, bahwa saya pernah menumpang angkutan itu. Saya pun pernah berniat untuk menulis nama saya di dinding pesawat kalau saja tak sempat dipelototi seorang pramugari. Bukannya saya mempunyai kebiasaan corat-coret di sembarang tempat, niatnya cuma ingin meninggalkan bekas bahwa saya pernah hadir di tempat itu. Kadang saya sering berangan-angan suatu saat anak cucu saya pergi ke suatu tempat mendapatkan nama saya masih terukir jelas di atas batu atau dinding angkutan umum.
Beberapa tahun lalu, adik saya yang paling bungsu masuk SMA tempat saya dulu menghabiskan tiga tahun berputih abu-abu. "Tolong sekali-kali lihat ke dinding sebelah utara toilet pria ya dik, masih ada nama abang nggak disituh?" pesan saya di hari pertama ia sekolah. Si cantik bungsu cuma nyengir, "Lihat saja sendiri". Memang tidaklah mungkin nama saya masih ada di dinding toilet, toh jarak antara saya lulus dengan adik saya masuk ke sekolah itu lumayan jauh, hampir sepuluh tahun. Entah sudah dicat ulang, atau ada yang mencoretnya dan menggantinya dengan namanya.
Anda juga pernah melakukannya bukan? Tapi sadarkah kita bahwa tanpa harus menuliskan nama, atau menandai suatu tempat dengan bendera, setiap kita memang telah dan sedang terus menerus meninggalkan bekas di setiap waktu dan tempat yang kita lalui. Di mana pun saya singgah, sesungguhnya saya akan meninggalkan bekas dengan kata, tingkah dan perbuatan saya. Yang semestinya saya lakukan adalah meyakinkan bahwa bekas dan jejak yang saya tinggalkan adalah bekas kebaikan, jejak kearifan. Bukan sebaliknya.
Saya ingat, dulu pernah berkata-kata keras di suatu kesempatan, tentu saya akan teramat malu untuk kembali ke tempat itu karena bekas yang saya tinggalkan adalah keburukan. Saya juga pernah berbuat memalukan di satu tempat, saya pasti akan selalu menangis mengingatnya, dan bekas itu masih sangat jelas membayang di pelupuk mata ini. Seketika bibir ini pun tersenyum, hati berbunga mengingat prestasi yang pernah saya lukiskan di sekolah menengah pertama. Atau dimana pun saya pernah meninggalkan jejak kebaikan. Hanya sebagai pengingat, bahwa di tempat itu saya bisa berbuat baik, semestinya di lain tempat dan waktu pun saya bisa melakukannya lebih baik, dan lebih banyak kebaikan.
Masalahnya kemudian, sadarkah kita bahwa setiap langkah kita, kapan pun dan dimana pun senantiasa meninggalkan jejak dan bekas yang teramat jelas? Lalu kenapa kita masih senang meninggalkan bekas yang kemudian orang akan mengenal dan mengenang kita bukan dari kebaikan-kebaikan yang pernah kita lakukan?
***
Saya terus mengingat satu kejadian di kelas satu sekolah menengah pertama ketika tak sengaja saya mematahkan salah satu alat olahraga milik sekolah. Dua tahun lalu ketika bertemu kembali dengan guru tersebut, "O ya bapak ingat, kamu yang dulu mematahkan tongkat lembing sekolah kan?" Ooh...
Bayu Gawtama
untuk makhluk manis di SMP, nama kita masih ada nggak ya di dinding mushola...
Tidak hanya di puncak atau perjalanan mendaki, bahkan dinding kereta, bis dan kapal laut yang saya tumpangi pun saya sempatkan untuk sekadar mencoretkan nama saya, bahwa saya pernah menumpang angkutan itu. Saya pun pernah berniat untuk menulis nama saya di dinding pesawat kalau saja tak sempat dipelototi seorang pramugari. Bukannya saya mempunyai kebiasaan corat-coret di sembarang tempat, niatnya cuma ingin meninggalkan bekas bahwa saya pernah hadir di tempat itu. Kadang saya sering berangan-angan suatu saat anak cucu saya pergi ke suatu tempat mendapatkan nama saya masih terukir jelas di atas batu atau dinding angkutan umum.
Beberapa tahun lalu, adik saya yang paling bungsu masuk SMA tempat saya dulu menghabiskan tiga tahun berputih abu-abu. "Tolong sekali-kali lihat ke dinding sebelah utara toilet pria ya dik, masih ada nama abang nggak disituh?" pesan saya di hari pertama ia sekolah. Si cantik bungsu cuma nyengir, "Lihat saja sendiri". Memang tidaklah mungkin nama saya masih ada di dinding toilet, toh jarak antara saya lulus dengan adik saya masuk ke sekolah itu lumayan jauh, hampir sepuluh tahun. Entah sudah dicat ulang, atau ada yang mencoretnya dan menggantinya dengan namanya.
Anda juga pernah melakukannya bukan? Tapi sadarkah kita bahwa tanpa harus menuliskan nama, atau menandai suatu tempat dengan bendera, setiap kita memang telah dan sedang terus menerus meninggalkan bekas di setiap waktu dan tempat yang kita lalui. Di mana pun saya singgah, sesungguhnya saya akan meninggalkan bekas dengan kata, tingkah dan perbuatan saya. Yang semestinya saya lakukan adalah meyakinkan bahwa bekas dan jejak yang saya tinggalkan adalah bekas kebaikan, jejak kearifan. Bukan sebaliknya.
Saya ingat, dulu pernah berkata-kata keras di suatu kesempatan, tentu saya akan teramat malu untuk kembali ke tempat itu karena bekas yang saya tinggalkan adalah keburukan. Saya juga pernah berbuat memalukan di satu tempat, saya pasti akan selalu menangis mengingatnya, dan bekas itu masih sangat jelas membayang di pelupuk mata ini. Seketika bibir ini pun tersenyum, hati berbunga mengingat prestasi yang pernah saya lukiskan di sekolah menengah pertama. Atau dimana pun saya pernah meninggalkan jejak kebaikan. Hanya sebagai pengingat, bahwa di tempat itu saya bisa berbuat baik, semestinya di lain tempat dan waktu pun saya bisa melakukannya lebih baik, dan lebih banyak kebaikan.
Masalahnya kemudian, sadarkah kita bahwa setiap langkah kita, kapan pun dan dimana pun senantiasa meninggalkan jejak dan bekas yang teramat jelas? Lalu kenapa kita masih senang meninggalkan bekas yang kemudian orang akan mengenal dan mengenang kita bukan dari kebaikan-kebaikan yang pernah kita lakukan?
***
Saya terus mengingat satu kejadian di kelas satu sekolah menengah pertama ketika tak sengaja saya mematahkan salah satu alat olahraga milik sekolah. Dua tahun lalu ketika bertemu kembali dengan guru tersebut, "O ya bapak ingat, kamu yang dulu mematahkan tongkat lembing sekolah kan?" Ooh...
Bayu Gawtama
untuk makhluk manis di SMP, nama kita masih ada nggak ya di dinding mushola...
Hingga Detik Terakhir
Pernah suatu hari saya berangkat ke kantor hanya dengan sepuluh ribu rupiah di kantong. Jika dihitung untuk ongkos pulang pergi dari dan ke kantor, jumlah itu hanya lebih seribu rupiah saja. Jelas dan sudah pasti tak ada makan siang hari ini. Dalam perjalanan menuju kantor, ada seorang ibu yang mengamen sambil menggendong bayinya. Entah kenapa saya pun tergerak untuk memberinya barang sedikit meski uang milik saya amat terbatas. "Pasti ada gantinya," hati pun bergumam yakin.
Selang satu setengah jam di kantor, seorang rekan menyodorkan map sumbangan anak yatim. Lirih saya menatap map kumal itu, sementara saya tahu seorang ibu menunggu harap di depan gerbang. Saya keluarkan sedikit dari sedikit yang saya punya. Lagi-lagi saya berkeyakinan, "pasti ada gantinya". Saya hanya tak ingin orang lain tahu saya benar-benar dalam keterbatasan, disisi lain lega rasanya masih ada yang bisa diberikan untuk orang yang lebih membutuhkan.
Tinggallah saya berpikir bagaimana pulang nanti dengan sisa uang yang tak mencukupi. Bahkan hati ini pun bertambah lirihnya mengingat uang yang saya tinggalkan untuk isteri di rumah tak jauh berbeda jumlahnya dengan yang saya bawa ke kantor. Entah apa yang ada dalam benaknya, saya hanya menduga bahwa ia teramat penuh harap suaminya membawa pulang rezeki yang cukup walau sekadar untuk masak besok pagi. Dugaan itu lah yang sempat membuat tangan saya terasa berat untuk mengulurkan pemberian ke ibu pengamen di bis tadi, juga ketika map anak yatim disodorkan di meja saya.
Tidak ada yang benar-benar bisa merasakan manisnya buah kesabaran sampai seseorang benar-benar yakin dan teguh diatas gapura kesabaran yang dibangunnya. Saya terus menerus mengukir kalimat itu dalam hati sepanjang hari di kantor meski bayang-bayang sesal memberi terus menghantui, "Siapa suruh memberi? Sekarang bingung kan nggak punya ongkos untuk pulang?", hilir mudik bayang sesal itu terus menari-nari. Berkali-kali ditepis, berkali-kali pula ia mengganggu. Berat memang.
Selepas ashar nyaris runtuh keyakinan saya bahwa Allah akan mengganti setiap infak yang kita keluarkan dengan yang lebih besar. Walau buru-buru saya kesampingkan pikiran itu dengan satu kalimat, "Mungkin tidak hari ini Dia menggantinya". Saya juga mulai mengira-ngira siapa rekan di kantor yang masih punya sedikit uang untuk saya pinjam.
***
Menjelang jam pulang kantor, seseorang memberi tahu bahwa uang royalti buku saya sudah keluar dan bisa diambil saat itu juga. Maha benar Allah atas semua janji-Nya. Saya yakin, kabar ini akan menambah manis senyum isteri di rumah.
Bayu Gawtama
Selang satu setengah jam di kantor, seorang rekan menyodorkan map sumbangan anak yatim. Lirih saya menatap map kumal itu, sementara saya tahu seorang ibu menunggu harap di depan gerbang. Saya keluarkan sedikit dari sedikit yang saya punya. Lagi-lagi saya berkeyakinan, "pasti ada gantinya". Saya hanya tak ingin orang lain tahu saya benar-benar dalam keterbatasan, disisi lain lega rasanya masih ada yang bisa diberikan untuk orang yang lebih membutuhkan.
Tinggallah saya berpikir bagaimana pulang nanti dengan sisa uang yang tak mencukupi. Bahkan hati ini pun bertambah lirihnya mengingat uang yang saya tinggalkan untuk isteri di rumah tak jauh berbeda jumlahnya dengan yang saya bawa ke kantor. Entah apa yang ada dalam benaknya, saya hanya menduga bahwa ia teramat penuh harap suaminya membawa pulang rezeki yang cukup walau sekadar untuk masak besok pagi. Dugaan itu lah yang sempat membuat tangan saya terasa berat untuk mengulurkan pemberian ke ibu pengamen di bis tadi, juga ketika map anak yatim disodorkan di meja saya.
Tidak ada yang benar-benar bisa merasakan manisnya buah kesabaran sampai seseorang benar-benar yakin dan teguh diatas gapura kesabaran yang dibangunnya. Saya terus menerus mengukir kalimat itu dalam hati sepanjang hari di kantor meski bayang-bayang sesal memberi terus menghantui, "Siapa suruh memberi? Sekarang bingung kan nggak punya ongkos untuk pulang?", hilir mudik bayang sesal itu terus menari-nari. Berkali-kali ditepis, berkali-kali pula ia mengganggu. Berat memang.
Selepas ashar nyaris runtuh keyakinan saya bahwa Allah akan mengganti setiap infak yang kita keluarkan dengan yang lebih besar. Walau buru-buru saya kesampingkan pikiran itu dengan satu kalimat, "Mungkin tidak hari ini Dia menggantinya". Saya juga mulai mengira-ngira siapa rekan di kantor yang masih punya sedikit uang untuk saya pinjam.
***
Menjelang jam pulang kantor, seseorang memberi tahu bahwa uang royalti buku saya sudah keluar dan bisa diambil saat itu juga. Maha benar Allah atas semua janji-Nya. Saya yakin, kabar ini akan menambah manis senyum isteri di rumah.
Bayu Gawtama
Tuesday, June 21, 2005
Tengoklah Keluar
Ada yang hilang setelah manajemen kantor memutuskan menarik saya ke dalam dari tugas lapangan. Dan itu semakin terasa setelah tiga tahun saya banyak mendekam di balik meja, di depan komputer. Ya, saya banyak kehilangan kesempatan untuk lebih banyak melihat dunia luar yang selagi masih bertugas di lapangan, kebiasaan ini merupakan kesenangan tersendiri bagi saya.
Ada banyak guru di luar sana, ada banyak sekolah di jalanan, ada banyak pelajaran dimana pun saya berdiri, berlari dan singgah. Ada yang mengajari saya untuk lebih banyak bersyukur saat mengamati orang-orang yang tengah diberi cobaan untuk menjalani kepahitan hidup, tukang sapu jalanan yang menjelma menjadi guru saya setiap kali saya melihatnya, bahwa rezeki Allah tidak datang dengan tangan yang terus menerus menengadah. Anak-anak jalanan yang memberi makna terdalam tentang cinta dan kepedulian, pojok-pojok kota yang kerap mengajarkan arti kesederhanaan hidup, bahkan riuh rendahnya kota yang berbicara tentang kerasnya perjuangan hidup.
Siapa yang tak mampu mengambil pelajaran di setiap perputaran waktu dan silih bergantinya siang dan malam, yang tak lebar-lebar membuka matanya mengamati lintasan-lintasan peristiwa dan kejadian penuh makna yang tak pernah berhenti, yang tak menjadikan telinganya untuk mendengar lebih banyak keluh dan kesah serta jerit yang kerap tak terdengar dari balik jendela mobil juga kantor, yang tak membiarkan langkah kakinya sering-sering mengarah ke jalanan untuk merasai langsung panasnya aspal yang membakar kulit, dan terik yang memanggang kepala, sungguh teramat murugilah ia.
Sungguh, ada jiwa yang terbelai lembut setiap kali mendapatkan senyum balasan seorang pengemis tua, senyum yang jelas lebih menyentuh dari senyum klien atau rekan bisnis. Ada hati yang semakin peka usai berlama-lama ngobrol menyongsong senja bersama anak penjaja koran sore, bahwa hidup apa yang bisa mereka makan esok pagi sangat bergantung dari berapa banyak koran yang terjual. Usahlah mengajak mereka bermimpi untuk meneruskan sekolah, karena mereka hanya tahu bangku sekolah bukan tersedia untuk mereka. Dan pulanglah lebih malam ketika langkah Anda akan terasa lemas bukan karena lelah sepulang bekerja, melainkan mata Anda yang menyaksikan begitu banyak orang yang tertidur di emperan kota, sebelah tangannya menjadi bantal, tangan satunya mendekap erat perut yang belum sempat terisi semenjak siang. Menangislah orang-orang seperti saya mengingat nasi yang sering terbuang percuma karena masak berlebihan, atau anak-anak yang bertingkah ingin jajan di luar.
Peluh yang keluar dari dahi dan setiap inci tubuh mereka, mungkin akan menjadi wewangian semerbak mereka di hadapan Allah nanti, bukti bahwa mereka benar-benar merasai hidup yang sebenarnya. Legam hitam kulit yang terbakar matahari itu, bisa jadi pertanda bagi para malaikat untuk bersaksi atas perjuangan keras mereka bertahan atas semua cobaan dari Tuhannya. Sementara kita? Seberapa banyak keringat kita? tapi kenapa kita tak lebih bersyukur dari mereka dan terus menerus mengeluh?
Saya masih bisa bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk lebih banyak melihat keluar, dari balik jendela bis kota, dari aktivitas sosial yang saya geluti, dari kebiasaan untuk banyak singgah di tempat-tempat dimana saya bisa menemukan guru, sekolah, dan pelajaran kehidupan sesungguhnya. Meski cuma menengok, tapi saya tetap ingin selalu menyempatkan hati melihat keluar. Selalu.
Bayu Gawtama
Ada banyak guru di luar sana, ada banyak sekolah di jalanan, ada banyak pelajaran dimana pun saya berdiri, berlari dan singgah. Ada yang mengajari saya untuk lebih banyak bersyukur saat mengamati orang-orang yang tengah diberi cobaan untuk menjalani kepahitan hidup, tukang sapu jalanan yang menjelma menjadi guru saya setiap kali saya melihatnya, bahwa rezeki Allah tidak datang dengan tangan yang terus menerus menengadah. Anak-anak jalanan yang memberi makna terdalam tentang cinta dan kepedulian, pojok-pojok kota yang kerap mengajarkan arti kesederhanaan hidup, bahkan riuh rendahnya kota yang berbicara tentang kerasnya perjuangan hidup.
Siapa yang tak mampu mengambil pelajaran di setiap perputaran waktu dan silih bergantinya siang dan malam, yang tak lebar-lebar membuka matanya mengamati lintasan-lintasan peristiwa dan kejadian penuh makna yang tak pernah berhenti, yang tak menjadikan telinganya untuk mendengar lebih banyak keluh dan kesah serta jerit yang kerap tak terdengar dari balik jendela mobil juga kantor, yang tak membiarkan langkah kakinya sering-sering mengarah ke jalanan untuk merasai langsung panasnya aspal yang membakar kulit, dan terik yang memanggang kepala, sungguh teramat murugilah ia.
Sungguh, ada jiwa yang terbelai lembut setiap kali mendapatkan senyum balasan seorang pengemis tua, senyum yang jelas lebih menyentuh dari senyum klien atau rekan bisnis. Ada hati yang semakin peka usai berlama-lama ngobrol menyongsong senja bersama anak penjaja koran sore, bahwa hidup apa yang bisa mereka makan esok pagi sangat bergantung dari berapa banyak koran yang terjual. Usahlah mengajak mereka bermimpi untuk meneruskan sekolah, karena mereka hanya tahu bangku sekolah bukan tersedia untuk mereka. Dan pulanglah lebih malam ketika langkah Anda akan terasa lemas bukan karena lelah sepulang bekerja, melainkan mata Anda yang menyaksikan begitu banyak orang yang tertidur di emperan kota, sebelah tangannya menjadi bantal, tangan satunya mendekap erat perut yang belum sempat terisi semenjak siang. Menangislah orang-orang seperti saya mengingat nasi yang sering terbuang percuma karena masak berlebihan, atau anak-anak yang bertingkah ingin jajan di luar.
Peluh yang keluar dari dahi dan setiap inci tubuh mereka, mungkin akan menjadi wewangian semerbak mereka di hadapan Allah nanti, bukti bahwa mereka benar-benar merasai hidup yang sebenarnya. Legam hitam kulit yang terbakar matahari itu, bisa jadi pertanda bagi para malaikat untuk bersaksi atas perjuangan keras mereka bertahan atas semua cobaan dari Tuhannya. Sementara kita? Seberapa banyak keringat kita? tapi kenapa kita tak lebih bersyukur dari mereka dan terus menerus mengeluh?
Saya masih bisa bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk lebih banyak melihat keluar, dari balik jendela bis kota, dari aktivitas sosial yang saya geluti, dari kebiasaan untuk banyak singgah di tempat-tempat dimana saya bisa menemukan guru, sekolah, dan pelajaran kehidupan sesungguhnya. Meski cuma menengok, tapi saya tetap ingin selalu menyempatkan hati melihat keluar. Selalu.
Bayu Gawtama
Monday, June 20, 2005
Kisah Ayah tentang Ayahnya
Tiga bulan sudah saya tak mengunjungi Ayah, walau dua hari sekali masih sering telepon langsung untuk mendengar suaranya atau sekadar SMS menanyakan kabar kesehatannya. Rindu, itu kata yang paling mewakili untuk menggambarkan perasaan saya padanya, mungkin juga yang dirasa Ayah disana. Diri ini selalu percaya, rindu yang tak pernah lekang dimakan waktu, yang tak pernah sirna dihempas angin, yang tak mungkin pupus diterik matahari adalah rindu orang tua terhadap anaknya. Rasa rindu yang belum pasti dimiliki anak terhadap orang tuanya.
Benarlah, sepuluh menit setelah bercengkerama dengan cucu-cucunya, Ayah menghampiri saya dan menanyakan kabar apa pun tentang saya, keluarga, pekerjaan, aktivitas sosial yang biasa saya geluti, sampai soal selokan di depan rumah yang kerap tergenang. Dan tak lama setelah saya menceritakan semua yang diingintahuinya itu, ganti ia yang bercerita tentang dirinya, kegiatan jalan paginya, HP baru hadiah dari abang saya yang baru pulang dari luar negeri, acara reuni dengan sahabat-sahabatnya semasa aktif di kantor dulu, hingga nyaris tak ada lagi yang bisa diceritakan. Ia, seolah tengah menemukan telinga selebar lautan yang siap menampung semua kisahnya, dan itu adalah telinga saya.
Tak terasa tiga jam lebih kami berbicara, pembicaraan yang begitu dekat, antara sesama hati yang merindu. Tapi dari semua yang diceritakannya, ada satu yang teramat menarik bagi saya, sepenggal kisah tentang masa kecilnya bersama Ayahnya. Bercerita Ayah tentang Ayahnya, saya memanggilnya Babah. Suatu sore, ia tengah bermain kelereng ketika Babah hendak memintanya membeli minyak tanah. Tahu anaknya tengah bermain, ia mengurungkan niatnya dan membiarkan anaknya terus bermain. Kemudian Babah hanya berpesan kepada salah seorang keponakannya, "bilangin si mbing kalau mainnya sudah selesai, Babah mau suruh dia beli minyak tanah".
Mpok Mul, begitu Ayah memanggil kakak sepupunya itu pun menghampiri adiknya, "Mbing Babah bilang kalau mainnya sudah selesai tolong beliin minyak tanah". Si anak pun bergegas menyudahi permainannya setelah meminta izin kepada teman-temannya.
***
Ayah menegaskan kalimat "kalau mainnya sudah selesai" dan itu berkali-kali diucapkannya dengan tegas untuk saya perhatikan. Menurutnya, Babah mengatakan itu ada maknanya, Ayahnya hanya ingin menyuruhnya membeli minyak tanah setelah ia memenuhi hak anak untuk bermain. Sebagai seorang Ayah, ia tak ingin mengganggu hak bermain anaknya, meski sebagian orang tua merasa berhak untuk meminta anaknya melakukan apa pun perintahnya tanpa boleh membantah.
Babah, kata Ayah, meski hanya lelaki lulusan sekolah rakyat kelas tiga -setingkat kelas tiga SD- sangat mengerti psikologi mendidik anak. Orang tua yang ingin dihormati haknya oleh anak semestinya juga menghormati hak anak, salah satunya adalah hak untuk bermain, karena bermain merupakan cara anak-anak untuk belajar bersosialisasi. Tugas orang tua hanya memberi tahu batas-batas dalam bermain, misalnya soal waktu, dan juga pekerjaan utama di rumah yang semestinya didahulukan sebelum bermain.
Ayah pun bertanya kepada saya, "bagaimana perasaan kamu kalau lagi main, dan kondisi kamu sedang kalah. Lalu Ayah memanggil kamu?" "Tidak ikhlas," jawab saya. Ya, Babah tidak mau anaknya menjalankan perintahnya secara tidak ikhlas, dengan hati yang menggerutu, dengan dada yang disesaki rasa kesal. Sebaliknya, jika
si anak sedang menang dan Ayahnya memanggil, siapa yang kesal? pastilah teman-teman anaknya, "Bapak lu brengsek, tahu anaknya lagi menang dipanggil". Sudah pasti ada dua orang yang dirugikan, Ayah dan anaknya. Ayahnya dibilang 'brengsek', anaknya mungkin akan dikucilkan dalam permainan berikutnya.
Hmm, tiga jam tak kan pernah sia-sia untuk berbicara dengan Ayah. Ada banyak pelajaran baru yang bisa saya ambil dari kisah-kisahnya. Dan sudah pasti saya akan selalu merindui perjumpaan dengannya, sampai kapan pun. Terima kasih Ayah.
Bayu Gawtama
Benarlah, sepuluh menit setelah bercengkerama dengan cucu-cucunya, Ayah menghampiri saya dan menanyakan kabar apa pun tentang saya, keluarga, pekerjaan, aktivitas sosial yang biasa saya geluti, sampai soal selokan di depan rumah yang kerap tergenang. Dan tak lama setelah saya menceritakan semua yang diingintahuinya itu, ganti ia yang bercerita tentang dirinya, kegiatan jalan paginya, HP baru hadiah dari abang saya yang baru pulang dari luar negeri, acara reuni dengan sahabat-sahabatnya semasa aktif di kantor dulu, hingga nyaris tak ada lagi yang bisa diceritakan. Ia, seolah tengah menemukan telinga selebar lautan yang siap menampung semua kisahnya, dan itu adalah telinga saya.
Tak terasa tiga jam lebih kami berbicara, pembicaraan yang begitu dekat, antara sesama hati yang merindu. Tapi dari semua yang diceritakannya, ada satu yang teramat menarik bagi saya, sepenggal kisah tentang masa kecilnya bersama Ayahnya. Bercerita Ayah tentang Ayahnya, saya memanggilnya Babah. Suatu sore, ia tengah bermain kelereng ketika Babah hendak memintanya membeli minyak tanah. Tahu anaknya tengah bermain, ia mengurungkan niatnya dan membiarkan anaknya terus bermain. Kemudian Babah hanya berpesan kepada salah seorang keponakannya, "bilangin si mbing kalau mainnya sudah selesai, Babah mau suruh dia beli minyak tanah".
Mpok Mul, begitu Ayah memanggil kakak sepupunya itu pun menghampiri adiknya, "Mbing Babah bilang kalau mainnya sudah selesai tolong beliin minyak tanah". Si anak pun bergegas menyudahi permainannya setelah meminta izin kepada teman-temannya.
***
Ayah menegaskan kalimat "kalau mainnya sudah selesai" dan itu berkali-kali diucapkannya dengan tegas untuk saya perhatikan. Menurutnya, Babah mengatakan itu ada maknanya, Ayahnya hanya ingin menyuruhnya membeli minyak tanah setelah ia memenuhi hak anak untuk bermain. Sebagai seorang Ayah, ia tak ingin mengganggu hak bermain anaknya, meski sebagian orang tua merasa berhak untuk meminta anaknya melakukan apa pun perintahnya tanpa boleh membantah.
Babah, kata Ayah, meski hanya lelaki lulusan sekolah rakyat kelas tiga -setingkat kelas tiga SD- sangat mengerti psikologi mendidik anak. Orang tua yang ingin dihormati haknya oleh anak semestinya juga menghormati hak anak, salah satunya adalah hak untuk bermain, karena bermain merupakan cara anak-anak untuk belajar bersosialisasi. Tugas orang tua hanya memberi tahu batas-batas dalam bermain, misalnya soal waktu, dan juga pekerjaan utama di rumah yang semestinya didahulukan sebelum bermain.
Ayah pun bertanya kepada saya, "bagaimana perasaan kamu kalau lagi main, dan kondisi kamu sedang kalah. Lalu Ayah memanggil kamu?" "Tidak ikhlas," jawab saya. Ya, Babah tidak mau anaknya menjalankan perintahnya secara tidak ikhlas, dengan hati yang menggerutu, dengan dada yang disesaki rasa kesal. Sebaliknya, jika
si anak sedang menang dan Ayahnya memanggil, siapa yang kesal? pastilah teman-teman anaknya, "Bapak lu brengsek, tahu anaknya lagi menang dipanggil". Sudah pasti ada dua orang yang dirugikan, Ayah dan anaknya. Ayahnya dibilang 'brengsek', anaknya mungkin akan dikucilkan dalam permainan berikutnya.
Hmm, tiga jam tak kan pernah sia-sia untuk berbicara dengan Ayah. Ada banyak pelajaran baru yang bisa saya ambil dari kisah-kisahnya. Dan sudah pasti saya akan selalu merindui perjumpaan dengannya, sampai kapan pun. Terima kasih Ayah.
Bayu Gawtama
Thursday, June 16, 2005
Lidah Nggak Ada Tulangnya, Kan?
"Kalau bicara tuh hati-hati. Lidah nggak ada tulangnya, tapi hati ada darahnya." Saya terus menerus mengingat nasihat seorang guru saya selagi masih di sekolah menengah atas. Beliau memberikan nasihat itu untuk pembekalan para pengurus kerohanian Islam sekolah kami, saya termasuk di dalamnya. Sepanjang hari setelah acara pembekalan tersebut saya tak hentinya memikirkan kalimat itu. Klimaksnya, saya datangi guru agama itu untuk menanyakan lebih lanjut.
"Lidah nggak ada tulangnya saya mengerti pak, tapi apa kaitannya dengan hati nggak ada darahnya?" tanya saya penasaran. Dengan tenang ia menepuk pundak saya dan meminta saya duduk di sebelahnya. Kemudian ia mengarahkan telunjuknya ke dada saya, "Muara setiap kata itu disini". Ah, saya makin bingung dengan kata-katanya, belum saya pahami kalimat sebelumnya ditambah lagi kalimat baru yang membuat saya makin menggaruk kepala.
Tutur kata itu, lanjutnya, harusnya keluar dari hati. Hati tak pernah berdusta, hanyalah kebenaran yang dihasilkannya, hati itu lembut, apa pun yang berasal darinya tak mungkin melukai, hati itu indah sehingga apapun yang keluar darinya senantiasa indah. Kalimat dan sentuhan yang berasal dari hati akan langsung sampai dan mengena ke hati yang mendengarnya. Lidah dan telinga hanyalah perantara, sedang muaranya adalah hati.
Saya masih belum mengerti benar, walau tetap mengangguk ketika ia memintakan kepahaman saya atas penjelasannya. Sebelum saya beranjak dari sisinya, "Kamu pasti akan memahaminya, segera". Duh guru, saya malah dibuat bingung lagi dengan kalimat terakhirnya itu.
Sepanjang lorong menuju kelas saya terus termenung dan memikirkan kalimat itu hingga tak sadar saya menabrak seorang teman saya yang sedang berdiri. "Mata lu dimana???" bentaknya. Saya pun tersentak dengan kata-kata pedasnya itu, saya memang salah karena menabraknya, tapi kata-kata itu sangat tak sedap di telinga, terlebih di hati ini. Subhanallah, guru saya benar. Saya langsung memahami semua kata-katanya, bentakkan teman saya itu bahkan masih jelas terngiang hingga detik ini. Sungguh, kalimat kasar, kotor, keras, menghina, merendahkan dan menyakitkan teramat sulit dilupakan seseorang. Karena kalimat itu benar-benar melukai hati saya, terlalu lama waktu yang dibutuhkan untuk bisa menyembuhkannya. Dan ternyata, sampai hari ini saya masih bisa mengingat wajah teman yang mengeluarkan kalimat itu meski sudah lama saya memaafkannya.
Hati itu ada darahnya, benarlah guru saya. Lidah itu bagaikan sebilah pedang yang teramat mudah melukai perasaan orang lain. Anda mungkin masih merasakan sakit hati ketika direndahkan atau dihina oleh seseorang, meski kejadiannya sudah berpuluh tahun yang lalu namun Anda bisa merasainya seolah itu baru saja terjadi sedetik yang lalu. Anda mungkin sudah memaafkannya, namun ketika Anda bertemu lagi dengannya Anda pasti diingatkan dengan semua kalimat pedas dan merendahkan yang pernah dialamatkannya kepada Anda.
Saya pernah merasakan bagaimana terpuruknya setelah direndahkan orang lain dan merasa tak berharga setiap kali mengingatnya. Maka saya berupaya sekuat hati dan pikiran ini untuk tak mengeluarkan kalimat-kalimat pedas, keras, kotor, hina, merendahkan dan melecehkan karena orang lain yang mendengarnya akan terus menerus merekamnya dalam hati. Dan karenanya pula ia akan terus menerus mengingat wajah saya, bahkan membenci saya. Jikalah saya merasa rendah diri ketika dihina, sakit hati ketika dicemooh, tentulah orang lain pun demikian.
Sebaliknya, saya pun pernah merasai kesejukan dari kalimat-kalimat indah dan lembut dari banyak sahabat, guru, orang tua, bahkan orang-orang yang tak pernah saya kenal sebelumnya. Sungguh, kesejukan itu masih bisa saya rasakan pada detik ini dan saya senantiasa amat merindui perjumpaan dengan mereka. Rindu nasihat dan kata-kata bijaknya, juga senyum indah yang menyertai kalimat lembutnya. Andai semua manusia di muka bumi ini memiliki kerinduan yang sama dengan saya...
Saya tahu ini tak semudah yang saya pikirkan untuk menjaganya, karena hati kita tak selamanya berada dalam kondisi terbaik. Amatlah bersyukur saya jika hari ini saja, hari ini saja, saya bisa menjaga hati dan lidah saya. Semoga
Bayu Gawtama
rindu pak Nas...
"Lidah nggak ada tulangnya saya mengerti pak, tapi apa kaitannya dengan hati nggak ada darahnya?" tanya saya penasaran. Dengan tenang ia menepuk pundak saya dan meminta saya duduk di sebelahnya. Kemudian ia mengarahkan telunjuknya ke dada saya, "Muara setiap kata itu disini". Ah, saya makin bingung dengan kata-katanya, belum saya pahami kalimat sebelumnya ditambah lagi kalimat baru yang membuat saya makin menggaruk kepala.
Tutur kata itu, lanjutnya, harusnya keluar dari hati. Hati tak pernah berdusta, hanyalah kebenaran yang dihasilkannya, hati itu lembut, apa pun yang berasal darinya tak mungkin melukai, hati itu indah sehingga apapun yang keluar darinya senantiasa indah. Kalimat dan sentuhan yang berasal dari hati akan langsung sampai dan mengena ke hati yang mendengarnya. Lidah dan telinga hanyalah perantara, sedang muaranya adalah hati.
Saya masih belum mengerti benar, walau tetap mengangguk ketika ia memintakan kepahaman saya atas penjelasannya. Sebelum saya beranjak dari sisinya, "Kamu pasti akan memahaminya, segera". Duh guru, saya malah dibuat bingung lagi dengan kalimat terakhirnya itu.
Sepanjang lorong menuju kelas saya terus termenung dan memikirkan kalimat itu hingga tak sadar saya menabrak seorang teman saya yang sedang berdiri. "Mata lu dimana???" bentaknya. Saya pun tersentak dengan kata-kata pedasnya itu, saya memang salah karena menabraknya, tapi kata-kata itu sangat tak sedap di telinga, terlebih di hati ini. Subhanallah, guru saya benar. Saya langsung memahami semua kata-katanya, bentakkan teman saya itu bahkan masih jelas terngiang hingga detik ini. Sungguh, kalimat kasar, kotor, keras, menghina, merendahkan dan menyakitkan teramat sulit dilupakan seseorang. Karena kalimat itu benar-benar melukai hati saya, terlalu lama waktu yang dibutuhkan untuk bisa menyembuhkannya. Dan ternyata, sampai hari ini saya masih bisa mengingat wajah teman yang mengeluarkan kalimat itu meski sudah lama saya memaafkannya.
Hati itu ada darahnya, benarlah guru saya. Lidah itu bagaikan sebilah pedang yang teramat mudah melukai perasaan orang lain. Anda mungkin masih merasakan sakit hati ketika direndahkan atau dihina oleh seseorang, meski kejadiannya sudah berpuluh tahun yang lalu namun Anda bisa merasainya seolah itu baru saja terjadi sedetik yang lalu. Anda mungkin sudah memaafkannya, namun ketika Anda bertemu lagi dengannya Anda pasti diingatkan dengan semua kalimat pedas dan merendahkan yang pernah dialamatkannya kepada Anda.
Saya pernah merasakan bagaimana terpuruknya setelah direndahkan orang lain dan merasa tak berharga setiap kali mengingatnya. Maka saya berupaya sekuat hati dan pikiran ini untuk tak mengeluarkan kalimat-kalimat pedas, keras, kotor, hina, merendahkan dan melecehkan karena orang lain yang mendengarnya akan terus menerus merekamnya dalam hati. Dan karenanya pula ia akan terus menerus mengingat wajah saya, bahkan membenci saya. Jikalah saya merasa rendah diri ketika dihina, sakit hati ketika dicemooh, tentulah orang lain pun demikian.
Sebaliknya, saya pun pernah merasai kesejukan dari kalimat-kalimat indah dan lembut dari banyak sahabat, guru, orang tua, bahkan orang-orang yang tak pernah saya kenal sebelumnya. Sungguh, kesejukan itu masih bisa saya rasakan pada detik ini dan saya senantiasa amat merindui perjumpaan dengan mereka. Rindu nasihat dan kata-kata bijaknya, juga senyum indah yang menyertai kalimat lembutnya. Andai semua manusia di muka bumi ini memiliki kerinduan yang sama dengan saya...
Saya tahu ini tak semudah yang saya pikirkan untuk menjaganya, karena hati kita tak selamanya berada dalam kondisi terbaik. Amatlah bersyukur saya jika hari ini saja, hari ini saja, saya bisa menjaga hati dan lidah saya. Semoga
Bayu Gawtama
rindu pak Nas...
Tuesday, June 14, 2005
Elegi Si Pencari Rezeki
Ramadhan hari ke tujuh, lima menit lagi waktu maghrib tiba dan saya masih saja menikmati berkeliling di toko buku sebuah mall besar di Jakarta. Ketika maghrib benar-benar berkumandang dari pengeras suara toko buku tersebut saya baru sibuk mencari penganan berbuka. Setelah mencari beberapa saat, mata saya tertuju kepada sebuah franchise bakmi tak jauh dari toko buku dan saya pun mengalamatkan kaki saya ke arah tersebut.
"Mie satu, juice jeruknya satu," pelayan itu pun mencatat pesanan saya. "Eh mbak, sambil nunggu pesanan saya jadi, boleh saya minta segelas air putih untuk membatalkan puasa saya?" pinta saya secara halus. Tiba-tiba, dengan seulas senyum tapi sambil takut-takut pelayan itu berbisik, "mas muslim? lebih baik batalkan saja pesanan mie-nya. Ini tidak halal buat muslim. Soal air putih segera saya bawakan, gratis untuk yang berpuasa".
Kejadian itu begitu membekas hingga saat ini, padahal saat itu saya masih kuliah di tingkat dua. Saya sangat bersyukur betapa ada orang yang peduli terhadap kehalalan setiap zat yang kan menjadi darah dan daging saya. Bagaimana jika pelayan baik hati itu tak jujur dan membiarkan saya melahap mie itu, maka darah saya akan teraliri zat yang tidak halal dan betapa menyesallah saya kemudian.
Hingga kini saya pun terus berpikir, kalau lah ada orang yang begitu peduli akan kehalalan makanan yang saya masukkan ke dalam tubuh saya, sudahkah saya juga teramat peduli pada diri saya sendiri? bukan soal zat makanannya, karena untuk yang satu ini saya sudah berusaha untuk hati-hati. Tapi lebih kepada sumber penghasilan untuk membeli makanannya, apakah pekerjaan saya ini bersih? apakah uang saya saya dapatkan juga bersih? bisa jadi zat yang saya makan memang halal, tapi bagaimana jika uang untuk membelinya yang tidak halal?
Saat ini, setelah berkeluarga dan punya anak. Tentu saya tak hanya mengkhawatirkan asupan dan sumber penghasilan saya untuk diri saya sendiri, tapi jika uang yang saya hasilkan tidak bersih, juga makanan yang saya belanjakan untuk keluarga saya tidak halal, bagaimana jadinya keluarga saya jika terus menerus disuapi ketidakhalalan? Tentu saja saya sebagai kepala keluarga yang paling bertanggungjawab karena saya lah sang pencari rezeki.
Mencari rezeki, tidak sekadar dapat. Jikalah sudah dapat, saya masih harus benar-benar yakin sumbernya bersih, agar yang saya dan keluarga saya makan juga bersih. Agar kelak tubuh saya tak terlalu lama dicuci di api neraka karena sedemikian tak terhingganya zat haram terasupi dalam tubuh ini.
Jikalah masih ada yang peduli dengan kehalalan zat yang kan menjadi darah dan daging saya, sudahkah saya peduli terhadap diri sendiri?
Bayu Gawtama
"Mie satu, juice jeruknya satu," pelayan itu pun mencatat pesanan saya. "Eh mbak, sambil nunggu pesanan saya jadi, boleh saya minta segelas air putih untuk membatalkan puasa saya?" pinta saya secara halus. Tiba-tiba, dengan seulas senyum tapi sambil takut-takut pelayan itu berbisik, "mas muslim? lebih baik batalkan saja pesanan mie-nya. Ini tidak halal buat muslim. Soal air putih segera saya bawakan, gratis untuk yang berpuasa".
Kejadian itu begitu membekas hingga saat ini, padahal saat itu saya masih kuliah di tingkat dua. Saya sangat bersyukur betapa ada orang yang peduli terhadap kehalalan setiap zat yang kan menjadi darah dan daging saya. Bagaimana jika pelayan baik hati itu tak jujur dan membiarkan saya melahap mie itu, maka darah saya akan teraliri zat yang tidak halal dan betapa menyesallah saya kemudian.
Hingga kini saya pun terus berpikir, kalau lah ada orang yang begitu peduli akan kehalalan makanan yang saya masukkan ke dalam tubuh saya, sudahkah saya juga teramat peduli pada diri saya sendiri? bukan soal zat makanannya, karena untuk yang satu ini saya sudah berusaha untuk hati-hati. Tapi lebih kepada sumber penghasilan untuk membeli makanannya, apakah pekerjaan saya ini bersih? apakah uang saya saya dapatkan juga bersih? bisa jadi zat yang saya makan memang halal, tapi bagaimana jika uang untuk membelinya yang tidak halal?
Saat ini, setelah berkeluarga dan punya anak. Tentu saya tak hanya mengkhawatirkan asupan dan sumber penghasilan saya untuk diri saya sendiri, tapi jika uang yang saya hasilkan tidak bersih, juga makanan yang saya belanjakan untuk keluarga saya tidak halal, bagaimana jadinya keluarga saya jika terus menerus disuapi ketidakhalalan? Tentu saja saya sebagai kepala keluarga yang paling bertanggungjawab karena saya lah sang pencari rezeki.
Mencari rezeki, tidak sekadar dapat. Jikalah sudah dapat, saya masih harus benar-benar yakin sumbernya bersih, agar yang saya dan keluarga saya makan juga bersih. Agar kelak tubuh saya tak terlalu lama dicuci di api neraka karena sedemikian tak terhingganya zat haram terasupi dalam tubuh ini.
Jikalah masih ada yang peduli dengan kehalalan zat yang kan menjadi darah dan daging saya, sudahkah saya peduli terhadap diri sendiri?
Bayu Gawtama
Rara, Si Gadis Tomboy: "Jangan Bilang Aku Cantik" (6)
nyambung lagiihhh...
III. Perseteruan Itu pun Dimulai
Kantin sekolah, meja tempat Bu Omon menjual mie goreng, lontong sayur dan non sayur alias lontong isi. Pagi sebelum bel masuk kelas berbunyi. Trio H, Hilda, Husna dan Helen tengah menikmati hangatnya lontong pakai sambel kacang.
Bu Omon ini suaminya Pak Omon, lontong isinya terkenal T.O.B alias top okeh banged, nggak ada duanya. Nggak ada tandingannya, karena memang Bu Omon yang superberat dengan ukuran body yang extra-large itu melarang siapa pun untuk menjual jenis dagangan yang sama di kantin.
Pernah ada yang coba-coba jual lontong isi. Mbak Iting, dipanggil begitu karena rambutnya keriting, digeprak abis-abisan oleh Bu Omon. Lontongnya yang cuma delapan bungkus itu dilempar ke segala penjuru, timur, tenggara, selatan, barat daya, barat, barat laut, utara, timur laut.
“Eh, liat tuh ketua kelas baru lewat. Sombongnya dia, baru jabatan ulet bulu aja…” Helen meminta perhatian dua temannya yang masih asik menggumpal lontong di mulutnya.
“Iya, sampe kiamat pun gue gak setuju, nggak redo, nggak ikhlas, dan nggak bakalan dukung dia mimpin kelas kita,” timpal Husna.
“Laah, lamma aammaat… emangnya elo main sampe kiamat di sekolah ini?” potong Helen.
“Ah elo, telmi amat sih jadi orang. Makanya jangan banyakan makan bakwan… minyaknya bikin otak elo beku tuh” Husna lagi.
“Harusnya kan Dimas yang jadi ketua kelas. Dimas paling ideal deh di mata gue…” giliran Hilda.
Husna dan Helen mengubah posisi duduknya,
“Sumpe loh da?” tanya mereka berbarengan
“Asal lo tau aja ya, gue tuh naksir berat ama Dimas. Dia tuh cowok ideal dan tipe cowok yang gue impikan selama ini,” jujur Hilda.
“cie ileeeh… sejak kapan elo udah mulai pinter ngimpi? Guwe denger dari nyokap elo, elo baru berenti ngisep jari pas mau masuk SMP…” ledek Husna.
“yee, elo pasti salah tanya. Yang elo tanya itu bukan nyokap guwe, tapi babysitter guwe tauuk” sanggah Hilda merasa terpojok.
“Nah, apalagi babysitter, dia kan lebih tau elo luar dalem… ha ha ha…” Husna dan Helen terbahak.
“udah, udah, udah… emang reseh lo pade berdua…” Hilda mulai kesal.
Melihat Hilda mulai kesal, dua temannya makin merasa mendapat angin untuk membuat Hilda semakin panas.
“Wah, kalo gitu elo mesti siap-siap nangis donk…” ledek Helen.
“Nangis…” mata Hilda menyureng tajam ke arah dua cs-nya itu.
“Iya da, elo tau kan kalo Dimas tuh diangkat jadi wakil ketua kelas. So pasti doi akan sering-sering berduaan dan jalan terus tuh sama Rara… dan elo… tinggal gigit jari deh…” tambah Husna memanasi.
“Wah, wah, wah… ini nggak bisa didiemin nih. Guwe mesti bertindak cepat… bisa-bisa si Dimas dibabat ketua kelas baru itu…” Hilda mulai gemas.
“Dibabat??? tanya Husna heran. “Kayaknya Rara nggak sekejam itu deh, lagi pula emang Dimas enak dibikin soto babat?”
“Ya ampuuuunnnn Husnaaaaaaaa…, elo tu yee, dari kelas atu ampe sekarang telmi-nya nggak ilang-ilang. Pliss deh, kalo masih mau jadi temen guwe jangan sampe elo telmi di depan guwe lagi”
“Jadi… kalo di belakang elo boleh?”
“Oh God… no comment deh guwe. Telmi elo tuh emang udah ke ubun-ubun” Hilda nggak tahu mau ngomong apa lagi.
“ub…” belum sempat Husna ngomong.
“stop, stop, stooopp… jangan ngomong lagi. Makin pusing guwe ama elo” potong Hilda.
Husna terdiam. Dia memang menyadari kapasitas memorinya masih terbatas. Ibarat komputer dia tuh masih Pentium atu, sementara orang-orang udah Pentium empat atau bahkan di atasnya. So, emang perlu di-upgrade lagi.
Tiga sekawan itu merencanakan sesuatu. Satu yang pasti mereka mencoba menjauhkan Dimas dari Rara. Apa pun caranya.
***
“Eh, Rara. Jangan sok cakep lo yee. Ada niat apa elo jadiin Dimas wakil elo… elo ada maunya ya sama cowok guwe?”
Suasana ruang kelas jadi ribut persis setelah Bu Santi, guru bahasa Indonesia meninggalkan kelas. Hilda yang sudah panas sejak pagi tadi langsung menghampiri Rara.
“Sok caakep? Buat apa guwe sok cakep, kalo emang dari sononya guwe udah cakep…. Lagian baru denger guwe kalo Dimas itu cowok elo… nggak ada tuh di papan pengumuman sekolah, di mading juga nggak ada… trus apa buktinya kalo Dimas itu suka ama elo… ha?… ha?…”
“Liat aja lo ra, kalo sampe elo deket-deket Dimas… guwe bakal bikin perhitungan ama elo…” ancam Hilda.
Husna yang ada di samping temannya itu, “da, elo kan nggak jago matematika… kok elo berani sih nantangi Rara adu ngitung-ngitungan?”
Hilda langsung melotot ke Husna, dan…
“get ouuuuuuuuuuuttt from me Husnaaaaaaaaaaaaaaaaaa…” telunjuknya mengarah ke pintu.
“eh, he eh… ngomong-ngomong, get out itu apa ya?” tanya Husna lagi.
“hhhhh… “ Hilda cuma bisa menghela nafas. Entah dosa apa yang pernah dibuatnya sehingga ia dikutuk mendapat teman sejenis Husna.
IV. Tante Dien
Bel pulang sekolah. Secepat kilat Rara menyambar tas dari kursinya. Semua isi buku dan perangkat perangnya sudah ia bereskan setengah jam sebelum bel berbunyi. Padahal Bu Zamurah masih was wes wos dengan pelajaran bahasa inggrisnya.
tunggu kelanjutannya ya...
III. Perseteruan Itu pun Dimulai
Kantin sekolah, meja tempat Bu Omon menjual mie goreng, lontong sayur dan non sayur alias lontong isi. Pagi sebelum bel masuk kelas berbunyi. Trio H, Hilda, Husna dan Helen tengah menikmati hangatnya lontong pakai sambel kacang.
Bu Omon ini suaminya Pak Omon, lontong isinya terkenal T.O.B alias top okeh banged, nggak ada duanya. Nggak ada tandingannya, karena memang Bu Omon yang superberat dengan ukuran body yang extra-large itu melarang siapa pun untuk menjual jenis dagangan yang sama di kantin.
Pernah ada yang coba-coba jual lontong isi. Mbak Iting, dipanggil begitu karena rambutnya keriting, digeprak abis-abisan oleh Bu Omon. Lontongnya yang cuma delapan bungkus itu dilempar ke segala penjuru, timur, tenggara, selatan, barat daya, barat, barat laut, utara, timur laut.
“Eh, liat tuh ketua kelas baru lewat. Sombongnya dia, baru jabatan ulet bulu aja…” Helen meminta perhatian dua temannya yang masih asik menggumpal lontong di mulutnya.
“Iya, sampe kiamat pun gue gak setuju, nggak redo, nggak ikhlas, dan nggak bakalan dukung dia mimpin kelas kita,” timpal Husna.
“Laah, lamma aammaat… emangnya elo main sampe kiamat di sekolah ini?” potong Helen.
“Ah elo, telmi amat sih jadi orang. Makanya jangan banyakan makan bakwan… minyaknya bikin otak elo beku tuh” Husna lagi.
“Harusnya kan Dimas yang jadi ketua kelas. Dimas paling ideal deh di mata gue…” giliran Hilda.
Husna dan Helen mengubah posisi duduknya,
“Sumpe loh da?” tanya mereka berbarengan
“Asal lo tau aja ya, gue tuh naksir berat ama Dimas. Dia tuh cowok ideal dan tipe cowok yang gue impikan selama ini,” jujur Hilda.
“cie ileeeh… sejak kapan elo udah mulai pinter ngimpi? Guwe denger dari nyokap elo, elo baru berenti ngisep jari pas mau masuk SMP…” ledek Husna.
“yee, elo pasti salah tanya. Yang elo tanya itu bukan nyokap guwe, tapi babysitter guwe tauuk” sanggah Hilda merasa terpojok.
“Nah, apalagi babysitter, dia kan lebih tau elo luar dalem… ha ha ha…” Husna dan Helen terbahak.
“udah, udah, udah… emang reseh lo pade berdua…” Hilda mulai kesal.
Melihat Hilda mulai kesal, dua temannya makin merasa mendapat angin untuk membuat Hilda semakin panas.
“Wah, kalo gitu elo mesti siap-siap nangis donk…” ledek Helen.
“Nangis…” mata Hilda menyureng tajam ke arah dua cs-nya itu.
“Iya da, elo tau kan kalo Dimas tuh diangkat jadi wakil ketua kelas. So pasti doi akan sering-sering berduaan dan jalan terus tuh sama Rara… dan elo… tinggal gigit jari deh…” tambah Husna memanasi.
“Wah, wah, wah… ini nggak bisa didiemin nih. Guwe mesti bertindak cepat… bisa-bisa si Dimas dibabat ketua kelas baru itu…” Hilda mulai gemas.
“Dibabat??? tanya Husna heran. “Kayaknya Rara nggak sekejam itu deh, lagi pula emang Dimas enak dibikin soto babat?”
“Ya ampuuuunnnn Husnaaaaaaaa…, elo tu yee, dari kelas atu ampe sekarang telmi-nya nggak ilang-ilang. Pliss deh, kalo masih mau jadi temen guwe jangan sampe elo telmi di depan guwe lagi”
“Jadi… kalo di belakang elo boleh?”
“Oh God… no comment deh guwe. Telmi elo tuh emang udah ke ubun-ubun” Hilda nggak tahu mau ngomong apa lagi.
“ub…” belum sempat Husna ngomong.
“stop, stop, stooopp… jangan ngomong lagi. Makin pusing guwe ama elo” potong Hilda.
Husna terdiam. Dia memang menyadari kapasitas memorinya masih terbatas. Ibarat komputer dia tuh masih Pentium atu, sementara orang-orang udah Pentium empat atau bahkan di atasnya. So, emang perlu di-upgrade lagi.
Tiga sekawan itu merencanakan sesuatu. Satu yang pasti mereka mencoba menjauhkan Dimas dari Rara. Apa pun caranya.
***
“Eh, Rara. Jangan sok cakep lo yee. Ada niat apa elo jadiin Dimas wakil elo… elo ada maunya ya sama cowok guwe?”
Suasana ruang kelas jadi ribut persis setelah Bu Santi, guru bahasa Indonesia meninggalkan kelas. Hilda yang sudah panas sejak pagi tadi langsung menghampiri Rara.
“Sok caakep? Buat apa guwe sok cakep, kalo emang dari sononya guwe udah cakep…. Lagian baru denger guwe kalo Dimas itu cowok elo… nggak ada tuh di papan pengumuman sekolah, di mading juga nggak ada… trus apa buktinya kalo Dimas itu suka ama elo… ha?… ha?…”
“Liat aja lo ra, kalo sampe elo deket-deket Dimas… guwe bakal bikin perhitungan ama elo…” ancam Hilda.
Husna yang ada di samping temannya itu, “da, elo kan nggak jago matematika… kok elo berani sih nantangi Rara adu ngitung-ngitungan?”
Hilda langsung melotot ke Husna, dan…
“get ouuuuuuuuuuuttt from me Husnaaaaaaaaaaaaaaaaaa…” telunjuknya mengarah ke pintu.
“eh, he eh… ngomong-ngomong, get out itu apa ya?” tanya Husna lagi.
“hhhhh… “ Hilda cuma bisa menghela nafas. Entah dosa apa yang pernah dibuatnya sehingga ia dikutuk mendapat teman sejenis Husna.
IV. Tante Dien
Bel pulang sekolah. Secepat kilat Rara menyambar tas dari kursinya. Semua isi buku dan perangkat perangnya sudah ia bereskan setengah jam sebelum bel berbunyi. Padahal Bu Zamurah masih was wes wos dengan pelajaran bahasa inggrisnya.
tunggu kelanjutannya ya...
Friday, June 10, 2005
(Ternyata) Ada Cinta di Bogor
Sejak kecil saya sudah sangat akrab dengan kota Bogor, akrab di telinga dengan slogan kota hujannya, akrab di lidah dengan asinannya, juga akrab dengan suhu udaranya, dan satu lagi yang sampai saat ini masih menjadi tempat favorit saya keluar dari kebisingan kota Metropolitan; Kebun Raya Bogor.
Keakraban saya dengan kota Bogor berlanjut sampai saya duduk di bangku SMP dan SMA. Sejak menggandrungi kegiatan daki mendaki saat di bangku kelas satu SMP, hampir setiap akhir pekan saya singgah di kota Bogor sebelum benar-benar berpetualang di gunung yang kami tuju. Teramat sering melintasi kota Bogor yang asri saat itu, membuat saya semakin jatuh cinta dengan kota ini, hingga saat mendaki puncak Gunung Gede-Pangrango untuk yang kesekian kalinya terbersit satu cita-cita, "saya harus punya rumah di Bogor". Saya ingat, waktu itu saya masih di kelas tiga SMA.
Waktu terus berlalu, persahabatan saya dengan kota ini terus berlanjut, seiring dengan intensitas naik gunung saya yang makin sering. Meski saya sering naik gunung di luar pulau Jawa, saya takkan pernah absen untuk setiap tahun menyambangi gunung-gunung yang berlokasi tak jauh dari kota Bogor. Mungkin, saya memang telah benar-benar jatuh cinta dengan kota ini.
Kota hujan, asinan, kebun raya, dan masih banyak lagi kekhassan kota kecil di Jawa Barat ini seakan tak pernah lepas dari kehidupan masa muda saya. Tidak hanya ketika mendaki gunung, bahkan kecintaan saya terhadap kota ini saya salurkan melalui hobi lain, yakni mengendarai motor secara konvoi bersama teman-teman. Berangkat tengah malam dan tiba dini hari di puncak menunggu fajar menampakkan keceriaannya. Sejenak menghangatkan tubuh yang semalam diterjang angin dengan menyeruput bandrek dan mencicipi colenak (dicocol enak), makanan khas Jawa Barat terbuat dari Uli Ketan yang dibakar kemudian dilengkapi bumbu kelapa saring berwarna kemerahan. Nikmat sekali.
Persis setelah matahari menambah hangatnya hari, kami pun kembali mamacu motor beranjak ke rumah. Lagi dan takkan pernah lupa mampir ke area kebun raya sekadar mencari buah tangan khas Bogor, talas dan asinan. Rasanya belum berani mengaku pulang dari Bogor jika tak membawa dua makanan ini. Ini sekaligus menjadi bukti nyata yang meyakinkan orang bahwa saya benar-benar dari Bogor.
Sejak kecil saya sudah sangat akrab dengan kota Bogor, akrab di telinga dengan slogan kota hujannya, akrab di lidah dengan asinannya, akrab dengan suhu udaranya, juga kebun raya Bogor. Tapi setelah dewasa, saya tak hanya cinta dengan semua di atas, bahkan saya pun jatuh cinta dengan makhluk manis dari yang tumbuh besar di tengah kota Bogor. Niatnya ingin punya rumah di Bogor, malah diberi yang mengurus rumahnya oleh Allah.
Ternyata, tidak hanya ada hujan, asinan, udara sejuk dan kebun raya di Bogor. Di kota ini juga ada cinta yang tersimpan rapi dan dipersiapkan sejak lama oleh Allah. Cinta itu, ah, mungkinkah ini berkah dari kecintaan saya terhadap kota hujan ini? Entahlah. Yang jelas, saya semakin cinta terhadap Bogor, kecuali macetnya!
Bayu Gawtama
coretan iseng buat isteriku, si manis dari Bogor
Keakraban saya dengan kota Bogor berlanjut sampai saya duduk di bangku SMP dan SMA. Sejak menggandrungi kegiatan daki mendaki saat di bangku kelas satu SMP, hampir setiap akhir pekan saya singgah di kota Bogor sebelum benar-benar berpetualang di gunung yang kami tuju. Teramat sering melintasi kota Bogor yang asri saat itu, membuat saya semakin jatuh cinta dengan kota ini, hingga saat mendaki puncak Gunung Gede-Pangrango untuk yang kesekian kalinya terbersit satu cita-cita, "saya harus punya rumah di Bogor". Saya ingat, waktu itu saya masih di kelas tiga SMA.
Waktu terus berlalu, persahabatan saya dengan kota ini terus berlanjut, seiring dengan intensitas naik gunung saya yang makin sering. Meski saya sering naik gunung di luar pulau Jawa, saya takkan pernah absen untuk setiap tahun menyambangi gunung-gunung yang berlokasi tak jauh dari kota Bogor. Mungkin, saya memang telah benar-benar jatuh cinta dengan kota ini.
Kota hujan, asinan, kebun raya, dan masih banyak lagi kekhassan kota kecil di Jawa Barat ini seakan tak pernah lepas dari kehidupan masa muda saya. Tidak hanya ketika mendaki gunung, bahkan kecintaan saya terhadap kota ini saya salurkan melalui hobi lain, yakni mengendarai motor secara konvoi bersama teman-teman. Berangkat tengah malam dan tiba dini hari di puncak menunggu fajar menampakkan keceriaannya. Sejenak menghangatkan tubuh yang semalam diterjang angin dengan menyeruput bandrek dan mencicipi colenak (dicocol enak), makanan khas Jawa Barat terbuat dari Uli Ketan yang dibakar kemudian dilengkapi bumbu kelapa saring berwarna kemerahan. Nikmat sekali.
Persis setelah matahari menambah hangatnya hari, kami pun kembali mamacu motor beranjak ke rumah. Lagi dan takkan pernah lupa mampir ke area kebun raya sekadar mencari buah tangan khas Bogor, talas dan asinan. Rasanya belum berani mengaku pulang dari Bogor jika tak membawa dua makanan ini. Ini sekaligus menjadi bukti nyata yang meyakinkan orang bahwa saya benar-benar dari Bogor.
Sejak kecil saya sudah sangat akrab dengan kota Bogor, akrab di telinga dengan slogan kota hujannya, akrab di lidah dengan asinannya, akrab dengan suhu udaranya, juga kebun raya Bogor. Tapi setelah dewasa, saya tak hanya cinta dengan semua di atas, bahkan saya pun jatuh cinta dengan makhluk manis dari yang tumbuh besar di tengah kota Bogor. Niatnya ingin punya rumah di Bogor, malah diberi yang mengurus rumahnya oleh Allah.
Ternyata, tidak hanya ada hujan, asinan, udara sejuk dan kebun raya di Bogor. Di kota ini juga ada cinta yang tersimpan rapi dan dipersiapkan sejak lama oleh Allah. Cinta itu, ah, mungkinkah ini berkah dari kecintaan saya terhadap kota hujan ini? Entahlah. Yang jelas, saya semakin cinta terhadap Bogor, kecuali macetnya!
Bayu Gawtama
coretan iseng buat isteriku, si manis dari Bogor
Wednesday, June 08, 2005
Rencana Bahagia
Sudah menjadi kelaziman setiap orang tua akan mencurahkan semua perasaan cinta kepada anaknya, apa pun akan dilakukannya untuk membahagiakan anak, semua demi satu kata: cinta. Seorang ibu bisa menahan kantuknya berjam-jam untuk berjaga sepanjang malam demi anaknya yang sedang sakit. Seorang Ayah bahkan rela merangkak di aspal yang panas di tengah hari yang terik asalkan itu bisa menghasilkan sesuap nasi demi perut anak-anaknya terisi.
Sebegitu cintanya orang tua kepada anak-anak walau mereka pun tak pernah tahu apakah kelak anak yang dikasihi sepenuh hati itu akan membalas mereka dengan kebaikan atau sebaliknya. Karena orang tua memang tidak pernah meminta sedikit pun balasan. Dan sudah barang tentu tak ada anak yang mampu membayar kasih orang tua, bahkan sekadar pengganti air susu.
Memang mereka tak pernah meminta apa pun dari anak-anak. Namun betapa tak terlukiskan kebahagiaan orang tua jika mendapati anaknya tetap memperhatikannya, tetap mencintai dan menyayanginya disaat usianya semakin senja, disaat tak ada lagi yang mendampinginya seperti saat dulu ia masih menimang-nimang si kecil, disaat tak ada lagi tempatnya bercurah, berkesah, disaat tak ada lagi kekasih yang memberikannya kecupan mesra setiap pagi dan sore.
Betapa tak tersebandingkan haru yang dirasai orang tua yang mendapati anaknya yang sudah besar dan bahkan sudah berkeluarga tapi tetap mengecup tangan keriputnya dan menjadikan kakinya tempat bersimpuh.
Tahukah Anda yang diharap sang anak ketika ia tetap melakukan itu semua? Hanya doa agar ia tetap menjadi orang shalih. Dan satu doa yang dipinta, sejuta yang didapat. Ia meminta didoakan menjadi anak shalih, ibu mendoakannya, "Jadi anak yang shalih, sayang isteri, cinta anak-anak, jadi keluarga sakinah, hidup tentram, jauh dari bala dan bahaya, rezekinya lancar... " dan seterusnya. Si anak memintanya satu kali, ibu memberikan doa itu tak pernah putusnya. Bisa jadi, selama masih ada nafas yang melewati kerongkongannya doa itu akan terus mengalir.
Saya mencoba memutar waktu dua puluh lima tahun yang akan datang, saat itu mungkin anak-anak sudah besar dan menikah. Mungkin, disaat itu saya hidup sendiri, tidak ada pasangan di sisi dan hanya anak-anak yang saya miliki. Saya yakin dan teramat yakin, bahwa kebahagiaan sebagai orang tua adalah ketika melihat anak-anak bahagia hidup berumah tangga bersama keluarga tercintanya. Saya tidak berharap apa pun, juga tidak akan pernah meminta anak-anak membalas semua cinta yang pernah saya berikan, karena saya tahu sudah pasti mereka tidak akan pernah bisa membalasnya dengan apa pun.
Namun, teramat sulit saya melukiskan kebahagiaan yang saya rasakan tatkala anak-anak tetap memperhatikan, mencintai, menyayangi saya di usia renta nanti. Mungkinkah tak ada tetes air mata haru jika saya mendapati anak-anak saya berbakti untuk sedikit membalas apa yang pernah ia dapatkan dari saya selaku orang tuanya, meski takkan pernah sebanding?
Kebahagiaan yang selalu menjadi dambaan setiap orang tua itu entah kan dirasakan atau tidak di masa yang akan datang. Mungkinkah anak-anak saya akan tetap cinta dan berbakti di usia senja saya? Saya tak tahu. Hanya saja, saya telah mempersiapkannya sejak detik pertama ketika anak-anak menghembuskan nafas pertamanya, sejak isteri saya mengalirkan cintanya lewat air susunya, sejak saya memberinya nama-nama indah sebagai doa untuknya, sejak pertama kali saya mengenalkannya nama Allah yang kan menjadi sesembahannya dan nama Muhammad yang kan diteladaninya.
Lalu akan selalu ada doa yang tak akan pernah henti mengiringi setiap langkah kecil mereka. Ini yang saya sebut rencana bahagia.
Bayu Gawtama
Sebegitu cintanya orang tua kepada anak-anak walau mereka pun tak pernah tahu apakah kelak anak yang dikasihi sepenuh hati itu akan membalas mereka dengan kebaikan atau sebaliknya. Karena orang tua memang tidak pernah meminta sedikit pun balasan. Dan sudah barang tentu tak ada anak yang mampu membayar kasih orang tua, bahkan sekadar pengganti air susu.
Memang mereka tak pernah meminta apa pun dari anak-anak. Namun betapa tak terlukiskan kebahagiaan orang tua jika mendapati anaknya tetap memperhatikannya, tetap mencintai dan menyayanginya disaat usianya semakin senja, disaat tak ada lagi yang mendampinginya seperti saat dulu ia masih menimang-nimang si kecil, disaat tak ada lagi tempatnya bercurah, berkesah, disaat tak ada lagi kekasih yang memberikannya kecupan mesra setiap pagi dan sore.
Betapa tak tersebandingkan haru yang dirasai orang tua yang mendapati anaknya yang sudah besar dan bahkan sudah berkeluarga tapi tetap mengecup tangan keriputnya dan menjadikan kakinya tempat bersimpuh.
Tahukah Anda yang diharap sang anak ketika ia tetap melakukan itu semua? Hanya doa agar ia tetap menjadi orang shalih. Dan satu doa yang dipinta, sejuta yang didapat. Ia meminta didoakan menjadi anak shalih, ibu mendoakannya, "Jadi anak yang shalih, sayang isteri, cinta anak-anak, jadi keluarga sakinah, hidup tentram, jauh dari bala dan bahaya, rezekinya lancar... " dan seterusnya. Si anak memintanya satu kali, ibu memberikan doa itu tak pernah putusnya. Bisa jadi, selama masih ada nafas yang melewati kerongkongannya doa itu akan terus mengalir.
Saya mencoba memutar waktu dua puluh lima tahun yang akan datang, saat itu mungkin anak-anak sudah besar dan menikah. Mungkin, disaat itu saya hidup sendiri, tidak ada pasangan di sisi dan hanya anak-anak yang saya miliki. Saya yakin dan teramat yakin, bahwa kebahagiaan sebagai orang tua adalah ketika melihat anak-anak bahagia hidup berumah tangga bersama keluarga tercintanya. Saya tidak berharap apa pun, juga tidak akan pernah meminta anak-anak membalas semua cinta yang pernah saya berikan, karena saya tahu sudah pasti mereka tidak akan pernah bisa membalasnya dengan apa pun.
Namun, teramat sulit saya melukiskan kebahagiaan yang saya rasakan tatkala anak-anak tetap memperhatikan, mencintai, menyayangi saya di usia renta nanti. Mungkinkah tak ada tetes air mata haru jika saya mendapati anak-anak saya berbakti untuk sedikit membalas apa yang pernah ia dapatkan dari saya selaku orang tuanya, meski takkan pernah sebanding?
Kebahagiaan yang selalu menjadi dambaan setiap orang tua itu entah kan dirasakan atau tidak di masa yang akan datang. Mungkinkah anak-anak saya akan tetap cinta dan berbakti di usia senja saya? Saya tak tahu. Hanya saja, saya telah mempersiapkannya sejak detik pertama ketika anak-anak menghembuskan nafas pertamanya, sejak isteri saya mengalirkan cintanya lewat air susunya, sejak saya memberinya nama-nama indah sebagai doa untuknya, sejak pertama kali saya mengenalkannya nama Allah yang kan menjadi sesembahannya dan nama Muhammad yang kan diteladaninya.
Lalu akan selalu ada doa yang tak akan pernah henti mengiringi setiap langkah kecil mereka. Ini yang saya sebut rencana bahagia.
Bayu Gawtama
Tuesday, June 07, 2005
Ini Pundakku, Mana Bebanmu...
Kemarin sore bus patas reguler jurusan Blok M-Tangerang yang saya tumpangi mendadak mogok. Sudah dicoba berkali-kali, namun sopir tetap gagal menghidupkan mesin bus yang sudah sarat penumpang itu. Sebagian besar penumpang berkesah, peluh pun menjadi hiasan seragam semua penumpang. Sepuluh menit sudah kendaraan itu mogok, hingga akhirnya kondektur berteriak minta tolong kepada penumpang laki-laki untuk membantu mendorong bus besar itu.
Dan, tidak lebih dari lima orang yang turun. Saya salah satunya. Kami pun mendorong sekuat tenaga, namun bus hanya bergerak sedikit. Sopir pun mulai keluar suaranya untuk minta tolong penumpang laki-laki yang lain agar membantu mendorong, kemudian beberapa orang lagi turun. Lagi, dengan sekuat tenaga perlahan bus pun bergerak namun mesinnya masih belum hidup. Harus didorong sekali lagi, padahal sudah tiga kali kami mendorongnya. Tenaga pun sudah lah terkuras, saya melihat ke dalam bus masih banyak laki-laki sehat dan bugar berdiri dan duduk tenang.
Ya sudahlah, komando dari kondektur menggerakkan tangan-tangan kami untuk kembali mendorong, dan berhasil. Tidak sia-sia nafas tersengal dan peluh membasahi pakaian, yang penting bus bisa jalan. Ada kepuasan tersendiri saat bus itu melaju kembali sambil berdoa agar tidak lagi mogok, sungguh, tenaga ini sudah habis. Saya yakin orang-orang yang tadi bersama saya mendorong pun merasakan kepuasan yang sama, melebihi kepuasan orang-orang yang hanya duduk dan berdiri tenang di dalam bis selama mogok tadi.
Rasanya, saya ingin sekali merasa egois saat bus itu mogok dengan tetap di dalam dan tak perlu turun untuk membantu mendorong, tapi kalau saja saya menyaksikan orang-orang berpeluh mengeluarkan seluruh tenaganya untuk mendorong dan saya diam saja, pasti jiwa saya sedang kacau. Bus yang mogok itu memang bukan urusan saya, tapi akan menjadi urusan saya jika saya berada di dalamnya. Jika tidak ada orang-orang yang turun untuk membantu mendorong, apakah bus akan sampai di tujuan?
Saya juga ingin sekali menumpahkan kekesalan saya, tapi apakah dengan marah-marah saja tanpa turun tangan membantu mendorong bisa menghidupkan mesin bus? Seharusnya saya tetap diam karena sudah membayar ongkos bus dan soal mesin yang mati itu bukan tugas saya. Saya bisa saja turun dan menunggu bus berikutnya yang akan membawa saya ke Tangerang. Tapi seandainya saya melakukan itu, pastilah ada bagian otak saya yang sedang terganggu.
***
Seorang mukmin yang baik adalah mereka yang berani berkata, "Ini pundakku, mana bebanmu". Dan bukan mereka yang menjadi beban bagi orang lain. Andai pun ia tak mampu membantu orang lain meringankan bebannya, bantu lah diri sendiri untuk tidak membebani orang lain. Seperti halnya bus yang mogok kemarin, jika tidak mau atau tak mampu membantu mendorong, turunlah dari bus agar Anda tidak menambah berat beban bagi yang mendorong.
Sebuah pelajaran di sore hari
Bayu Gawtama
Dan, tidak lebih dari lima orang yang turun. Saya salah satunya. Kami pun mendorong sekuat tenaga, namun bus hanya bergerak sedikit. Sopir pun mulai keluar suaranya untuk minta tolong penumpang laki-laki yang lain agar membantu mendorong, kemudian beberapa orang lagi turun. Lagi, dengan sekuat tenaga perlahan bus pun bergerak namun mesinnya masih belum hidup. Harus didorong sekali lagi, padahal sudah tiga kali kami mendorongnya. Tenaga pun sudah lah terkuras, saya melihat ke dalam bus masih banyak laki-laki sehat dan bugar berdiri dan duduk tenang.
Ya sudahlah, komando dari kondektur menggerakkan tangan-tangan kami untuk kembali mendorong, dan berhasil. Tidak sia-sia nafas tersengal dan peluh membasahi pakaian, yang penting bus bisa jalan. Ada kepuasan tersendiri saat bus itu melaju kembali sambil berdoa agar tidak lagi mogok, sungguh, tenaga ini sudah habis. Saya yakin orang-orang yang tadi bersama saya mendorong pun merasakan kepuasan yang sama, melebihi kepuasan orang-orang yang hanya duduk dan berdiri tenang di dalam bis selama mogok tadi.
Rasanya, saya ingin sekali merasa egois saat bus itu mogok dengan tetap di dalam dan tak perlu turun untuk membantu mendorong, tapi kalau saja saya menyaksikan orang-orang berpeluh mengeluarkan seluruh tenaganya untuk mendorong dan saya diam saja, pasti jiwa saya sedang kacau. Bus yang mogok itu memang bukan urusan saya, tapi akan menjadi urusan saya jika saya berada di dalamnya. Jika tidak ada orang-orang yang turun untuk membantu mendorong, apakah bus akan sampai di tujuan?
Saya juga ingin sekali menumpahkan kekesalan saya, tapi apakah dengan marah-marah saja tanpa turun tangan membantu mendorong bisa menghidupkan mesin bus? Seharusnya saya tetap diam karena sudah membayar ongkos bus dan soal mesin yang mati itu bukan tugas saya. Saya bisa saja turun dan menunggu bus berikutnya yang akan membawa saya ke Tangerang. Tapi seandainya saya melakukan itu, pastilah ada bagian otak saya yang sedang terganggu.
***
Seorang mukmin yang baik adalah mereka yang berani berkata, "Ini pundakku, mana bebanmu". Dan bukan mereka yang menjadi beban bagi orang lain. Andai pun ia tak mampu membantu orang lain meringankan bebannya, bantu lah diri sendiri untuk tidak membebani orang lain. Seperti halnya bus yang mogok kemarin, jika tidak mau atau tak mampu membantu mendorong, turunlah dari bus agar Anda tidak menambah berat beban bagi yang mendorong.
Sebuah pelajaran di sore hari
Bayu Gawtama
Thursday, June 02, 2005
Amal Unggulan
Kami bersahabat bertiga sejak kecil, dan tetap bersahabat hingga hari ini. Sepanjang perjalanan persahabatan itu ada satu kejadian yang saya takkan pernah lupa, yakni saat pengumuman UMPTN. Dua sahabat saya lulus, satu di FISIP UI, dan satunya di Kedokteran UI, sementara saya harus menangis sedih karena tidak lulus. Kejadian itu begitu menyesakkan, terlebih ketika saya tahu doa kami saat menghadapi soal-soal ujian itu kurang lebih sama persis. "Ya Allah, selama ini kami aktif berdakwah di kalangan remaja. Jika Engkau ridha atas apa yang kami lakukan, maka izinkanlah kami mampu melewati semua ini".
Kami ingat sebuah kisah di zaman Nabi, ada tiga orang yang terjebak ke dalam gua. Untuk bisa keluar dari dalam gua itu masing-masing mempertaruhkan amal unggulannya. Kemudian mereka pun berdoa agar Allah membukakan pintu gua seraya menyebutkan amal unggulan masing-masing. Atas izin Allah, terbukalah gua tersebut dan mereka pun keluar dari kesulitan.
Atas dasar cerita itu lah saya berdoa demikian, berharap Allah ridha atas dakwah yang saya lakukan dan menjadikannya sebagai amal unggulan saya. Tak disangka, dua sahabat yang kebetulan berlainan sekolah dengan saya itu mengucapkan doa yang tidak berbeda, dengan mempertaruhkan aktivitas dakwah yang sejak dua tahun terakhir kami lakukan bersama-sama di organisasi pelajar Islam.
Saya tidak mengerti apakah otak saya yang kalah encer dibanding dua sahabat saya itu, ataukah memang Allah tak menganggap amal yang saya pertaruhkan itu sebagai amal unggulan? Atau mungkin selama ini saya melakukan aktivitas itu tidak dengan hati yang ikhlas sehingga persembahan itu memang belum pantas dihadiahkan kepada Allah?
***
Kejadian itu terus teringat sampai hari ini. Disaat saya mengalami beberapa kesulitan, saya mencoba menjadikan apa-apa yang menurut saya suatu kebaikan sebagai hadiah yang pantas untuk dipertaruhkan dalam doa saya. Saya berharap Allah ridha dengan kebaikan yang pernah saya perbuat. Tapi kenapa saya juga masih terus diberi cobaan dengan kesulitan yang sama? Jangan-jangan saya memang belum banyak melakukan apapun, dan semua yang saya kira sebagai kebaikan itu ternyata belum bernilai apa pun di mata Allah. Atau adakah setitik riya' (ingin dipuji) mengotori setiap gerak kebaikan yang saya kerjakan?
Ya Tuhan, mungkin memang saya benar-benar belum memiliki amal unggulan yang pantas dipersembahkan dalam doa saya, sehingga Allah belum berkenan mengeluarkan saya dari kesulitan saat ini. Ya Allah, ampunilah saya yang terlalu sombong mengira telah banyak berbuat kebaikan, padahal sedikit, teramat sedikit sekali nilainya. Amat tak pantas hamba mempersembahkannya di hadapan-Mu.
Duhai Rabb, malu rasanya hamba saat ini. Semoga saya punya amal unggulan bila mendapati kesulitan di akhirat kelak.
Bayu Gawtama
Kami ingat sebuah kisah di zaman Nabi, ada tiga orang yang terjebak ke dalam gua. Untuk bisa keluar dari dalam gua itu masing-masing mempertaruhkan amal unggulannya. Kemudian mereka pun berdoa agar Allah membukakan pintu gua seraya menyebutkan amal unggulan masing-masing. Atas izin Allah, terbukalah gua tersebut dan mereka pun keluar dari kesulitan.
Atas dasar cerita itu lah saya berdoa demikian, berharap Allah ridha atas dakwah yang saya lakukan dan menjadikannya sebagai amal unggulan saya. Tak disangka, dua sahabat yang kebetulan berlainan sekolah dengan saya itu mengucapkan doa yang tidak berbeda, dengan mempertaruhkan aktivitas dakwah yang sejak dua tahun terakhir kami lakukan bersama-sama di organisasi pelajar Islam.
Saya tidak mengerti apakah otak saya yang kalah encer dibanding dua sahabat saya itu, ataukah memang Allah tak menganggap amal yang saya pertaruhkan itu sebagai amal unggulan? Atau mungkin selama ini saya melakukan aktivitas itu tidak dengan hati yang ikhlas sehingga persembahan itu memang belum pantas dihadiahkan kepada Allah?
***
Kejadian itu terus teringat sampai hari ini. Disaat saya mengalami beberapa kesulitan, saya mencoba menjadikan apa-apa yang menurut saya suatu kebaikan sebagai hadiah yang pantas untuk dipertaruhkan dalam doa saya. Saya berharap Allah ridha dengan kebaikan yang pernah saya perbuat. Tapi kenapa saya juga masih terus diberi cobaan dengan kesulitan yang sama? Jangan-jangan saya memang belum banyak melakukan apapun, dan semua yang saya kira sebagai kebaikan itu ternyata belum bernilai apa pun di mata Allah. Atau adakah setitik riya' (ingin dipuji) mengotori setiap gerak kebaikan yang saya kerjakan?
Ya Tuhan, mungkin memang saya benar-benar belum memiliki amal unggulan yang pantas dipersembahkan dalam doa saya, sehingga Allah belum berkenan mengeluarkan saya dari kesulitan saat ini. Ya Allah, ampunilah saya yang terlalu sombong mengira telah banyak berbuat kebaikan, padahal sedikit, teramat sedikit sekali nilainya. Amat tak pantas hamba mempersembahkannya di hadapan-Mu.
Duhai Rabb, malu rasanya hamba saat ini. Semoga saya punya amal unggulan bila mendapati kesulitan di akhirat kelak.
Bayu Gawtama
Wednesday, June 01, 2005
Iqna, Tiga Tahun Tanpa Tanda Seru
Semalam saya bertahan menahan kantuk hanya untuk menunggu detik pertama di tanggal 1 Juni 2005. Dan, persis pukul 00.01 saya mencium pipi anak kedua saya, Iqna Haya Adzakya, yang hari ini genap berusia tiga tahun. "Selamat ulang tahun bidadari kecilku," lirih suara saya melihat wajah polosnya. Tak terasa ada bening air yang meleleh dan kuusap dengan rambut anakku.
Iqna, adik Hufha yang awal kehadirannya tidak terdeteksi dan tidak diperkirakan. Bayangkan, isteri saya baru sadar kalau ia hamil lagi justru saat usia kandungannya sudah masuk bulan ketiga. Walhasil, kagetlah kami, berhubung usia Hufha saat itu baru beberapa bulan saja. Ah, dia masih terlalu kecil untuk punya adik, pikir saya.
Tapi, apapun, inilah amanah Allah yang mesti saya sambut dengan penuh cinta. Dan, 1 Juni 2002 hadirlah ke dunia seorang bidadari kecil yang akan menambah semaraknya keluarga cinta kami. Kemudian ia kami beri nama, Iqna Haya Adzakya, yang artinya kurang lebih, "yang merasa cukup apa adanya, menjaga rasa malunya, lagi cerdas"
Ada yang menarik dari proses kelahiran Inonk, panggilan sayang saya kepada Iqna. Saat terjadi kontraksi, saya masih berada di kantor di Jakarta, sementara saat itu kami masih tinggal di Bogor. Begitu mendapat telepon bahwa isteri saya mengalami kontraksi, saya langsung ngacir menuju Bogor. Dada ini terus berdegup sepanjang perjalanan berharap masih bisa menyaksikan dan menemani proses persalinan. Karena waktu Hufha lahir pun, saya mendampingi isteri tanpa berkedip. Dan itu, ternyata memberikan energi yang luar biasa bagi isteri saya menghadapi masa-masa persalinan.
Sampai di Bogor, isteri sudah pergi ke dokter tempat biasa memeriksakan kandungan. Saya pun bergegas mengejarnya, bersyukur saya mendapatkannya masih terbaring sambil meringis menahan sakit. Satu jam menunggu dokter ternyata belum juga datang dari Rumah Sakit tempatnya praktek. Akhirnya saya melarikan isteri saya ke bidan tak jauh dari situ. Nahas, sampai di tempat praktek sebelum turun dari mobil isteri saya berteriak lirih, "tahan sebentar, rasanya mau keluar nih..." Oohh, tambah panik lah saya.
Saya bopong isteri saya -aneh, entah tenaga dari mana- menuju tempat persalinan. Nahasnya lagi, sang bidan pun tidak ada di tempat. Saya pun lemas, padahal si bayi sudah mau keluar. Dan benar saja, tiga menit kemudian saya pun berubah profesi menjadi bidan. Saya lah bidan itu, saya yang membantu isteri menjalani proses persalinan, saya yang menarik si bayi dari rahim ibunya... hingga bidadari cantik itu hadir dan mata kami pun saling menatap. Tak percaya, tapi ini benar-benar terjadi dan saya takkan pernah bisa melupakan peristiwa bersejarah ini. Takut, haru, waswas, cemas, seru, merinding dan sejuta perasaan berkecamuk saat itu.
Tidak kurang dari dua menit setelah bayi keluar, bidan yang ditunggu pun hadir. Ia hanya meneruskan tugas selanjutnya, memotong tali pusar si bayi. Subhanallah, saya bersyukur bisa melakukan ini. Sungguh, ini peristiwa seru yang tidak pernah ingin saya ulangi...
Hari ini, tiga tahun usianya, tidak ada hal seru yang akan terjadi pada Iqna. Seperti ultah kakaknya Maret lalu, kami memang tidak akan pernah merayakan ulang tahun untuk anak-anak. Sekadar hadiah ulang tahun, itu pasti. Tapi tetap tanpa hingat bingar nyanyian ultah, tanpa tiup lilin, balon dan pita. Doa, itu lebih dari segalanya.
Selamat ulang tahun Iqna, jadilah bidadari cantik Abi dan Ummi.
Bayu Gawtama dan Ida Aryani
Subscribe to:
Posts (Atom)