Virus Berbagi*
Senja, menjelang maghrib, kesibukanku dimulai lagi. Seperti biasa setiap sore ibu telah menyiapkan beberapa mangkuk penganan berbuka puasa untuk dibagikan kepada para tetangga terdekat. Berbeda dengan kemarin, sore ini ibu membuat kacang hijau. Hmm, dari aromanya pastilah nikmat sekali. Tapi, apapun makanan buatan ibu sudah pasti saya suka.
Hantaran pertama, ke rumah bu Citro, tetangga sebelah rumah yang temboknya jadi satu dengan tembok rumah kami. Kalau malam, bu Citro –nenek berusia 74 tahun- pasti sering terganggu oleh suara gaduhku dan adik-adik yang hiruk pikuk bercanda hingga larut malam.
Mangkuk kedua, saya yang ditemani adik mengantarkan kacang hijau buatan ibu ke rumah pak Mamo. Pak Mamo itu dulu bekas sopir ayah yang kini sudah tak lagi menjadi sopir karena matanya tak lagi seawas dulu ketika masih muda. Ia kini tinggal bersama anaknya. Istrinya,sudah empat belas tahun yang lalu berpulang.
Setelah dari rumah pak Mamo, mangkuk berikutnya kami hantarkan ke rumah bu Lastri, tetangga kami yang rumahnya paling besar di kampung. Bu Lastri ini sebenarnya termasuk yang paling pelit, dan kepelitannya itu bahkan sudah terkenal pula warga RW sebelah. Saya sempat bertanya, “Ibu kok ngirim ke bu Lastri sih, kan bu Lastri nggak pernah ngasih apa-apa ke kita.”
Kata ibu, “Memberi ya memberi saja, nggak perlu harus dilihat dia itu siapa dan pernah ngasih apa ke kita, nanti disangkap pamrih.” Untuk anak usia 6 tahun sepertiku, kata-kata ibu itu hanya ditanggapi dengan kata, “Ooh gitu”.
Mangkuk berikutnya, ini sebenarnya yang paling berat, karena saya harus mengantarnya ke rumah bu Iyak. Pasalnya, Sakti, anak bu Iyak itu adalah musuh bebuyutanku. Dibilang musuh bebuyutan bukan dalam artian bahwa kami ini selalu berkelahi kalau bertemu. Hanya saja, dalam setiap permainan Sakti tidak akan pernah mau satu tim denganku, begitupun juga denganku, lebih senang untuk beradu jago dengannya. Rasanya, ada kepuasan tersendiri jika bisa mengalahkan Sakti dengan timnya, misalnya dalam permainan bola sepak.
“Kamu aja deh dik yang nganter ya, abang tunggu di luar,” kataku kepada adikku yang mengangguk saja memenuhi permintaanku. Tapi, suara ibu dari dapur menggagalkan niatku, “Abang langsung temuin bu Iyak ya, bilang nanti malam ibu ada perlu dengannya sepulang sholat tarawih”.
Tibalah untuk waktunya mengantar mangkuk terakhir ke rumah bu Asih. Sampai di rumahnya, ibu Asih tidak ada di tempat. Hanya ada mbok Sumi pembantunya. Diikuti langkah kecil adikku, saya urung memberikan kacang hijau itu ke mbok Sumi. Dan kembali ke rumah.
“Loh, kok dibawa pulang?” tanya ibu.
“Bu Asih-nya nggak ada bu, yang ada cuma mbok Sumi. Makanya abang bawa pulang lagi…”
“Ya nggak apa-apa abang, kasih aja ke mbok Sumi, kan sama aja,” lanjut ibu.
“Abang nggak mau. Abang kan harus bilang langsung ke bu Asih kalau kacang hijau ini dari ibu…”
“Ya ampuun abang. Kalau memberi itu ya nggak perlu pake nyebut-nyebut nama segala dong. Kalau kita ikhlas, Allah lebih senang,” terang Ibu.
“Ooh gitu…”
***
Saya tidak pernah menyadari, bahwa kenangan bulan Ramadhan 24 tahun yang lalu itu masih membekas hingga sekarang. Dulu, saya tak pernah mengerti mengapa ibu selalu repot-repot setiap sore menyediakan beberapa mangkuk makanan berbuka untuk para tetangga. Kini, saya mengerti, saat itu ibu tengah menanamkan semangat berbagi kepada anak-anaknya.
Dulu, 24 tahun yang lalu, saya juga tak mengerti kenapa bu Iyak keesokan harinya mengantarkan semangkuk sup ke rumah. Atau ketika bu Lastri tiba-tiba datang membawakan sekantong es campur buatannya sendiri.
Atau ketika bu Asih mengetuk pintu dan berkata, “Terima kasih ya kiriman bubur kacang hijaunya. Dari rasanya, dan mangkuknya, saya tahu itu kiriman dari ibu. Tidak ada yang bisa membuat kacang hijau seenak buatan ibu”.
Bayu GautamaSpecial for Relawan 1001buku dan KKS Melati
*judul awal, Semangat Berbagi, tapi atas saran Rini KKS Melati diganti jadi Virus Berbagi
No comments:
Post a Comment