Tatapan matanya begitu tajam, sepasang anak dan ibu itu terus membuntuti saya lewat tatapannya. Semakin menjauh saya semakin memicing matanya, seolah tak ingin melepaskan saya yang semakin jauh. Beberapa kali saya menengok ke belakang, masih saja dua pasang mata itu menatap, semakin tajam terasa bahkan. Tapi, jauh di dalam ketajaman matanya itu teramat jelas sejarah panjang tanah tempat tinggalnya yang teramat jauh dari peradaban. Sebuah kampung yang berada di lembah, dengan pegunungan di sekelilingnya. Hanya sebuah pesawat kecil yang mampu menjangkau tempat tinggalnya.
Yahukimo, baru-baru ini namanya terdengar. Sebagian orang masih terpeleset lidahnya karena terbiasa menyebut Yohokama, salah satu kota di Jepang. Tapi Yahukimo bukan di Jepang, ia berada di Indonesia, tepatnya di Papua. Lebih tepat lagi, berada di daerah Jawawijaya. Kabupaten Yahukimo adalah pemekaran dari Kabupaten Jayawijaya. Selain Yahukimo, dua kabupaten lainnya adalah Tolikara dan Pegunungan Bintang. Namun, di banding tiga kabupaten lainnya, Yahukimo lah yang bernasib paling buruk. Dan baru-baru ini, orang Indonesia di berbagai kota baru sadar, ada satu daerah di Papua yang bernama Yahukimo.
Yahukimo mendadak terkenal bukan karena di tanah itu terdapat kandungan emas, seperti halnya Timika. Bukan juga karena di daerah itu tempat kelahiran seorang artis ternama ibukota. Tak ada tambang emas di Yahukimo, pun tak ada artis yang dilahirkan di salah satu dari 34 Distrik yang ada di Kabupaten Yahukimo. Justru, kabar yang membuat Yahukimo begitu terkenal baru-baru ini adalah sebuah kabar memilukan, puluhan orang diduga mati kelaparan.
Miris mendengarnya. Tentu saja. Karena Yahukimo bukan di Ethiopia, bukan pula di negara lain yang menjadi langganan bencana kelaparan. Tapi Yahukimo masih berbendera Indonesia dan berbahasa yang sama dengan orang Jakarta. Suku-suku di Papua memang berbeda bahasa, namun justru yang menyatukan mereka adalah bahasa Indonesia. Bahasa negara yang menjadi tumpuan mereka, agar nasib mereka setidaknya tak jauh berbeda dengan orang-orang di Jakarta.
Saya dan Eko Yudho, Tim Aksi Cepat Tanggap (ACT) yang langsung dikirim begitu kabar pilu itu menyeruak, tak kuasa menahan tangis tatkala melihat langsung kondisi masyarakat Distrik Holuwon, salah satu distrik di Kabupaten Yahukimo. Siburuh, begitu sebutan mereka untuk umbi-umbian yang menjadi makanan utama masyarakat Yahukimo. Tak ada lagi siburuh untuk dimakan, adalah hujan lebat yang terus menerus mengguyur tanah mereka sejak Mei 2005, menyebabkan warga gagal panen. Siburuh yang mereka tanam, tumbuh tanpa isi dan lembek. Akibatnya, tak satu pun yang bisa dimakan. Alternatif makanan mereka saat ini adalah buah merah, yang bagi sebagian orang Jakarta dijadikan obat yang lumayan mahal harganya.
Menurut catatan Kepala Pos Distrik Holuwon, Bernard Yahole, 25 orang sudah meninggal akibat kelaparan di Distriknya. Distrik Holuwon dihuni oleh 8975 penduduk yang tersebar di 15 Kampung. Mereka yang meninggal terdiri dari anak-anak dan orang dewasa. Meski Bernard secara tegas bahwa 25 warganya memang meninggal akibat kelaparan. Mungkin tidak serta merta seluruhnya meninggal akibat kelaparan, bisa jadi sebagian mereka meninggal karena sakit. Bernard pun menjelaskan, bahwa di distriknya bukan hanya bencana kelaparan yang tengah terjadi, ditambah wabah penyakit. Selain Malaria yang sudah menjadi endemi di Papua, diare, penyakit pernafasan dan juga penyakit yang disebabkan oleh bakteri amoeba pun menyerang warga Holuwon. Sangat mungkin, mereka yang awalnya kelaparan, sangat mudah terserang penyakit lantaran daya tahan tubuh mereka melemah. Kemudian, ajal pun siap menjemput.
Tragis memang. Puluhan orang harus mati kelaparan. Mereka meninggal sebagai warga negara Indonesia. Sementara para pejabat Kabupaten Yahukimo, justru lebih banyak berada di kota, bahkan lebih sering ke Jakarta. Wajarlah, bila orang yang kelaparan hingga mati di wilayahnya tak pernah terdeteksi. Dan terperanjatlah mereka setelah tahu ada warganya yang mati. Mati kelaparan.
Menangiskah kita untuk Yahukimo? Atau berita kelaparan Yahukimo sekadar menjadi berita hangat peneman teh panas di pagi hari kita, tanpa ada tangan terhulur untuk mereka. Ah, jangan-jangan kita begitu mudah berujar, "Itu sudah menjadi tugas pemerintah".
Saya benar-benar masih terus terbayang wajah sepasang anak dan ibu itu. Tatapan matanya tajam, tapi kosong. Sekosong perut mereka pastinya.
Bayu Gawtama
1 comment:
sediiiih euy..... kalo aku disana pasti mewek dot com !!
Post a Comment