Anak Betawi yang Keliling Dunia Lewat Blog

Kate siape anak Betawi kagak bise maju? siape kate anak Betawi pade males dan banyak nyang jadi pengangguran? Bukan maksud nyombong atawe unjuk gigi, aye cuma ngasih tau kalo kagak semue anak Betawi kayak nyang ente kire...

Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...

Tuesday, December 21, 2004

Menciptakan Perbedaan

Belum lama saya berkenalan dengan dua wanita hebat di Stasiun Gambir, Jakarta Pusat. Keduanya adalah bagian dari relawan yang memberikan pelajaran baca tulis kepada anak-anak jalanan dan juga anak-anak pemulung di beberapa tempat di Jakarta. Secara pribadi, saya –yang pernah besar di jalan- sangat tertarik dengan aktivitas para relawan ini. Tidak sekadar mengisi waktu sisa, tak juga sebatas aktualisasi diri. Tapi saya yakin, lebih dari semua itu, apa yang mereka lakukan juga membedakan mereka dengan kebanyakan orang di muka bumi ini yang tak peduli dengan masa depan dan pendidikan anak-anak jalanan.

Persaingan hidup, kadang menjebak kita pada rutinitas harian yang melelahkan. Bahkan hampir-hampir tak ada waktu tersisa selain untuk mengisi keperluan dan kebutuhan pribadi. Bangun pagi, sarapan kemudian berangkat ke kantor bekerja hingga sore bahkan larut. Kembali ke rumah dan merapatkan diri di pembaringan. Kalau pun ada aktivitas lain, ya masih bagian dari kepentingan diri, ibadah, jalan-jalan dengan keluarga, belanja, dan sebaris jadwal lainnya, yang kesemuanya: pribadi.

Jika itu yang kita lakukan, tentu kita tak bedanya dengan milyaran manusia di belahan bumi mana pun. Yang terus menerus terjebak dengan rutinitas hidup demi pemenuhan kebutuhan individu. Kita, tak bedanya dengan orang biasa yang mengejar prestasi pribadi, yang hasilnya pun hanya dirasakan sendiri. Padahal jika hanya demikian, sekali lagi, kita tak bedanya dengan milyaran kepala di bumi ini.

Nilai hidup tidak ditentukan oleh berapa banyak uang yang berhasil kita kumpulkan di tabungan pribadi. Tidak juga diukur dari tingkat dan gelar pendidikan yang sudah diraih. Dan saya sendiri tak pernah ‘angkat topi’ melihat jabatan di kartu nama seseorang yang baru saja saya kenal. Hidup akan memiliki nilai jika ada peran serta kita terhadap kehidupan orang lain. Semakin banyak orang lain yang tersentuh oleh keberadaan kita, semakin besarlah nilai hidup kita.

Apapun bisa kita lakukan untuk menjadikan hidup ini bernilai. Semakin banyak yang bisa kita perbuat untuk orang lain, tentu hidup ini akan semakin berarti. Semangat inilah yang kemudian membaluri seluruh sendi dan aliran darah di tubuh saya untuk menciptakan perbedaan dengan mencoba lebih banyak berbuat untuk orang lain, tentu dengan cara saya sendiri. Dan saya yakin, setiap manusia di muka bumi ini bisa dengan mudah menciptakan perbedaan itu untuk menambah nilai hidupnya.

Seperti dua sahabat baru saya di Stasiun Gambir itu, jejak langkahnya yang seringan kapas, kesabarannya mengajar takkan pernah bisa terlupakan oleh anak-anak jalanan itu. Mereka telah menciptakan sebuah perbedaan dengan apa yang mereka lakukan itu. Tentu tanpa perlu bertanya, saya yakin, hidup mereka jauh lebih berarti. Tak sekadar berarti untuk diri sendiri, atau keluarga. Tapi teramat berharga bagi orang-orang yang pernah disentuhnya.

Kini, saya pun selalu mengenang sebuah momentum di tahun 1983 ketika kakek saya meninggal dunia. Rumah keluarga besar kami tak hanya dipenuhi dengan keluarga, sahabat maupun kerabat dekat kakek. Ratusan anak yatim piatu dari beberapa panti asuhan ikut berjejal dan berebut untuk mencium wajah bersih kakek saya dan menghantarkan jasadnya ke tempat terakhir.

Teramat banyak daftar orang-orang yang telah menciptakan perbedaan dan membubuhkan nilai untuk hidupnya. Sehingga pada saat hidupnya berakhir, kenangan tentang dirinya takkan pernah berakhir, sampai kapan pun. Itu bisa dibuktikan dengan seberapa banyak orang yang antri untuk ikut sholat jenazah.

Inilah yang menjadi cita-cita terakhir saya, semoga.

Bayu Gautama

2 comments:

imponk said...

Salam buat dua sahabat yang hebat di Stasiun Gambir itu.

Anonymous said...

Jadi makin sedih aja nih robot kapitalis ....

Ravi