“brengsek…! Sialan…! Uu-uh… batu nggak tau diri, bikin sakit kaki gue aja…”
Dulu, kalimat itu sering terlontar begitu saja dari mulut saya saat kaki saya terantuk batu. Biasanya, jari kaki langsung berdarah, atau minimal lecet. Yang lebih buruk, kadang bisa sampai bengkak bahkan mungkin bernanah beberapa hari kemudian jika tak segera diobati.
Esok harinya, saya berpikir harus lebih berhati-hati saat berjalan, terutama di jalan yang berkerikil. Tapi yang namanya nasib, biar empat mata terpasang –plus dua mata kaki- lebar-lebar tetap saja kalau sedang tidak beruntung ya terantuk lagi. Hingga hari ini, entah sudah kali ke berapa kaki ini terantuk batu. Tak pernah saya menghitungnya.
Manusia memang perlu belajar dari kesalahan masa lalu agar tak mengulanginya di masa yang akan datang. Konon salah satu ciri orang bodoh adalah mengulangi kesalahan yang sama akibat tak mengambil pelajaran dari kesalahan sebelumnya. Tapi bicara takdir, ciri bodoh yang satu ini mesti dikesampingkan dulu. Seperti jempol saya yang berulang kali harus berdarah beradu keras dengan batu. Saya tak ingin menyalahkan batu itu yang sering saya anggap menghalangi jalan saya, padahal batu itu sudah ada di tempatnya sejak kemarin sebelum saya melewati jalan itu. Atau bahkan ia sudah di situ jauh sebelum saya lahir dan pernah juga memakan korban jutaan jempol kaki yang lain.
Jika saya sudah berhati-hati namun masih tetap terantuk juga, itu namanya takdir. Allah sudah mencatat jauh sebelum saya diciptakan bahwa yang namanya Bayu Gautama itu, pada hari ini, jam sekian, detik sekian, akan terantuk batu, di jalan ini, beberapa meter dari bangunan anu. Selesai? Belum!
Tinggal kemudian bagaimana saya mensikapi setiap keputusan Allah terhadap saya tersebut. Bersyukur kah atau mengeluh?
Ini bukan soal bahwa kemudian saya akan menerima begitu saja setiap keputusan Allah. Misalnya ketika saya sakit, maka saya tak perlu berobat karena saya pikir ini takdir Allah, dan saya yakin Allah pula yang akan mengangkat penyakit saya kelak karena Allah yang memberinya. Sebagai orang beriman, tentu saja saya harus melakukan satu ikhtiar, yakni berobat sebagai sebuah upaya yang dilakukan oleh seorangb manusia. Sembuhkah atau bertambah parahkah saya setelah berobat, itu diluar kekuasaan manusia. Manusia hanya bisa berbuat dan berdoa, soal hasil tunggu lah tangan Allah yang bermain.
Sekarang kita mulai logikanya.
Anak sekolah yang hendak naik tingkat selalu harus melewati beberapa rangkaian ujian. Begitu juga seorang karyawan, ia harus lulus test dan ujian tertentu untuk bisa naik posisi yang lebih tinggi dengan pendapatan yang lebih baik. Artinya, untuk menjadi lebih baik seseorang senantiasa ‘wajib’ melewati berbagai ujian. Dan bisa dikatakan, setuju atau tidak setuju, setiap orang baik dan yang akan menjadi baik akan selalu menerima bermacam cobaan untuk menguji kualitas kebaikannya. Kalau ada anak yang tidak ikut ujian, alternatifnya hanya dua; dia tidak sekolah atau dia tidak mau naik kelas. Kalau ada karyawan yang tidak disertakan dalam test kenaikan pangkat, bisa jadi dia memang dipandang belum layak untuk menduduki posisi lebih baik sehingga kemudian dinilai belum mampu melewati rangkaian test, atau mungkin karyawan tersebut memang sudah berniat untuk terus menjadi bawahan. Saya rasa yang kedua ini agak unik, kalau boleh dibilang mustahil.
Jangan dulu bicara soal hasil. Di sini kita hanya bicara soal ujian, ujian dan ujian yang mesti dilewati seseorang untuk mencapai derajat kebaikannya. Semestinya, setiap anak sekolah yang akan melewati ujian kenaikan kelas senantiasa semangat dan senang menghadapinya. Demikian juga dengan karyawan yang mendapat kesempatan melewati test kenaikan pangkat. Semakin sering mereka mendapatkan kesempatan itu, semakin besar peluang mereka memperoleh tingkat yang lebih tinggi.
Sekarang kembali kepada saya yang terantuk batu. Saya tak lagi mengeluh atau bahkan mengumpat dengan makian yang sarkas. Toh, seberapa banyak pun kalimat sarkas yang keluar dari mulut saya, ini sudah terjadi dan jempol kaki saya tetap berdarah. Syukuri saja, karena bisa jadi ini juga ujian dari Allah. Saat saya terbaring sakit dan sudah menghabiskan jutaan rupiah, namun jika akhirnya saya harus menghadap Allah, isteri dan anak-anak saya harus bersyukur karena mereka mendapatkan ujian ini dari Allah. Saya tentu tak ingin mereka marah, kecewa atau bahkan membenci Allah, karena semua itu takkan pernah bisa mengembalikan saya kepada mereka.
Allah dalam sebuah hadits qudsi mengatakan; Setiap ujian, musibah dan malapetaka yang Aku berikan kepada hamba-hamba-Ku sudah tercatat sebelumnya. Jika ada yang tak berkenan dengan semua itu, silahkan cari tuhan yang lain selain Aku. Silahkan cari bumi tempat berpijak selain bumi-Ku.
Memang tidak terlalu persis bunyinya seperti itu, tapi intinya saya ingin mengatakan, itu bukan marahnya Allah, justru itu Rahman (kasih sayang)nya Allah agar kita termasuk orang-orang yang baik, dan terus menjadi lebih baik karena senantiasa bersyukur atas cobaan, ujian dan musibah yang kita terima dengan ikhlas. Wallaahu’a’lam
Bayu Gautama
1 comment:
Bener banget! Mutu ketakwaan seorang hamba adalah bagaimana ia melampaui serangkaian cobaan dari awal hingga akhir, meski itu sama sekali bukan hal yang mudah (karena saya acapkali sering juga mengumpat saat cobaan datang ;-) )
Mudah2an dengan seringnya diingatkan melalui medium tulisan dalam forum ini bisa menjadi pengasah ketajaman mata iman kita masing-masing.
Salam hangat dari Afrika Barat! ;-P
PS: Ada ondel-ondel baru (Staff Indonesia via UN Volunteer, asal Bali baru saja tiba dan bekerja di UNMIL-Liberia), ada lagi yang menyusul?
Post a Comment