Anak Betawi yang Keliling Dunia Lewat Blog

Kate siape anak Betawi kagak bise maju? siape kate anak Betawi pade males dan banyak nyang jadi pengangguran? Bukan maksud nyombong atawe unjuk gigi, aye cuma ngasih tau kalo kagak semue anak Betawi kayak nyang ente kire...

Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...

Friday, May 06, 2005

Mencoba Mengerti

Saya pernah dipecat dari pekerjaan saya, intinya karena tidak profesional. Alasan pertama, saya sering salah menyebut trayek (jurusan) dan tentu saja itu membuat bingung penumpang yang ingin naik, bisa saya tangkap raut kecewa dari sopir saya. Alasan kedua, dan ini yang dianggap paling merugikan, yakni saya terlalu baik untuk tidak menarik ongkos dari nenek-nenek tua, atau sahabat-sahabat saya yang kebetulan menumpang angkot saya. Saya juga tidak pernah marah kepada penumpang yang membayar ongkos tidak sesuai tarif. Anda sudah bisa menebaknya, bahwa pekerjaan saya adalah seorang kondektur angkot -tahun 1990an, angkot masih menggunakan jasa kondektur.

Meski tidak terlalu lama menjalani profesi itu, namun pengalaman yang sesaat itu mampu memberikan pemahaman yang lebih kepada saya, betapa seringkali bisa mengerti alasan seorang kondektur bersikap keras terutama di siang hari. Bisa Anda bayangkan dimulai ketika pagi buta ia berdiri di pintu menerpa angin, menyapa terik matahari dengan wajahnya, berdiri dengan sebelah kaki disaat mobil sarat penumpang. Penumpang yang mendapati kondektur terkesan galak, seringkali tidak memahami bagaimana jika ia yang berada pada posisi itu. Puluhan kali melewati jalan yang sama setiap hari, mencumbui kemacetan yang sama dengan rasa kesal yang itu-itu juga, bosankah mereka?

Kemudian saya pun mencoba mengerti jika ada kondektur yang marah terhadap penumpang yang membayar kurang dari tarif sebenarnya. Sering saya dengar kalimat "kurang seratus aja marahnya ke ubun-ubun" dari seorang penumpang. Bagi saya, bukan soal uang seratus atau dua ratus rupiah, ini soal masa depan. Anda tidak pernah berada di posisi mereka sehingga kalimat itu teramat ringan keluar dari mulut Anda. Sungguh, sampai hari ini saya masih terus mencoba mengerti apa yang tidak terlihat di balik semua yang nampak.

Seperti juga kemarin siang ketika saya memanggil tukang koran di kereta, kemudian saya memberinya lebih 500 rupiah dari harga sebenarnya. Saya bisa melihat secercah senyum dari bibirnya. Sebenarnya saya hanya sedang ingin bernostalgia ketika masih duduk di bangku SLTP. Berpacu dengan waktu sekolah, setiap pagi saya sering murung menghitung laba, terlebih ketika hanya seribu dua ribu perak keuntungan yang bisa dibawa pulang, sementara beberapa koran masih belum terjual. Namun sesekali saya mendapati pembeli yang merelakan uang seratus-dua ratus peraknya ketika saya tidak mendapati uang receh untuk kembalian. "Sudah simpan saja kembaliannya dik", sungguh rasa senang saya saat itu mampu mengalahkan bahagianya seorang gadis desa yang disunting pangeran dari kerajaan untuk menjadi permaisurinya.

Mencoba mengerti posisi, perasaan orang lain ternyata tidaklah mudah. Misalnya, nyaris setiap pagi saya menumpang bis non AC yang sarat penumpang. Saking saratnya, bis mengalami kemiringan beberapa derajat, dan saya sering terjebak di antara penumpang yang berhimpit dan bertukar peluh dalam bis tersebut. Sepanjang perjalanan sering saya lihat orang di mobil pribadi, ber-AC, bangku di sebelahnya kosong, atau sekelompok orang yang berada di bis executive, ber-AC, dengan ruangan beraroma terapi, mereka melihat ke arah bis yang saya tumpangi, menunjuk dan tertawa seolah menertawakan, merasa tidak mungkin atau tidak mau berada di antara penumpang yang bersesakan. Saya hanya menduganya begitu dan terus menerus menerka kiranya apa yang mereka bicarakan ketika melihat bis dengan sarat penumpang hingga oleng ke kiri.

Apa yang sering saya terka kemudian terjawab ketika suatu hari bersama beberapa teman bermobil ke suatu tempat. Di perjalanan, saat antri lampu merah teman di sebelah saya menunjuk sebuah bis sarat penumpang, "Kalau saya sih, nggak mau naik bis begitu, Nggak deh..." kemudian ia tertawa kecil seolah dengan menertawakan orang-orang yang berada dalam bis itu. Saya pun memintanya menurunkan telunjuknya dan menghentikan tawanya. Setiap hari berada di bis seperti itu membuat saya bisa merasakan bahwa sebagian orang mungkin tersinggung dengan sikap, tertawaan dan entah apa yang orang lain bicarakan di dalam mobil pribadinya. Meski mungkin orang itu tidak sedang membicarakan ratusan orang yang tengah berhimpitan di dalam bis. Tapi memang, mencoba mengerti perasaan dan posisi orang lain itu tidak lah mudah.

Dan pagi ini, tiba di kantor saya mendapati meja saya sudah bersih dan sudah tersedia segelas air putih. Saya tidak pernah meminta seseorang untuk menyediakan air dan juga membersihkan meja saya setiap hari, tapi yang jelas semua selalu seperti itu setiap pagi meski saya sering meninggalkan kantor dengan meja yang kotor. Kemudian saya bertanya-tanya, pernahkah Edi -orang yang setiap hari harus saya berikan ucapan terima kasih- merasa ingin suatu saat ada orang yang menyediakannya segelas air di meja kerjanya? Meski saya tahu Edi tidak seperti itu, ia teramat tulus memahami perannya. Sementara saya, seringkali mengalami kesulitan untuk sekadar mencoba mengerti perasaan, peran, dan posisi orang lain.

Semoga saya bisa lebih bijak memahaminya.

Bayu Gautama

1 comment:

Anonymous said...

om bayu pernah jd kondektur..?? subhanalloh... dirimu tuh lebih byk mengenal banyak sisi dari bbrp dimensi kehidupan yang ada ya..

salut om, ama kegigihan...
dan...aku bisa nggak yak...

erm....