Perawakannya kurus, meski ia mengakalinya dengan menggunakan blazer layaknya pegawai kantoran tetap saja terlihat bentuk tubuhnya yang ramping. Rambutnya lurus sebahu nampak kumal, sorot matanya sayu dan tak pernah berani mendekati orang meski ada kemauan yang teramat untuk mendekat.
Aromanya tak sesedap kebanyakan karyawati yang pernah saya temui. Blazernya pun lusuh, saya pun sempat menduga itu pemberian orang lain. Kulitnya hitam, tak manis, tak cantik, tapi wanita tiga puluh tahunan itu tetap berusaha memberikan senyum termanisnya untuk semua orang, terutama yang bersebelahan dengannya.
Pertama kali bertemu dengannya, saya sudah menduga ada yang ganjil dengannya. Benar saja, ia yang duduk di sebelah saya di angkutan menuju Blok M langsung berbisik perlahan, sebisa mungkin ia berusaha tidak terdengar oleh orang lain kecuali saya.
“Bapak, maaf ongkos bis ini berapa ya?” tanyanya lembut.
“Seribu dua ratus bu, ibu mau kemana?”
“Ke Blok M. Tapi saya nggak punya uang…” senyumnya tertahan. Getir.
Saya tak banyak bicara ketika kondektur tiba di sisi saya, selain mengeluarkan uang untuk ongkos dua orang. Tapi…
“Bapak punya uang lebih? Dua ribu saja. Agar saya bisa sampai ke Ciledug…”
Tak pikir panjang, saya keluarkan uang lebih dari yang dimintanya. Dan itu membuat senyumnya tak lagi tertahan.
***
Untuk kedua kalinya, saya bertemu dengannya di Stasiun Kalibata. Masih dengan blazer merah marunnya yang lusuh, rambut sebahu yang agak kemerah-merahan, mata yang sayu dan senyumnya yang tetap tertahan.
Saya lemparkan senyum terlebih dulu ketika ia menatap saya. Mungkin ia masih mengingat saya. Ia duduk persis di sebelah saya, berbaris sejajar dengan calon penumpang kereta lainnya.
Saya bisa merasakan geraknya yang mendekat dan mencoba merapat, “Pak, punya uang nggak, dua ribu saja untuk ongkos pulang…” pintanya.
Lagi-lagi saya tak banyak tanya, tiga lembar ribuan saya berikan kepadanya. Dan lagi-lagi senyumnya tak tertahankan.
***
Entah apa yang ada di pikirannya, sore itu menjelang maghrib ia kembali menghampiri saya. Dan Anda pasti sudah tahu apa yang ia minta dari saya. Hanya dua ribu rupiah.
Saya sempat ragu untuk mengeluarkan uang, saya perhatikan wanita itu sejenak dan menduga ia hanyalah seorang penipu yang berpura-pura tak punya uang dan memanfaatkan kebaikan orang lain. Entah berapa banyak orang seperti saya yang berhasil ia tipu dan berapa banyak pula ‘dua ribu’ yang ia raup hari ini, kemarin, atau hari-hari sebelumnya.
Tapi, wajah itu, tangan lemah itu, mata sayu itu nampaknya telah berkata yang sebenarnya.
Satu lembar lima ribuan mampir ke tangannya. Serta merta ia menarik tangan saya hendak mencium tangan saya… segera saya tarik karena saya tak menghendaki ia berlaku demikian hanya karena lima ribu rupiah.
Saya tak mengenalnya dengan baik, dimana ia tinggal, apa pekerjaannya, dan kemana setiap hari ia berjalan. Tapi saya bisa merasa ada beberapa mulut kecil di rumahnya yang menunggu setia kepulangannya.
Sungguh saya menangis, saat menatap wajahnya saya jadi ingat ibu sewaktu saya kecil. Ibu sering pergi jauh menawarkan jasanya mengajarkan Al Quran dengan ongkos seadanya, “nanti juga dikasih ongkos dari sana,” yang dimaksud ibu adalah orang yang diajarkan mengaji.
Bagaimana jika saat ibu datang mereka tak di rumah? Bagaimana ibu pulang? Siapa yang memberinya ongkos pulang? Seperti wanita yang sering saya temuikah cara ibu bisa pulang ke rumah setiap malam?
Kepada siapa pun yang pernah memberi ibu bantuan, terima kasih tulus dari saya.
Bayu Gawtama
1 comment:
amateur blog
Post a Comment