Sampai detik ini saya masih ingat kasus seorang ibu yang digelandang petugas keamanan sebuah Mal di Jakarta, karena kedapatan mencuri beberapa pasang pakaian anak dan menyembunyikannya di balik pakaiannya. Ketika ditanya motif pencurian yang dilakukannya, sambil menangis minta ampun, si ibu berkata, "Anak saya menangis setiap hari minta baju lebaran, orang miskin seperti saya, punya uang dari mana untuk membelinya?".
Itu kasus tiga atau empat tahun yang lalu, di hari-hari terakhir Ramadhan. Bahwa kemudian di sebuah harian nasional, kasus serupa diberitakan kembali setahun kemudian, lagi-lagi terjadi di beberapa hari terakhir Ramadhan, menjelang lebaran.
Tahun ini, saya belum mendengar atau membaca berita yang sama, dan semoga saja tidak ada kasus demikian. Walau pun saya harus bersiap kemungkinan mendapati berita serupa, bahkan mungkin tidak satu kasus. Bisa dua, empat, atau tak terbilang kasus serupa di berbagai tempat. Kasus empat tahun lalu, dan setahun kemudian saja, saya duga itu hanya sebuah contoh. Artinya, ada banyak kasus serupa dengan motif yang tidak berbeda terjadi di banyak tempat, di banyak Mal, di banyak kota di Indonesia. Mungkin, kebetulan kasus lainnya itu tidak tertangkap media. Atau justru banyak pencuri-pencuri dadakan itu -terpaksa mencuri karena anak mereka minta baju lebaran- tidak tertangkap.
Lebaran memang sebuah fenomena. Bagi orang-orang mampu, lebaran layaknya pameran status sosial. Rumah mereka kembali seperti baru menjelang lebaran, seluruh anggota keluarga mengenakan pakaian serba baru dan mahal, hidangan di meja makan pun beraneka ragam dan bentuk. Tak cukup satu lauk, bisa disebutkan hingga empat macam lauk siap disantap. Belum lagi makanan kecil, kue lebaran, dan jenis es segar menemani kehangatan silaturahim hari raya. Dan yang tak pernah ketinggalan, anak-anak kecil mereka berlomba mengumpulkan uang "salam tempel" atau "hadiah lebaran". Tak jarang mereka menghitung bersama, untuk menunjukkan jumlah yang mereka dapat lebih banyak dari anak lainnya.
Bagaimana dengan orang-orang di luar mereka? kelas menengah, masihlah boleh berbahagia. Meski tak semahal dan sebanyak pakaian orang-orang kelas atas, mereka masih bisa berbaju baru, bersepatu baru. Kue-kue masih tersedia di ruang tamu, begitu juga ketupat lebaran dan rendang daging. "Setahun sekali," ujar mereka beralasan.
Termasuk soal "angpaw" lebaran, meski sedikit, tetap saja mampu membuat anak-anak itu tersenyum. Setidaknya mereka bisa membeli mainan yang sudah lama diidamkan, tidak perlu merengek dan menggelendoti kantong orang tua mereka. Dengan uang yang tak seberapa itu, seolah mampu membeli semua keinginan mereka yang selama ini sekadar mimpi.
Bagaimana nasib orang-orang miskin? Anak yatim?. Ada yang terpaksa mencuri dan mengambil resiko berlebaran di balik jeruji demi keceriaan anak mereka di hari raya. Bagi mereka yang tetap sederhana dan menerima kenyataan, cukuplah nasi dan air putih tetap tersedia. Kalau pun boleh berharap, seikat ketupat kiriman dari tetangga akan menghiasi dapur mereka. Setidaknya, ada nuansa lebaran di rumah mereka dengan hadirnya tiga-empat belah ketupat di dapur.
Kue lebaran? Nanti dulu. Justru mereka yang akan mendatangi rumah-rumah orang mampu. Gayung bersambut karena biasanya orang-orang kaya akan menggelar "open house" untuk para tetangganya. Di saat seperti inilah, orang-orang miskin akan merasa lebaran juga diperuntukkan bagi mereka. Untuk anak-anak, selain mencicipi, dan sedikit memenuhi kantong-kantong mereka dengan aneka kue lebaran, bolehlah berharap ada jatah "angpaw" dari tuan rumah. Jadilah mereka rajin mencium tangan para dermawan hari raya itu, "ya, setahun sekali".
Ah, lebaran memang fenomenal. Berbagai lapisan masyarkat merayainya dengan caranya masing-masing. Ya si kaya, juga si miskin. Jadi, kata siapa orang miskin dilarang lebaran? Mereka tak terima THR, tak berbaju baru, tak punya kue lebaran, tak ada ketupat, tapi mereka punya harapan bertemu orang-orang yang akan membagi keceriaan hari raya. Semoga, harapan itu mampu terjawab di hari raya ini.
Bayu Gawtama
Anak Betawi yang Keliling Dunia Lewat Blog
Kate siape anak Betawi kagak bise maju? siape kate anak Betawi pade males dan banyak nyang jadi pengangguran? Bukan maksud nyombong atawe unjuk gigi, aye cuma ngasih tau kalo kagak semue anak Betawi kayak nyang ente kire...
Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...
Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...
Friday, October 28, 2005
Sunday, October 23, 2005
Salam Sejahtera bagi Pak Muslim
Adzan maghrib berkumandang, waktu berbuka puasa pun tiba. Tapi sore itu saya masih berada di angkot, duduk di pojok berhadapan dengan lelaki paruh baya. Lelaki itu, serta merta mengeluarkan sebuah minuman kemasan rasa jeruk dari dalam tasnya. Untuknya berbuka puasa, pikir saya. Tapi ternyata, “Silahkan berbuka, sudah masuk waktunya,” sambil menyodorkan minuman itu ke arah saya. Belum sempat saya menolaknya, ia sudah mengeluarkan beberapa gelas minuman kemasan yang sama, kemudian dibagikan kepada seluruh penumpang dalam angkot, termasuk seorang mahasiswa di sebelahnya.
Mahasiswa itu, seorang non muslim. Dengan sangat sopan ia menolak pemberian lelaki paruh baya itu. “Saya bukan muslim, saya tidak berpuasa, terima kasih,” ujarnya sopan. Lelaki itu tak mau kalah, ia tetap menyodorkan minuman itu, dan, “Ini bulan berkah, keberkahan puasa bukan hanya untuk kami yang muslim, bahkan juga untuk orang diluar muslim,” kata-kata itu teramat menyentuh batin saya, dan saya yakin juga bagi mahasiswa itu.
“Nama saya Muslim” begitu ia memperkenalkan dirinya kepada saya. Nama yang sangat mewakili perbuatannya. Islam sebagai rahmat bagi semesta alam, dan seorang muslim semestinya menjadi rahmat bagi semua orang, tidak terkecuali. Seorang muslim ialah yang senantiasa menebar kasih sayang kepada sesama, tak peduli ia berbeda agama. Dan Pak Muslim telah mengajarkan langsung kan hal-hal yang selama ini masih sering menjadi materi dasar di berbagai pengajian dan forum keagamaan yang kita ikuti. Pak Muslim bukan seorang ustadz, bukan ulama, dia juga tidak banyak berbicara di atas mimbar, di televisi, tapi apa yang baru saja dilakukannya di hadapan saya, jauh lebih mengagumkan dari sekadar kata-kata indah yang terumbar di berbagai mimbar dan corong pengeras suara.
Sungguh saya malu, terlalu sering berbicara dan tak berupaya mengimbanginya dengan amal nyata. Kalau mau dihitung, sedikit sekali yang sudah saya kerjakan untuk membuktikan betapa Islam itu benar-benar menjadi rahmat bagi seluruh alam, bagi semua umat, tidak terkecuali.
Jati diri seorang muslim bukan ditunjukkan dengan simbol, bendera dan kata-kata. Sesungguhnya, jati diri itu tertanam dalam jiwa yang kemudian tercermin dalam perilaku dan perbuatannya sehar-hari. Pakaian yang kita kenakan hanya menunjukkan fisik kemusliman kita, tapi kesejatian seorang muslim lebih dipancarkan dari kebaikan-kebaikan yang kita kerjakan. Pakaian seorang muslim yang sebenarnya, adalah kata-kata baik penuh hikmah dan perbuatan yang mengandung keberkahan bagi siapa saja, tidak terkecuali.
Nama saya bukan Muslim, tapi saya seorang muslim. Semoga saya bisa seperti Pak Muslim.
Bayu Gawtama
Mahasiswa itu, seorang non muslim. Dengan sangat sopan ia menolak pemberian lelaki paruh baya itu. “Saya bukan muslim, saya tidak berpuasa, terima kasih,” ujarnya sopan. Lelaki itu tak mau kalah, ia tetap menyodorkan minuman itu, dan, “Ini bulan berkah, keberkahan puasa bukan hanya untuk kami yang muslim, bahkan juga untuk orang diluar muslim,” kata-kata itu teramat menyentuh batin saya, dan saya yakin juga bagi mahasiswa itu.
“Nama saya Muslim” begitu ia memperkenalkan dirinya kepada saya. Nama yang sangat mewakili perbuatannya. Islam sebagai rahmat bagi semesta alam, dan seorang muslim semestinya menjadi rahmat bagi semua orang, tidak terkecuali. Seorang muslim ialah yang senantiasa menebar kasih sayang kepada sesama, tak peduli ia berbeda agama. Dan Pak Muslim telah mengajarkan langsung kan hal-hal yang selama ini masih sering menjadi materi dasar di berbagai pengajian dan forum keagamaan yang kita ikuti. Pak Muslim bukan seorang ustadz, bukan ulama, dia juga tidak banyak berbicara di atas mimbar, di televisi, tapi apa yang baru saja dilakukannya di hadapan saya, jauh lebih mengagumkan dari sekadar kata-kata indah yang terumbar di berbagai mimbar dan corong pengeras suara.
Sungguh saya malu, terlalu sering berbicara dan tak berupaya mengimbanginya dengan amal nyata. Kalau mau dihitung, sedikit sekali yang sudah saya kerjakan untuk membuktikan betapa Islam itu benar-benar menjadi rahmat bagi seluruh alam, bagi semua umat, tidak terkecuali.
Jati diri seorang muslim bukan ditunjukkan dengan simbol, bendera dan kata-kata. Sesungguhnya, jati diri itu tertanam dalam jiwa yang kemudian tercermin dalam perilaku dan perbuatannya sehar-hari. Pakaian yang kita kenakan hanya menunjukkan fisik kemusliman kita, tapi kesejatian seorang muslim lebih dipancarkan dari kebaikan-kebaikan yang kita kerjakan. Pakaian seorang muslim yang sebenarnya, adalah kata-kata baik penuh hikmah dan perbuatan yang mengandung keberkahan bagi siapa saja, tidak terkecuali.
Nama saya bukan Muslim, tapi saya seorang muslim. Semoga saya bisa seperti Pak Muslim.
Bayu Gawtama
Tuhan Masih Ada kok...
“Ternyata Tuhan itu ada,” kalimat itu saya dengar hanya beberapa jam setelah seluruh stasiun televisi menayangkan bencana tsunami di Aceh hingga menewaskan ratusan ribu orang, akhir Desember 2004. Begitu pula ketika beberapa bulan kemudian, Allah kembali menggetarkan bumi dan menghancurkan Nias. Tidak sedikit korban yang meninggal, dan teramat banyak airmata yang tumpah, karena belum lagi kita lupa akan bencana tsunami sebelumnya. Rupanya belum cukup sampai di Nias, badai Katrina pun menyerang Amerika, Negara dengan berbagai sarana dan fasilitas terlengkap itu pun terlihat tidak siap kedatangan teguran Allah itu. Masih belum puas Allah mengingatkan ummatnya, Pakistan pun dihantam gempa, sedikitnya lima puluh ribu orang meninggal akibat bencana itu. Kali ini, mulut kita pun berucap, “Tuhan benar-benar masih ada”.
Beberapa hari lalu saya mengantar seorang teman ke rumah anak yatim. Dia ingin mengantarkan sendiri sedekahnya agar lebih bisa melihat langsung orang yang menerimanya. “Lebih puas jika langsung menyerahkannya,” akunya. Ada yang membuat saya tergelitik untuk terus memikirkannya sampai di rumah, yakni kalimat yang keluar dari mulut ibu si anak yatim yang mendapat santunan dari teman saya. “Duh Gusti, akhirnya Engkau mendengar juga doa orang kecil seperti kami”. Selama ini, aku ibu itu, ia tak pernah alpa berdoa, tak pernah meninggalkan sholat, tapi ia selalu bertanya kenapa nasibnya tidak berubah, selalu menjadi orang miskin. “Sejak kecil, orang tua saya miskin. Sampai saya punya keluarga sendiri, almarhum suami saya juga miskin. Sampai sekarang tetap jadi orang miskin,” keluhnya. Saya menangkap satu keluhan secara tidak langsung dari ibu itu kepada Allah, kenapa tak berkenan mengubah nasibnya.
Saya terus merenung, hingga kemudian teringat dengan kalimat “ternyata Tuhan itu ada” yang pernah saya dengar ketika bencana dahsyat melanda Aceh. Kalimat itu, ditambah perkataan ibu si anak yatim, “… Engkau mendengar juga doa kami” itu memunculkan satu anggapan, bahwa selama ini terlalu sering kita menganggap nihil keberadaan Tuhan. Dan ketika Allah benar-benar menunjukkan keberadaannya, baik dengan bencana maupun nikmat dan anugerah, barulah bibir ini menyebut namanya dan mengakui keberadaannya. Walaupun harus diakui, nama Tuhan lebih sering terucap di waktu sengsara, saat bencana dan ketika manusia berada di pintu mati. Saat sehat dan hidup senang, kita lebih banyak lupa akan-Nya.
Mungkin selama ini kita lupa bahwa Allah senantiasa terlibat dalam berbagai urusan hidup manusia. Kita tak sadar, bahwa Allah tak pernah memejamkan matanya untuk merekam setiap gerak kita dalam menjalani kehidupan. Seluruh gerak kita perinci, semua perkataan kita perhuruf, tercatat dengan sempurna di tangan-Nya. Kita lupa semua itu, sehingga Dia mengingatkannya kembali dengan tsunami, gempa dan bencana lainnya. Allah menguji seorang hamba tidak hanya dengan bencana, seseorang diberi kelebihan harta, atau sebaliknya dibuat miskin terus menerus itu juga bagian dari ujian dari-Nya. Siapakah yang lebih mampu bersabar dengan ujian itu, itulah yang membuat Allah tersenyum. Namun sekali lagi kita lupa, lupa ketika terlalu banyak nikmat Allah berikan. Kita juga ragu, ragu apakah Allah itu mendengar doa yang setiap hari kita ucapkan sambil menangis.
Sebenarnya, keraguan akan Tuhan dan berbagai ketentuan-Nya seperti yang ditunjukkan dengan bencana, juga oleh ibu si anak yatim , sama dengan keraguan yang ada pada diri kita. Janji Allah melipatgandakan ganjaran untuk setiap sedekah, infak dan zakat yang kita keluarkan dari harta kita, sering tergantung di benak kita, “Benarkah?” Terlebih ketika teramat sering kita berinfak dan bersedekah tapi kita merasa rezeki kita biasa-biasa saja, tidak berlipatganda seperti yang dijanjikan Allah. Muncullah keraguan akan janji Allah itu, dan karenanya, keesokan harinya kita mengurangi jumlah infak atau sedekah kita. Hingga di pekan berikutnya, tak ada lagi yang tersisihkan dari harta kita untuk diinfakkan, karena kita semakin ragu. Padahal, sudah pasti Allah menambahkan rezeki kita, buktinya, kita masih mampu berinfak.
Sungguh, Allah menguji kita dengan cara yang seringkali tidak bisa kita mengerti. Disaat sengsara, hidup susah, kita bertanya, “Tuhan dimana Engkau?” dan memerintah Tuhan, “Tuhan, dengarkan doa kami”. Ketika bencana datang, bibir ini berucap, “Tuhan benar-benar ada dan sedang marah”. Sama halnya dengan kita yang tiba-tiba mendapatkan rezeki yang tidak diduga-duga, padahal baru kemarin kita bersedekah. “Terima kasih Tuhan, Engkau Maha menepati janji”. Lalu, ketika dahulu sekian lama kita menunggu ganjaran berlipatganda itu kita merasa tak pernah mendapatkannya, akankah mulut ini lancang berkata, “Tuhan, janjimu palsu”?
Percayalah, Tuhan masih ada kok…
Bayu Gawtama
Beberapa hari lalu saya mengantar seorang teman ke rumah anak yatim. Dia ingin mengantarkan sendiri sedekahnya agar lebih bisa melihat langsung orang yang menerimanya. “Lebih puas jika langsung menyerahkannya,” akunya. Ada yang membuat saya tergelitik untuk terus memikirkannya sampai di rumah, yakni kalimat yang keluar dari mulut ibu si anak yatim yang mendapat santunan dari teman saya. “Duh Gusti, akhirnya Engkau mendengar juga doa orang kecil seperti kami”. Selama ini, aku ibu itu, ia tak pernah alpa berdoa, tak pernah meninggalkan sholat, tapi ia selalu bertanya kenapa nasibnya tidak berubah, selalu menjadi orang miskin. “Sejak kecil, orang tua saya miskin. Sampai saya punya keluarga sendiri, almarhum suami saya juga miskin. Sampai sekarang tetap jadi orang miskin,” keluhnya. Saya menangkap satu keluhan secara tidak langsung dari ibu itu kepada Allah, kenapa tak berkenan mengubah nasibnya.
Saya terus merenung, hingga kemudian teringat dengan kalimat “ternyata Tuhan itu ada” yang pernah saya dengar ketika bencana dahsyat melanda Aceh. Kalimat itu, ditambah perkataan ibu si anak yatim, “… Engkau mendengar juga doa kami” itu memunculkan satu anggapan, bahwa selama ini terlalu sering kita menganggap nihil keberadaan Tuhan. Dan ketika Allah benar-benar menunjukkan keberadaannya, baik dengan bencana maupun nikmat dan anugerah, barulah bibir ini menyebut namanya dan mengakui keberadaannya. Walaupun harus diakui, nama Tuhan lebih sering terucap di waktu sengsara, saat bencana dan ketika manusia berada di pintu mati. Saat sehat dan hidup senang, kita lebih banyak lupa akan-Nya.
Mungkin selama ini kita lupa bahwa Allah senantiasa terlibat dalam berbagai urusan hidup manusia. Kita tak sadar, bahwa Allah tak pernah memejamkan matanya untuk merekam setiap gerak kita dalam menjalani kehidupan. Seluruh gerak kita perinci, semua perkataan kita perhuruf, tercatat dengan sempurna di tangan-Nya. Kita lupa semua itu, sehingga Dia mengingatkannya kembali dengan tsunami, gempa dan bencana lainnya. Allah menguji seorang hamba tidak hanya dengan bencana, seseorang diberi kelebihan harta, atau sebaliknya dibuat miskin terus menerus itu juga bagian dari ujian dari-Nya. Siapakah yang lebih mampu bersabar dengan ujian itu, itulah yang membuat Allah tersenyum. Namun sekali lagi kita lupa, lupa ketika terlalu banyak nikmat Allah berikan. Kita juga ragu, ragu apakah Allah itu mendengar doa yang setiap hari kita ucapkan sambil menangis.
Sebenarnya, keraguan akan Tuhan dan berbagai ketentuan-Nya seperti yang ditunjukkan dengan bencana, juga oleh ibu si anak yatim , sama dengan keraguan yang ada pada diri kita. Janji Allah melipatgandakan ganjaran untuk setiap sedekah, infak dan zakat yang kita keluarkan dari harta kita, sering tergantung di benak kita, “Benarkah?” Terlebih ketika teramat sering kita berinfak dan bersedekah tapi kita merasa rezeki kita biasa-biasa saja, tidak berlipatganda seperti yang dijanjikan Allah. Muncullah keraguan akan janji Allah itu, dan karenanya, keesokan harinya kita mengurangi jumlah infak atau sedekah kita. Hingga di pekan berikutnya, tak ada lagi yang tersisihkan dari harta kita untuk diinfakkan, karena kita semakin ragu. Padahal, sudah pasti Allah menambahkan rezeki kita, buktinya, kita masih mampu berinfak.
Sungguh, Allah menguji kita dengan cara yang seringkali tidak bisa kita mengerti. Disaat sengsara, hidup susah, kita bertanya, “Tuhan dimana Engkau?” dan memerintah Tuhan, “Tuhan, dengarkan doa kami”. Ketika bencana datang, bibir ini berucap, “Tuhan benar-benar ada dan sedang marah”. Sama halnya dengan kita yang tiba-tiba mendapatkan rezeki yang tidak diduga-duga, padahal baru kemarin kita bersedekah. “Terima kasih Tuhan, Engkau Maha menepati janji”. Lalu, ketika dahulu sekian lama kita menunggu ganjaran berlipatganda itu kita merasa tak pernah mendapatkannya, akankah mulut ini lancang berkata, “Tuhan, janjimu palsu”?
Percayalah, Tuhan masih ada kok…
Bayu Gawtama
Thursday, October 20, 2005
Lebaran Cara Rasul, Ikuti Yuks!
Fajar 1 Syawal menyingsing, menandai berakhirnya bulan penuh kemuliaan. Senyum kemenangan terukir di wajah-wajah perindu Ramadhan, sambil berharap kembali meniti Ramadhan di tahun depan. Satu persatu kaki-kaki melangkah menuju tanah lapang, menyeru nama Allah lewat takbir, hingga langit pun bersaksi, di hari itu segenap mata tak kuasa membendung airmata keharuan saat berlebaran. Sementara itu, langkah sepasang kaki terhenti oleh sesegukan gadis kecil di tepi jalan. “Gerangan apakah yang membuat engkau menangis anakku?” lembut menyapa suara itu menahan beberapa detik segukan sang gadis.
Tak menoleh gadis kecil itu ke arah suara yang menyapanya, matanya masih menerawang tak menentu seperti mencari sesosok yang amat ia rindui kehadirannya di hari bahagia itu. Ternyata, ia menangis lantaran tak memiliki baju yang bagus untuk merayakan hari kemenangan. “Ayahku mati syahid dalam sebuah peperangan bersama Rasulullah,” tutur gadis kecil itu menjawab tanya lelaki di hadapannya tentang Ayahnya.
Seketika, lelaki itu mendekap gadis kecil itu. “Maukah engkau, seandainya Aisyah menjadi ibumu, Muhammad Ayahmu, Fatimah bibimu, Ali sebagai pamanmu, dan Hasan serta Husain menjadi saudaramu?” Sadarlah gadis itu bahwa lelaki yang sejak tadi berdiri di hadapannya tak lain Muhammad Rasulullah SAW, Nabi anak yatim yang senantiasa memuliakan anak yatim. Siapakah yang tak ingin berayahkan lelaki paling mulia, dan beribu seorang Ummul Mukminin?
Begitulah lelaki agung itu membuat seorang gadis kecil yang bersedih di hari raya kembali tersenyum. Barangkali, itu senyum terindah yang pernah tercipta dari seorang anak yatim, yang diukir oleh Nabi anak yatim. Rasulullah membawa serta gadis itu ke rumahnya untuk diberikan pakaian bagus, terbasuhlah sudah airmata. Lelaki agung itu, shalawat dan salam baginya.
***
Lebaran, bagi kita sangat identik dengan pakaian bagus. Tak harus baru, setidaknya layak dipakai saat bersilaturahim di hari kemenangan itu. Namun tak dapat dipungkiri, bagi sebagian besar masyarakat kita, memakai pakaian baru sudah menjadi budaya. Mungkin budaya ini merujuk pada kisah di atas, bahwa Rasul pun memakai pakaian yang bagus di hari raya. Tidak sedikit uang yang dikeluarkan untuk menyambut lebaran, bahkan bagi sebagian orang, tak cukup satu stel pakaian baru disiapkan, mengingat tradisi silaturahim berlebaran di Indonesia yang lebih dari satu hari.
Tak ada yang salah dengan budaya baju baru itu, ambil sisi positifnya saja, bahwa keceriaan hari kemenangan bolehlah diwarnai dengan penampilan yang lebih baik. Sekaligus mencerminkan betapa bahagianya kita menggapai sukses penuh arti selama satu bulan menjalani Ramadhan. Baju baru bukan cuma fenomena, bahkan sudah menjadi budaya. Tetapi ada cara berlebaran Rasulullah yang tak ikut kita budayakan, yakni menceriakan anak yatim dengan memberikan pakaian yang lebih pantas di hari istimewa.
Anak-anak kita bangga menghitung celana dan baju yang baru saja kita belikan. Tak ketinggalan sepatu dan sandal yang juga baru. Dapatlah kita bayangkan betapa cerianya mereka saat berlebaran nanti mengenakan pakaian bagus itu. Tapi siapakah yang akan membelikan pakaian baru untuk anak-anak yatim? Tak ada Ayah atau Ibu yang akan mengajak mereka menyambangi pertokoan dan memilih pakaian yang mereka suka. Dapatkah kita bayangkan perasaan mereka berada di tengah-tengah riuh rendah keceriaan anak-anak lain berbaju baru, sementara baju yang mereka kenakan sudah usang.
Rasulullah tak hanya berbaju bagus saat berlebaran, tetapi juga mengajak seorang anak yatim ikut berbaju bagus, sehingga nampak tak berbeda dengan Hasan dan Husain. Lelaki agung itu, tahu bagaimana menjadikan hari raya juga istimewa bagi anak-anak yatim. Mampukah kita meniru cara Rasul berlebaran?
Kalau kita mampu membeli beberapa stel pakaian untuk anak-anak kita, adakah sedikit yang tersisihkan dari rezeki yang kita dapat untuk membeli satu saja pakaian bagus untuk pantas dipakai oleh anak-anak yatim tetangga kita. Kebahagiaan 1 Syawal semestinya tak hanya milik anak-anak kita, hari istimewa itu juga milik mereka.
Maka, ikuti yuks! Gerakan LCR (Lebaran Cara Rasul). Gerakan ini, saya yakin sudah banyak yang melakukannya di berbagai tempat. Namun jika lebih banyak lagi orang-orang beruntung seperti kita yang mau membudayakan LCR ini, akan lebih banyak senyum anak yatim yang tercipta di hari bahagia.
Bayu Gawtama
bayugautama@yahoo.com
0852 190 68581
Note: Jika berkenan meneruskan tulisan ini ke berbagai milist dan komunitas, setidaknya Anda berkesempatan mengukir senyum anak-anak yatim. Apalagi jika ada yang bekerja di media, atau punya akses ke berbagai media cetak maupun elektronik, sehingga Gerakan LCR ini menjadi sebuah gerakan nasional. Akan indahlah dunia dengan berbagi. Maha Suci Allah.
Tak menoleh gadis kecil itu ke arah suara yang menyapanya, matanya masih menerawang tak menentu seperti mencari sesosok yang amat ia rindui kehadirannya di hari bahagia itu. Ternyata, ia menangis lantaran tak memiliki baju yang bagus untuk merayakan hari kemenangan. “Ayahku mati syahid dalam sebuah peperangan bersama Rasulullah,” tutur gadis kecil itu menjawab tanya lelaki di hadapannya tentang Ayahnya.
Seketika, lelaki itu mendekap gadis kecil itu. “Maukah engkau, seandainya Aisyah menjadi ibumu, Muhammad Ayahmu, Fatimah bibimu, Ali sebagai pamanmu, dan Hasan serta Husain menjadi saudaramu?” Sadarlah gadis itu bahwa lelaki yang sejak tadi berdiri di hadapannya tak lain Muhammad Rasulullah SAW, Nabi anak yatim yang senantiasa memuliakan anak yatim. Siapakah yang tak ingin berayahkan lelaki paling mulia, dan beribu seorang Ummul Mukminin?
Begitulah lelaki agung itu membuat seorang gadis kecil yang bersedih di hari raya kembali tersenyum. Barangkali, itu senyum terindah yang pernah tercipta dari seorang anak yatim, yang diukir oleh Nabi anak yatim. Rasulullah membawa serta gadis itu ke rumahnya untuk diberikan pakaian bagus, terbasuhlah sudah airmata. Lelaki agung itu, shalawat dan salam baginya.
***
Lebaran, bagi kita sangat identik dengan pakaian bagus. Tak harus baru, setidaknya layak dipakai saat bersilaturahim di hari kemenangan itu. Namun tak dapat dipungkiri, bagi sebagian besar masyarakat kita, memakai pakaian baru sudah menjadi budaya. Mungkin budaya ini merujuk pada kisah di atas, bahwa Rasul pun memakai pakaian yang bagus di hari raya. Tidak sedikit uang yang dikeluarkan untuk menyambut lebaran, bahkan bagi sebagian orang, tak cukup satu stel pakaian baru disiapkan, mengingat tradisi silaturahim berlebaran di Indonesia yang lebih dari satu hari.
Tak ada yang salah dengan budaya baju baru itu, ambil sisi positifnya saja, bahwa keceriaan hari kemenangan bolehlah diwarnai dengan penampilan yang lebih baik. Sekaligus mencerminkan betapa bahagianya kita menggapai sukses penuh arti selama satu bulan menjalani Ramadhan. Baju baru bukan cuma fenomena, bahkan sudah menjadi budaya. Tetapi ada cara berlebaran Rasulullah yang tak ikut kita budayakan, yakni menceriakan anak yatim dengan memberikan pakaian yang lebih pantas di hari istimewa.
Anak-anak kita bangga menghitung celana dan baju yang baru saja kita belikan. Tak ketinggalan sepatu dan sandal yang juga baru. Dapatlah kita bayangkan betapa cerianya mereka saat berlebaran nanti mengenakan pakaian bagus itu. Tapi siapakah yang akan membelikan pakaian baru untuk anak-anak yatim? Tak ada Ayah atau Ibu yang akan mengajak mereka menyambangi pertokoan dan memilih pakaian yang mereka suka. Dapatkah kita bayangkan perasaan mereka berada di tengah-tengah riuh rendah keceriaan anak-anak lain berbaju baru, sementara baju yang mereka kenakan sudah usang.
Rasulullah tak hanya berbaju bagus saat berlebaran, tetapi juga mengajak seorang anak yatim ikut berbaju bagus, sehingga nampak tak berbeda dengan Hasan dan Husain. Lelaki agung itu, tahu bagaimana menjadikan hari raya juga istimewa bagi anak-anak yatim. Mampukah kita meniru cara Rasul berlebaran?
Kalau kita mampu membeli beberapa stel pakaian untuk anak-anak kita, adakah sedikit yang tersisihkan dari rezeki yang kita dapat untuk membeli satu saja pakaian bagus untuk pantas dipakai oleh anak-anak yatim tetangga kita. Kebahagiaan 1 Syawal semestinya tak hanya milik anak-anak kita, hari istimewa itu juga milik mereka.
Maka, ikuti yuks! Gerakan LCR (Lebaran Cara Rasul). Gerakan ini, saya yakin sudah banyak yang melakukannya di berbagai tempat. Namun jika lebih banyak lagi orang-orang beruntung seperti kita yang mau membudayakan LCR ini, akan lebih banyak senyum anak yatim yang tercipta di hari bahagia.
Bayu Gawtama
bayugautama@yahoo.com
0852 190 68581
Note: Jika berkenan meneruskan tulisan ini ke berbagai milist dan komunitas, setidaknya Anda berkesempatan mengukir senyum anak-anak yatim. Apalagi jika ada yang bekerja di media, atau punya akses ke berbagai media cetak maupun elektronik, sehingga Gerakan LCR ini menjadi sebuah gerakan nasional. Akan indahlah dunia dengan berbagi. Maha Suci Allah.
Tuesday, October 18, 2005
Lebih Nikmat dengan Berbagi
Ia membiarkan putrinya tidur di pangkuannya, matanya menerawang memperhatikan mobil-mobil truk maupun pick up yang membawa sayur-sayuran. Pukul 01.15 dini hari itu, Mbok Dariah, berkutat dengan hawa dingin terminal yang setiap dini hari berubah menjadi pasar kaget. Sebentar ia berlari meninggalkan putrinya yang terlelap untuk mengejar tumpukan sayur di truk atau mobil pick up, seketika, karung besar berisi sayur atau cabai sudah berada di pinggangnya. Setiap hari ia lakukan itu dengan membawa serta putri bungsunya yang masih berusia empat tahun. Sang putri, tentu tak pernah mengerti mengapa ibunya rela melakoni pekerjaan itu, memerangi kantuk, berselimut udara malam yang dingin, kemudian berkeringat saat dan sesudah memanggul karung. Padahal, upah yang didapat dari memanggul karung itu tak seberapa.
Tidak hanya di hari-hari biasa, bahkan di bulan Ramadhan pun ia tetap menjalani pekerjaan kasarnya itu. “Justru kalau bulan puasa, lebih banyak dapat duitnya,” ujarnya singkat. Ya, Ramadhan memang membawa berkah pula bagi seorang Dariah. Jumlah permintaan belanja masyarakat lebih tinggi, sehingga pasar malam lebih ramai. Tidak hanya dua tiga karung yang bisa terangkut olehnya, bahkan di bulan ini bisa mencapai enam karung. “Lumayan, bisa buat buka puasa,” pungung tangannya membasuh peluh di keningnya.
Bagaimana dengan sahur? “Nggak mikirin sahur deh, dapatnya juga nggak seberapa. Makan satu lontong saja sudah syukur,” akunya polos. Sedikit uang yang didapatnya dini hari itu membuatnya berpikir berulang kali untuk membeli sebungkus nasi sahurnya. Hingga akhirnya, lebih sering ia memutuskan untuk tidak makan sahur. Sedangkan untuk tiga anak lainnya di rumah, ia sudah membagi dua nasi dan lauk makanan berbuka untuk makan sahur.
Di lain tempat, Bang Wawan, tukang becak yang biasa mangkal di depan gang rumah ibu saya malah lebih sering tidak makan sahur. Menurutnya, kalau dalam sehari banyak nariknya ia bisa makan sahur bersama lima teman lainnya di satu pangkalan. “kalau sepi, kadang makan, kadang sebungkus berdua, tapi lebih sering nggak makan”. Ia mengaku sudah biasa tak makan sahur, meski pun ia harus tetap berpuasa saat menjalankan pekerjaannya sebagai tukang becak. Lelah, sudah pasti, tak bertenaga saat mengayuh becak, masuk akal, karena ia tak makan sahur.
Itulah sebabnya, saat saya berkunjung ke rumah ibu, meski tak setiap sore, sering ada makanan berbuka dan beberapa bungkus nasi untuk tukang becak di pangkalan depan gang itu. Hampir semua warga disitu bergantian memberi makanan berbuka atau makan sahur untuk Bang Wawan dan teman-temannya. Lalu bagaiman dengan tukang becak di pangkalan lainnya? Apakah mereka juga makan sahur? Mungkinkah warga sekitarnya cukup peduli dengan orang-orang seperti Bang Wawan?
Seorang kawan bercerita, airmatanya tak henti meleleh sampai menjelang dzuhur setiap kali teringat wajah-wajah polos di panti yatim. Dini hari tadi, ketika waktu sahur ia dan beberapa teman kantornya menyambangi dua panti yatim di Jakarta dengan membawa nasi bungkus untuk makan sahur anak-anak yatim. Pengakuan pengelola panti lah yang membuatnya terus menangis, “Setiap malam saya tidak bisa tidur, mikirin apa yang bisa dimakan untuk sahur mereka”. Menatap polos mata-mata penuh harap milik anak-anak itu, hatinya makin terenyuh. Bagaimana mungkin selama ini ia bisa nikmat menyantap makan sahur dan berbukanya, sementara dini hari itu ia tahu ada banyak anak-anak yang tak punya apapun untuk dimakan.
Melihat kembali meja makan kita yang penuh sesak makanan berbuka, yang terkadang tak habis hingga makan sahur tiba. Sementara kita sudah menyiapkan makanan yang lain untuk sahur. Jadilah tempat sampah persinggahan makanan sisa berbuka. Mungkin, terlalu banyak makanan yang terjejal di mulut ini, menyesaki setiap rongga dalam perut kita. Padahal, pasti lebih nikmat jika kita membaginya.
Saat kita berpuasa, mereka juga berpuasa
Ketika tiba waktu berbuka, banyak diantara mereka yang tetap berpuasa
Waktu makan sahur, mereka menatap meja makan dan piring kosong
Tanpa berbagi, nikmatkah santapan kita?
Bayu Gawtama
Tidak hanya di hari-hari biasa, bahkan di bulan Ramadhan pun ia tetap menjalani pekerjaan kasarnya itu. “Justru kalau bulan puasa, lebih banyak dapat duitnya,” ujarnya singkat. Ya, Ramadhan memang membawa berkah pula bagi seorang Dariah. Jumlah permintaan belanja masyarakat lebih tinggi, sehingga pasar malam lebih ramai. Tidak hanya dua tiga karung yang bisa terangkut olehnya, bahkan di bulan ini bisa mencapai enam karung. “Lumayan, bisa buat buka puasa,” pungung tangannya membasuh peluh di keningnya.
Bagaimana dengan sahur? “Nggak mikirin sahur deh, dapatnya juga nggak seberapa. Makan satu lontong saja sudah syukur,” akunya polos. Sedikit uang yang didapatnya dini hari itu membuatnya berpikir berulang kali untuk membeli sebungkus nasi sahurnya. Hingga akhirnya, lebih sering ia memutuskan untuk tidak makan sahur. Sedangkan untuk tiga anak lainnya di rumah, ia sudah membagi dua nasi dan lauk makanan berbuka untuk makan sahur.
Di lain tempat, Bang Wawan, tukang becak yang biasa mangkal di depan gang rumah ibu saya malah lebih sering tidak makan sahur. Menurutnya, kalau dalam sehari banyak nariknya ia bisa makan sahur bersama lima teman lainnya di satu pangkalan. “kalau sepi, kadang makan, kadang sebungkus berdua, tapi lebih sering nggak makan”. Ia mengaku sudah biasa tak makan sahur, meski pun ia harus tetap berpuasa saat menjalankan pekerjaannya sebagai tukang becak. Lelah, sudah pasti, tak bertenaga saat mengayuh becak, masuk akal, karena ia tak makan sahur.
Itulah sebabnya, saat saya berkunjung ke rumah ibu, meski tak setiap sore, sering ada makanan berbuka dan beberapa bungkus nasi untuk tukang becak di pangkalan depan gang itu. Hampir semua warga disitu bergantian memberi makanan berbuka atau makan sahur untuk Bang Wawan dan teman-temannya. Lalu bagaiman dengan tukang becak di pangkalan lainnya? Apakah mereka juga makan sahur? Mungkinkah warga sekitarnya cukup peduli dengan orang-orang seperti Bang Wawan?
Seorang kawan bercerita, airmatanya tak henti meleleh sampai menjelang dzuhur setiap kali teringat wajah-wajah polos di panti yatim. Dini hari tadi, ketika waktu sahur ia dan beberapa teman kantornya menyambangi dua panti yatim di Jakarta dengan membawa nasi bungkus untuk makan sahur anak-anak yatim. Pengakuan pengelola panti lah yang membuatnya terus menangis, “Setiap malam saya tidak bisa tidur, mikirin apa yang bisa dimakan untuk sahur mereka”. Menatap polos mata-mata penuh harap milik anak-anak itu, hatinya makin terenyuh. Bagaimana mungkin selama ini ia bisa nikmat menyantap makan sahur dan berbukanya, sementara dini hari itu ia tahu ada banyak anak-anak yang tak punya apapun untuk dimakan.
Melihat kembali meja makan kita yang penuh sesak makanan berbuka, yang terkadang tak habis hingga makan sahur tiba. Sementara kita sudah menyiapkan makanan yang lain untuk sahur. Jadilah tempat sampah persinggahan makanan sisa berbuka. Mungkin, terlalu banyak makanan yang terjejal di mulut ini, menyesaki setiap rongga dalam perut kita. Padahal, pasti lebih nikmat jika kita membaginya.
Saat kita berpuasa, mereka juga berpuasa
Ketika tiba waktu berbuka, banyak diantara mereka yang tetap berpuasa
Waktu makan sahur, mereka menatap meja makan dan piring kosong
Tanpa berbagi, nikmatkah santapan kita?
Bayu Gawtama
Sunday, October 16, 2005
Sepertinya, Ini Hari Terakhir Saya
Tetapi saya masih terus menikmati keterlenaan dan menunda-nunda amal baik. Semestinya diri ini berpacu dengan waktu yang semakin dekat, agar lebih banyak lagi kebaikan yang terbuat. Bukankah saya teramat tahu, manusia yang berhak tersenyum di akhirat kelak ialah yang paling banyak timbangan amal kebaikannya? Lalu kenapa diri ini masih banyak berdiam diri, meski terbentang luas hamparan ladang amal di depan saya. Anak-anak yatim masih terlantar, masjid-masjid lebih sering menyendiri, dan fakir miskin terus bertambah.
Semakin hari, semakin saya merasa bahwa waktu yang diberikan Allah buat diri ini semakin berkurang. Masanya semakin dekat bagi saya, dan saya kira tidak berapa lama lagi utusan Allah akan berkunjung. Tetapi saya masih merasa tenang, tidak sedikit pun ada ketakutan menghadapinya. Padahal saya teramat sadar, jikalah malaikat melihat tas bekal takwa yang saya punya, teramat malulah diri. Sangat jauh dari cukup perbekalan yang sudah saya persiapkan untuk menuju kampung akhirat. Sebuah perjalanan yang teramat jauh dan memerlukan bekal sebanyak-banyaknya, namun saya tak pernah berusaha memenuhi tas bekal itu. Akankah saya menghadap-Nya dengan berbagai kekurangan ini?
Pakaian yang saya kenakan saat ini begitu compang-camping, tak terhitung lubang dan koyak yang belum sempat tertambal. Tak malukah saya bertemu dengan Allah yang Maha Agung dengan pakaian yang penuh noda? Tak terbilang dosa yang saya perbuat selama hidup, tak mampu terhitung kesalahan yang disengaja maupun yang tak tersengaja, belum banyak kebaikan yang saya perbuat untuk menambal keburukan yang semakin pekat memenuhi wajah ini. Padahal, hanya dengan memperbanyak kebaikan lah noda-noda hitam itu bisa terhapus, segala koyak dan lubang di pakaian diri kembali terjahit. Hari ini, mungkin hari terakhir saya, tapi teramat banyak koyak yang belum tertambal.
Malam nanti, bisa jadi terakhir kalinya saya menikmati indahnya rembulan, dan bintang-bintang di sekitarnya, sambil merasai kesejukan angin malam. Saya tahu, bisa jadi, disaat saya tengah menikmati malam inilah malaikat Izrail datang dan mengajak serta diri ini menghadap Sang Khalik. Semestinya saya lebih sering menghiasi malam-malam saya dengan bersujud, membasahi bibir ini dengan lebih sering menyebut nama-Nya. Sudah sering saya dengar, bahwa Allah senang kepada hamba yang menyebut-nyebut nama-Nya.
Nyatanya, saya belum benar-benar siap jika hari ini Dia menghendaki saya bertemu-Nya. Tak banyak kebaikan yang membuat saya merasa percaya diri menghadap-Nya saat ini. Belum bersih benar wajah ini dari noda kehitaman akibat sekian banyak kesalahan yang belum sempat saya menghapusnya dengan amal shalih, teramat tak pantas untuk bersua dengan wajah agung milik-Nya. Meski sudah berusaha menambal setiap koyak di pakaian, namun masih saja tangan ini berbuat alpa dan kekeliruan sehingga menyebabkan koyak yang lebih banyak lagi. Padahal, pakaian terbaik lah yang harus saya kenakan saat bertemu-Nya nanti. Dan terpenting dari itu semua, nampaknya Allah masih belum bisa tersenyum dengan ibadah-ibadah saya yang seadanya, seperlunya, sekadarnya dan sesempatnya.
Tuhan, semoga hari ini bukan hari terakhir saya. Belum cukup bekal takwa yang saya persiapkan menuju-Mu, tak satupun amal unggulan yang bakal saya persembahkan di hadapan-Mu. Tapi, jika memang ini hari terakhir bagi saya, maka ampunilah diri ini. Jika ampunan-Mu tak saya dapati, malanglah diri ini sungguh.
Bayu Gawtama
Semakin hari, semakin saya merasa bahwa waktu yang diberikan Allah buat diri ini semakin berkurang. Masanya semakin dekat bagi saya, dan saya kira tidak berapa lama lagi utusan Allah akan berkunjung. Tetapi saya masih merasa tenang, tidak sedikit pun ada ketakutan menghadapinya. Padahal saya teramat sadar, jikalah malaikat melihat tas bekal takwa yang saya punya, teramat malulah diri. Sangat jauh dari cukup perbekalan yang sudah saya persiapkan untuk menuju kampung akhirat. Sebuah perjalanan yang teramat jauh dan memerlukan bekal sebanyak-banyaknya, namun saya tak pernah berusaha memenuhi tas bekal itu. Akankah saya menghadap-Nya dengan berbagai kekurangan ini?
Pakaian yang saya kenakan saat ini begitu compang-camping, tak terhitung lubang dan koyak yang belum sempat tertambal. Tak malukah saya bertemu dengan Allah yang Maha Agung dengan pakaian yang penuh noda? Tak terbilang dosa yang saya perbuat selama hidup, tak mampu terhitung kesalahan yang disengaja maupun yang tak tersengaja, belum banyak kebaikan yang saya perbuat untuk menambal keburukan yang semakin pekat memenuhi wajah ini. Padahal, hanya dengan memperbanyak kebaikan lah noda-noda hitam itu bisa terhapus, segala koyak dan lubang di pakaian diri kembali terjahit. Hari ini, mungkin hari terakhir saya, tapi teramat banyak koyak yang belum tertambal.
Malam nanti, bisa jadi terakhir kalinya saya menikmati indahnya rembulan, dan bintang-bintang di sekitarnya, sambil merasai kesejukan angin malam. Saya tahu, bisa jadi, disaat saya tengah menikmati malam inilah malaikat Izrail datang dan mengajak serta diri ini menghadap Sang Khalik. Semestinya saya lebih sering menghiasi malam-malam saya dengan bersujud, membasahi bibir ini dengan lebih sering menyebut nama-Nya. Sudah sering saya dengar, bahwa Allah senang kepada hamba yang menyebut-nyebut nama-Nya.
Nyatanya, saya belum benar-benar siap jika hari ini Dia menghendaki saya bertemu-Nya. Tak banyak kebaikan yang membuat saya merasa percaya diri menghadap-Nya saat ini. Belum bersih benar wajah ini dari noda kehitaman akibat sekian banyak kesalahan yang belum sempat saya menghapusnya dengan amal shalih, teramat tak pantas untuk bersua dengan wajah agung milik-Nya. Meski sudah berusaha menambal setiap koyak di pakaian, namun masih saja tangan ini berbuat alpa dan kekeliruan sehingga menyebabkan koyak yang lebih banyak lagi. Padahal, pakaian terbaik lah yang harus saya kenakan saat bertemu-Nya nanti. Dan terpenting dari itu semua, nampaknya Allah masih belum bisa tersenyum dengan ibadah-ibadah saya yang seadanya, seperlunya, sekadarnya dan sesempatnya.
Tuhan, semoga hari ini bukan hari terakhir saya. Belum cukup bekal takwa yang saya persiapkan menuju-Mu, tak satupun amal unggulan yang bakal saya persembahkan di hadapan-Mu. Tapi, jika memang ini hari terakhir bagi saya, maka ampunilah diri ini. Jika ampunan-Mu tak saya dapati, malanglah diri ini sungguh.
Bayu Gawtama
Thursday, October 13, 2005
Kejujuran Belum Mati
Belum lama saya mengenalnya, baru beberapa hari yang lalu saat saya mengantar seorang teman untuk mengganti kacamatanya. Pak Burhan, usianya sudah kepala empat, ia mengaku sudah dua puluh lima tahun menjalani profesi sebagai penjual kaca mata, “Optik berjalan,” istilahnya. Tetapi pertemuan yang hanya satu hari dan tidak disengaja itu seolah membuat saya merasa baru saja bertemu teman lama yang teramat saya rindui. Secara fisik, saya memang baru bertemu kali itu. Dan memang bukan sosoknya yang saya rindui, melainkan apa yang baru saja diutarakannya tentang sekelumit pengalamannya mencari nafkah sebagai penjual kaca mata.
Bermula dari teman saya yang memaksa saya untuk ikut bersamanya memesan kacamata. Saya harus ikut, katanya. Sementara ia tak menjelaskan maksud ‘paksaannya’ itu, kecuali satu kalimat, “kamu akan mendapat satu pelajaran lagi”. Tak perlu berpikir lama, saya pun mengiyakan ajakannya. Jika berkenaan dengan soal pembelajaran, tak ada kata penolakan untuk urusan satu ini.
Enam ratus ribu, biaya yang harus dikeluarkan teman saya untuk satu kacamata barunya. Baginya, angka sebesar itu tidak masalah, karena ia akan mendapat penggantian dari kantornya. “Pak Burhan, kita kan sudah langganan. Tolong dibuatkan kwitansinya satu juta ya pak, nanti saya kasih seratus ribu buat bapak,” tak menyangka, kalimat itu yang keluar dari mulut teman saya saat ia menyodorkan enam ratus ribu untuk pembayaran kacamatanya.
Dahinya berkerut, matanya mengerenyit memandang tajam ke arah teman saya. Ia seperti tengah bertanya-tanya, benarkah permintaan barusan keluar dari langganannya yang satu ini? “Apa saya tidak salah dengar pak? Bukankah bapak sudah tahu sikap saya untuk hal ini?” orang di sebelah saya yang baru saja memesan kacamata hanya menyeringai, kemudian terkekeh kecil. Kemudian ia bangkit dan memeluk Pak Burhan, “Ternyata, Pak Burhan sekarang tidak berubah dengan Pak Burhan dua tahun lalu, saat pertama kali saya memesan kacamata lewat bapak,” ujar teman saya yang ternyata hanya menguji Pak Burhan.
Dua puluh lima tahun ia menjalani profesinya sebagai optik berjalan, tidak bisa dibilang cukup penghasilan yang bisa diperolehnya. Untuk pesanan satu kacamata, tak jarang ia hanya mendapat keuntungan dua puluh lima ribu rupiah, walau pun sesekali ia merasakan keuntungan empat kali lebih besar dari itu. “Yah, nggak sebulan sekali pak,” ujarnya singkat. Dalam seminggu paling banyak dua pesanan kacamata yang diterimanya, bahkan kadang tak satupun ia mendapat pesanan dalam satu pekan.
Namun, keadaan yang semakin menghimpitnya itu ternyata tak pernah ia jadikan alasan untuk menerima tawaran untuk membuat kwitansi diluar kewajaran. “Banyak pak yang minta saya bikin kwitansi semacam itu, selalu saya tolak. Duitnya nggak seberapa, tapi dosanya itu…” menjawab pertanyaan saya, berapa banyak langganannya yang meminta jumlah pembayarannya dilebihkan dalam kwitansi.
“Bapak tidak takut langganannya akan beralih ke yang lain?” tanya saya disambutnya dengan seringai tawanya yang sedikit tertahan. “Yang saya tahu pak, tangan kanan itu tempatnya tetap di kanan, nggak pernah pindah ke kiri.” Ia memperjelas kalimatnya, bahwa kebenaran nggak akan pernah ditinggalkan, dan menurutnya, justru semakin banyak pemesan kacamata yang datang kepadanya. Padahal ia tidak pernah mengenal sebelumnya. “Itu di luar langganan, kalau yang sudah langganan sih pasti datang kesini, seperti teman bapak ini,” tawanya mulai lepas.
Pak Burhan, dibalik perawakannya yang kecil, kurus dan berkulit hitam itu tersimpan hati yang jernih, yang didalamnya terukir indah kejujuran yang senantiasa terawat indah. Dan teman saya benar, saya baru saja mendapati sebuah kenyataan, bahwa kejujuran ternyata belum benar-benar mati.
Bayu Gawtama
Bermula dari teman saya yang memaksa saya untuk ikut bersamanya memesan kacamata. Saya harus ikut, katanya. Sementara ia tak menjelaskan maksud ‘paksaannya’ itu, kecuali satu kalimat, “kamu akan mendapat satu pelajaran lagi”. Tak perlu berpikir lama, saya pun mengiyakan ajakannya. Jika berkenaan dengan soal pembelajaran, tak ada kata penolakan untuk urusan satu ini.
Enam ratus ribu, biaya yang harus dikeluarkan teman saya untuk satu kacamata barunya. Baginya, angka sebesar itu tidak masalah, karena ia akan mendapat penggantian dari kantornya. “Pak Burhan, kita kan sudah langganan. Tolong dibuatkan kwitansinya satu juta ya pak, nanti saya kasih seratus ribu buat bapak,” tak menyangka, kalimat itu yang keluar dari mulut teman saya saat ia menyodorkan enam ratus ribu untuk pembayaran kacamatanya.
Dahinya berkerut, matanya mengerenyit memandang tajam ke arah teman saya. Ia seperti tengah bertanya-tanya, benarkah permintaan barusan keluar dari langganannya yang satu ini? “Apa saya tidak salah dengar pak? Bukankah bapak sudah tahu sikap saya untuk hal ini?” orang di sebelah saya yang baru saja memesan kacamata hanya menyeringai, kemudian terkekeh kecil. Kemudian ia bangkit dan memeluk Pak Burhan, “Ternyata, Pak Burhan sekarang tidak berubah dengan Pak Burhan dua tahun lalu, saat pertama kali saya memesan kacamata lewat bapak,” ujar teman saya yang ternyata hanya menguji Pak Burhan.
Dua puluh lima tahun ia menjalani profesinya sebagai optik berjalan, tidak bisa dibilang cukup penghasilan yang bisa diperolehnya. Untuk pesanan satu kacamata, tak jarang ia hanya mendapat keuntungan dua puluh lima ribu rupiah, walau pun sesekali ia merasakan keuntungan empat kali lebih besar dari itu. “Yah, nggak sebulan sekali pak,” ujarnya singkat. Dalam seminggu paling banyak dua pesanan kacamata yang diterimanya, bahkan kadang tak satupun ia mendapat pesanan dalam satu pekan.
Namun, keadaan yang semakin menghimpitnya itu ternyata tak pernah ia jadikan alasan untuk menerima tawaran untuk membuat kwitansi diluar kewajaran. “Banyak pak yang minta saya bikin kwitansi semacam itu, selalu saya tolak. Duitnya nggak seberapa, tapi dosanya itu…” menjawab pertanyaan saya, berapa banyak langganannya yang meminta jumlah pembayarannya dilebihkan dalam kwitansi.
“Bapak tidak takut langganannya akan beralih ke yang lain?” tanya saya disambutnya dengan seringai tawanya yang sedikit tertahan. “Yang saya tahu pak, tangan kanan itu tempatnya tetap di kanan, nggak pernah pindah ke kiri.” Ia memperjelas kalimatnya, bahwa kebenaran nggak akan pernah ditinggalkan, dan menurutnya, justru semakin banyak pemesan kacamata yang datang kepadanya. Padahal ia tidak pernah mengenal sebelumnya. “Itu di luar langganan, kalau yang sudah langganan sih pasti datang kesini, seperti teman bapak ini,” tawanya mulai lepas.
Pak Burhan, dibalik perawakannya yang kecil, kurus dan berkulit hitam itu tersimpan hati yang jernih, yang didalamnya terukir indah kejujuran yang senantiasa terawat indah. Dan teman saya benar, saya baru saja mendapati sebuah kenyataan, bahwa kejujuran ternyata belum benar-benar mati.
Bayu Gawtama
Tuesday, October 11, 2005
Jika Ramadhan Tak Pernah Ada
Masjid terlihat penuh sejak hari pertama bulan Ramadhan, di malam hari saat salat tarawih, bahkan di waktu subuh. Di waktu-waktu salat lainnya, seperti dzuhur dan ashar, masjid pun disemuti orang-orang yang singgah untuk salat kemudian melepaskan penat dan lelah usai bekerja. Sebagian tampak serius mendengarkan ceramah selepas dzuhur. Adakah suasana seperti itu bisa kita temui di bulan lain selain Ramadhan? Jika Allah tak menciptakan bulan Ramadhan untuk kehidupan kita, mungkinkah masjid kita dipenuhi jamaah setiap malam dan waktu subuh?
Di banyak tempat, hampir setiap saat bisa kita saksikan orang-orang, muda dan tua, khusyuk memegang mushaf Alquran. Seolah menjadi bacaan wajib yang tak boleh tertinggal untuk menghiasi hari dengan lantuan ayat suci, tak peduli dimana mereka berada. Di dalam bis, gerbong kereta, dalam kelas, kampus, di kantor, bahkan dalam kendaraan pribadi pun diperdengarkan suara yang semakin mendekatkan kita kepada Allah. Andai hari-hari terakhir yang kita saksikan saat ini bukan hari-hari Ramadhan, adakah orang-orang yang menjadikan Alquran bacaan wajibnya setiap hari, bahkan setiap usai salat lima waktu sebanyak saat ini?
Orang-orang berlomba memperbanyak sedekah, infak dan zakat seolah esok hari kita akan mati, sehingga merasa punya cukup bekal untuk berhadapan dengan Allah. Jika Allah tak menjanjikan ganjaran berlipat ganda untuk setiap amal shalih, infaq dan sedekah yang dilakukan di bulan Ramadhan, mungkinkah sama semangat kita untuk beramal shalih? Sebesar saat Ramadhan kan sedekah yang kita beri?
Di waktu-waktu menjelang maghrib, para tetangga saling hantar penganan berbuka. Masjid-masjid membuka pintu lebar-lebar, kemudian mengundang fakir miskin dan orang-orang dalam perjalanan untuk berbuka puasa bersama, menikmati penganan seadanya. Begitu adzan berkumandang, keceriaan fakir miskin begitu jelas terlihat meski hanya segelas teh manis dan tiga buah kurma di tangan mereka. Jika tak pernah ada yang menjelaskan bahwasanya pahala memberi makanan berbuka bagi orang berpuasa sama dengan pahala berpuasa itu sendiri, akankah tetap tersedia makanan berbuka di berbagai masjid? Adakah saling hantar makanan oleh orang-orang bertetangga?
Sejuk, nyaman dan aman. Inilah suasana yang tercipta dan kita rasakan selama bulan Ramadhan. Semua orang di hadapan kita begitu mempesona, dan yang kita jumpai pun tampak baik, sabar, serta menahan amarah mereka. “Jangan marah, kan sedang berpuasa” itu nasihat yang sering kita dengar saat amarah memuncak, redalah hati. Senyum persaudaraan senantiasa kita dapatkan di mana pun kita berada. Akankah hari-hari penuh kesejukan seperti ini yang tetap bisa kita rasakan seandainya Ramadhan tak pernah ada?
Kepedulian terhadap sesama begitu tinggi di bulan ini, mungkin pengaruh perut lapar kita yang ikut merasakan betapa banyak orang-orang yang tetap “berpuasa” meski bukan di bulan Ramadhan. Saling berbagi, memberi dan empati amat ringan tercipta dari tangan dan hati kita. Tetap pedulikah kita di bulan selain Ramadhan? Masih adakah yang akan terus kita bagi kepada orang lain, meski tak lagi di bulan Ramadhan?
Jika Ramadhan tak pernah ada, masihkah kita jumpai kebaikan, kepedulian, dan kesejukan dalam kehidupan sehari-hari? Akankah semua kenikmatan itu hanya seperti buah kurma, yang muncul khusus di bulan Ramadhan saja. Kemudian hilang entah kemana sehari setelah hari raya, sehari setelah kita saling bermaafan, sehari setelah kita merayakan hari kemenangan.
Beruntunglah kita, karena Allah menghadirkan Ramadhan untuk hamba-Nya. Akan sangat beruntunglah kita, jika kita mampu menghadirkan nuansa Ramadhan di lain bulan selain Ramadhan. Semoga.
Bayu Gawtama
Di banyak tempat, hampir setiap saat bisa kita saksikan orang-orang, muda dan tua, khusyuk memegang mushaf Alquran. Seolah menjadi bacaan wajib yang tak boleh tertinggal untuk menghiasi hari dengan lantuan ayat suci, tak peduli dimana mereka berada. Di dalam bis, gerbong kereta, dalam kelas, kampus, di kantor, bahkan dalam kendaraan pribadi pun diperdengarkan suara yang semakin mendekatkan kita kepada Allah. Andai hari-hari terakhir yang kita saksikan saat ini bukan hari-hari Ramadhan, adakah orang-orang yang menjadikan Alquran bacaan wajibnya setiap hari, bahkan setiap usai salat lima waktu sebanyak saat ini?
Orang-orang berlomba memperbanyak sedekah, infak dan zakat seolah esok hari kita akan mati, sehingga merasa punya cukup bekal untuk berhadapan dengan Allah. Jika Allah tak menjanjikan ganjaran berlipat ganda untuk setiap amal shalih, infaq dan sedekah yang dilakukan di bulan Ramadhan, mungkinkah sama semangat kita untuk beramal shalih? Sebesar saat Ramadhan kan sedekah yang kita beri?
Di waktu-waktu menjelang maghrib, para tetangga saling hantar penganan berbuka. Masjid-masjid membuka pintu lebar-lebar, kemudian mengundang fakir miskin dan orang-orang dalam perjalanan untuk berbuka puasa bersama, menikmati penganan seadanya. Begitu adzan berkumandang, keceriaan fakir miskin begitu jelas terlihat meski hanya segelas teh manis dan tiga buah kurma di tangan mereka. Jika tak pernah ada yang menjelaskan bahwasanya pahala memberi makanan berbuka bagi orang berpuasa sama dengan pahala berpuasa itu sendiri, akankah tetap tersedia makanan berbuka di berbagai masjid? Adakah saling hantar makanan oleh orang-orang bertetangga?
Sejuk, nyaman dan aman. Inilah suasana yang tercipta dan kita rasakan selama bulan Ramadhan. Semua orang di hadapan kita begitu mempesona, dan yang kita jumpai pun tampak baik, sabar, serta menahan amarah mereka. “Jangan marah, kan sedang berpuasa” itu nasihat yang sering kita dengar saat amarah memuncak, redalah hati. Senyum persaudaraan senantiasa kita dapatkan di mana pun kita berada. Akankah hari-hari penuh kesejukan seperti ini yang tetap bisa kita rasakan seandainya Ramadhan tak pernah ada?
Kepedulian terhadap sesama begitu tinggi di bulan ini, mungkin pengaruh perut lapar kita yang ikut merasakan betapa banyak orang-orang yang tetap “berpuasa” meski bukan di bulan Ramadhan. Saling berbagi, memberi dan empati amat ringan tercipta dari tangan dan hati kita. Tetap pedulikah kita di bulan selain Ramadhan? Masih adakah yang akan terus kita bagi kepada orang lain, meski tak lagi di bulan Ramadhan?
Jika Ramadhan tak pernah ada, masihkah kita jumpai kebaikan, kepedulian, dan kesejukan dalam kehidupan sehari-hari? Akankah semua kenikmatan itu hanya seperti buah kurma, yang muncul khusus di bulan Ramadhan saja. Kemudian hilang entah kemana sehari setelah hari raya, sehari setelah kita saling bermaafan, sehari setelah kita merayakan hari kemenangan.
Beruntunglah kita, karena Allah menghadirkan Ramadhan untuk hamba-Nya. Akan sangat beruntunglah kita, jika kita mampu menghadirkan nuansa Ramadhan di lain bulan selain Ramadhan. Semoga.
Bayu Gawtama
Nurul Hanifah, Potret Buram Anak Bangsa
Tercekat leher ini, nyaris tak ada kata-kata yang bisa terucap saat melihat kondisi Nurul Hanifah, balita berusia 1,3 tahun yang menderita kekurangan gizi dan kelainan pada saluran pencernaan. Dayani (40 tahun), Ayah Nurul yang bekerja sebagai buruh tidak tetap dengan penghasilan yang jauh dari cukup, tak memiliki uang yang cukup untuk membawa anaknya ke dokter, bahkan untuk sekadar ke Puskesmas. Sedangkan sang Ibu, Watina (40 tahun), hanya pasrah melihat kondisi anaknya yang semakin hari semakin terlihat menderita.
Penderitaan Nurul Hanifah yang tinggal di Jl. Tipar Raya, Gg. Jaya Sakti, Jakarta Utara, langsung terlihat dari fisiknya yang sangat memprihatinkan. Wajahnya pucat dengan mata yang menerawang, dan dengan berat badan yang tidak lebih dari 3500 gram di usia 1,3 tahun, Nurul terlihat amat menderita, tidak ceria dan tampak menahan sakit di bagian perutnya. Mungkin akibat penyakit di saluran pencernaannya yang tidak pernah tertangani oleh dokter.
Sebenarnya, kondisi Nurul yang memprihatinkan itu sudah diketahui oleh Lurah Sukapura, Jakarta Utara. Watina, ibunda Nurul, membawa serta gadis kecilnya itu saat turut serta dalam aksi demonstrasi di Depot Plumpang beberapa waktu lalu. Pak Lurah, tutur Watina, sempat melihat dan menanyakan kondisi Nurul, namun tidak ada tindakan apa pun setelah itu selain meminta sang ibu segera membawanya ke puskesmas. Namun apa daya, bagi Dayani maupun Watina, ke Puskesmas juga bukan tempat gratisan. Artinya, mereka harus tetap mengeluarkan uang, yang meski kecil tetap sulit bagi orang seperti Dayani yang bekerja sebagai buruh tidak tetap dengan penghasilan yang juga tidak tetap.
Ibu Evi, seorang kader Posyandu Desa Sukapura, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara yang melihat kondisi Nurul merasa prihatin. Ia mengetahui ada lembaga kemanusiaan yang dianggapnya bisa membantu, ia pun menghubungi ACT (Aksi Cepat Tanggap). Seorang relawan ACT yang menerima telepon pengaduan Ibu Evi tentang kondisi seorang balita di Cilincing yang mengalami gizi buruk, segera meneruskan laporan tersebut ke staf ACT yang lain.
5 Oktober 2005, hari pertama bulan Ramadhan, dua relawan ACT mendatangi rumah Ibu Evi untuk diantar ke rumah Nurul Hanifah. Menurut Ibu Evi, ia melihat kondisi Nurul yang mengenaskan itu pada saat aksi demonstrasi kenaikan BBM di Depot Plumpang. Nahas bagi Dayani dan Watina, mereka tidak memiliki kartu GaKin (Keluarga Miskin) lantaran tidak punya KTP dan Kartu Keluarga DKI Jakarta. Anak mereka pun tak bisa dibantu untuk ditangani rumah sakit. “Pak Lurah merekomendasikan untuk segera mengurus KTP dan KK,” ujar Bu Evi.
Tim ACT pun bereaksi cepat, tak bisa menunggu proses pembuatan KTP dan KK yang biasanya memakan waktu hingga dua pekan. Tindakan emergency terhadap Nurul mesti dilakukan, mengingat kondisi balita itu yang menderita gizi buruk sangat parah dengan ditandai semakin menurunnya berat badan yang sangat tidak sebanding dengan usianya.
Malam itu, sekitar pukul 20.00, di dalam rumah yang kumuh dan sanitasi yang buruk, kondisi Nurul terlihat lemah. Tim ACT membawa Nurul dan ibunya ke dokter spesialis anak terdekat, didampingi ibu Evi. Dr. Andrian yang menanangi Nurul mengaku tidak banyak yang bisa dilakukannya mengingat kondisi Nurul yang sangat parah. Ia pun merekomendasikan agar Nurul segera dibawa ke rumah sakit untuk perawatan intensif.
Sebelumnya, untuk memperbaiki kualitas ASI sang ibu, Tim ACT memberikan makanan bergizi dan juga susu khusus untukmenambah jumlah dan kualitas ASI. Selain itu, susu tambahan untuk Nurul juga diberikan. Tim ACT juga menitipkan uang seadanya kepada keluarga Nurul untuk tambahan biaya ke rumah sakit.
Malam semakin larut saat Tim ACT meninggalkan rumah kumuh itu, Dayani dan isterinya sangat berterima kasih atas kedatangan dan bantuan yang diberikan Tim ACT. Menurut mereka, jangankan memikirkan kesehatan, untuk makan sehari-hari pun keluarga mereka sering mendapat bantuan dari tetangga, yang sebenarnya kondisinya juga tidak jauh berbeda. Saat Tim ACT pergi, sekelumit harap masih bisa kami tangkap, andai masih ada yang mau membantu anak mereka, agar sesehat dan seceria anak-anak lainnya.
Bayu Gawtama (laporan dari Eko Yudho, ACT)
Penderitaan Nurul Hanifah yang tinggal di Jl. Tipar Raya, Gg. Jaya Sakti, Jakarta Utara, langsung terlihat dari fisiknya yang sangat memprihatinkan. Wajahnya pucat dengan mata yang menerawang, dan dengan berat badan yang tidak lebih dari 3500 gram di usia 1,3 tahun, Nurul terlihat amat menderita, tidak ceria dan tampak menahan sakit di bagian perutnya. Mungkin akibat penyakit di saluran pencernaannya yang tidak pernah tertangani oleh dokter.
Sebenarnya, kondisi Nurul yang memprihatinkan itu sudah diketahui oleh Lurah Sukapura, Jakarta Utara. Watina, ibunda Nurul, membawa serta gadis kecilnya itu saat turut serta dalam aksi demonstrasi di Depot Plumpang beberapa waktu lalu. Pak Lurah, tutur Watina, sempat melihat dan menanyakan kondisi Nurul, namun tidak ada tindakan apa pun setelah itu selain meminta sang ibu segera membawanya ke puskesmas. Namun apa daya, bagi Dayani maupun Watina, ke Puskesmas juga bukan tempat gratisan. Artinya, mereka harus tetap mengeluarkan uang, yang meski kecil tetap sulit bagi orang seperti Dayani yang bekerja sebagai buruh tidak tetap dengan penghasilan yang juga tidak tetap.
Ibu Evi, seorang kader Posyandu Desa Sukapura, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara yang melihat kondisi Nurul merasa prihatin. Ia mengetahui ada lembaga kemanusiaan yang dianggapnya bisa membantu, ia pun menghubungi ACT (Aksi Cepat Tanggap). Seorang relawan ACT yang menerima telepon pengaduan Ibu Evi tentang kondisi seorang balita di Cilincing yang mengalami gizi buruk, segera meneruskan laporan tersebut ke staf ACT yang lain.
5 Oktober 2005, hari pertama bulan Ramadhan, dua relawan ACT mendatangi rumah Ibu Evi untuk diantar ke rumah Nurul Hanifah. Menurut Ibu Evi, ia melihat kondisi Nurul yang mengenaskan itu pada saat aksi demonstrasi kenaikan BBM di Depot Plumpang. Nahas bagi Dayani dan Watina, mereka tidak memiliki kartu GaKin (Keluarga Miskin) lantaran tidak punya KTP dan Kartu Keluarga DKI Jakarta. Anak mereka pun tak bisa dibantu untuk ditangani rumah sakit. “Pak Lurah merekomendasikan untuk segera mengurus KTP dan KK,” ujar Bu Evi.
Tim ACT pun bereaksi cepat, tak bisa menunggu proses pembuatan KTP dan KK yang biasanya memakan waktu hingga dua pekan. Tindakan emergency terhadap Nurul mesti dilakukan, mengingat kondisi balita itu yang menderita gizi buruk sangat parah dengan ditandai semakin menurunnya berat badan yang sangat tidak sebanding dengan usianya.
Malam itu, sekitar pukul 20.00, di dalam rumah yang kumuh dan sanitasi yang buruk, kondisi Nurul terlihat lemah. Tim ACT membawa Nurul dan ibunya ke dokter spesialis anak terdekat, didampingi ibu Evi. Dr. Andrian yang menanangi Nurul mengaku tidak banyak yang bisa dilakukannya mengingat kondisi Nurul yang sangat parah. Ia pun merekomendasikan agar Nurul segera dibawa ke rumah sakit untuk perawatan intensif.
Sebelumnya, untuk memperbaiki kualitas ASI sang ibu, Tim ACT memberikan makanan bergizi dan juga susu khusus untukmenambah jumlah dan kualitas ASI. Selain itu, susu tambahan untuk Nurul juga diberikan. Tim ACT juga menitipkan uang seadanya kepada keluarga Nurul untuk tambahan biaya ke rumah sakit.
Malam semakin larut saat Tim ACT meninggalkan rumah kumuh itu, Dayani dan isterinya sangat berterima kasih atas kedatangan dan bantuan yang diberikan Tim ACT. Menurut mereka, jangankan memikirkan kesehatan, untuk makan sehari-hari pun keluarga mereka sering mendapat bantuan dari tetangga, yang sebenarnya kondisinya juga tidak jauh berbeda. Saat Tim ACT pergi, sekelumit harap masih bisa kami tangkap, andai masih ada yang mau membantu anak mereka, agar sesehat dan seceria anak-anak lainnya.
Bayu Gawtama (laporan dari Eko Yudho, ACT)
Monday, October 10, 2005
Sedihnya Tukang Serabi
Di sudut persimpangan jalan itu ia menjajarkan tiga tungku kecilnya. Satu tungku lainnya terbuat dari batu yang disusun hingga menyerupai tungku. Bara api dari kayu bakar yang memerah menyesakki bagian bawah tungku, kemudian satu persatu wajan kecil yang terbuat dari tanah liat di atas tungku itu dituangkan adonan kue serabi. Beberapa orang terlihat menunggu kue serabi itu masak, menikmati kue serabi dalam keadaan masih hangat pasti menjadi sebab mereka rela menunggu kue diangkat dari wajan.
Ibu Ikah, 32 tahun, penjual kue serabi itu selalu terlihat berjualan di sudut simpang jalan. Ia menjajakan serabi di simpang jalan itu hanya di dua pekan terakhir saja, semenjak tanah kosong di sisi kanan persimpangan jalan itu tengah ramai oleh “pasar malam”. Rombongan kemedi putar dan aneka mainan rakyat lainnya yang ikut ambil bagian menambah semarak pasar rakyat yang dibuka setiap malam itu. Sudah tentu itu membuat para pedagang seperti Bu Ikah tersenyum senang lantaran jajakannya laris manis.
Tapi malam itu, satu malam sebelum memasuki bulan suci Ramadhan, Bu Ikah nampak sedih. Setumpuk kue serabi yang sudah dimasaknya belum terjual, dan bara api pun dipadamkannya sesaat sambil menunggu pembeli. “Berapa harga satu kuenya bu,” sapaan saya membuyarkan lamunannya, entah apa yang sedang dilamunkannya, tapi sangat jelas wajahnya memancarkan kesedihan.
Rupanya, malam itu tak banyak uang yang diperoleh ibu tiga anak itu. “Baru cukup untuk kembali modal saja pak,” lirihnya. Pesanan sepuluh kue serabi dari saya membuatnya sedikit tersenyum, kecil terdengar suaranya berucap syukur. Tapi tetap saja belum menghilangkan gurat muram di wajahnya. Lukisan di wajahnya itu yang memaksa saya untuk lebih lama lagi di tempat itu, namun bukan untuk menambah pembelian jumlah kue. “Sudah berapa kue terjual malam ini bu?” tanya saya mengagetkannya. Nampaknya ia tak menyangka mendapat pertanyaan itu.
Tak ada angka terbilang untuk pertanyaan itu, pun ketika pertanyaan tentang keuntungan yang diperolehnya malam ini. Kemudian ia tersenyum, dengan mata menerawang ia seperti sedang membaca langit. “Sejak hari pertama jualan di sini, saya dapat untung banyak. Tapi tiga hari terakhir ini, hanya uang kembali modal yang terbawa pulang. Ada sih sedikit lebihnya, tapi…” ia menghentikan kalimatnya dan tertunduk sesaat. Sadar saya menatap wajahnya, Bu Ikah buru-buru membenahi wajahnya dan memaksakan sebuah senyum.
“Kenapa bu? Kok sedih,” saya bisa melihat dengan jelas ia sangat bersedih dan menduga kesedihan itu dikarenakan sedikitnya keuntungan yang diperolehnya tiga malam terakhir. Ternyata saya salah. “Bukan itu pak, biar cuma jualan kue serabi saya merasa sebagai orang berpenghasilan. Saya nggak mau dianggap orang lemah, dan karenanya saya selalu menyisihkan sedikit dari keuntungan berjualan kue untuk zakat atau sedekah ke orang yang lemah…”
Nyaris tak ada kata lagi yang mampu terucap oleh saya mendengar alasan kesedihannya. Jika tak ia lanjutkan kalimatnya pun, saya mengerti maksudnya, jika tak ada keuntungan yang diperolehnya malam itu, bagaimana ia bisa berinfak? Kalimat terakhirnya begitu menohok makna kedermawanan yang selama ini saya pahami. Bu Ikah membuktikan, bukan hanya orang kaya yang mampu menyandang status dermawan.
“Entah berapa yang bisa saya sedekahkan dari sedikit keuntungan saya malam ini?” kalimat Bu Ikah itu terus membayangi sepanjang malam saya, hingga detik ini.
Bayu Gawtama
Ibu Ikah, 32 tahun, penjual kue serabi itu selalu terlihat berjualan di sudut simpang jalan. Ia menjajakan serabi di simpang jalan itu hanya di dua pekan terakhir saja, semenjak tanah kosong di sisi kanan persimpangan jalan itu tengah ramai oleh “pasar malam”. Rombongan kemedi putar dan aneka mainan rakyat lainnya yang ikut ambil bagian menambah semarak pasar rakyat yang dibuka setiap malam itu. Sudah tentu itu membuat para pedagang seperti Bu Ikah tersenyum senang lantaran jajakannya laris manis.
Tapi malam itu, satu malam sebelum memasuki bulan suci Ramadhan, Bu Ikah nampak sedih. Setumpuk kue serabi yang sudah dimasaknya belum terjual, dan bara api pun dipadamkannya sesaat sambil menunggu pembeli. “Berapa harga satu kuenya bu,” sapaan saya membuyarkan lamunannya, entah apa yang sedang dilamunkannya, tapi sangat jelas wajahnya memancarkan kesedihan.
Rupanya, malam itu tak banyak uang yang diperoleh ibu tiga anak itu. “Baru cukup untuk kembali modal saja pak,” lirihnya. Pesanan sepuluh kue serabi dari saya membuatnya sedikit tersenyum, kecil terdengar suaranya berucap syukur. Tapi tetap saja belum menghilangkan gurat muram di wajahnya. Lukisan di wajahnya itu yang memaksa saya untuk lebih lama lagi di tempat itu, namun bukan untuk menambah pembelian jumlah kue. “Sudah berapa kue terjual malam ini bu?” tanya saya mengagetkannya. Nampaknya ia tak menyangka mendapat pertanyaan itu.
Tak ada angka terbilang untuk pertanyaan itu, pun ketika pertanyaan tentang keuntungan yang diperolehnya malam ini. Kemudian ia tersenyum, dengan mata menerawang ia seperti sedang membaca langit. “Sejak hari pertama jualan di sini, saya dapat untung banyak. Tapi tiga hari terakhir ini, hanya uang kembali modal yang terbawa pulang. Ada sih sedikit lebihnya, tapi…” ia menghentikan kalimatnya dan tertunduk sesaat. Sadar saya menatap wajahnya, Bu Ikah buru-buru membenahi wajahnya dan memaksakan sebuah senyum.
“Kenapa bu? Kok sedih,” saya bisa melihat dengan jelas ia sangat bersedih dan menduga kesedihan itu dikarenakan sedikitnya keuntungan yang diperolehnya tiga malam terakhir. Ternyata saya salah. “Bukan itu pak, biar cuma jualan kue serabi saya merasa sebagai orang berpenghasilan. Saya nggak mau dianggap orang lemah, dan karenanya saya selalu menyisihkan sedikit dari keuntungan berjualan kue untuk zakat atau sedekah ke orang yang lemah…”
Nyaris tak ada kata lagi yang mampu terucap oleh saya mendengar alasan kesedihannya. Jika tak ia lanjutkan kalimatnya pun, saya mengerti maksudnya, jika tak ada keuntungan yang diperolehnya malam itu, bagaimana ia bisa berinfak? Kalimat terakhirnya begitu menohok makna kedermawanan yang selama ini saya pahami. Bu Ikah membuktikan, bukan hanya orang kaya yang mampu menyandang status dermawan.
“Entah berapa yang bisa saya sedekahkan dari sedikit keuntungan saya malam ini?” kalimat Bu Ikah itu terus membayangi sepanjang malam saya, hingga detik ini.
Bayu Gawtama
Tuesday, October 04, 2005
100ribu, Dapat Apa?
Sarkah, 37 tahun, tergopoh-gopoh menggendong anak balitanya sambil menuntun anaknya yang lain memasuki kantor Pos untuk mengambil dana kompensasi kenaikan BBM (KKB). “Kirain nggak antri, mana anak nangis ginih…” keluhnya begitu melihat antrian panjang “orang miskin” yang hendak mengambil uang sejumlah tiga ratus ribu rupiah sebagai kompensasi kenaikan BBM selama tiga bulan.
Ya, Sarkah, ibu dua anak itu memang tak sendirian. Hari itu, setidaknya puluhan orang yang dikategorikan miskin dan berhak mendapatkan dana KKB sibuk mengantri di berbagai loket tempat penukaran kartu dana KKB. Selain Sarkah, yang anaknya tak berhenti menangis meski tiga lembar mata uang seratus ribuan sudah digenggamnya, ada wanita jompo yang butuh waktu tidak kurang dari setengah jam berjalan kaki sejak ia turun dari angkot untuk mencapai loket antrian. Ada yang rela beradu mulut karena merasa didahului antriannya. Di tempat lain, saling pukul pun terjadi dalam antrian para penerima dana KKB itu.
Luar biasa. Ini pemandangan yang baru di negara Indonesia. Satu lagi parade kemiskinan terpampang jelas di mata kita. Wapres Jusuf Kalla yang menyempatkan diri melakukan inspeksi mendadak di daerah Jakarta Utara, seharusnya tak sekadar melihat proses kelancaran distribusi dan pembagian dana KKB itu. Semestinya, ia lebih melihat dari yang tak banyak dipandang kebanyakan pada hari itu. Antrian itu semestinya membuatnya mengurut dada, bahwa pada kenyataannya, jumlah orang miskin di negara ini jauh lebih banyak dari data yang diberikan pejabat lokal. Adakah pejabat negeri ini melihatnya?
Konon, di negara kita ini, setiap masalah yang dihadapi rakyat terbiasa diselesaikan oleh rakyat sendiri. Seberat apa pun beban yang menimpanya, rakyat sendiri yang menanggungnya. Salah seorang teman dari NGO asal AS, sempat terheran-heran melihat daya tahan masyarakat Aceh yang tertimpa bencana tsunami Desember 2004. “Gila, mereka bisa tahan hidup meski pemerintah teramat lamban memberikan bantuan. Kalau di AS, mereka sudah berteriak agar Pemerintah bertindak cepat.” Komentar singkat saya, “Mereka sudah terlalu lelah berteriak, entah yang diteriaki mendengar atau tidak.”
Kenaikan BBM, selogis apa pun maksud dan tujuan pemerintah, yang itu bisa dimengerti oleh orang-orang berpendidikan dan berpenghasilan tinggi, tetap merupakan bencana bagi orang miskin. Belum usai negeri ini dilanda berbagai bencana, baik bencana alam maupun bencana sosial, tambah satu lagi bencana kenaikan BBM. Setidaknya ini diambil dari sudut pandang mereka, para penerima dana KKB.
100 ribu rupiah sebulan dapat apa? Pertanyaan itu bukan saja milik Sarkah. Senyum dan air muka cerianya saat menggenggam tiga lembar ratusan ribu, diyakini hanya akan berlangsung sesaat. Bisa jadi uang itu akan habis dalam beberapa jam saja, entah untuk bayar hutang, beli beras yang harganya tak ingin kalah bersaing dengan harga BBM, beli susu anaknya yang selama ini tak pernah terbeli, atau beli baju baru, bukankah sebentar lagi lebaran?
Dengan segenap keyakinan, uang sejumlah itu akan habis dalam waktu yang tidak berapa lama. Padahal seharusnya itu untuk satu bulan. Seperti kebanyakan orang berduit, uang seratus ribu akan habis untuk mentraktir makan siang teman-teman di RM. Sederhana, seratus ribu juga biasa dihabiskan untuk duduk-duduk di Food Centre sambil menikmati lima paket Combo 1 KFC, uang senilai itu juga habis dalam sekejap untuk memesan dua porsi besar Pizza. Tak lebih dua puluh tiga liter yang bisa didapat dari uang itu untuk mengisi tangki mobil, bisa juga dihabiskan dalam waktu kurang dari dua jam oleh anak-anak di arena Time Zone. Seringan kapas uang seratus ribu kita gelontorkan untuk membeli tiga atau empat tiket twentyone. Hampir lupa, seratus ribu juga biasa kita belikan pulsa handphone, yang terkadang sudah harus diisi ulang kembali tiga-empat hari kemudian.
Bagaimana dengan Sarkah? Sarkah tak pernah makan di food centre, tak punya handphone yang harus diisi pulsanya, tak tahu rasanya Pizza, tak punya kendaraan, anak-anaknya pun tak pernah main di Time Zone, dan jangankan untuk mentraktir teman-temannya, untuk makan ia dan keluarganya sehari-hari pun masih gali lobang tutup lobang. Sarkah memang senang hari itu mendapatkan tiga ratus ribu, barangkali itu uang terbesar yang pernah digenggamnya selama ini. Tapi akankah Sarkah tetap tersenyum tatkala menyadari kebutuhannya takkan pernah tercukupi dengan uang seratus ribu perbulan?
Kemarin sore, saya melewati sebuah sebuah restoran cepat saji di Tangerang. Ternyata, kenaikan BBM memang tidak berdampak besar bagi masyarakat kita. Kecuali Sarkah, dan teman-temannya para penerima dana KKB. Ups, jangan-jangan yang saya lihat sedang makan itu justru mereka yang baru saja menerima uang tiga ratus ribu?
Bayu Gawtama
Ya, Sarkah, ibu dua anak itu memang tak sendirian. Hari itu, setidaknya puluhan orang yang dikategorikan miskin dan berhak mendapatkan dana KKB sibuk mengantri di berbagai loket tempat penukaran kartu dana KKB. Selain Sarkah, yang anaknya tak berhenti menangis meski tiga lembar mata uang seratus ribuan sudah digenggamnya, ada wanita jompo yang butuh waktu tidak kurang dari setengah jam berjalan kaki sejak ia turun dari angkot untuk mencapai loket antrian. Ada yang rela beradu mulut karena merasa didahului antriannya. Di tempat lain, saling pukul pun terjadi dalam antrian para penerima dana KKB itu.
Luar biasa. Ini pemandangan yang baru di negara Indonesia. Satu lagi parade kemiskinan terpampang jelas di mata kita. Wapres Jusuf Kalla yang menyempatkan diri melakukan inspeksi mendadak di daerah Jakarta Utara, seharusnya tak sekadar melihat proses kelancaran distribusi dan pembagian dana KKB itu. Semestinya, ia lebih melihat dari yang tak banyak dipandang kebanyakan pada hari itu. Antrian itu semestinya membuatnya mengurut dada, bahwa pada kenyataannya, jumlah orang miskin di negara ini jauh lebih banyak dari data yang diberikan pejabat lokal. Adakah pejabat negeri ini melihatnya?
Konon, di negara kita ini, setiap masalah yang dihadapi rakyat terbiasa diselesaikan oleh rakyat sendiri. Seberat apa pun beban yang menimpanya, rakyat sendiri yang menanggungnya. Salah seorang teman dari NGO asal AS, sempat terheran-heran melihat daya tahan masyarakat Aceh yang tertimpa bencana tsunami Desember 2004. “Gila, mereka bisa tahan hidup meski pemerintah teramat lamban memberikan bantuan. Kalau di AS, mereka sudah berteriak agar Pemerintah bertindak cepat.” Komentar singkat saya, “Mereka sudah terlalu lelah berteriak, entah yang diteriaki mendengar atau tidak.”
Kenaikan BBM, selogis apa pun maksud dan tujuan pemerintah, yang itu bisa dimengerti oleh orang-orang berpendidikan dan berpenghasilan tinggi, tetap merupakan bencana bagi orang miskin. Belum usai negeri ini dilanda berbagai bencana, baik bencana alam maupun bencana sosial, tambah satu lagi bencana kenaikan BBM. Setidaknya ini diambil dari sudut pandang mereka, para penerima dana KKB.
100 ribu rupiah sebulan dapat apa? Pertanyaan itu bukan saja milik Sarkah. Senyum dan air muka cerianya saat menggenggam tiga lembar ratusan ribu, diyakini hanya akan berlangsung sesaat. Bisa jadi uang itu akan habis dalam beberapa jam saja, entah untuk bayar hutang, beli beras yang harganya tak ingin kalah bersaing dengan harga BBM, beli susu anaknya yang selama ini tak pernah terbeli, atau beli baju baru, bukankah sebentar lagi lebaran?
Dengan segenap keyakinan, uang sejumlah itu akan habis dalam waktu yang tidak berapa lama. Padahal seharusnya itu untuk satu bulan. Seperti kebanyakan orang berduit, uang seratus ribu akan habis untuk mentraktir makan siang teman-teman di RM. Sederhana, seratus ribu juga biasa dihabiskan untuk duduk-duduk di Food Centre sambil menikmati lima paket Combo 1 KFC, uang senilai itu juga habis dalam sekejap untuk memesan dua porsi besar Pizza. Tak lebih dua puluh tiga liter yang bisa didapat dari uang itu untuk mengisi tangki mobil, bisa juga dihabiskan dalam waktu kurang dari dua jam oleh anak-anak di arena Time Zone. Seringan kapas uang seratus ribu kita gelontorkan untuk membeli tiga atau empat tiket twentyone. Hampir lupa, seratus ribu juga biasa kita belikan pulsa handphone, yang terkadang sudah harus diisi ulang kembali tiga-empat hari kemudian.
Bagaimana dengan Sarkah? Sarkah tak pernah makan di food centre, tak punya handphone yang harus diisi pulsanya, tak tahu rasanya Pizza, tak punya kendaraan, anak-anaknya pun tak pernah main di Time Zone, dan jangankan untuk mentraktir teman-temannya, untuk makan ia dan keluarganya sehari-hari pun masih gali lobang tutup lobang. Sarkah memang senang hari itu mendapatkan tiga ratus ribu, barangkali itu uang terbesar yang pernah digenggamnya selama ini. Tapi akankah Sarkah tetap tersenyum tatkala menyadari kebutuhannya takkan pernah tercukupi dengan uang seratus ribu perbulan?
Kemarin sore, saya melewati sebuah sebuah restoran cepat saji di Tangerang. Ternyata, kenaikan BBM memang tidak berdampak besar bagi masyarakat kita. Kecuali Sarkah, dan teman-temannya para penerima dana KKB. Ups, jangan-jangan yang saya lihat sedang makan itu justru mereka yang baru saja menerima uang tiga ratus ribu?
Bayu Gawtama
Monday, October 03, 2005
Lebaran Pertamaku Tanpa Ayah
Ada jarak tak terukur usai bencana itu
Tak tahu lagi dimana ayah berada kini
Kering sudah air mata ini
Setiap kali wajah teduhnya membayang
Lebaran kali ini,
Tak lagi ada tangan yang kan kukecup
Pun kaki tempat bersimpuh
Padahal, belum sempat diri meminta ridhanya
Di hari raya ini,
Tak ada baju baru untukku,
Disaat anak-anak lain bergembira dengan baju barunya
Tak satu pun yang memberi hadiah
Atas keberhasilanku berpuasa sebulan penuh
Hanya segumpal rindu yang membuatku bertahan
Memupuk sebentuk cinta yang tetap terjaga
Mengais harap lebaran bersamanya lagi
***
Tahun lalu, langkah kami menyatu dalam irama keriangan menuju alun-alun. Lantunan takbir membelah fajar dan Sholat Id terasa sempurna bersamanya. Ada punggung tangan hangat untuk dikecup, ada hati lapang yang ikhlas menerima sebentuk sesal atas kenakalan masa lalu, kemudian sentuhan lembut penuh kasih membasuh air mata yang membasahi pipi ini. Ia pun memapah tubuh kecil ini untuk berdiri dan mendaratkan kecupan lembutnya di kening. Deras terasa aliran cintanya kala itu.
Lebaran tahun lalu, dengan segenap peluhnya ia mencoba membuat saya tersenyum di hari raya. Pakaian baru yang dibawanya di malam terakhir bulan Ramadhan, membuat saya lupa bertanya dari mana ia mendapatkannya. Tapi saya tahu, itulah yang akan selalu dilakukannya demi saya, anaknya. Pengorbanan yang takkan pernah sanggup dibayar dengan apapun.
Tahun demi tahun, perjalanan cinta itu berlangsung. Hingga bencana itu datang meluluhlantakkan semuanya, termasuk jalinan cinta yang sudah terajut begitu erat. Ayah, entah dimana dirinya sekarang. Saya tak pernah lagi melihatnya setelah bencana dahsyat yang memisahkan kami.
Lebaran ini, pertama kalinya saya menggelar sajadah tanpa sajadah Ayah di sisi. Tidak ada tuntunan takbir yang menggetarkan. Saya tak rindu pakaian baru darinya, tak rindu hadiah uang atas keberhasilan puasa saya darinya. Hanya senyum dan kehadirannya yang saya rindui, juga punggung tangannya untuk dikecup.
Tahun ini, lebaran pertama saya tanpa Ayah. Ingin hati bertanya, adakah Ayah juga sholat Id di sana? Siapa yang menggelar sajadah di sisi Ayah? Adakah bibir mungil yang mencium tangan Ayah di sana?
---
Sebuah tanya dari negeri bencana, entah yang siapa yang kan menjawabnya...
Bayu Gawtama
Tak tahu lagi dimana ayah berada kini
Kering sudah air mata ini
Setiap kali wajah teduhnya membayang
Lebaran kali ini,
Tak lagi ada tangan yang kan kukecup
Pun kaki tempat bersimpuh
Padahal, belum sempat diri meminta ridhanya
Di hari raya ini,
Tak ada baju baru untukku,
Disaat anak-anak lain bergembira dengan baju barunya
Tak satu pun yang memberi hadiah
Atas keberhasilanku berpuasa sebulan penuh
Hanya segumpal rindu yang membuatku bertahan
Memupuk sebentuk cinta yang tetap terjaga
Mengais harap lebaran bersamanya lagi
***
Tahun lalu, langkah kami menyatu dalam irama keriangan menuju alun-alun. Lantunan takbir membelah fajar dan Sholat Id terasa sempurna bersamanya. Ada punggung tangan hangat untuk dikecup, ada hati lapang yang ikhlas menerima sebentuk sesal atas kenakalan masa lalu, kemudian sentuhan lembut penuh kasih membasuh air mata yang membasahi pipi ini. Ia pun memapah tubuh kecil ini untuk berdiri dan mendaratkan kecupan lembutnya di kening. Deras terasa aliran cintanya kala itu.
Lebaran tahun lalu, dengan segenap peluhnya ia mencoba membuat saya tersenyum di hari raya. Pakaian baru yang dibawanya di malam terakhir bulan Ramadhan, membuat saya lupa bertanya dari mana ia mendapatkannya. Tapi saya tahu, itulah yang akan selalu dilakukannya demi saya, anaknya. Pengorbanan yang takkan pernah sanggup dibayar dengan apapun.
Tahun demi tahun, perjalanan cinta itu berlangsung. Hingga bencana itu datang meluluhlantakkan semuanya, termasuk jalinan cinta yang sudah terajut begitu erat. Ayah, entah dimana dirinya sekarang. Saya tak pernah lagi melihatnya setelah bencana dahsyat yang memisahkan kami.
Lebaran ini, pertama kalinya saya menggelar sajadah tanpa sajadah Ayah di sisi. Tidak ada tuntunan takbir yang menggetarkan. Saya tak rindu pakaian baru darinya, tak rindu hadiah uang atas keberhasilan puasa saya darinya. Hanya senyum dan kehadirannya yang saya rindui, juga punggung tangannya untuk dikecup.
Tahun ini, lebaran pertama saya tanpa Ayah. Ingin hati bertanya, adakah Ayah juga sholat Id di sana? Siapa yang menggelar sajadah di sisi Ayah? Adakah bibir mungil yang mencium tangan Ayah di sana?
---
Sebuah tanya dari negeri bencana, entah yang siapa yang kan menjawabnya...
Bayu Gawtama
Setetes Embun Jelang Ramadhan
“Tak tahu bagaimana nanti ramadhan kami bisa beribadah dengan baik, tak ada air bersih di sini,” ucap Ibu Uun (55 tahun). Beberapa bulan terakhir, air bersih teramat sulit didapat. Hanya air kotor yang ada, itu pun tidak bisa digunakan untuk air mandi, apalagi untuk dikonsumsi. Meski demikian, bagaimana pun keberadaan air bersih tetap menjadi kebutuhan yang sangat mendesak. Untuk mendapatkan air bersih, tak kurang satu dari 1000 meter jarak yang harus ditempuhnya untuk mencapai sumur tempat ia biasa mengambil air. “Itu pun kalau hari ini hujan, kalau tidak ada hujan, tidak ada air di sumur itu,” lirihnya.
Ibu Uun tidak sendiri, setidaknya puluhan kepala keluarga di desa Pasir Kupa, Kampung Leweung Lojor, Kabupaten Lebak, Rangkas Bitung, Banten, mendambakan air bersih di kampungnya. Tanah kering, debu berterbangan yang dihempas angin panas, dan batang-batang pohon yang kekeringan, semakin menjelaskan harapan warga desa itu akan adanya air bersih. Dan keresahan mereka semakin terasa saat bulan suci ramadhan semakin dekat, “Kami berharap sebelum ramadhan, air itu sudah ada”
Hari itu, Ahad, 25 September 2005, relawan ACT dan LSM Gema Rasa, menemani rombongan PT. Sustraco Adikreasi yang membawa paket sembako untuk lima desa di kabupaten Lebak, Rangkas Bitung, Banten. Desa Pasir Kupa tempat Ibu Uun dan ratusan keluarga lainnya menetap adalah titik pertama desa yang dikunjungi. Jalan panjang dan berdebu yang harus ditempuh, serta sengatan matahari yang terik memaksa setiap anggota rombongan berkali-kali membasahi tenggorokan dengan air mineral. Padahal, hanya satu dari iring-iringan enam mobil yang menyambangi desa itu yang tak dilengkapi pengatur udara. Satu mobil dimaksud adalah mobil box yang membawa tidak kurang dari 200 paket sembako berisi antara lain, beras, kacang hijau, susu, sirop, telur, gula dan mie instant. Masing-masing paket senilai 70 ribu rupiah. Total dana yang dikeluarkan PT. Sustraco Adikreasi untuk pembagian paket sembako itu sebanyak Rp. 14.032.000,-
Ibu Uun dan segenap warga desa Pasir Kupa patut bersyukur, sebab Bapak Luhung Kushonggo, Direktur PT. Sustraco Adikreasi, yang mengajak serta isteri dan anaknya dalam rombongan itu tak sekadar membawa paket sembako, melainkan juga berencana membuat pompa untuk saluran air bersih yang akan bisa dinikmati seluruh penduduk desa itu. Kedatangan rombongan pada hari itu sekaligus mencari titik lokasi pembangunan sumur pompa. Setelah berkeliling desa, akhirnya disepakati titik pengeboran berada empat meter di sisi selatan mushola di desa itu.
Rencananya, pengerjaan sumur air segera dilakukan setelah kunjungan hari itu. Dan ditargetkan sebelum masuk bulan suci ramadhan sudah tersedia air bersih yang memadai. Sehingga warga desa Pasir Kupa tidak perlu khawatir lagi tak mendapatkan air bersih, baik untuk keperluan sehari-hari maupun juga untuk kelancaran beribadah. Seluruh biaya pengerjaan sumur air bersih itu ditanggung penuh oleh PT. Sustraco Adikreasi, sedangkan proses pengerjaannya akan dikoordinir oleh relawan-relawan Gema Rasa, Lembaga Swadaya Masyarakat lokal yang selama ini bekerjasama dengan ACT dalam beberapa kegiatan di Kabupaten Lebak. Program yang telah dilakukan bersama antara lain penanganan masalah gizi buruk yang melanda warga setempat.
Ternyata tidak hanya desa Pasir Kupa yang mendambakan air bersih. Begitu mendengar ada rombongan PT. Sustraco, ACT dan Gema Rasa yang berencana membangun sumur dan pompa air bersih di Desa Pasir Kupa, beberapa warga dari desa yang bersebelahan dengan desa Pasir Kupa berdatangan dan meminta agar desa mereka juga dibangunkan fasilitas yang sama. “Desa kami juga kekeringan pak, susah mendapatkan air bersih, bantu kami pak,” harap mereka.
Yang unik dari seluruh perjalanan membawakan paket sembako hari itu, menurut beberapa relawan Gema Rasa, justru Bupati Lebak pun tak pernah tahu kondisi masyarakat desa-desa yang hari itu dikunjungi. “Bupati bilang tidak satu pun warga desa di seluruh Kabupaten Lebak yang menderita gizi buruk. Tetapi nyatanya, kami banyak menemukan kasus gizi buruk di beberapa desa di sini,” tandas Rani, bendahara Gema Rasa.
Selain membawa paket sembako, ACT dan Gema Rasa memanfaatkan kunjungan hari itu untuk mengetahui dan mendata anak-anak penderita gizi buruk di Kabupaten Lebak. Program penanganan masalah gizi buruk di Kabupaten Lebak adalah salah satu program yang sudah dan terus dilakukan bersam-sama oleh ACT dan Gema Rasa.
Paket sembako yang diberikan kepada masing-masing keluarga di lima titik desa di Kabupaten Lebak hari itu menciptakan keceriaan di wajah-wajah penduduk desa. Dan rencana pembangunan pompa dan sumur air bersih di desa Pasir Kupa, seolah menjadi setetes embun di tengah kegersangan menjelang ramadhan. Ramadhan memang selalu membawa berkah, kehadirannya begitu dinanti, kepergiannya akan dirindui.Keberkahan ramadhan sejatinya akan terus mengalir, dan aliran keberkahan itu semestinya bermula dari tangan kita. Semoga akan ada tangan lain yang memulainya lagi.
Bayu Gawtama
Ibu Uun tidak sendiri, setidaknya puluhan kepala keluarga di desa Pasir Kupa, Kampung Leweung Lojor, Kabupaten Lebak, Rangkas Bitung, Banten, mendambakan air bersih di kampungnya. Tanah kering, debu berterbangan yang dihempas angin panas, dan batang-batang pohon yang kekeringan, semakin menjelaskan harapan warga desa itu akan adanya air bersih. Dan keresahan mereka semakin terasa saat bulan suci ramadhan semakin dekat, “Kami berharap sebelum ramadhan, air itu sudah ada”
Hari itu, Ahad, 25 September 2005, relawan ACT dan LSM Gema Rasa, menemani rombongan PT. Sustraco Adikreasi yang membawa paket sembako untuk lima desa di kabupaten Lebak, Rangkas Bitung, Banten. Desa Pasir Kupa tempat Ibu Uun dan ratusan keluarga lainnya menetap adalah titik pertama desa yang dikunjungi. Jalan panjang dan berdebu yang harus ditempuh, serta sengatan matahari yang terik memaksa setiap anggota rombongan berkali-kali membasahi tenggorokan dengan air mineral. Padahal, hanya satu dari iring-iringan enam mobil yang menyambangi desa itu yang tak dilengkapi pengatur udara. Satu mobil dimaksud adalah mobil box yang membawa tidak kurang dari 200 paket sembako berisi antara lain, beras, kacang hijau, susu, sirop, telur, gula dan mie instant. Masing-masing paket senilai 70 ribu rupiah. Total dana yang dikeluarkan PT. Sustraco Adikreasi untuk pembagian paket sembako itu sebanyak Rp. 14.032.000,-
Ibu Uun dan segenap warga desa Pasir Kupa patut bersyukur, sebab Bapak Luhung Kushonggo, Direktur PT. Sustraco Adikreasi, yang mengajak serta isteri dan anaknya dalam rombongan itu tak sekadar membawa paket sembako, melainkan juga berencana membuat pompa untuk saluran air bersih yang akan bisa dinikmati seluruh penduduk desa itu. Kedatangan rombongan pada hari itu sekaligus mencari titik lokasi pembangunan sumur pompa. Setelah berkeliling desa, akhirnya disepakati titik pengeboran berada empat meter di sisi selatan mushola di desa itu.
Rencananya, pengerjaan sumur air segera dilakukan setelah kunjungan hari itu. Dan ditargetkan sebelum masuk bulan suci ramadhan sudah tersedia air bersih yang memadai. Sehingga warga desa Pasir Kupa tidak perlu khawatir lagi tak mendapatkan air bersih, baik untuk keperluan sehari-hari maupun juga untuk kelancaran beribadah. Seluruh biaya pengerjaan sumur air bersih itu ditanggung penuh oleh PT. Sustraco Adikreasi, sedangkan proses pengerjaannya akan dikoordinir oleh relawan-relawan Gema Rasa, Lembaga Swadaya Masyarakat lokal yang selama ini bekerjasama dengan ACT dalam beberapa kegiatan di Kabupaten Lebak. Program yang telah dilakukan bersama antara lain penanganan masalah gizi buruk yang melanda warga setempat.
Ternyata tidak hanya desa Pasir Kupa yang mendambakan air bersih. Begitu mendengar ada rombongan PT. Sustraco, ACT dan Gema Rasa yang berencana membangun sumur dan pompa air bersih di Desa Pasir Kupa, beberapa warga dari desa yang bersebelahan dengan desa Pasir Kupa berdatangan dan meminta agar desa mereka juga dibangunkan fasilitas yang sama. “Desa kami juga kekeringan pak, susah mendapatkan air bersih, bantu kami pak,” harap mereka.
Yang unik dari seluruh perjalanan membawakan paket sembako hari itu, menurut beberapa relawan Gema Rasa, justru Bupati Lebak pun tak pernah tahu kondisi masyarakat desa-desa yang hari itu dikunjungi. “Bupati bilang tidak satu pun warga desa di seluruh Kabupaten Lebak yang menderita gizi buruk. Tetapi nyatanya, kami banyak menemukan kasus gizi buruk di beberapa desa di sini,” tandas Rani, bendahara Gema Rasa.
Selain membawa paket sembako, ACT dan Gema Rasa memanfaatkan kunjungan hari itu untuk mengetahui dan mendata anak-anak penderita gizi buruk di Kabupaten Lebak. Program penanganan masalah gizi buruk di Kabupaten Lebak adalah salah satu program yang sudah dan terus dilakukan bersam-sama oleh ACT dan Gema Rasa.
Paket sembako yang diberikan kepada masing-masing keluarga di lima titik desa di Kabupaten Lebak hari itu menciptakan keceriaan di wajah-wajah penduduk desa. Dan rencana pembangunan pompa dan sumur air bersih di desa Pasir Kupa, seolah menjadi setetes embun di tengah kegersangan menjelang ramadhan. Ramadhan memang selalu membawa berkah, kehadirannya begitu dinanti, kepergiannya akan dirindui.Keberkahan ramadhan sejatinya akan terus mengalir, dan aliran keberkahan itu semestinya bermula dari tangan kita. Semoga akan ada tangan lain yang memulainya lagi.
Bayu Gawtama
Subscribe to:
Posts (Atom)