Anak Betawi yang Keliling Dunia Lewat Blog

Kate siape anak Betawi kagak bise maju? siape kate anak Betawi pade males dan banyak nyang jadi pengangguran? Bukan maksud nyombong atawe unjuk gigi, aye cuma ngasih tau kalo kagak semue anak Betawi kayak nyang ente kire...

Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...

Friday, May 20, 2005

Rara, Si Gadis Tomboy: "Jangan Bilang Aku Cantik" (5)

nyambung lagi nih ceritanyaa... yang nggak ngerti baca dulu bagian sebelumnya ya!

The last, tapi tidak penting. Itu mungkin yang pantas untuk diucapkan ketika tiba giliran Tejo. Tejo yang sudah bersiap-siap dan tengah merapihkan pakaiannya yang tidak akan pernah rapih itu hendak digugurkan oleh pembawa acara,

“Untuk yang terakhir, saya mau minta pendapat teman-teman, apakah perlu ditampilkan?”

“Tidaaaaaakk…” seru hadirin, kecuali para pendukung Tejo yang tetap bersikeras jagonya layak tampil.

“Begini teman-teman, mengurus dirinya sendiri saja Tejo belum mampu, bagaimana ia akan mengurus kelas ini?”

“Betuuulll…” koor itu terulang lagi.

Tejo membela diri. Pemilihan ini dianggap tidak demokratis kalau dirinya tak diberi kesempatan barang sedetik untuk menyampaikan visinya. Akhirnya panitia pun mengalah, nyaris saja Tejo menjadi korban pembunuhan karakter oleh Sandy dan panitia lainnya.

Tejo pun membuka pidatonya,

“Orang sering tertipu oleh penglihatannya sendiri. Tidak sedikit mata yang hanya mampu melihat sesuatu sebatas kulit luarnya saja, tapi mereka tak pernah menggunakan mata hatinya untuk menembus pandangan terdalam dari sesuatu, atau seseorang…” suara Tejo serak-serah basah.

Sementara hadirin seperti tersihir oleh pidato Tejo yang filosofis.

"Anda sering memandang orang lain hanya dari pakaiannya, dari cara berjalannya, juga dari apa terlihat kasat mata. Padahal setiap orang memiliki sesuatu yang jauh lebih bernilai di dalam dirinya…” masih dengan serak basahnya.

Bu Isti terbengong. Tak menyangka ada anak muridnya yang mampu berbicara seperti itu. Habis baca buku apa dia, gumamnya.

“Jaddi…” kental logat tegal ala Tejo,
“jangan lihat diri saya dari pakaian kumal ini, atau dari rambut saya yang gimbal jarang dikeramas ini, karena sesungguhnya saya lebih mementingkan orang lain ketimbang diri saya. Bukankah itu ciri pemimpin yang baik?”

Haa? Serempak semua melongo, bisa terlihat kalimat yang tertulis di benak para hadiri, “maksudnya?”

Seolah memiliki kemampuan menangkap apa yang ada di benak para hadirin, Tejo pun berujar,

“Kenapa saya tak menyampo rambut saya? Begini… kalau saya beli shampo pagi ini, berarti akan ada orang yang tidak kebagian shampo karena jatahnya sudah saya beli. Itu berarti saya telah mementingkan diri saya dan disaat yang sama telah membuat orang lain menderita karena pagi ini tidak bisa mencuci rambutnya…”

Hadirin masih melongo.

“Biarlah saya yang menderita karena tidak keramas, asal bukan teman saya… sekian dan terima kasih”

Tidak ada standing applaus
Tidak ada sambutan meriah
Tidak ada suat suit atau pun siulan
Tidak ada aksi angkat topi, karena tak satu pun yang memakai topi di ruangan itu.

Karena,
Semuanya masih…
tetap…
melongo…
forever…


***

“Baiklah…” Sandy memecah keheningan. “Kita akan segera memulai pemilihan ketua kelas ini dan Bu Isti sebagai wali kelas akan menjadi saksi yang … …”

Belum sempat kalimat Sandy selesai, tiba-tiba, lampu mendadak mati. Sebagian siswi berteriak, ada yang kesakitan karena kakinya terinjak, ada yang pingsan karena takut gelap, ada juga yang langsung menangis manggil-manggil ibunya.

Sayangnya, malam itu Pak Warno sang penjaga sekolah yang juga berprofesi sebagai mekanik, teknisi, tukang bersih-bersih dan segala macam profesi lainnya tidak ada di persinggahannya, ruangan 2 x 3 meter dekat kantin, sebelah gerobak siomay-nya Mang Udin. Bapak setengah baya itu keluar entah kemana, mungkin cari angin, maklum ruangan sempitnya itu memang jelas kurang angin, alias pengap.

“Dimas, Angga, Tejo, Rusdi, ayo semua calon ketua kelas, buktikan kalau kalian tangguh. Pak Warno tidak ada, jadi kalian harus usahakan agar lampu kelas ini bisa menyala” seru Bu Isti.

Bu isti yang tenang dan kalem, malam itu menjelma menjadi wanita yang penuh semangat dan berapi-api.

Seluruh kelas bersemangat,

“Ayo, ayo, buktikan, ayo buktikan…”

Mila mundur teratur.
Ia merasa tidak sanggup melakukan pekerjaan laki-laki itu. Bagaimana mungkin ia harus naik ke atas meja dan menumpuk satu kursi di atasnya kemudian naik di atas kursi itu untuk membetulkan lampu neon di kelas. “Ini mah pekerjaan cowok… aku nggak sanggup”

Tapi,

Semangat Bu Isti langsung kendur, juga para pesorak di barisan belakang. Tak satu pun dari barisan depan, para kandidat ketua kelas itu beranjak dari kursinya.

Suasana hening, tak sepatah kata pun keluar dari Bu Isti. Beberapa siswa di belakang saling berbisik, lainnya mencibir para kandidat yang ternyata tak setangguh, tak sehandal, tak sejago, tak sehebat yang mereka bayangkan. Masak urusan lampu mati saja nggak mampu, kalah sama petugas PLN dong …

Suasana tetap hening,

Sehening dengus nafas Subhan yang belum juga siuman dari pingsannya. Mungkin kalau ia sadar pada saat mati lampu, ia mengira tengah berada di dalam kubur, pengap, gelap gulita. Pasti mengerikan, bayangnya.

Masih juga hening,

Sehening malam yang tiba-tiba tak berbintang. Bintang-bintang itu terdiam menyaksikan malam yang terus berlalu. Detik demi detik terlewati tanpa cahaya, sementara sayup-sayup suara bisikan makhluk Tuhan lainnya dari kejauhan mencibir sosok-sosok manusia tak tangguh di hadapan mereka.

Tiba-tiba,

Seorang gadis berjilbab maju, ia menggeser satu meja dengan dua tangan kecilnya sampai persis di bawah lampu kelas yang mati. Kemudian ia mengangkat satu kursi dan menaruhnya di atas meja tadi.

Sigap gadis itu melompat ke atas meja dengan bertopang pada dua tangannya, sementara jilbab hitam-nya berkibar kecil saat ia melompat. Untungnya, gadis itu penyuka sepatu sport, jadi tak sulit diajak kompromi untuk lompat-lompatan.

“Coba semua cowok minggir, jangan ada yang di bawah dan di sekitar meja ini. Ada cewek lagi di atas, dan jangan coba-coba melirik ke atas, saya nggak tanggung besok pade nggak bisa ngeliat ya…” gadis itu menghalau para cowok melempem yang sejak tadi hanya ternganga tak berdaya.

Bagai sepeleton prajurit yang mendapat instruksi dari komandannya, barisan cowok tak tangguh tadi mundur satu persatu.

Tinggallah gadis itu sendiri. Sendiri berdiri. Sejurus kemudian ia naik ke atas bangku di atas meja. Tangan kecilnya mulai menyentuh sisi lampu tempat starter-nya menyembul.

Dua menit kemudian,

“Horeeeee…” gemuruh suara membahana di kelas yang sebelumnya sunyi. Tepuk tangan pun membanjir. Tentu saja ditujukan bagi gadis tangguh itu.

“Hidup Rara… Hidup Rara… Hidup Rara…” suara-suara itu makin membesar, dari satu suara, dua suara, empat, enam, sembilan, enam belas, dua puluh tiga, tiga puluh sembilan, hingga semua anggota kelas, tak ketinggalan Bu Isti ikut bersorak.

Sandy sang provokator sejati tak ketinggalan buka suara,

“Teman-teman, nampaknya kita tak perlu melanjutkan pemilihan ketua kelas, karena secara langsung kita telah mendapatkan ketua kelas yang tangguh. Rara lah ketua kelas yang kita cari… setujukah teman-teman jika kita mendaulat Rara menjadi ketua kelas?” seru Sandy.

Rara cuma bisa celingukan mendengar koor setuju dari semua hadirin. Bu Isti tersenyum bangga seraya mengiyakan. Untuk pertama kalinya Bu Isti menyetujui provokasi yang dilakukan Sandy, dari seratus enam provokasi sebelumnya.

Persis pukul dua puluh dua lebih delapan belas menit Rara dinobatkan menjadi ketua kelas Tiga A. Rara tak mampu berkata apa-apa, karena semua mata, semua suara, semua harapan bertumpu padanya. Kecuali satu tatapan tajam tak setuju dari sepasang mata, tiga setengah meter sebelah kanan dari tempatnya berdiri.


III. Perseteruan Itu pun Dimulai

Kantin sekolah, meja tempat Bu Omon menjual mie goreng, lontong sayur dan non sayur alias lontong isi. Pagi ...

bersambung lagih yaa

1 comment:

Anonymous said...

daripada nunggu bukunya selesai,,,mending nunggu edisi berikutnya disini,makasih