Malam itu semua peserta pelatihan saya kumpulkan dan duduk melingkar dalam satu ruangan. Tanpa setitik pun penerangan dalam ruangan tersebut sehingga masing-masing peserta nyaris tak dapat melihat wajah peserta di sebelahnya. Dalam keadaan gelap seperti itu, tak banyak yang bisa dilakukan seseorang. Berjalan pun harus meraba-raba dengan langkah yang tersendat dan penuh hati-hati agar tak menabrak sesuatu atau terjerembab yang menyebabkan luka.
“Apa yang bisa Anda lakukan dengan keadaan seperti ini?,” saya membuka suara di keheningan malam yang terasa semakin pekat.
Beberapa peserta mencoba menjawab seadanya, meski sebagian mereka tak benar-benar tahu dari mana arah suara saya. Saya tak sedang mengajak peserta merasakan bagaimana rasanya tak memiliki penglihatan, juga tak sedang meminta mereka berempati kepada para tuna netra meski hal itu sangat penting untuk dilakukan.
Kemudian salah seorang peserta memecah kebekuan, “Apalah yang bisa saya lakukan tanpa cahaya, semuanya begitu sulit dan mencekam. Dalam keadaan seperti ini saya pasti membutuhkan bantuan orang lain.”
“Anda tak membutuhkan orang lain, yang Anda butuhkan adalah diri Anda sendiri,” tegas saya.
Meski tak dapat melihat dengan jelas raut wajah mereka, namun saya yakin sebagian besar mereka bertanya-tanya maksud pernyataan saya tadi. Ketika seseorang mengaku membutuhkan orang lain dalam kondisi yang pekat, justru saya katakan dia hanya membutuhkan dirinya sendiri.
Sedetik kemudian saya menyalakan sebatang lilin di tangan saya. Setitik cahaya berpendar di wajah saya, teramat kecil titik itu sehingga hanya mampu menerangi seperduapuluh dari ruangan tersebut. Sebelumnya saya juga membekali para peserta masing-masing sebatang lilin, namun saya tak menyertakan pemantik api kepada mereka.
“Yang harus Anda lakukan adalah menolong diri Anda sendiri. Api lilin ini melambangkan cinta dan saya akan membagi api cinta ini kepada Anda”
Saya dekatkan api lilin untuk menyalakan lilin di sebelah saya sambil mengatakan bahwa saya ingin memulai sebuah hubungan yang indah bersamanya dengan membagi cinta saya kepada Anda dan saya harap Anda mau menyalakan api cinta Anda. Saya pun meminta ia menggunakan lilin saya untuk menyalakan lilin rekan di sebelahnya dan seterusnya. Ketika terdapat dua lilin yang menyala di ruangan itu, tentu ruangan itu bertambah terang, terlebih ketika satu persatu dari semua lilin yang dimiliki peserta menyala. Adakah lagi kegelapan di ruang itu?
“Saat saya membagikan api lilin kepada masing-masing Anda, apakah api di lilin saya semakin kecil? Dengan memberikan cinta saya kepada semua orang yang ada di ruangan ini apakah kadar cinta saya semakin berkurang? Saat masing-masing Anda mendapatkan api cinta dari saya, apakah Anda mendapatkan api cinta yang lebih sedikit? Tentu saja tidak, Anda saksikan bahwa nyala api lilin kita sama besarnya.”
“Setelah semua lilin dinyalakan, Anda bisa melihat bahwa cahaya di ruangan ini jauh lebih terang dibanding ketika hanya lilin saya yang menyala”
Lalu saya pun mengajukan pertanyaan, “Apakah masing-masing kita mempunyai cukup api cinta untuk dibagikan kepada orang-orang di sekitar kita? Adakah yang khawatir api cinta Anda seketika mati saat Anda membaginya kepada orang lain?
Saya menutup sessi pelatihan itu dengan wajah tersenyum saat melihat wajah-wajah penuh cinta berpendar cahaya lilin. Indah nian jika semua cinta dapat dibagi, karena di luar sana teramat banyak sahabat yang membutuhkan cinta kita. Wallaahu ‘a’lam
dan kau lilin-lilin kecil, sanggupkah kau memberi seberkas cahaya… (James F Sundah)
Bayu Gautama
1 comment:
Hi Mas Gaw,
For heaven shake you just opened my eyes :) I'm a kind of person who totally belive that Love actually is all around, keep rock Mas Gaw :)
oia, gw troy, melatiers, kita ketemu di acara buka bareng taon lalu di ps minggu :)
Post a Comment