Ada pengalaman yang mengerikan sekaligus meninggalkan sebuah pertanyaan di hari ke tiga anak saya di rawat di rumah sakit karena types. Adzan maghrib berkumandang saat hujan rintik-rintik, Malaikat Izrail menjemput seorang anak berusia empat tahun di kelas tiga, kelas sebelah anak saya yang dirawat di kelas dua. Segera tangis mengurai di seluruh sudut bangsal, ibu sang anak langsung pingsan tak berdaya menerima kenyataan, sementara ayahnya menatap pilu wajah mungil yang terbujur kaku di hadapannya.
Malam itu sangat mencekam, bukan karena hujan tak reda, bukan pula karena semua penunggu pasien nampak termenung melihat kejadian sore tadi. Entah karena apa. Tiba-tiba sekitar pukul 01.15 dini hari, kembali tangis meledak di ruang yang sama. Seorang anak berusia kurang dari delapan tahun harus menghadap Allah. Yang membuat bingung, anak tersebut baru kurang dari dua jam lalu masuk bangsal tersebut dan ditempatkan di tempat tidur bekas anak yang meninggal sore tadi.
“Izrail masih di ruangan ini,” ujar seorang ibu lirih sambil menutupi wajah anaknya dengan telapak tangannya berharap Izrail tak melirik anaknya. Maklum tempat tidurnya hanya berjarak satu lirikan saja dari tempat anak yang baru saja meninggal.
Tentu saja ungkapan “Izrail masih disini” kuranglah tepat. Karena, Izrail tentu bisa ada di mana saja. Karena tak berapa lama pembantu Allah itu menjemput dua anak di bangsal RS itu, ia langsung berada di Aceh untuk menghantarkan ratusan ribu warga korban Tsunami untuk bertemu Rabb mereka. “Tidakkah Izrail lelah?”
Ah, dasar kita memang manusia. Takkan pernah bisa memahami kehendak dan kekuatan Allah. Saat Dia menurunkan hujan, kita meminta matahari segera bersinar. Saat kemarau berkepanjangan, beramai-ramai kita sholat untuk meminta hujan. Saat rezeki berlimpah menghampiri, kita bertanya-tanya “mimpi apa semalam?” Tetapi ketika Dia mengambil satu saja dari sekian nikmat yang kita miliki, kita pun marah, “Tuhan, apa dosa saya?”
Manusia selalu bertanya gerangan apa yang dikehendaki Allah dari semua peristiwa yang terjadi. Setiap kali kita mencoba mencari jawabannya, selalu diembeli kata “mungkin”. Tak pernah ada yang pasti, karena tak satu pun kita bisa tahu pasti rencana Allah. Cara Dia memberi sesuatu, dan cara Dia mengambilnya kembali dari kita, juga tak pernah bisa kita mengerti. Nalar ini tak pernah sanggup mengurai satu persatu kehendak-Nya.
Tak ada yang bisa menjawab kenapa di usia senja Allah belum juga memberi kita jodoh. Tak ada yang tahu rahasia Allah tak juga menganugerahi keturunan di belasan tahun usia pernikahan kita. Sama tidak mengertinya kita saat Dia tak menyegerakan datangnya rezeki meski selaut tangis dan pinta kita layangkan kepada-Nya. Atau ketika Dia justru menanamkan janin di sebuah rahim yang si empunya belum berkehendak untuk mengandung. Dan adakah yang sanggup menjawab pertanyaan, kenapa kita masih menghirup segarnya udara di pagi hari ini?
Nalar manusia takkan pernah mampu menjangkau kehendak Allah. Kemampuan berpikir manusia tak pernah berhasil mengurai rencana Allah terhadap hamba-hamba-Nya. Sebagian orang mencoba mengerti dan memahami setiap apa yang terjadi di muka bumi ini, meski saya tak pernah benar-benar yakin mereka tak menyisakan satu tanya, mengapa?
Seperti halnya musibah di Aceh, Sumatera Utara dan beberapa negara di Asia. Semua bilang Allah tengah murka. Sungguh, saya tak benar-benar yakin Allah tengah murka. Mungkin itu hanya sebuah peringatan saja. Murka Allah begitu besar, begitu hebat. Gelombang Tsunami yang baru saja terjadi bukanlah murka Allah, itu tak sebanding dengan semua dosa dan kesalahan yang kita perbuat di muka bumi ini. Kalau Allah mau murka, kenapa harus Aceh (saja)? Padahal yang berbuat salah tidak hanya orang-orang Aceh, yang bergelimang dosa mungkin lebih banyak di daerah lain. Jika Allah mau murka, mungkin seluruh negeri ini akan luluh lantak di hantam badai laut, angin, gunung dan segala yang Allah punyai.
Lagi-lagi, nalar kita tak sampai –dan takkan pernah bisa- mengurai semua kehendak-Nya. Karena kita cuma manusia. Makhluk yang dengan segala kekerdilannya mencoba memahami jalan Allah. Yang selalu takkan pernah mampu mengerti mengapa Dia mengambil semua yang pernah Dia berikan sebelumnya. Siapkah kita menghadapinya? Ah, jangan coba-coba menjawab dengan nalar lagi.
Pagi harinya, masuk lagi seorang anak dengan penyakit yang sama parahnya dan ditempatkan di tempat tidur yang sama bekas dua bocah sebelumnya meninggal. Tapi sampai kepulangan anak saya dari rumah sakit, anak itu berangsur sehat. Mungkin Izrail memang tidak di ruangan itu, mungkin ia tak sedang mengunjungi kita, atau anak kita, tapi pasti ia akan datang. Itu pasti, untuk yang satu ini, saya tak perlu menalar, ia pasti datang, suatu saat.
Bayu Gautama
No comments:
Post a Comment