Anak Betawi yang Keliling Dunia Lewat Blog

Kate siape anak Betawi kagak bise maju? siape kate anak Betawi pade males dan banyak nyang jadi pengangguran? Bukan maksud nyombong atawe unjuk gigi, aye cuma ngasih tau kalo kagak semue anak Betawi kayak nyang ente kire...

Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...

Thursday, July 06, 2006

Neverending Yogya

Di sebuah pusat perbelanjaan di Jl. Malioboro Yogyakarta terpampang tulisan, "Yogya, Neverending Asia". Nampaknya, orang Yogya tak mau kalah dengan slogan "Malaysia, truly Asia" yang kerap tampil di iklan-iklan pariwisata negeri jiran itu di layar televisi. Karenanya, dibuatlah slogan dengan semangat yang lebih bombastis dari semangat yang dimiliki pemerintah dan rakyat Malaysia. "Malaysia boleh bilang negeri mereka Asia sesungguhnya, tapi Yogya lebih dari itu. Jelajahi seluruh Yogya, Anda akan menemukan Asia yang tak akan ada habisnya," ujar Adi, salah seorang warga Yogya yang tengah asik berjalan-jalan di kawasan paling ramai di Kota Pelajar itu.

Entah kapan pertama kali slogan itu muncul, dan siapa yang mencetuskannya. Namun "Yogya Neverending Asia" nampaknya sangat menyemangati kehidupan warga Yogyakarta, meski boleh jadi belum semua warga Yogya paham betul makna yang dikandung dari slogan tersebut. Bahkan sangat mungkin banyak orang Yogya yang belum tahu keberadaan slogan tersebut lantaran tulisan-tulisan slogan tersebut hanya terlihat di pusat kota saja. Meski demikian, setidaknya sebagian warga Yogya merasa ada ruh baru yang mengiringi hiruk pikuk dan riuh rendah kehidupan dengan adanya slogan tersebut.

Bicara soal "neverending" untuk Yogya memang terasa pas, bukan karena daerah istimewa ini baru saja dilanda kesedihan mendalam akibat diguncang gempa 27 Mei 2006 lalu. Karena slogan dan semangat "Yogya Neverending Asia" jelas-jelas sudah ada jauh sebelum gempa terjadi. Yogya dan segala kekhasannya dianggap sangat pas menyandang label "neverending" karena banyak hal di Yogya yang bisa jadi parameternya. Ambil satu contoh, orrang Yogya terkenal kreatif untuk segala bidang, dari urusan makanan sampai fashion, mulai jari sendal jepit hingga ikat rambut atau topi penutup kepala. Dari makanan saja, siapa pun yang pernah melancong ke Yogya akan mendapatkan tak terhitung pilihan untuk disantap, tentu saja termasuk gudeg Yogya yang sangat terkenal itu.

Kreatifitas orang Yogya juga terlihat dari kaos oblog made in Yogya. Tanpa perlu menyebut merek -karena diyakini banyak orang sudah tahu- kaos-kaos oblong terbitan negeri bakpia ini sangat menggambarkan kreatifitas dan kecerdasan warganya. Makanan, tempat rekreasi dan tempat nongkrong, transportasi tradisional, pakaian, kebiasaan, adat istiadat juga aturan main kota pelajar ini, hingga gempa pun menjadi tema tulisan di kaos oblong. Bahkan, tanpa bermaksud merendahkan makna kreatifitas, tapi semangat neverending pun dicomot untuk urusan jipak menjiplak atau palsu memalsu kaos. Karenanya tidaklah heran banyak orang yang kecewa setelah berlelah-lelah mengelilingi Malioboro ternyata kaos oblong yang dibeli tidak orisinil alias palsu. Padahal kaos itu sudah dipamerkan di kota asalnya dan menjadi bukti kebangaan pernah menginjak tanah Yogyakarta.

Contoh lain bisa tercermin dari menjamurnya sekolah dan lembaga pendidikan. Namanya juga kota pelajar, wajar bila banyak sekolah dan lembaga pendidikan tumbuh di kota ini. Tapi yang bikin geleng-geleng kepala, setiap tahun akademik selalu saja muncul lembaga pendidikan baru, entah itu kampus atau sekadar tempat kursus. Memang sih penulis belum mendapat data persis berapa jumlah pertumbuhan sekolah itu per tahun, tapi siapa pun cukup dibuat takjub dengan kondisi ini. "Ruko ini enam bulan lalu mini market, sekarang sudah menjadi kampus," kalimat ini berapa kali terdengar dari rekan seperjalanan yang orang Yogya beneran. Untuk urusan pendidikan, Yogya memang tidak ada habisnya. Tinggal pilih, mau yang kelas atas, kelas menengah, sampai yang tidak ada kelasnya alias sekolah jalanan, dijamin ada.

27 Mei 2006, gempa mengguncang negeri kesultanan ini. Sedih, pilu, luka bercampur jadi satu. Air mata dan darah tak terpisahkan, menyatu dengan debu dan reruntuhan bangunan kota. Tapi Yogya tetap Yogya, mereka bisa bangkit kembali dan tidak ingin berlama-lama terpuruk dalam kesedihan. Dengan atau tanpa bantuan pun, Yogyakarta akan bangkit kembali. Bolehlah kalau kita menyebut, Yogya memang nggak ada matinya. (gaw)