Bayaran Langsung
Beberapa tahun lalu, yang terpikirkan olehku adalah bagaimana menjadikan hidup ini menyenangkan. Punya pekerjaan bagus, posisi lumayan dengan penghasilan yang memuaskan. Maka, jadilah hidup yang ingin aku jalani hanya berputar dari mencari uang dan menghabiskannya dengan memanjakan diri sendiri. Entahlah, waktu itu tidak pernah ada dalam benakku untuk memikirkan kesulitan orang lain.Namun kenyataan yang aku dapatkan lain dari bayangan, karena begitu sulitnya mencari pekerjaan. Alhasil, jangankan untuk memanjakan diri, sekadar untuk mencari sesuap nasi pun terasa begitu berat. Namun demikian kondisi tersebut mampu merubah kepribadianku hingga menjadi orang yang sedikit peduli sesama orang lain. Hanya saja, pemahamanku yang minim tentang agama tidak membuatku giat bersedekah. “Kalau lagi ada ya ngasih, kalau nggak ada ya buat sendiri dulu”. “Orang lain nanti dululah, aku sendiri sedang kesusahan”. Selain juga aku selalu beranggapan bahwa setiap amal dan sedekah merupakan bekal kita di akhirat nanti.
Yang masih kuingat, terakhir aku mengajak seorang peminta-minta tua untuk makan bersamaku. Waktu itu aku di sebuah warung nasi, tak sengaja mataku menangkap orangtua tersebut menelan ludah saat menatapku yang begitu bersemangat melahap santapan siangku. Segera aku turunkan kakiku yang naik bersilah di atas bangku warung dan menghampirinya. Kuajak dia masuk dan memesankan sepiring nasi beserta lauk untuknya kepada penjual nasi. Seperti halnya aku, ia pun tak kalah gesitnya melahap makanan itu, hingga kami berdua seolah tengah berlomba makan. “Biar saya yang bayar pak” tak lupa kuselipkan uang seribu perak ke kantong bajunya. Kemudian kuperhatikan orangtua itu berdo’a yang isinya samar-samar kudengar agar aku diberikan rizki yang banyak atas kebaikanku padanya. Bukan aku tak senang dengan do’anya, tapi kupikir, kenapa ia tidak mendo’akan dirinya saja agar bisa hidup lebih baik lagi tanpa harus menjadi peminta-minta.
Beberapa saat kemudian aku baru sadar bahwa uangku tidak cukup untuk membayar dua piring nasi. Aku ingin lari saja seperti dulu sewaktu masih di sekolah, tapi, “Ah tidaklah, itu dosa masa lalu” pikirku. Aku mencari cara dan alasan bagaimana caranya agar bisa berhutang dan besok-besok kalau sudah punya uang baru aku bayar. Namun nampaknya mbok penjual warung sudah menangkap gelagat tidak baik yang akan aku lakukan sehingga akhirnya kutitipkan arloji kesayanganku. “Besok saya tebus mbok, dompet saya hilang nih,” aku ngeloyor pergi setelah berpura-pura kehilangan dompet. “ndak punya duit aja sok-sok-an mbayarin orang makan” kata-kata itu sempat tertangkap sesaat sebelum aku pergi meninggalkan malu di warung itu.
Satu hari, dua hari, sampai satu minggu aku tak kembali ke warung itu. Gajian masih enam belas hari lagi … ya sudahlah, nanti saja setelah gajian aku bayar, kalau perlu berikut dendanya, pikirku. Pas hari gajian tiba, segera aku ke warung hendak menebus arloji antik pemberian dari mendiang ayahku itu. Namun, kecewanya aku karena barang itu sudah dijual oleh simbok penjual nasi. “Sampean janjinya besok, ini sudah lebih dua minggu. Jadinya arloji itu milik saya”. Inginnya sih marah-marah, tapi sudahlah, wong aku yang salah kok.
Hidup terkadang harus dijalani apa adanya, kalau lagi senang ya tersenyumlah sewajarnya. Kalau kesulitan melanda, hadapi dengan ikhlas dan sabar. Toh, aku pikir masih banyak orang yang jauh lebih susahnya ketimbang aku. Hingga suatu ketika aku mengalami kesulitan yang begitu memberatkan, ibuku sakit dan harus segera dibawa ke dokter. Sebenarnya ia sudah lama sakit hanya saja selama ini dipaksakan untuk tidak memeriksakan ke dokter karena kami tak punya biaya. Disaat kebingungan itulah, Allah mengirimkan seorang ‘malaikat’ ke rumah kami. Kamil, sahabat lama yang entah sudah sekian tahun tak bertemu. Sudah hebat dia, bermobil pula.
Allah memang Maha Adil. Disaat orang lain kesulitan, Dia mengirimkannya kepadaku. Dan kini disaat aku yang kebingungan, ia kirimkan seorang penunjuk jalan. Kejadian yang baru saja kualami, kembali memberikan satu hikmah kepadaku. Kini, meski juga masih dalam kekurangan aku akan selalu menebar kebaikan kapanpun dan kepada siapapun. Karena kini aku yakini, amal yang sekarang kita kerjakan tidak hanya menjadi bekal di akhirat. Allah bayarkan juga kebaikan kita di dunia. Ini seperti menebar benih yang hasilnya bisa langsung dipetik di kemudian hari, seperti menabung yang isinya bisa kita dapatkan kapan saja, namun tak mengurangi jumlahnya. Malah bertambah dan terus bertambah ratusan kali lipat. Mungkin bukan untuk kita, tapi bisa untuk orang yang kita cintai. Mungkin tidak sekarang, tapi nanti disaat kita begitu membutuhkannya. Dan mungkin tidak langsung dari orang yang pernah merasakan kebaikan kita, tapi bayaran langsung dari-Nya itu bisa datang melalui tangan siapa saja yang tidak diduga kedatangannya.
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (kurnia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (2:261)
Bayu Gautama, terima kasih kepada semua yang telah memberikan kesempatan untukku berbuat kebaikan
2 comments:
http://aann.blogdrive.com : Salam kenal, tulisannya bagus2...
Wow, Tulisannya Oke. Mengingatkan Kita agar lebih bersemangat dalam menorong orang lain.....
Post a Comment