“Subhanallah, bagus sekali baju dede dan teteh, baju baru ya?” seru saya melihat baju yang dikenakan anak-anak pagi ini.
“Yee… kemana aja? Ini baju sudah lama. Abi sih jarang pulang…,” sahut anak sulung saya.
Saya tertohok dengan jawabannya. Isteri saya mengerlingkan matanya seolah tahu saya tengah tersindir oleh kalimat polos anak-anak. Saya jadi malu sendiri dan tidak mau berkata apa-apa untuk membalas kalimat tersebut. Padahal rasanya saya ingin meluruskan, bahwa ‘jarang pulang’nya saya adalah kewajiban seorang Ayah untuk mencari nafkah. Dan memang, pekerjaan saya menuntut untuk selalu bepergian meninggalkan mereka beberapa hari. Tapi percuma saya meluruskannya, karena nyatanya, diri ini memang seorang Ayah yang jarang pulang. Hanya itu yang anak-anak mengerti.
“Kemana aja?” dan “Jarang pulang”, dua kalimat yang saya pikirkan sepanjang jalan ke kantor. Benarkah dua kalimat itu hanya sebuah kalimat polos yang tidak datang dari perasaan mereka sebenarnya? Atau justru, itulah dua kalimat yang mewakili pikiran dan kerinduan mereka akan kehadiran sosok Ayahnya untuk lebih sering di rumah.
Kemudian saya mencoba berkaca lagi tentang semua perjalanan kebersamaan bersama keluarga selama ini. Menerawang lebih jauh dan mengingat kembali seberapa banyak moment istimewa yang anak-anak lewati tanpa kehadiran lelaki ini. Duh, ingatlah saya. Ulang tahun ke empat si bungsu satu Juni lalu, saya berada di Jogja, tengah sibuk-sibuknya membantu korban gempa. Sungguh saya tidak mau melanjutkan terawang masa terlewat, pastilah panjang daftar hari-hari istimewa yang terlewati tanpa kehadiran diri ini.
Sendirikah saya? Atau justru teramat banyak Ayah paruh waktu di muka bumi ini? Kenapa setiap anak selalu lebih dulu bisa mengucapkan kalimat “Mamaa”, ketimbang “Papa”? tentu karena ia lebih banyak menghabiskan waktu bersama bundanya. Kemana para Ayah saat si kecil pertama kali bisa berdiri? Sehingga suatu saat si Ayah terheran, “Eeh anak Ayah sudah bisa berdiri”. Padahal mungkin sudah sepekan si kecil bisa berdiri. Andai ia bisa bicara, mungkin akan berujar “Kemana aja yah? Sudah seminggu nih bisa berdiri”.
Dalam kasus yang berbeda, ada seorang Ayah yang terlupa tanggal kelahiran anak-anaknya. Mungkin bagi sebagian orang tidaklah penting, tetapi jika tanggal kelahiran saja sudah lupa, bagaimana dengan hal lainnya? Seperti makanan kesukaannya, warna kesukaannya, model pakaian yang digemarinya dan masih banyak lagi. Kapan pertama kali anak-anak masuk sekolah? Kapan terakhir kali seorang Ayah mengantar anaknya ke sekolah? Kapan terakhir kali seorang Ayah mengajari anaknya mengaji? Kapan pula terakhir seorang Ayah menemani tidur anak-anak serta mengiringinya dengan dongeng?
Berapa banyak waktu yang diberikan seorang Ayah untuk anak-anak mereka? Seberapa sering seorang Ayah memanfaatkan waktu di rumahnya untuk bermain-main dengan anak-anak? Seberapa sering seorang Ayah meluangkan sedikit waktunya untuk sekadar bertanya, “Apa kabar anak kita?” melalui telepon? Sejauh apa pun jarak memisahkan.
Kepada anak saya, saya cuma bisa bilang, “Maaf… “ sambil berdoa semoga masih ada kesempatan di hari esok untuk memperbaikinya. Menjadikan hari-hari yang terbatas bersama anak-anak, sebagai hari paling istimewa sepanjang hidup mereka. Semoga
Gaw
4 comments:
Wah....jadi nyesek bacanya pak...
Keadaan pada diri saya jauh lebih parah dibandingkan anda.
Saya meninggalkan keluarga selama 6 minggu untuk kerja di offshore.
Selalu terbayang wajah anak-anak saya kemanapun saya pergi. Tetapi, apa yang mereka dapatkan?
Hampir setiap ulang tahun anak pertama saya tidak ada ada di rumah...
Gimana? ada yang lebih parah dari kondisi anda kan?
Salam Kenal.,
Abukhalifa
ayah pao-waktu...ibu paro-waktu. dan saya? kakak paro-waktu
tahu2 saja adik2 udah ga pake seragam merah putih
Saya baru semalam di rumah, setelah beberapa hari di luar kota. Pagi hari, ketika saya mau berangkat lagi kerja, anak saya bilang begini: "Nanti ke sini lagi yah!", katanya. :D
ini hari apa bu? besok hari apa? abis besok hari apa lagi? kok masih lama hari ayah pulang? tanya si sulung (5th), aku kangen ayah... Kalimat itu selalu berulang,kala ayahnya sudah 1 minggu mencari nafkah di negeri seberang.Pdhal ayahnya tiap hari telpon.Ananda,kelak kau kan tau perjuangan ayahmu....
rida
Post a Comment