Pekan ini suasana kekhawatiran melanda warga lingkungan tempat tinggal kami. Lalat bertebaran dimana-mana, akibat tempat sampah di depan rumah penuh sesak dan menggunung. Beberapa warga mulai resah dan takut kalau-kalau tumpukan sampah itu menimbulkan penyakit. Satu persatu warga akhirnya turun tangan untuk mengangkut sendiri sampah-sampah itu dari tempat penampungan sementara ketika truk sampah tiba, sebagian cuma marah-marah, bahkan sebagian kecil tetap membiarkan sampah bertumpuk. “Kita sudah membayar uang sampah setiap bulan,” pikirnya.
Sepekan dua kali, pak Amrin –sebut saja begitu- mendatangi satu persatu rumah warga untuk mengangkut sampah. Selalu bisa terlihat senyumnya yang mengembang ikhlas meski ia harus berhadapan dengan tempat sampah yang beraroma tak sedap. Menyapa penghuni rumah, adalah hal yang lumrah dilakukannya, setiap hendak maupun selesai mengangkut sampah. Sehingga hampir seluruh warga disitu sangat akrab dengannya.
Tapi sudah sepekan lebih dua hari ini pak Amrin belum juga nampak dan membiarkan sampah-sampah di rumah warga menggunung. Hampir tak satu pun warga yang tahu penyebabnya, tak sedikit yang mulai marah-marah mengira tukang sampah itu mulai lalai akan kewajibannya. “bayarannya mau angkut sampahnya nggak mau. Sudahlah cari tukang sampah yang lain,” ujar salah seorang.
Akhirnya kabar itu didapat juga, lelaki setengah baya yang setiap dua pekan sekali menyapa satu persatu penghuni rumah dan kemudian mengangkut sampahnya itu tengah terbaring lemah di rumahnya karena sakit. Tapi tak satu pun warga yang tahu, entah darimana kabar itu didapat saya tak tahu persis. Sebagai penghuni baru, saya mencoba bertanya dimana rumah tukang sampah itu, kagetnya saya, ternyata tak satu pun warga yang tahu alamat tinggal pak Amrin.
Sepekan dua kali lelaki setengah baya itu mengunjungi rumah warga, sepekan dua kali juga ia melemparkan senyumnya kepada setiap penghuni rumah, sehingga ia cukup hapal mana penghuni yang ramah, yang arogan, yang mau bercakap-cakap dengannya, atau yang mau memandang dirinya bukan dari profesinya. Ia bahkan mulai hapal nama dua putri saya yang belum dua pekan kami tinggal di wilayah tersebut.
Mungkin selama ini, kita tak pernah memandangnya sebagai bagian terpenting dari kehidupan kita. Bahkan sering pula beranggapan orang-orang seperti pak Amrin lah yang membutuhkan kita, merekalah yang seharusnya merasa penting terhadap kita. Tetapi apa yang terjadi ketika satu pekan dua hari ia tak mengangkut sampah karena tengah sakit? Semua mencarinya, semua menyebut namanya, tiba-tiba saja semua merasa berkepentingan terhadapnya.
Tidak hanya tukang sampah seperti pak Amrin, para sopir angkutan umum yang sering kita kurangi bayarannya, penyapu jalan yang hampir tak pernah menjadi perhatian siapa pun, bahkan petani di desa-desa yang tak pernah kita sadari keberadaannya meski setiap hari kita menikmati jerih payahnya, mereka itu sama pentingnya dengan rekan bisnis kita, tidak kalah pentingnya dengan relasi atau teman makan dan sahabat dekat kita. Bisakah Anda membayangkan jika di dunia ini tak ada orang yang mau bekerja sebagai tukang sampah? Atau ketika semua sopir angkutan umum tak lagi mau meneruskan profesinya? Bagaimana rupa jalan raya di kota seandainya tak satu pun yang berkenan menjadi petugas kebersihan?
Siapa pun Anda, tak perlu merasa tak membutuhkan orang lain. Bukankah tidak akan ada sebutan “orang kaya” jika tak ada orang miskin di dunia ini? Wallaahu’a’lam.
Bayu Gawtama
1 comment:
fiuh. sedih banget baca kisah pak Amrin. kebetulan mertua saya bernama Amrin juga.
mudah2an pak Amrin segera sehat. mudah2an juga sempat mengunjungi beliau di rumahnya. saya akan nunggu cerita selanjutnya. salam kenal n makasih udah kasih ctempel di tempat saya.
btw 1001 bukunya masih jalan terus yah?
Post a Comment