Kekaguman saya terhadap sosok Ayah memaksa saya berujar singkat di depannya, "Saya ingin menjadi seperti Ayah". Ayah hanya tersenyum dan menarikku ke pangkuannya, lalu sebaris kalimat mengalir teduh dari mulutnya, "Jadilah diri sendiri, dan tulislah sejarahmu sendiri". Hingga kini, kalimat singkat itu masih terus menari-nari di benak saya, akankah saya mampu menjadi diri saya sebenarnya dan menuliskan sejarah untuk diri saya sendiri?
Entah sudah jumlah ke berapa manusia yang pernah hidup di dunia ini, dan sudah berapa banyak pula manusia-manusia yang mengukir sejarah mereka di lembaran kehidupannya, meski juga jauh lebih banyak manusia yang tak mampu melukiskan namanya secara baik hingga akhir masanya. Semenjak Nabi Adam, kemudian Rasullullah Muhammad SAW hingga orang tua kita telah menorehkan nama mereka dalam lembar sejarah kehidupan, setidaknya yang dekat dan menyentuh kehidupan pribadi kita sendiri.
Ada orang-orang yang menjalani hidupnya secara biasa sehingga ketika mati pun ia tetap sebagai orang biasa. Sementara ada sebagian orang yang berupaya melakukan hal luar biasa di dalam hidupnya, meski semasa hidup ia hanya orang biasa, banyak orang yang kan senantiasa mengenangnya sebagai orang yang luar biasa.
Ada manusia-manusia yang membiarkan tangan, kaki dan seluruh anggota dirinya berbuat merugikan, baik bagi dirinya maupun orang lain. Maka kemudian ia pun kelak terus menerus menjadi contoh buruk bagi manusia yang hidup sesudahnya. Di sisi lain, tidak sedikit orang yang menjadikan hidupnya tidak hanya untuk dirinya tetapi membaikkan bagi orang lain. Hidup yang dijalaninya berpengaruh positif kepada kehidupan orang lain. Setiap kata yang terucap, langkah yang tercipta menjadi teladan bagi manusia-manusia yang hidup sesudahnya.
Manusia-manusia yang pernah hidup sebelum kita, telah pernah menuliskan sejarah mereka sendiri. Apakah kemudian orang sesudahnya mengenalnya sebagai sejarah buruk atau baik, itu sangat tergantung pada apa yang sudah dilakukannya semasa hidup. Menjadi apa dia, dan apa yang dilakukannya pada masa hidupnya, adalah catatan yang takkan pernah hilang di masa yang akan datang. Orang lain akan mengingatnya sebagai pelajaran berharga, mengikuti teladannya atau menjauhinya.
Maka, berhati-hatilah saya saat ini. Karena apa yang saya ucapkan, setiap coretan yang tertuang dari tangan saya, sejauh langkah yang pernah saya tapaki, semua itu dalam rangka mengukir sejarah saya sendiri. Apakah orang lain akan melihat lukisan sejarah saya sebagai sesuatu yang baik untuk dicontoh? Ah, semoga saja demikian.
Bayu Gautama
Semoga anak-anak saya bangga memiliki Ayah seperti saya
2 comments:
tentu saja anak2 pak gaw bangga terhadap ayahnya. Semoga Nida pun bangga memiliki saya sebagai umminya...
=annidalucu.blogspot=
yang juga mencoba mengukir sejarah emas dirinya
mPit bangga sekali dengan Ayah.
bapakku...
Post a Comment