Pagi belum lagi tiba, bahkan fajar pun belum menggantikan langit sisa semalam. Segera bangun mendahului ayam jantan yang biasa bertugas memulai hari, bahkan jauh lebih dulu dari petugas masjid sebelum ia membangunkan orang untuk sholat subuh. Aku sudah harus menggigil kedinginan bergumul dengan air kamar mandi. Pagi ini, pagi kemarin dan pagi seterusnya tetap begitu agar tak terlambat tiba di kantor.
Kecup kening istri, usap lembut kepala anak-anak yang masih terbuai mimpi-mimpinya. Usai mengucap salam, diri ini bergegas meninggalkan halaman rumah, membuang sisa kantuk semalam, melangkah cepat menyusuri jalan melewati masjid yang kutinggalkan lebih awal dan menyisakan segelintir hamba Allah yang khusyuk dengan dzikir mereka. Seperti biasa, seringkali kulafazkan dzikirku di perjalanan, sambil merapal beberapa ayat yang masih kuhapal.
Tiba di stasiun kereta api Bogor. Bersyukur jika masih tersisa bangku kosong agar dapat sedikit menuntaskan lelah dan kantuk yang tertunda sejak semalam. Lumayan untuk mengumpulkan energi agar nampak lebih segar tiba di kantor dan meniti hari tanpa menguap. Tapi nyatanya, tak semua yang kita bayangkan akan menjadi kenyataan karena aku lebih sering mendapati kereta dalam keadaan sesak penuh bahkan sebelum kereta beranjak. Maka dimulailah hari demi hari, dan setiap hari dengan berhimpit, berdesak, dan menahan panas, pengap, juga bau keringat ratusan orang di satu gerbong.
Berdiri selama tidak kurang satu jam sebelum tiba di stasiun tujuan, dengan mata terus awas terhadap gangguan tangan jahil. Kalau pun mendapatkan tempat duduk, biasanya tak bisa menikmati dengan bebas karena biasanya baru beberapa menit saja harus tergantikan oleh wanita hamil, ibu yang menggendong anaknya, atau mereka yang lanjut usia dan cacat.
Begitulah aku mengawali pagi. Setiap hari.
Sore. Setelah seharian berkutat dengan tugas-tugas kantor, hampir sama episode yang berlangsung setiap sore dan malam. Adzan maghrib berkumandang sementara kereta belum juga tiba, segera kutinggalkan peron untuk menghadap-Nya. Usai sholat maghrib berlari kembali menuju peron ternyata kereta baru saja lewat dan aku harus menunggu kereta berikutnya seperempat hingga setengah jam ke depan.
Masih dengan suasana yang tak jauh berbeda dengan pagi hari. Berhimpit, berdesak dan menahan keseimbangan, juga berpeluh di tengah kerumunan ratusan orang di sebuah gerbong. Bedanya, aromanya jelas tidak senyaman pagi hari.
Tiba di rumah. Tak jarang kujumpai istriku sudah terlelap lelah setelah seharian mengurus dan mendidik anak-anak. Kuketuk pintu berulang kali. Sekali lagi. Menunggu beberapa saat dan akhirnya, dengan segurat wajah lelahnya istriku membukakan pintu.
Begitulah malam menutup hariku. Setiap hari.
***
Dik, Aku memang harus melupakan banyak waktu bersamamu, melewatkan detik-detik menyenangkan melihat tingkah dan tawa anak-anak. Bahkan aku terlalu sering tak bertemu dengan anak-anak lantaran mereka belum bangun saat aku berangkat dan sudah terlelap sesampainya aku di rumah. Hanya wajah-wajah polos tanpa dosa yang menyambutku dalam lelapnya yang hanya bisa kukecup lembut agar tak membuyarkan mimpinya.
Kulakukan semua itu karena cinta. Cinta kepada Allah yang menganugerahkan cinta dan kehidupan ini, yang memperkenankan aku hidup bersama orang-orang yang mencintaiku. Cinta lah yang tetap membuatku tegar menjalani hidup, seberat apapun itu.
Bayu Gautama
bayugautama@yahoo.com
No comments:
Post a Comment