Seingat saya, sekitar tahun 2001, saya dan kawan-kawan berencana mengundang Hadad Alwi dan duetnya, Sulis, untuk mengisi acara di sebuah acara keagamaan. Berhubung kamit tidak punya kontak langsung dengan pelantun shalawat yang tengah ngetop saat itu, maka kami bertanya kepada salah seorang teman yang mengaku punya akses. Namun kami sungguh terperangah mendengar informasi dari rekan tersebut bahwa untuk mengundang Hadad Alwi dan Sulis, harus menyiapkan dana tidak kurang dari 8 juta rupiah. Ketika itu, komentar singkat yang keluar dari mulut saya, “Dakwah kok mahal amat sih?
Dua tahun sebelumnya, bahkan saya dan kawan-kawan sempat tak kalah terperangahnya mendengar sebuah informasi yang memang harus dikonfirmasi kebenarannya. Bahwa untuk mengundang Aa Gym berceramah dalam sebuah tabligh perlu dana yang tak sedikit. “Wah, masak ustadz pasang tarif setinggi itu sih?” kira-kira begitu komentar saya saat itu.
Seiring dengan bertambahnya pemahaman diri ini akan penting dan strategisnya nilai dakwah, perlahan mulai bergeser pemikiran saya soal “harga” para ustadz tersebut. Ya, kenapa orang bersedia membayar mahal untuk menyelenggarakan konser musik rock atau dangdut dengan mengundang artis-artis hanya untuk berjingkrak-jingkrak dan bergoyang hingga larut malam bahkan sampai pagi.
Tidak sedikit orang rela merogoh kocek hingga ratusan ribu, sehingga memungkinkan panitia membayar sebuah grup band atau seorang penyanyi dengan harga puluhan hingga ratusan juta rupiah. Padahal para artis itu hanya mengajak orang-orang yang menontonnya untuk berjoget, bergoyang, berjingkrak-jingkrak dan sesekali ikut menyanyi. Bandingkan dengan para ustadz yang berceramah memberikan nasihat-nasihat kebaikan, mengajak kebenaran dan kalau boleh dibilang mendekatkan para jamaahnya kepada pintu surga. Berapa yang disiapkan panitia untuk membayar seorang mubaligh?
Kasihan sekali para da’i di kampung-kampung yang setiap hari menjalankan tugas mulia mengajak orang kepada kebaikan namun hanya mendapat bayaran ala kadarnya, bahkan tak jarang berbalas ucapan “terima kasih”. Bahkan penyanyi dangdut kampung pun bisa mendapatkan 200 sampai 500 ribu untuk tampil satu malam di sebuah hajatan pernikahan.
Tidak adil memang, orang-orang yang tak mengajak kepada kebaikan dibayar sangat mahal. Sementara mereka yang berpeluh, meneriakkan kebenaran seraya mengingatkan larangan-larangan Allah seringkali dilabeli harga yang tidak manusiawi. Terlepas dari adanya ustadz-ustadz yang berharga tinggi dan merangkap selebritis sekaligus, dalam level yang lainnya, kita memang kurang menghargai jasa mulia seorang da’i.
Saya pernah mendengar cerita, dalam sebuah kesempatan Opick, pelantun tembang religius yang sangat terkenal itu mendapat pertanyaan dari seseorang, “Apa benar untuk mengundang Opick harus membayar Rp. 5 juta untuk setiap lagu yang dinyanyikan?”
Mendengar pertanyaan tersebut, yang ditanya menjawabnya dengan serius, “Salah, yang benar Rp. 15 juta untuk setiap lagu. Masak saya kalah sama Inul…”
***
Sebenarnya, ini bukan tentang berapa jumlahnya yang harus kita bayarkan untuk seorang ustadz, muballigh atau da’i. Ini lebih tentang bagaimana kita memuliakan orang-orang yang membantu kita untuk terus mengingat Allah. Semoga
Gaw
bayugautama@yahoo.com
4 comments:
Assalamu'alaikum wr.wb
Kang Bayu...
JIka yang kita jadikan acuan untuk para da'i itu adalah Artis atau para entertainer, maka boleh jadi akan terasa tidak adil. Sudah jelas-jelas kok bahwa para artis dan entertainer itu kan tujuannya duniawi. Walaupun ada yang berkelit syi'ar agama, tapi kan gak nyunnah.
Namun, alangkah bijaksananya jika yang dijadikan acuan untuk para da'i itu adalah Al-Qur'an. Para nabi yang menjadi tolak ukurnya. Maka tidak selayaknya bagi seorang da'i untuk memasang tarif bayaran.
Malah saya jadi balik bertanya, Apa manfaat dari ilmu yang disampaikannya? jangan untuk orang lain dulu deh, untuk dirinya sendiri saja.
Karena yang saya temukan didalam Al-Qur'an adanya larangan Allah terhadap para nabi untuk menukar ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. Walaupun jumlahnya besar, tetap saja dunia itu tidak ada artinya dihadapan Allah. Bahkan Allah mengecam para ahli kitab yang suka menukarkan ayat-ayat Allah dengan duniawi. Bisa dibilang menjual-belikan ayat-ayat Allah.
Lebih tragis mana ketika shadaqoh diharamkan atas diri rasulullah dan keturunannya?
Ah...tapi itu kan nabi, sementara da'i adalah manusia biasa. Bukankah ulama itu pewarisnya para nabi?
Wassalam, wallohu 'alam bishawab.
Kontra,
arhtifa@yahoo.com
Assalamu'alaykum pak Bayu...
Semoga bapak & klg senantiasa dilimpahi nikmat sehat dan keberkahan. amiiinn.
Nurut saya sih...saat kita ngundang ustadz..wajarlah klo ngasih uang transport. Adapun nanti mo kasih beliau uang melebihi biaya transport yg dibutuhkan...ya ndak apa2. Tp bukan ustadz tsb loh yg menentukan panitia musti kasih berapa.
soalnya jarang ada ustadz yang mau pasang harga, Gaw! gengsi kali, ya? jadi panitia juga sering bingung mo ngasih berapa. mo dikasih 65 juta, kok tar idem ama gaji Wakil Ketua DPR. mo dikasih 500rb, kok gak ada bedanya ama si mbak yang bantuin ngasuh anak-anak? ...
jadi? mungkin mulai sekarang ada baiknya para ustadz itu jangan segan-segan pasang tarif kali, ya?
*halah!*
tarifnya mahal dikit gpp...
sapa tau juga buat modal dakwahnya pak ustadz
Post a Comment