Ini lanjutannya ya, kalo bingung baca dulu nomor sebelumnya!
Kemudian bergantian, nama-nama calon itu dielu-elukan oleh pendukungnya masing-masing.
“Sebelumnya, agar teman-teman tidak salah pilih, juga agar kita mendapatkan pimpinan terbaik untuk kelas ini, kita akan mendengarkan para kandidat ketua kelas ini menyampaikan visinya sebagai ketua kelas. Sebagai pembuka, Dimas akan menyampaikan visinya…”
Riuh tepuk tangan mengiringi langkah cowok yang diklaim paling ganteng di SMP Tujuh Saja itu. Dan …
“Saya akan menjadikan kelas ini disegani oleh kelas lain. cewek-cewek di kelas lain, dan kalau perlu semua cewek di SMP-SMP lain di seluruh Indonesia ini akan saya buat iri karena nggak bisa gabung di kelas Tiga A, kelas yang dihuni banyak cowok keren abis dan ganteng yang nggak abis-abis macem saya ini. Setuju teman-teman…?”
“Setujuuuu…” Cuma barisan cowok ganteng dan sebagian cewek keceh yang berteriak.
Selanjutnya Mahdi. Ketika dipanggil namanya, ia tengah terlelap di atas meja paling belakang. Bagi yang duduk tak jauh dari tempatnya tidur, pasti bisa mendengar suara khasnya saat tidur, “kroookk, siiuuhhh… kroookk, siiuuuhh…”
Sayangnya, teman-teman yang duduk di kanan kiri, depan dan belakang Mahdi pun kali ini tak mendengar suara khas itu, karena mereka pun sama-sama tertidur! Mereka, tak lain tak bukan adalah anggota yang ketua genk-nya asik terbuai mimpi menjadi ketua kelas sebelum pemilihan dimulai.
Dasar genk cuek beibeh.
Setelah dihentak beramai-ramai, serempak Mahdi dan anak buahnya bangun. Seperti diberi aba-aba dan hitungan satu dua tiga, secara bersamaan jari jemari mereka bergerak ke arah pipi dan tepi bibir yang basah. Dan,… sama-sama jemari itu lagi-lagi kompak menarik bagian lengah baju mereka untuk melap bagian yang basah tadi.
Selesai
Mahdi pun memulai pidatonya.
“Mau belajar sambil tidur, mau tidur sambil belajar, yang penting…”
“cuek beibeh…” sambut para pengikutnya.
“Diomelin guru, disetrap di depan kelas sambil kaki diangkat…”
“cuek beibeh…”
“dapet nilai sepuluh, dapet nilai tiga, nggak dapet apa-apa…”
“cuek beibeh…”
“nyontek ketauan, nyontek nggak ketauan… sempet ato nggak sempet bikin pe-er…”
“cuek beibeh…”
“sekian dan terima kasih buat para fans, penggemar dan pengikut setia cuek beibeh…”
Walau hanya empat orang anggota genk ce-be ini, tetap saja kelas menjadi gaduh ketika Mahdi meninggalkan podium. Jelas saja, empat siswa binaan Mahdi itu memukul-mukul meja, menghentakkan kaki ke lantai dan mulut mereka tak henti bersuit-suit usai sang pemimpin memberikan pidato.
Mila tampil selanjutnya.
“Sejak angkatan pertama, kelas Tiga A selalu menjadi contoh kelas lain untuk segala hal. Kelas teladan, kelas terbersih, kelas paling diam dan tak gaduh saat ujian, kelas paling menghormati guru, terutama Pak Anto si mata dewa yang killer itu, kelas yang paling sering dikunjungi kepala sekolah, kelas yang paling sering diomongin para guru saat rapat, kelas yang paling banyak cewek keceh-nya, paling banyak cowok gantengnya, paling banyak siswa pinternya karena semua juara kelas ditumpuk di kelas ini,…”
Lalu,
“Jika terpilih menjadi ketua kelas Tiga A ini, saya akan mempertahankan semua prestasi itu… bersama kita bisa!” lantang Mila.
“Horeee … hidup Mila, Mila hidup, hore Mila, Mila horeee,…” seru para pendukung Mila menyambut pidato yang berapi-api itu.
Detik berlalu.
Suasana hening, suara-suara yang tadi gaduh tiba-tiba hilang ditelan bumi. Hanya ada gesekan-gesekan sikut yang bersinggungan untuk meminta perhatian teman sebelahnya agar tertuju kepada pemilik nama yang dipanggil berikut. Subhan.
Semua terdiam, senyap, tak sedikit pun suara berani keluar, sekali pun dari mulut-mulut yang biasanya jahil bin latah serta tak mampu meredam hasrat untuk nyeletuk. Keadaan semakin seperti kuburan dan kebanyakan tempat pemakaman lainnya, bedanya di kelas itu tidak ada yang tebar bunga atau pun terisak karena ditinggal keluarganya.
Perlahan, langkah satu per satu dari anak Mushola seperti dihitung beramai-ramai, satu-dua-tiga-empat dan seterusnya, tapi hanya dalam hati. Tatapannya menunduk, langkahnya persis seperti saat ia melantunkan bacaan qira’at sewaktu ia meraih juara MTQ tingkat SLTP se-DKI tahun lalu.
Saat itu, semua pasang mata, kecuali mata Didik karena sebelah kiri matanya hilang penglihatan terkena senar putus dari gitar yang dimainkannya pada saat acara panggung hiburan sekolah bulan kemarin.
Disaat semua pandangan tertuju ke sosok yang sudah berdiri di podium,
Semua mata terbelalak
Semua mulut ternganga
Semua jantung terkejut
Karena …
Subhan pingsan…
“Wah, belum sempat sampaikan visi ternyata kandidat yang satu ini sudah gugur duluan” seru salah seorang di belakang.
Sementara tiga siswa lain membopong Subhan,
Perhatian pun kini beralih ke Rusdi, karena ialah yang selanjutnya dipanggil oleh pembawa acara.
Butuh waktu hampir empat setengah menit lebih sedikit bagi Rusdi untuk menebarkan pesonanya, melemparkan senyumnya ke depan, ke kanan, ke kiri, ke tempat paling pojok kanan, wilayah Mahdi and the genk-nya melanjutkan aksi tutup matanya, dan tak lupa ia juga membuang senyumnya ke belakang, walau hanya papan tulis yang menangkap senyum yang oleh sebagian cewek di kelas Tiga A, disebut-sebut sebagai senyum terkecut sedunia.
“Kelas Tiga A akan saya jadikan…” Rusdi tersenyum.
“kelas yang disukai karena…” tersenyum Rusdi.
“murah senyum…” Rusdi senyum lagi. Sudah tiga kali.
“Karena senyum itu sedekah…” ia tersenyum lagi.
“sedekah yang paling murah…” senyum sekali lagi.
“Tapi jangan disalahgunakan…” senyum kembali.
“lho kok jadi kayak lagu ya?” kali ini senyumnya agak lebar, alias nyengir.
“Sudahlah, yang penting tetaplah tersenyum seberat apa pun cobaan kita, eh, nggak nyambung ya?” kali ini Rusdi bukan tersenyum, tapi tertawa nggak jelas yang menyudahi pidatonya.
Angga maju pada giliran berikutnya. Anak cerdas, berkacamata tebal, rambut lurus selurus tubuhnya, menempati podium dengan membawa sebuah bukunya Arundathi Roy, The God of Small Things.
“Su… su… sudah a…a,a,aaa…da ey, ey…eeeyy…yang baaa…ca b…b,b,b… buku iiii,i…ni belum?” tanya Angga.
Entah makhluk halus model apa yang masuk ke kerongkongan Angga, karena tiba-tiba saja ia menjadi gugup begitu. Dan tak jelas pula maksudnya ia menanyakan seluruh yang hadir tentang buku Arundhati itu.
“Ka… kalau b,b,b…buuu ku ini s,s…sudah belum?” Dari balik bajunya, ia mengeluarkan Petir-nya Dewi Lestari. Buku ketiga dari Supernova.
“Beluuuummm…” bagai paduan suara yang tengah ambil suara. Jawaban yang sudah bisa diduga oleh Angga.
“M,m,m,m… maa…maau s,saaaya b,b,baa…cakan a,atau b,b,beeli sendiri?”
Karuan saja semua kepala di kelas itu menggeleng pertanda tak setuju jika Angga membacakan dua buku yang lumayan tebal itu di atas podium. Bisa-bisa pemilihan ketua kelas baru bisa dimulai bulan depan. Atau paling tidak, semua hadirin tertidur pulas menunggu lelah dan bosan Angga mengeja satu persatu kata di buku tersebut dengan gaya membacanya yang mirip ayam makan karet gelang itu.
Angga pun diturunkan secara paksa sebelum ia menyelesaikan pidatonya.
Kasihan.
The last, tapi tidak penting. Itu mungkin yang pantas untuk diucapkan ketika tiba giliran Tejo. ...
Bersambung lagi ya...
1 comment:
huahaha...om bayu..lucu, kocak abisyh.....
jd pingin beli novelnya euy...pingin dihadiahin buat adek...
Post a Comment