Ayah. Setiap mengingatnya, saya selalu ingat saat ia sering mengajakku jalan-jalan dengan sepeda motor CB 100 berwarna merah miliknya. Seperti kebanyakan anak kecil lainnya, saya selalu minta duduk di depan, di atas tangki bensin. Semilir angin sore lembut menerpa wajah kecil ini dan saya teramat senang membuka mulut lebar-lebar seraya mengeluarkan suara, "aaaa....".
Pernah suatu sore, saya bertanya apakah boleh memegang kemudi dan menjalankannya sendiri. Ayah menjawabnya dengan bijak, "Suatu saat kamu akan berjalan sendiri, memegang kendali hidup sendiri. Tidak ada seseorang pun yang kan menunjukkan jalan kamu, karena sesungguhnya kamu lah yang lebih tahu kemana arah dituju." Sungguh, saya benar-benar tidak mengerti, usia saya yang teramat pagi belum mampu mencernanya barang sedikit.
Tapi entah kenapa nyaris setiap saya minta izin untuk mengemudi motor sendiri, ia selalu mengatakan hal itu, dan kadang menambahkannya dengan kalimat, "bahkan kakimu pun belum sepenuhnya menapaki bumi" atau "Nanti jika kamu dewasa, kamu yang pegang kendali atas dirimu sendiri".
Kemudian pikiran saya pun melayang pada masa-masa sebelumnya, menurut cerita ibu, Ayah rajin mendorong sepeda roda tiga saya menyusuri jalan sekitar rumah. Saya tak pernah tahu jalan yang hendak dituju, tapi Ayah yang menunjukkan arah sebenarnya, ia juga yang membantu menghentikan laju sepeda ketika hendak menabrak sesuatu atau saat di tepi selokan. Kadang ia mendorong, kadang pula ia menariknya dengan tali, intinya ia lah yang menuntun dan menjaga saya hingga tak pernah sedikit pun tersesat atau terjatuh.
Ayah, sosok yang selalu saya rindui itu pernah berpesan disaat-saat akhir sekolah menengah, "Jalan yang kamu tempuh baru separuhnya, separuhnya lagi kamu akan menempuhnya sendiri". Saat itu, saya memahaminya sebatas pesan seorang Ayah terhadap anaknya yang beranjak dewasa. Saya mengerti bahwa setelah lulus nanti saya akan menentukan jalan saya sendiri, tidak seperti dulu saat di atas sepeda roda tiga atau bersemilir angin dengan motor Ayah, dia lah yang menuntun jalan saya agar tak tersesat.
Bertahun sudah saya jauh dari Ayah, semakin mengerti bahwa saya memang tengah menempuh jalan saya sendiri, tak lagi boleh mengeluh karena ayah tak suka anak yang cengeng. Bahkan kini saya dituntut untuk menjadi penuntun jalan bagi keluarga saya sendiri. Meski demikian, saat pertemuan dengannya yang terbilang langka, saya memanfaatkannya untuk banyak bertanya dan berdiskusi, seperti seorang murid kepada gurunya.
Hingga kini, semakin dewasa cara berpikir saya, saya semakin dalam memaknai kalimat Ayah, bahwa apa yang sudah saya tempuh ini masih separuh jalan. Dan sepanjang separuh jalan ini saya masih memiliki teramat banyak guru di muka bumi ini yang menjadi tempat saya bertanya saat kehilangan arah, masih banyak ranting pohon yang bisa menjadi pegangan saat limbung dan goyah diterpa badai cobaan.
Dan separuh jalan yang Ayah maksud adalah sepanjang nafas masih berhembus, karena separuh jalannya lagi akan saya mulai di alam lain. Di sanalah saya benar-benar sendiri, berjalan sendiri, menentukan arah juga sendiri yang sebenarnya hanyalah melalui jalan yang pernah kita rintis di separuh jalan sebelumnya.
Terima kasih Ayah, kini saya mengerti apa yang harus saya perbuat. Merintis kebaikan di separuh jalan saat ini, agar di separuh jalan berikutnya, saya mendapati kemudahan.
Duh, saya semakin merinduinya saat ini. Rindu berada di atas tangki CB 100 berwarna merah dan membuka mulut lebar-lebar seraya bersuara, "aaa....". Saya juga rindu petuah bijaknya.
Bayu Gautama
No comments:
Post a Comment