“Besok kita lihat bintang lagi ya…” ujar anakku sambi melangkah ke dalam rumah. Hampir setiap malam jika tak pulang terlalu larut, dua peri cantik saya itu takkan pernah absen mengajak berbaring bersama di teras depan atau halaman samping rumah untuk menyaksikan bintang dan rembulan. Rembulan yang anggun tak pernah habisnya mendapat pujian dari si sulung, sementara adiknya tak hentinya menghitung bintang. Ketika melihat bintang yang lebih besar ia pun menganggap itu saya. Satu bintang besar lagi tertangkap matanya, ia pun berujar, “itu Ummi”. Sementara matanya terus mencari-cari bintang kecil yang menurutnya paling cantik, ia pasti senang saat mendapatkannya seolah tengah melihat dirinya terbang tinggi.
“Bintang turun dong ke sini, aku kan mau main sama bintang,” ujar si sulung. Dan sudah pasti bintang-bintang itu takkan pernah turun hingga menjelang waktu tidur kami. Matanya terus menatap langit meski langkahnya mulai memasuki rumah. Padahal hanya kalimat itu yang terakhir terucap sebelum ia benar-benar masuk ke rumah. Saya menyesal tak pernah sanggup memenuhi permintaan mereka untuk mengajak terbang menemui bintang-bintang itu.
Kebetulan saat pulang tadi saya membawa sekantong apel. Saya membelinya dengan satu harap bahwa saya bisa membawakan bintang kepada mereka. Sebelum tidur, saya ajak anak-anak untuk memperhatikan sebuah apel yang saya potong secara horizontal, yakni memotong bagian tengah tubuh apel dalam keadaan berbaring bukan berdiri seperti kebiasaan orang memotong apel. Apa yang kami dapatkan? Setiap apel yang kami potong dengan cara seperti itu akan menampilkan bintang di tengahnya. Dan itu membuat anak-anak saya senang mengira saya telah benar-benar membawakan bintang untuk mereka.
Anak-anak saya memang belum benar-benar mengerti hikmah yang ingin saya ajarkan. Buah apel jenis apa pun, warna apa pun, baik yang segar atau pun sudah sedikit mengeriput, bila dibelah secara horizontal mereka akan memperlihatkan bintangnya masing-masing. Demikian halnya dengan manusia, siapa pun dia, apa pun warna kulitnya, status sosialnya, agamanya, profesinya, maupun suku dan kebangsaannya, masing-masing memiliki bintang di dalam dirinya. Karenanya takkan pernah ada alasan bagi saya untuk tidak menghormati mereka, bahkan saat mereka melakukan kesalahan sekali pun.
Ada kalanya bintang mereka tengah redup sehingga tak ada yang menerangi hatinya untuk tetap berjalan lurus. Bintang di sebelahnya lah yang semestinya membagi cahayanya untuk bisa menerangi jalan sahabatnya agar tak semakin terjerembab lebih dalam. Berbagilah, karena disaat lain sering kali kita lah yang membutuhkan cahaya agar tak pekat jarak pandang kita di depan.
Siapapun Anda, semestinya terus berupaya menghidupkan bintang di dalam diri, dan salah satu cara terbaiknya adalah dengan membiarkan bintang di dalam diri orang lain tetap bercahaya. Iri, dengki, angkuh, berbuat curang serta tak berlaku jujur takkan pernah memudarkan bintang orang lain, terlebih, takkan pernah bisa membuat kebintangan Anda semakin bercahaya. Sebaliknya, perlahan bintang Anda pun semakin meredup sebelum akhirnya mati.
Setiap manusia memiliki kesempatan untuk menunjukkan kebintangannya, meski bersamaan dengan itu ia juga berkewajiban menjaga bintang sahabatnya tak memudar. Berbagi cahaya, itulah yang harus dilakukan setiap manusia. Karena sesungguhnya setiap kita tak pernah benar-benar mendapatkan cahaya itu dengan sendirinya. Seperti bintang yang juga mendapatkan cahaya, begitulah manusia. Saat tak lagi ada yang membagi, manalah ada bintang yang bercahaya? Wallahu ‘a’lam
Bayu Gawtama
4 comments:
Kali ini ttg bintang, yah.. :)
So inspiring.. :)
Subhanallah..berarti semua orang berpotensi menjadi cahaya utk orang lain Pak ya. Doakan saya juga supaya mendapat cahaya itu dan menjadi cahaya utk orang lain :)
-Nina didesert-
ck, ck.. tulisannya menggugah banget!
--hany--
Terima kasih atas inspirasinya mas gaw
Post a Comment