Ada yang menarik jika kita mau memperhatikan pelaksanaan sholad Id. Di banyak tempat, seiring dengan bertahun-tahun kita mengikuti sholat Id di berbagai tempat maupun di tempat yang itu-itu saja, cobalah perhatikan satu acara inti dari rangkaian sholat Idul Fitri. Yang dimaksud yakni pada saat khutbah Id, sesaat seusai sholat Id dilaksanakan.
Ketika khatib naik mimbar, seketika itu pula sebagian kecil jamaah meninggalkan lapangan/tempat pelaksanaan sholat. Ada sebagian ibu-ibu beralasan menyiapkan makanan bagi anggota keluarganya, agar jika sepulang mereka dari sholat Id, makanan sudah tersaji. Entah apa pun alasannya, sangat menarik untuk mengkaji hal ini lebih lanjut.
Bisa dibayangkan perasaan semua khatib yang naik mimbar usai sholat Id, itu pun andai mereka memahami. Tapi sebagai seorang yang senantiasa berhadapan dengan khalayak manusia, tentu saja para khatib ini tahu persis semua masalah yang kerap terjadi pada saat pesan moral dan ceramah tengah disampaikan. Salah satunya, ditinggalkan jamaah. Bedanya, jika di moment yang lain jamaah meninggalkan arena tabligh lantaran beberapa sebab, misalnya, penceramahnya tidak bagus, materinya kurang mengena, atau acaranya terlalu malam dan lain sebagainya. Namun semoga bisa disimpulkan, jamaah sholat Id yang meninggalkan lapangan sesaat ketika sang khatib baru saja berucap, “Assalaamu’alaikum…” mungkin karena mereka menganggap khutbah Idul Fitri tak lebih penting dari ketupat dan kue lebaran yang menanti di rumah.
Mari kita bayangkan sejenak. Khatib sholat Id harus berdiri diantara dua hal penting, kepentingan untuk menyampaikan pesan moralnya dan kepentingan para jamaah yang berharap khatib tak berlama-lama menyampaikan ceramahnya, lantaran mereka ingin segera ‘berlebaran’. Singkatnya, khatib berdiri diantara pesan moral dan belah ketupat. Benarkah?
Sesekali –mungkin saat sholat Id tahun depan- jangan terlalu serius dan khusyuk menyimak ceramah khatib. Coba sedikit celingak-celinguk ke kanan, kiri, depan, dan belakang, perhatikan para jamaah lainnya. Ada yang terpejam, namun telinga masih mendengar. Sebagian bahkan sudah tertidur pulas, nampak dari ayunan kepalanya. Sebagian yang tidak tidur terbagi dua, yang serius menyimak ceramah dan satu lagi yang terlihat sedikit gusar berharap tak lebih dari lima menit khatib berdiri di mimbar.
Lima menit ceramah berlangsung, yang terpejam sudah tertidur, yang tertidur sudah bermimpi, yang gusar makin gelisah. Satu persatu perangkat sholat mulai dikemas, peci, mukena, sajadah mulai dilipat. Ada yang berselonjor kaki, menekuk lutut sambil membenamkan wajah diantara kedua lututnya. Beberapa orang nampak mengubah posisi duduknya, miring ke kanan, ke kiri, ada pula yang jomplang ke belakang dengan menjadikan dua lengan sebagai penyanggah tubuh. Lihat lebih jauh ke belakang, ada yang saling ‘berceramah’, tandingan ceramah sang khatib. Ngobrol, membuat topik lain yang dianggap lebih seru ketimbang tema yang disodorkan khatib.
Kasihan sekali nasib khatib di atas mimbar. Berapa persen yang benar-benar menyimak pesan moral yang disampaikannya? Atau jangan-jangan ada khatib yang tidak peduli dengan hal demikian dan terus saja menyelesaikan baca teks ceramah di tangannya. Suka tidak suka, ada yang menyimak atau lebih suka tertidur, yang penting tugas selesai.
Lima belas menit belum juga selesai ceramah sang khatib. Padahal belah ketupat sudah menari-nari di pelupuk mata jamaah. Beberapa tempat sudah lowong, menyisakan koran-koran lusuh yang ditinggalkan begitu saja, sekaligus menjadi pekerjaan tambahan panitia penyelenggara sholat Id untuk membersihkannya. Boleh ditebak, sebagian jamaah yang bertahan mungkin hanya tidak enak meninggalkan tempat sholat. Mungkin karena orang tuanya masih bertahan, suaminya masih serius menyimak, temannya belum beranjak. Sebagian lainnya justru malu jika sendirian melenggang, sambil lirik kanan kiri andai ada jamaah lain yang beranjak pergi dan bisa dijadikan teman menanggung malu. Jamaah lainnya menanti-nanti kalimat, “demikian khutbah yang bisa saya sampaikan…” dari sang khatib.
Ada yang salah dengan pelaksanaan sholat Id kita? Semoga bisa menjadi koreksi tersendiri. Bagi kita para jamaah, juga para khatib yang bertugas menyampaikan pesan moral nan religius. Tentu saja tidak semua khatib mengalami nasib seperti ini, berdiri diantara pesan moral dan belah ketupat. Sama halnya dengan tidak semua jamaah mementingkan belah ketupat tinimbang menyelesaikan seluruh rangkaian sholat Id dengan penuh khidmat dan khusyuk. Wallaahu ‘a’lam.
Bayu Gawtama
Kelas SCHOOL of LIFE sudah dibuka, 90 orang sudah mendaftar. Cari infonya di school.of.life@hotmail.com
Anak Betawi yang Keliling Dunia Lewat Blog
Kate siape anak Betawi kagak bise maju? siape kate anak Betawi pade males dan banyak nyang jadi pengangguran? Bukan maksud nyombong atawe unjuk gigi, aye cuma ngasih tau kalo kagak semue anak Betawi kayak nyang ente kire...
Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...
Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
1 comment:
pupuk organik
pupuk organik : Hasil Panen Berkwalitas : Kandungan Nutrisi, Rasa, & Daya Simpan.
Kunjungi Website : http://pupuk-bioorganik.blogspot.com/
Post a Comment