I. Setan kurang ajar
“iih, nyebelin, reseh, gak tau malu, gak punya otak, gak tau diri …”
“e eeh Rara, ada apa baru nyampe langsung ngomel-ngomel nggak karuan begitu? Kemasukan setan apa kamu sore-sore begini…?” tanya ibu heran melihat tingkah anak gadis semata wayangnya itu.
“setan kurang ajar, dedemit gak tau adat…” ketus Rara.
“Duh gadis cantik ibu, nggak boleh ngomong kasar gitu dong, malu tuh sama jilbab. Lagian, di mana-mana setan emang kurang ajar, dan satu lagi, emangnya ada adat istiadat setan? Ibu baru denger deh…”
“Ibu ini, orang lagi kesel malah diledekin macem-macem. Iya Rara tau, setan jenis apa pun kurang ajar. Tapi yang satu ini jauh lebih gak tau diri dan kurang ajar dari semua bentuk dan macam setan yang pernah Rara kenal…”
“Lah, emang sudah berapa banyak setan kenalan kamu Ra…” dahi ibu mengerut.
“Dengerin dulu deh Rara cerita, ntar ibu juga pasti tau kenapa Rara sebelnya minta ampun sama setan yang satu ini…”
Kemudian satu persatu kalimat mengalir dari mulut mungil gadis kecil yang masih duduk di bangku kelas tiga SMP TUJUH SAJA itu. Di angkot yang membawanya menuju rumah, ia bersebelahan dengan seorang lelaki, ups, maksudnya seorang bapak. Rara lebih suka menyebutnya bapak karena kalau dilihat dari uban di kepalanya, nggak jauh beda sama yang sering Rara lihat di kepala yah. Jadi, ya kira-kira usianya mirip-mirip lah.
Dia tanya macam-macam soal kelas berapa, sekolah dimana, rumahnya dimana, umurnya berapa… untung dia nggak tanya gurunya namanya siapa, umur gurunya berapa, jumlah murid di sekolah berapa banyak, laki-lakinya berapa, wanitanya berapa, siapa penjaga sekolah, atau berapa kali rata-rata setiap siswa buang air kecil ke toilet. Kan pusing tuh…
Sudah lengkap tanya ini itu,
“Kalau sudah besar mau jadi apa dik? tanya Bapak itu.
Sejenak Rara mencerna pertanyaan bapak itu, dan disimpulkan sebagai pertanyaan yang tidak berbahaya.
“Mau kerja dan punya uang banyak,” jawab Rara sekenanya.
“Kepengen gaji berapa?”
“Satu juta…” lagi-lagi asal jawab. Walau sebaris angka menari-nari di otak Rara, kira-kira satu juta cukup nggak ya buat beli baju enam pasang sebulan, sepatu sebulan sekali ganti, pulsa hape, beli jilbab tiga macem, bedak, pakaian dalam, ongkos kesana kemari, beliin ibu cicin emas 20 gram, beliin Ayah kaos kaki baru biar kaos kaki Ayah yang butut dan bolong-bolong itu pensiun dan segera di recycle, beliin Boni mobil-mobilan baru, jajan es buah di mang Jana, mie ayam di mas Totok…
“Cuma itu? Kamu nggak ingin jadi penganten?”
Bagai petir menggelegar yang sering bikin Boni nangis sekencang-kencangnya karena ketakutan, Rara cuma bisa melongo dengan mata tak berkedip ditanya yang begituan. Penganten? Nggak salah denger nih?
Seperti mengambil kesempatan disaat mata Rara melongo tak berkedip dengan mulut yang menganga karena teramat sulit mengeja dan memahami kata P-E-N-G-A-N-T-E-N, Bapak tadi melancarkan serangan berikutnya,
“Maksud bapak, kalau kamu pengen dapet satu juta setiap bulan sih nggak perlu capek-capek kerja. Kamu pengantenan aja sama bapak, nanti tiap bulan bapak kasih uang satu juta. Kan enak tuh, nggak kerja tapi dapet duit satu juta tiap bulan”
Beruntung Rara, di belokan berikut gang rumahnya segera terlihat. Segera ia ketuk bagian atas angkot dan mengambil langkah seribu satu, jelas lebih cepat dari pada langkah seribu. “Ibuuuuuuuuuu………”
Dari angkot masih sempat terdengar,
“Nanti bapak mampir ya neng…, angkotnya biar bapak yang bayar” teriak bapak itu dari dalam angkot.
bersambung ...
tunggu kelanjutan ceritanya ya
1 comment:
heheheheh.. lucu... :D :D :D ya ampuunnn ;)) ;))
Post a Comment