Kado Istimewa
Bisa jadi saya anak yang paling malang di antara anak-anak lain di kampung. Bukan hanya karena ibu jarang memberi uang untuk jajan di sekolah, sehingga saya sering menghabiskan waktu istirahat sekolah untuk mereka-reka berapa uang jajan si Adi, apa yang selalu dibeli Rena, atau memperhatikan nikmatnya es doger di tangan Sukma. Bahkan untuk merayakan hari ulang tahunku yang setahun sekali pun ibu tak melakukannya.
Tidak ada tepuk meriah teman-teman, tidak juga tiupan lilin di atas kue tart yang selalu saya saksikan di setiap perayaan ulang tahun Rommy, Hilda, juga Siska. Tidak ada balon, hiasan khas ulang tahun, dan yang pasti, tidak mungkin saya berharap ada kado ulang tahun. Siapa yang mau ngasih? Tak ada pesta, ya tak ada kado.
"Ibu yang akan kasih kamu kado..." sapa ibu mengagetkan lamunanku. Sejenak kemudian saya masih terdiam membayangkan gerangan kado apa yang akan diberikan ibu. Sampai akhirnya, sebuah doa terajut dari mulutnya disertai kecupan hangat di kening dan pipiku.
Seketika, sebalut kehangatan terasa menelusup ke setiap aliran darahku. Doa ibu, jauh lebih indah dari hiruk pikuk tepuk tangan, tak bisa dibandingkan dengan kue tart termahal sekalipun. Lilin merah dengan api menyala, balon dan hiasan ulang tahun jelas tak seindah doa ibu. Untaian kalimat pinta yang dirajut ibu, bahkan lebih sempurna dari gaun ulang tahun milik siapapun.
Kehangatan kecupan ibu jelas lebih sejuk dari jutaan ucapan selamat dari siapapun. Tak ada satupun bingkisan ulang tahun yang mampu menandinginya, kecupan ibu adalah kado termahal yang pernah kuterima.
Kemarin, saya terjatuh saat pertama kali belajar naik sepeda. Saya menangis karena dua sebab, kaki saya memar dan sedikit berdarah tepat di lutut kanan, dan kemudi sepeda saya bengkok. Bapak segera mengangkat sepeda sementara ibu langsung mendekapku. Tak ragu, ibu mengusap air mataku dan memberikan satu kecupan pada luka di kakiku.
Kecupan ibu juga yang mengantarku masuk ke ruang kelas saat hari pertama sekolah. Mulanya saya takut, mungkin ini juga yang dirasakan setiap anak yang baru pertama kali masuk sekolah. Dalam pandanganku, bangku-bangku sekolah dasar, papan tulis, juga meja belajar itu lebih mirip makhluk aneh yang siap menerkamku. Guru dan teman-teman baru itu, lebih terlihat seperti monster menyeramkan bagiku. Tapi, dengan sekali kecupan di ubun-ubunku, ibu berkata, "Masuklah, anak ibu kan jagoan..."
Selang sepekan hari sekolah, tepat di pekan kedua, seharusnya saya kembali masuk sekolah. Tapi demam yang menyerangku sejak malam tak kunjung reda di pagi harinya. Saya sedih tidak bisa sekolah hari itu, sedih juga karena tak bertemu teman-teman baik di kelas, dan yang paling menyedihkan tentu saja saya harus tertinggal pelajaran di kelas. Namun ternyata bukan hanya saya yang sedih saat itu, tepat di pinggir tempat tidurku sesosok anggun terlelap lelah setelah semalaman terjaga menungguku, memberiku obat, mendengarkan setiap keluhanku, membetulkan selimutku dan mendekapku erat saat tubuh ini menggigil kedinginan. Di sudut matanya, masih tersisa bekas air mata semalam.
Kini, saya sadari, doa dan kecupan ibu lah kado yang paling kuharapkan di setiap hari ulang tahunku. Dan tentu saja, kehadiran ibu senantiasa lebih kuinginkan dari sekadar ratusan undangan lengkap dengan ratusan kadonya.
Bagi saya, ibu adalah kado terindah di setiap ulang tahunku. Terima kasih Allah yang masih memberikan kesempatan saya untuk bersama ibu di hari terindah ini. Dan saya selalu berharap, di tahun depan ibu masih tetap menjadi kado istimewa.
Ibu, Semakin kumengerti hadirmu
Bayu Gautama
Sepenggal kisah tersisa di hari jadi ke enam
No comments:
Post a Comment