Suatu hari kami pernah dikagetkan dengan kedatangan ibu ke rumah. Padahal jalan yang harus ditempuh lumayan jauh, sekitar dua jam dengan empat kali ganti angkutan umum. Ditambah dengan kondisinya yang sering sakit-sakitan, kakinya yang kadang tidak bisa diajak kompromi setelah lebih sepuluh tahun digerogoti diabetes. “Kangen cucu,” alasan utama yang memberinya kekuatan luar biasa.
Di hari lain ketika kami berkunjung ke rumahnya, ibu ditawari untuk ikut jalan-jalan ke menginap di Villa salah satu keluarga kami di kawasan puncak, Bogor. Biasanya ibu tidak pernah menolak ajakan adiknya itu, karena jalan-jalan ke puncak adalah kesukaannya. Tetapi kali itu, ia menolak tegas ajakan menggiurkan itu dengan satu alasan, “ada cucu di rumah”. Menurutnya, tidak ada yang lebih membahagiakan selain menikmati hari-hari bersama cucu-cucunya.
Cerita lainnya diperlihatkan Ayah. Ia rela menelepon berlama-lama kalau berbicara dengan cucunya. Padahal, Ayah termasuk yang rewel urusan penggunaan telepon yang tidak penting. Alasannya, tagihan pulsa akan membengkak dan tidak ada uang untuk membayarnya. “Ada yang lebih penting dari berbicara dengan cucu?” kilah sang kakek diplomatis.
Si kakek ini kadang aneh juga. Hampir setiap hari keluhan yang terdengar dari mulutnya selalu mengenai kakinya yang sakit karena asam urat. Di hari lain, badannya yang tidak bisa digerakkan. Intinya setiap hari ada saja penyakitnya. Namun ketika para cucu berkunjung ke rumahnya, entah terbang kemana para penyakit sehari-harinya itu. Bayangkan, tiba-tiba saja ia berani menantang salah seorang cucunya lomba berlari. Atau ia tak keberatan saat cucunya meminta kesediaannya menjadi kuda. Satu cucu menunggang punggungnya, yang lain iri dan tak mau ketinggalan menunggangi punggung yang biasanya selalu dikeluhkan itu. Dan kakinya yang sering sakit itu, tak terasa apa pun saat diduduki beramai-ramai oleh cucu-cucunya.
Satu lagi, kami tak pernah mengizinkan anak-anak meminta sesuatu dari kakeknya. Jangankan meminta, tanpa diminta pun kakek nenek pasti akan memberikan apa yang diinginkan cucu-cucunya. Kadang kami tahu bahwa mereka sedikit memaksakan diri untuk bisa menyenangkan cucunya. Tapi, terang saja kami tak mampu melarangnya. Karena bagi mereka, itulah cinta. Apa pun akan berlaku untuk cinta, semahal apa pun akan terbayar demi cinta.
Banyak yang bilang, cinta kakek dan nenek kepada cucu jauh berlipat ganda dari cintanya kepada anak-anaknya sendiri. Buat seorang kakek, mungkin dulu ia sering tidak punya waktu bersamaan dengan anak-anaknya lantaran kesibukan mencari nafkah. Ia merasa cintanya belum sepenuhnya dicurahkan, sehingga saat ini cucunya lah yang menjadi muara cintanya. Buat nenek, ada cinta yang takkan pernah habis di setiap aliran darahnya meski segunung cinta sudah ia berikan kepada anak-anaknya dulu. Kini, setiap tetes cinta itu terus mengalir kepada cucu-cucunya. Setiap detik, setiap masa berganti, takkan pernah lekang di makan waktu.
Jangan pernah pisahkan anak-anak kita dari mereka. sungguh, ada kekuatan luar biasa yang mengalir dari tubuh-tubuh mungil anak-anak sehingga menjadi energi positif bagi kakek dan neneknya. Ia seperti vitamin yang selalu dibutuhkan, melebihi ratusan jenis obat yang pernah diminumnya. Vitamin cinta yang seketika menimbulkan semangat kehidupan seolah garis finish tak terlihat di matanya. Berilah mereka vitamin “C” itu, cukup bagi mereka meski hanya mendengar suaranya dari seberang telepon.
Pernah suatu hari, ibu berjam-jam duduk di dekat telepon. “menunggu telepon dari cucu,” katanya. Ooh… (bayu gawtama)
Anak Betawi yang Keliling Dunia Lewat Blog
Kate siape anak Betawi kagak bise maju? siape kate anak Betawi pade males dan banyak nyang jadi pengangguran? Bukan maksud nyombong atawe unjuk gigi, aye cuma ngasih tau kalo kagak semue anak Betawi kayak nyang ente kire...
Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...
Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...
Monday, July 31, 2006
Tuesday, July 25, 2006
Sebab Peduli, Jakarta (akan) Selamat
Gempa dan tsunami yang melanda kawasan Pangandaran, Ciamis, Cilacap, Kebumen, Tasikmalaya dan sepanjang pantai selatan Jawa 17 Juli lalu, ditambah guncangan 6,2 pada skala richter di Ujung Kulon yang getarannya dirasakan juga oleh masyarakat Jabodetabek tiga hari sesudah gempa di Ciamis, membuat masyarakat di Jakarta berpikir, akankah bencana mulai mendekati ibukota? jika dua daerah istimewa sudah terkena bencana besar, mungkinkah berikutnya adalah daerah khusus (ibukota)? Dan boleh jadi gempa dan tsunami di pantai selatan Jawa adalah permulaan sebelum merambat ke Jakarta. Ada pun guncangan di Ujung Kulon adalah tanda-tanda awalnya.
Masyarakat Jakarta sempat lega setelah tidak terjadi gempa susulan -setelah dua kali gempa- pada Kamis, 20 Juli 2006 lalu. Namun ketenangan itu hanya sesaat, terlebih setelah Sulawesi, Bali, Nias, dan -lagi-lagi- Laut Banda diguncang gempa pada hari yang sama, Minggu, 23 Juli 2006. Was-was, cemas, gundah, takut, dan segunung perasaan berkecamuk di benak para penghuni Kota Metropolitan ini. Tidak sedikit yang merasa dihantui datangnya bencana besar, apakah itu gempa maupun tsunami. Ya, dihantui, karena bencana seringkali datang secara misterius, mengendap-endap, tengah malam, dan tanpa memberi aba-aba. Tahu-tahu, ribuan orang mati, keluarga hilang, rumah hancur, dan harta benda pun musnah.
Sesungguhnya, warga Jakarta tak perlu cemas, apalagi takut akan datangnya bencana. Selain berdoa, masyarakat Jakarta harus memiliki keyakinan bahwa keselamatan akan senantiasa memayungi para penghuni kota ini. Apa pasal? seperti halnya bencana seringkali ditimpakan kepada suatu kaum meski hanya segelintir dari kaum tersebut yang membuat Allah murka lantaran berbuat maksiat atau kezaliman, begitu pula dengan keselamatan. Keselamatan akan senantiasa dimiliki Kota Jakarta lantaran masih ada segelintir manusia Kota ini yang sangat peduli dengan saudara-saudara mereka yang selama ini sering tertimpa musibah.
Mari kita lihat. Hitunglah mulai tsunami Aceh Desember 2004, kemudian kelaparan Yahukimo, banjir bandang Jember, longsor Banjarnegara, banjir Manado, letusan Merapi, gempa Yogyakarta, banjir bandang Sinjai, hingga Pangandaran, Ciamis, Tasikmalaya, Cilacap, Kebumen dan sekitarnya, relawan, dermawan, dan bantuan banyak datang dari Jakarta. Baik relawan individu, dermawan perorangan, hingga kepedulian dari perusahaan-perusahaan yang berkantor pusat di Jakarta. Boleh jadi, kedermawanan dan kerelawanan yang ditunjukkan orang-orang Jakarta inilah yang membuat kota ini -insya Allah- selamat dari bencana. Ada pun goncangan 'kecil' yang sempat dirasakan kemarin itu hanyalah sebuah peringatan saja, terutama bagi orang-orang yang lalai. Jadi, selama masih ada kepedulian dari Jakarta, kota ini akan dilindungi dari bencana. Tanpa menafikan daerah lainnya, jika pusat perekonomian negeri ini yang hancur lebur oleh bencana, siapa yang akan membantu? siapa relawannya? siapa pula dermawannya?
Begitu pula dengan daerah lain di negeri ini yang masih diselamatkan Allah dari bencana. Mungkin karena masih banyak orang-orang yang memiliki tingkat kepedulian yang sangat tinggi, sehingga infak dan zakat yang mereka keluarkan berfungsi sebagai penolak bencana. Semakin tinggi kepedulian, semakin banyak yang peduli, Insya Allah semakin tinggi perlindungan Allah kepada kaum tersebut. Namun bukan berarti tidak ada kepedulian, relawan dan dermawan di daerah-daerah yang terkena bencana saat ini. Tentu Allah punya maksud dan rencana dari semua kehendak-Nya. Bukankah dibalik kesulitan selalu ada kemudahan? maka berbahagialah mereka yang diuji Allah dengan bencana saat ini. Sungguh, meski sulit menghadapi hari-hari paska bencana, niscaya kebahagiaan dari Allah akan segera datang. Sebab itu janji-Nya.
Bagaimana jika sudah menunjukkan kepedulian tetapi masih tertimpa bencana? padahal ribuan relawan sudah dikirim dari Jakarta ke daerah bencana, tak terbilang bantuan dari para dermawan Jakarta. Oh, mungkin saja Allah masih menganggapnya kurang. Butuh lebih banyak relawan dan bantuan, diperlukan kedermawanan lebih dari sekadar yang ada sekarang untuk membantu para korban bencana. Bagaimana kalau sudah sangat banyak, tetapi masih juga terkena bencana? jawabannya, mungkin kita kurang ikhlas. Masih ada pamrih di sana, masih ada ego yang ingin ditonjolkan, masih merasa perlu berdiri paling depan agar terkesan paling peduli. Yang datang paling dulu, mengejek yang datang belakangan. Padahal, belum tentu yang terdepan itu yang terbaik di mata Allah. Baiklah, keikhlasan hati ini diperbaiki. Kalau sudah ikhlas tapi masih terkena bencana? hmm, kalau demikian berarti Allah tengah menguji kesabaran kita.
Kepedulian, kerelawanan, dan kedermawanan sudah banyak, ikhlas dan sabar pula. Bagaimana jika kota ini tetap terkena bencana? Jangan berburuk sangka kepada Allah. Sungguh, hanya orang-orang hebatlah yang mampu melalui ujian yang berat. Hanya orang-orang pilihan yang sanggup memikul beban berat. Jika bencana tetap menimpa kita, yakinlah bahwa Allah mencintai warga Jakarta yang telah amat peduli kepada saudara-saudaranya di berbagai daerah bencana. Kadang cinta tidak selalu terlukis indah, ianya bisa berupa cobaan dan ujian yang pahit. Sanggup kita menjalaninya, makin besarlah cinta Allah kepada kita. Mari, tunjukkan seberapa besar cinta kita kepada-Nya. Selamatkan diri, keluarga dan lingkungan kita dengan terus meningkatkan kepedulian. Hingga detik ini Jakarta masih selamat dari bencana, yakinlah itu karena Allah menyayangi orang-orang yang mengasihi saudara-saudaranya yang tertimpa musibah. Wallaahu 'a'lam. (Gaw/www.aksicepattanggap.com)
Masyarakat Jakarta sempat lega setelah tidak terjadi gempa susulan -setelah dua kali gempa- pada Kamis, 20 Juli 2006 lalu. Namun ketenangan itu hanya sesaat, terlebih setelah Sulawesi, Bali, Nias, dan -lagi-lagi- Laut Banda diguncang gempa pada hari yang sama, Minggu, 23 Juli 2006. Was-was, cemas, gundah, takut, dan segunung perasaan berkecamuk di benak para penghuni Kota Metropolitan ini. Tidak sedikit yang merasa dihantui datangnya bencana besar, apakah itu gempa maupun tsunami. Ya, dihantui, karena bencana seringkali datang secara misterius, mengendap-endap, tengah malam, dan tanpa memberi aba-aba. Tahu-tahu, ribuan orang mati, keluarga hilang, rumah hancur, dan harta benda pun musnah.
Sesungguhnya, warga Jakarta tak perlu cemas, apalagi takut akan datangnya bencana. Selain berdoa, masyarakat Jakarta harus memiliki keyakinan bahwa keselamatan akan senantiasa memayungi para penghuni kota ini. Apa pasal? seperti halnya bencana seringkali ditimpakan kepada suatu kaum meski hanya segelintir dari kaum tersebut yang membuat Allah murka lantaran berbuat maksiat atau kezaliman, begitu pula dengan keselamatan. Keselamatan akan senantiasa dimiliki Kota Jakarta lantaran masih ada segelintir manusia Kota ini yang sangat peduli dengan saudara-saudara mereka yang selama ini sering tertimpa musibah.
Mari kita lihat. Hitunglah mulai tsunami Aceh Desember 2004, kemudian kelaparan Yahukimo, banjir bandang Jember, longsor Banjarnegara, banjir Manado, letusan Merapi, gempa Yogyakarta, banjir bandang Sinjai, hingga Pangandaran, Ciamis, Tasikmalaya, Cilacap, Kebumen dan sekitarnya, relawan, dermawan, dan bantuan banyak datang dari Jakarta. Baik relawan individu, dermawan perorangan, hingga kepedulian dari perusahaan-perusahaan yang berkantor pusat di Jakarta. Boleh jadi, kedermawanan dan kerelawanan yang ditunjukkan orang-orang Jakarta inilah yang membuat kota ini -insya Allah- selamat dari bencana. Ada pun goncangan 'kecil' yang sempat dirasakan kemarin itu hanyalah sebuah peringatan saja, terutama bagi orang-orang yang lalai. Jadi, selama masih ada kepedulian dari Jakarta, kota ini akan dilindungi dari bencana. Tanpa menafikan daerah lainnya, jika pusat perekonomian negeri ini yang hancur lebur oleh bencana, siapa yang akan membantu? siapa relawannya? siapa pula dermawannya?
Begitu pula dengan daerah lain di negeri ini yang masih diselamatkan Allah dari bencana. Mungkin karena masih banyak orang-orang yang memiliki tingkat kepedulian yang sangat tinggi, sehingga infak dan zakat yang mereka keluarkan berfungsi sebagai penolak bencana. Semakin tinggi kepedulian, semakin banyak yang peduli, Insya Allah semakin tinggi perlindungan Allah kepada kaum tersebut. Namun bukan berarti tidak ada kepedulian, relawan dan dermawan di daerah-daerah yang terkena bencana saat ini. Tentu Allah punya maksud dan rencana dari semua kehendak-Nya. Bukankah dibalik kesulitan selalu ada kemudahan? maka berbahagialah mereka yang diuji Allah dengan bencana saat ini. Sungguh, meski sulit menghadapi hari-hari paska bencana, niscaya kebahagiaan dari Allah akan segera datang. Sebab itu janji-Nya.
Bagaimana jika sudah menunjukkan kepedulian tetapi masih tertimpa bencana? padahal ribuan relawan sudah dikirim dari Jakarta ke daerah bencana, tak terbilang bantuan dari para dermawan Jakarta. Oh, mungkin saja Allah masih menganggapnya kurang. Butuh lebih banyak relawan dan bantuan, diperlukan kedermawanan lebih dari sekadar yang ada sekarang untuk membantu para korban bencana. Bagaimana kalau sudah sangat banyak, tetapi masih juga terkena bencana? jawabannya, mungkin kita kurang ikhlas. Masih ada pamrih di sana, masih ada ego yang ingin ditonjolkan, masih merasa perlu berdiri paling depan agar terkesan paling peduli. Yang datang paling dulu, mengejek yang datang belakangan. Padahal, belum tentu yang terdepan itu yang terbaik di mata Allah. Baiklah, keikhlasan hati ini diperbaiki. Kalau sudah ikhlas tapi masih terkena bencana? hmm, kalau demikian berarti Allah tengah menguji kesabaran kita.
Kepedulian, kerelawanan, dan kedermawanan sudah banyak, ikhlas dan sabar pula. Bagaimana jika kota ini tetap terkena bencana? Jangan berburuk sangka kepada Allah. Sungguh, hanya orang-orang hebatlah yang mampu melalui ujian yang berat. Hanya orang-orang pilihan yang sanggup memikul beban berat. Jika bencana tetap menimpa kita, yakinlah bahwa Allah mencintai warga Jakarta yang telah amat peduli kepada saudara-saudaranya di berbagai daerah bencana. Kadang cinta tidak selalu terlukis indah, ianya bisa berupa cobaan dan ujian yang pahit. Sanggup kita menjalaninya, makin besarlah cinta Allah kepada kita. Mari, tunjukkan seberapa besar cinta kita kepada-Nya. Selamatkan diri, keluarga dan lingkungan kita dengan terus meningkatkan kepedulian. Hingga detik ini Jakarta masih selamat dari bencana, yakinlah itu karena Allah menyayangi orang-orang yang mengasihi saudara-saudaranya yang tertimpa musibah. Wallaahu 'a'lam. (Gaw/www.aksicepattanggap.com)
Monday, July 17, 2006
Yang Sempurna Yang Terpilih
Masih ingat jaman dulu ketika duduk di bangku Taman Kanak-Kanak? Setiap menjelang pulang para guru berdiri di depan dengan kalimat yang khas, “Siapa yang duduknya paling rapih pulang duluan” seketika seluruh kelas hening tak bersuara, duduk dengan sikap paling sempurna, mulut tertutup rapat dengan tangan kanan dan kiri saling menindih di atas meja. Berdebar-debar menunggu siapa yang dinilai paling sempurna sikapnya dan disebutkan namanya untuk dibolehkan keluar kelas paling pertama. Ketika nama saya tak disebut, melainkan nama yang lain, saya mencoba lebih menyempurnakan sikap. Mungkin saja posisi tubuh saya belum tegap, atau tangannya tidak terlipat sempurna.
Tak hanya saya, teman lain yang tak dipanggil hingga panggilan kesekian pun semakin gelisah sambil terus memperhatikan letak duduk, posisi tubuh, hingga mata yang ditahan-tahan tak berkedip untuk menunjukkan sikap sempurna. Barulah senyum mengembang ketika nama disebut sambil melirik ke arah bangku kelas, karena ternyata masih ada beberapa teman tertinggal di belakang. Bangga sedikit boleh, tapi belum puas karena tidak menjadi yang paling sempurna.
Keesokan harinya, ketika masuk kelas sudah berpikir untuk bersiap-siap jika menjelang pulang nanti harus bersikap jauh lebih baik, jauh lebih sempurna dari kemarin. Alhasil, meski tidak juga menjadi yang pertama, tetapi lebih baik dari kemarin. Terus hingga hari berikutnya pun sikap sempurnanya diperbaiki lagi hingga pada suatu hari mendapat kesempatan untuk keluar kelas urutan pertama. Bangga, pasti. Senang, jelas. Karena dari hari ke hari berupaya untuk menjadi yang paling sempurna tercapai di hari itu.
Di lain masa dan di lain tempat, hukum kesempurnaan itu terus berlaku. Teringat saat mengaji di kampung, Pak Ustadz akan mengizinkan para santri pulang ke rumah setelah menghapal salah satu Surah pendek yang sudah ditentukan satu hari sebelumnya. Siapa yang sudah hapal dipersilahkan maju untuk diuji. Lancar dan bagus bacaannya, boleh pulang. Jika terbata-bata, silahkan duduk dan pelajari lagi sambil menunggu giliran berikutnya. Bagi yang tidak hapal, harap pasrah pulang paling akhir plus dengan sedikit ‘omelan’ Pak Ustadz.
Setiap kali seorang santri tengah diuji hapalannya, santri yang lain komat-kamit menghapal, sementara lainnya memperhatikan bacaan santri yang sedang diuji sambil berdebar-debar menunggu giliran. Santri yang sudah teruji, tak jarang menjadi contoh dan dipuji Pak Ustadz. Bangga, tentu saja lantaran hari itu ia menjadi yang pertama mampu melewati ujian. Seorang teman satu pengajian pernah mengisahkan kegembiraannya setelah terpilih mewakili pengajian kami untuk lomba hifdzil quran (hapalan quran). Meski pun tidak menang dalam perlombaan itu, terpilh untuk mewakili pengajian kami pun sudah prestasi luar biasa baginya.
Hukum kesempurnaan ini akan berlaku kapan pun dan di mana pun. Kesempurnaan dimaksud adalah bukan titik puncak dari apa yang bisa dilakukan seseorang. Melainkan sebuah upaya maksimal yang mampu diusahakan, ianya diperoleh melalui proses panjang yang melelahkan. Kesempurnaan bisa dicapai dengan akal pikiran, kerja keras yang tak kenal menyerah. Seorang siswa terpilih menjadi siswa teladan bukan hanya karena nilainya tertinggi, melainkan juga dinilai dari aspek lainnya seperti sikapnya terhadap guru dan teman, kepemimpinannya di kelas, kedisiplinan, kerapihan, kebersihan, dan kecakapan lainnya yang di atas rata-rata teman satu sekolahnya.
Seorang karyawan di sebuah perusahaan akan mendapat promosi bukan saja karena hasil kerjanya yang memuaskan selama satu tahun. Para atasannya juga melihat kedisplinan serta hubungan baiknya dengan sesama karyawan sehingga mampu menciptakan semangat kerja sama yang bagus. Sama halnya dengan orang tua yang tak segan-segan memberi hadiah kepada anaknya yang rajin, cerdas dan taat menjalankan perintahnya.
Karenanya, berusahalah terus untuk menjadi lebih baik dan lebih sempurna. Kalau kita bisa menapak anak tangga ke seratus, kenapa harus berhenti di anak tangga ke tujuh puluh? Kalau sanggup mendaki Mount Everest, kenapa hanya bukit kecil? Kalau sanggup menyelesaikan dua-tiga pekerjaan dalam sehari, kenapa hanya satu? Kalau sanggup mendapat nilai A dalam ujian, kenapa hanya berusaha mendapatkan B?
Allah itu sempurna, maka dekatilah Dia dengan cara yang sempurna. Sebagai hamba kita harus beribadah dan bekerja secara sempurna. Perbaikilah semua yang masih bisa diperbaiki, sempurnakan segala yang seharusnya bisa lebih sempurna. Bukankah orang-orang yang akan menghuni surga Allah adalah orang-orang terpilih? Jadilah sempurna, agar kita menjadi orang-orang terpilih. Insya Allah (bayu gawtama)
Tak hanya saya, teman lain yang tak dipanggil hingga panggilan kesekian pun semakin gelisah sambil terus memperhatikan letak duduk, posisi tubuh, hingga mata yang ditahan-tahan tak berkedip untuk menunjukkan sikap sempurna. Barulah senyum mengembang ketika nama disebut sambil melirik ke arah bangku kelas, karena ternyata masih ada beberapa teman tertinggal di belakang. Bangga sedikit boleh, tapi belum puas karena tidak menjadi yang paling sempurna.
Keesokan harinya, ketika masuk kelas sudah berpikir untuk bersiap-siap jika menjelang pulang nanti harus bersikap jauh lebih baik, jauh lebih sempurna dari kemarin. Alhasil, meski tidak juga menjadi yang pertama, tetapi lebih baik dari kemarin. Terus hingga hari berikutnya pun sikap sempurnanya diperbaiki lagi hingga pada suatu hari mendapat kesempatan untuk keluar kelas urutan pertama. Bangga, pasti. Senang, jelas. Karena dari hari ke hari berupaya untuk menjadi yang paling sempurna tercapai di hari itu.
Di lain masa dan di lain tempat, hukum kesempurnaan itu terus berlaku. Teringat saat mengaji di kampung, Pak Ustadz akan mengizinkan para santri pulang ke rumah setelah menghapal salah satu Surah pendek yang sudah ditentukan satu hari sebelumnya. Siapa yang sudah hapal dipersilahkan maju untuk diuji. Lancar dan bagus bacaannya, boleh pulang. Jika terbata-bata, silahkan duduk dan pelajari lagi sambil menunggu giliran berikutnya. Bagi yang tidak hapal, harap pasrah pulang paling akhir plus dengan sedikit ‘omelan’ Pak Ustadz.
Setiap kali seorang santri tengah diuji hapalannya, santri yang lain komat-kamit menghapal, sementara lainnya memperhatikan bacaan santri yang sedang diuji sambil berdebar-debar menunggu giliran. Santri yang sudah teruji, tak jarang menjadi contoh dan dipuji Pak Ustadz. Bangga, tentu saja lantaran hari itu ia menjadi yang pertama mampu melewati ujian. Seorang teman satu pengajian pernah mengisahkan kegembiraannya setelah terpilih mewakili pengajian kami untuk lomba hifdzil quran (hapalan quran). Meski pun tidak menang dalam perlombaan itu, terpilh untuk mewakili pengajian kami pun sudah prestasi luar biasa baginya.
Hukum kesempurnaan ini akan berlaku kapan pun dan di mana pun. Kesempurnaan dimaksud adalah bukan titik puncak dari apa yang bisa dilakukan seseorang. Melainkan sebuah upaya maksimal yang mampu diusahakan, ianya diperoleh melalui proses panjang yang melelahkan. Kesempurnaan bisa dicapai dengan akal pikiran, kerja keras yang tak kenal menyerah. Seorang siswa terpilih menjadi siswa teladan bukan hanya karena nilainya tertinggi, melainkan juga dinilai dari aspek lainnya seperti sikapnya terhadap guru dan teman, kepemimpinannya di kelas, kedisiplinan, kerapihan, kebersihan, dan kecakapan lainnya yang di atas rata-rata teman satu sekolahnya.
Seorang karyawan di sebuah perusahaan akan mendapat promosi bukan saja karena hasil kerjanya yang memuaskan selama satu tahun. Para atasannya juga melihat kedisplinan serta hubungan baiknya dengan sesama karyawan sehingga mampu menciptakan semangat kerja sama yang bagus. Sama halnya dengan orang tua yang tak segan-segan memberi hadiah kepada anaknya yang rajin, cerdas dan taat menjalankan perintahnya.
Karenanya, berusahalah terus untuk menjadi lebih baik dan lebih sempurna. Kalau kita bisa menapak anak tangga ke seratus, kenapa harus berhenti di anak tangga ke tujuh puluh? Kalau sanggup mendaki Mount Everest, kenapa hanya bukit kecil? Kalau sanggup menyelesaikan dua-tiga pekerjaan dalam sehari, kenapa hanya satu? Kalau sanggup mendapat nilai A dalam ujian, kenapa hanya berusaha mendapatkan B?
Allah itu sempurna, maka dekatilah Dia dengan cara yang sempurna. Sebagai hamba kita harus beribadah dan bekerja secara sempurna. Perbaikilah semua yang masih bisa diperbaiki, sempurnakan segala yang seharusnya bisa lebih sempurna. Bukankah orang-orang yang akan menghuni surga Allah adalah orang-orang terpilih? Jadilah sempurna, agar kita menjadi orang-orang terpilih. Insya Allah (bayu gawtama)
Sunday, July 16, 2006
Memelihara Mimpi
Seorang teman marah ketika saya membangunkannya dari tidur siangnya. “Gara-gara dibangunin, saya gagal dapat uang dua ratus ribu,” katanya. “Bagaimana bisa?” tanya saya. “Ya, hampir saja saya menerima dua lembar ratusan ribu jika saja kamu tak membangunkan saya,” tambahnya. “Sudahlah, bangun dari mimpimu itu. Kamu bisa mendapatkan jauh lebih banyak dari dua lembar jika tak sedang bermimpi,” segera saya menariknya keluar dari kamar untuk mengajaknya berjalan mencari pekerjaan.
Fase bermimpi itu pernah sama-sama kami lewati, ketika rasa malas kerap menggelayuti otak kami yang berpikir meraih sukses itu amat mudah. Mungkin kami terlalu banyak menonton televisi, melihat orang-orang muda seusia kami memakai stelan jas mengendari mobil mewah dan menghuni rumah seharga di atas dua milyar. Dengan kemapanan seperti itu, perempuan mana yang tak suka berkenalan atau bergaul dengannya. Tayangan televisi lainnya mengajarkan kami betapa mudahnya mendapatkan uang hanya dengan bermodalkan pengetahuan pas-pasan atau mencoba keberuntungan dan mengundi nasib mengikuti berbagai kuis dengan hadiah menjanjikan.
Beberapa film lainnya sempat membuat saya dan teman-teman berkhayal ketika tengah berada di pinggir jalan menunggu bis, sebuah mobil mewah yang melintas di depan kami tiba-tiba berhenti karena pengendaranya tiba-tiba terserang penyakit jantung. Kami pun berhamburan menolongnya dan membawanya ke rumah sakit. Singkat cerita, jadilah kami dewa penolong yang mendapat imbalan, “apa pun yang kalian minta akan kami berikan, karena kalian telah menyelamatkan nyawa saya,” Ahay, indahnya hidup jika setiap episode selalu dihiasi keberuntungan seperti itu. Tetapi nyatanya tidak, hidup ini tetap keras dan perlu melalui banyak onak yang terkadang kaki ini tak sanggup menahannya. Nyatanya, meski sudah berjam-jam kami masih tetap di pinggir jalan itu dan tak satu pun mobil mewah melintas yang tersuruk lantaran pemiliknya terserang jantung sehingga kemudian kami menjadi dewa penyelamatnya. Tidak, itu hanya ada dalam film, komik, bahkan mimpi yang seringkali tak nyata.
Mimpi seringkali membuat orang untuk terus bermimpi, seperti seorang pandir yang selalu mendapat keberuntungan meski pun kebodohannya tak tertandingi, seperti Cinderella yang mendapat keberuntungan dari sepatu kaca pemberian peri cantik, seperti seorang pemulung yang tiba-tiba saja menemukan beberapa batang emas di tempat sampah, sehingga seluruh warga kampung berbondong-bondong ikut memulung di tempat yang sebelumnya teramat menjijikkan bagi mereka. Si pemulung akan berpikir bahwa menjadi pemulung adalah jalan hidupnya, dan ia terus bermimpi menemukan batang emas lainnya di tempat sampah yang berbeda.Dan seperti juga kita, yang masih saja terus ingin melanjutkan tidur berharap mimpi siang tadi berlanjut sehingga dua lembar ratusan ribu berpindah ke tangan kita. Tapi itu dalam mimpi!
Nyatanya, mungkinkah ada orang yang bisa melanjutkan mimpinya? Bahkan adakah yang mampu mewujudkan mimpinya hanya dengan terus memejamkan matanya dan menyembunyikan wajah di bawah bantal?
Waktu terus bergulir, detik terus berlari. Sebagian orang masih terlelap berharap mimpi indah dalam tidurnya. Sebagian lainnya berpacu dengan cepatnya waktu untuk meraih sukses. Yang tidur akan bangun dengan tangan hampa, menyesal betapa banyak waktu terbuang untuk meraih mimpi yang tak pernah mampu diwujudkannya hanya dengan terus menerus terlelap. Sementara yang lain, sudah tersenyum karena lebih cepat meninggalkan tempat tidur mereka dan melangkah cepat meraih mimpinya dengan kerja keras.
Memelihara mimpi, bukanlah dengan melanjutkan mimpi dalam tidur. Melainkan dengan melipat selimut dan bergegas ke luar kamar melangkahkan kakinya menapaki setiap anak tangga kesuksesan. Bukankah matahari terlihat saat ia bersinar, bukankah kokok ayam jantan menunjukkan keberadaannya. Tukang becak akan mendapatkan uang setelah ratusan kali kakinya mengayuh, tukang koran bisa tersenyum setelah semua korannya habis, para pedagang akan menghitung laba setelah uang modalnya terpenuhi, dan para karyawan akan menerima gaji setelah sebulan penuh bekerja.
Layaknya seorang pemain sepak bola di lapangan. Jika tak bertarung merebut bola, berapa sering ia akan mendapatkan bola jika hanya berharap pemberian bola dari temannya? Dan hitung berapa peluang yang ia peroleh untuk menciptakan gol dari jerih payahnya yang sedikit itu? Akankah timnya menjadi pemenang? Jadi, peliharalah mimpi dengan bergegas beranjak dari mimpi dan khayalan. Karena rezeki lebih senang dihampiri, bukan menghampiri.
Saya dan teman-teman yang pernah sama-sama bermimpi dulu, hingga kini masih terus memelihara mimpi kami. Tetapi kali ini tidak di tempat tidur. Percaya lah. (Bayu Gawtama)
Fase bermimpi itu pernah sama-sama kami lewati, ketika rasa malas kerap menggelayuti otak kami yang berpikir meraih sukses itu amat mudah. Mungkin kami terlalu banyak menonton televisi, melihat orang-orang muda seusia kami memakai stelan jas mengendari mobil mewah dan menghuni rumah seharga di atas dua milyar. Dengan kemapanan seperti itu, perempuan mana yang tak suka berkenalan atau bergaul dengannya. Tayangan televisi lainnya mengajarkan kami betapa mudahnya mendapatkan uang hanya dengan bermodalkan pengetahuan pas-pasan atau mencoba keberuntungan dan mengundi nasib mengikuti berbagai kuis dengan hadiah menjanjikan.
Beberapa film lainnya sempat membuat saya dan teman-teman berkhayal ketika tengah berada di pinggir jalan menunggu bis, sebuah mobil mewah yang melintas di depan kami tiba-tiba berhenti karena pengendaranya tiba-tiba terserang penyakit jantung. Kami pun berhamburan menolongnya dan membawanya ke rumah sakit. Singkat cerita, jadilah kami dewa penolong yang mendapat imbalan, “apa pun yang kalian minta akan kami berikan, karena kalian telah menyelamatkan nyawa saya,” Ahay, indahnya hidup jika setiap episode selalu dihiasi keberuntungan seperti itu. Tetapi nyatanya tidak, hidup ini tetap keras dan perlu melalui banyak onak yang terkadang kaki ini tak sanggup menahannya. Nyatanya, meski sudah berjam-jam kami masih tetap di pinggir jalan itu dan tak satu pun mobil mewah melintas yang tersuruk lantaran pemiliknya terserang jantung sehingga kemudian kami menjadi dewa penyelamatnya. Tidak, itu hanya ada dalam film, komik, bahkan mimpi yang seringkali tak nyata.
Mimpi seringkali membuat orang untuk terus bermimpi, seperti seorang pandir yang selalu mendapat keberuntungan meski pun kebodohannya tak tertandingi, seperti Cinderella yang mendapat keberuntungan dari sepatu kaca pemberian peri cantik, seperti seorang pemulung yang tiba-tiba saja menemukan beberapa batang emas di tempat sampah, sehingga seluruh warga kampung berbondong-bondong ikut memulung di tempat yang sebelumnya teramat menjijikkan bagi mereka. Si pemulung akan berpikir bahwa menjadi pemulung adalah jalan hidupnya, dan ia terus bermimpi menemukan batang emas lainnya di tempat sampah yang berbeda.Dan seperti juga kita, yang masih saja terus ingin melanjutkan tidur berharap mimpi siang tadi berlanjut sehingga dua lembar ratusan ribu berpindah ke tangan kita. Tapi itu dalam mimpi!
Nyatanya, mungkinkah ada orang yang bisa melanjutkan mimpinya? Bahkan adakah yang mampu mewujudkan mimpinya hanya dengan terus memejamkan matanya dan menyembunyikan wajah di bawah bantal?
Waktu terus bergulir, detik terus berlari. Sebagian orang masih terlelap berharap mimpi indah dalam tidurnya. Sebagian lainnya berpacu dengan cepatnya waktu untuk meraih sukses. Yang tidur akan bangun dengan tangan hampa, menyesal betapa banyak waktu terbuang untuk meraih mimpi yang tak pernah mampu diwujudkannya hanya dengan terus menerus terlelap. Sementara yang lain, sudah tersenyum karena lebih cepat meninggalkan tempat tidur mereka dan melangkah cepat meraih mimpinya dengan kerja keras.
Memelihara mimpi, bukanlah dengan melanjutkan mimpi dalam tidur. Melainkan dengan melipat selimut dan bergegas ke luar kamar melangkahkan kakinya menapaki setiap anak tangga kesuksesan. Bukankah matahari terlihat saat ia bersinar, bukankah kokok ayam jantan menunjukkan keberadaannya. Tukang becak akan mendapatkan uang setelah ratusan kali kakinya mengayuh, tukang koran bisa tersenyum setelah semua korannya habis, para pedagang akan menghitung laba setelah uang modalnya terpenuhi, dan para karyawan akan menerima gaji setelah sebulan penuh bekerja.
Layaknya seorang pemain sepak bola di lapangan. Jika tak bertarung merebut bola, berapa sering ia akan mendapatkan bola jika hanya berharap pemberian bola dari temannya? Dan hitung berapa peluang yang ia peroleh untuk menciptakan gol dari jerih payahnya yang sedikit itu? Akankah timnya menjadi pemenang? Jadi, peliharalah mimpi dengan bergegas beranjak dari mimpi dan khayalan. Karena rezeki lebih senang dihampiri, bukan menghampiri.
Saya dan teman-teman yang pernah sama-sama bermimpi dulu, hingga kini masih terus memelihara mimpi kami. Tetapi kali ini tidak di tempat tidur. Percaya lah. (Bayu Gawtama)
Tuesday, July 11, 2006
Dibuka Pesanan Online "School of Life"
Spesifikasi Buku
Judul Buku : School of Life
Sub Judul : Menggali Kebijaksanaan dari Perjalanan Kehidupan
Penulis : Bayu Gawtama
Ukuran : 11,5 x 17
Tebal : 232 halaman (punggung 1 cm)
No. ISBN :
Price: Rp. 29.500,-
Cover Depan:
SCHOOL OF LIFE
Menggali Kebijaksanaan dari Perjalanan Kehidupan
Bayu Gawtama
Penulis Bestseller, Berhenti Sejenak
Pengantar: Ust. Yusuf Mansur,
Pengasuh Wisata Hati
“…Mengharukan. Apa yang ditulis Bayu dalam buku ini menyentuh relung jiwa.”
Ineke Koesherawati, Selebritis
Cover Belakang
“Jika setiap tempat adalah sekolah, maka setiap orang adalah guru"
Kehidupan mengajarkan kita banyak hal. Namun seringkali kita tidak mempedulikannya. Dengan gaya tutur yang khas Bayu Gawtama melalui buku ini kembali mengajak kita untuk memikirkan segala hal yang telah kita lakukan. Bayu memberi kita contoh bagaimana kita mengevaluasi diri. Boleh jadi apa yang dikisahkan Bayu, pernah kita rasakan. Atau kita memiliki kisah yang lain. Tapi satu yang pasti, dari kisah-kisah itu kita bisa mengambil pelajaran. Kita tidak akan pernah berhenti belajar.
“Menggugah...”
Yusuf Mansur, Pengasuh Wisata Hati
“Mas Bayu Gawtama sangat pandai merangkai kata, menyusun kalimat. Kejadian keseharian mampu dihadirkan dengan kedalaman makna. Kita pun bisa memetik makna darinya,”
Zazkia Mecca, pemeran Sarah dalam sinetron Kiamat Sudah Dekat
“Belajar tidak harus di selalu di ruang kelas. Kehidupan pun mengajarkan kita. Buku ini menjadi buktinya,”
Sahrul Gunawan, Artis Sinetron
Bayu Gawtama memiliki segudang aktivitas yang memungkinkannya bertemu dengan banyak orang dari berbagai lapisan. Interaksi inilah yang menjadi sumber inspirasi tulisan-tulisannya. Meskipun menurut pengakuannya, istri dan anak-anaknya-lah sebagi inspirasi tertinggi dalam karier menulisnya. Untuk kontak sehari-hari, Gaw bisa dihubungi di bayugautama@yahoo.com juga di blog pribadinya http://gawtama.blogspot.com
pesanan online langsung ke:
bayugautama@yahoo.com atau ke 0852 190 68581/0888 190 2214 (pembayaran bisa COD atau transfer rekening)
Cantumkan nama lengkap dan alamat pengiriman yang lengkap.
Terima kasih
Wassalaamu'alaikum Wr Wb
Bayu Gawtama
Judul Buku : School of Life
Sub Judul : Menggali Kebijaksanaan dari Perjalanan Kehidupan
Penulis : Bayu Gawtama
Ukuran : 11,5 x 17
Tebal : 232 halaman (punggung 1 cm)
No. ISBN :
Price: Rp. 29.500,-
Cover Depan:
SCHOOL OF LIFE
Menggali Kebijaksanaan dari Perjalanan Kehidupan
Bayu Gawtama
Penulis Bestseller, Berhenti Sejenak
Pengantar: Ust. Yusuf Mansur,
Pengasuh Wisata Hati
“…Mengharukan. Apa yang ditulis Bayu dalam buku ini menyentuh relung jiwa.”
Ineke Koesherawati, Selebritis
Cover Belakang
“Jika setiap tempat adalah sekolah, maka setiap orang adalah guru"
Kehidupan mengajarkan kita banyak hal. Namun seringkali kita tidak mempedulikannya. Dengan gaya tutur yang khas Bayu Gawtama melalui buku ini kembali mengajak kita untuk memikirkan segala hal yang telah kita lakukan. Bayu memberi kita contoh bagaimana kita mengevaluasi diri. Boleh jadi apa yang dikisahkan Bayu, pernah kita rasakan. Atau kita memiliki kisah yang lain. Tapi satu yang pasti, dari kisah-kisah itu kita bisa mengambil pelajaran. Kita tidak akan pernah berhenti belajar.
“Menggugah...”
Yusuf Mansur, Pengasuh Wisata Hati
“Mas Bayu Gawtama sangat pandai merangkai kata, menyusun kalimat. Kejadian keseharian mampu dihadirkan dengan kedalaman makna. Kita pun bisa memetik makna darinya,”
Zazkia Mecca, pemeran Sarah dalam sinetron Kiamat Sudah Dekat
“Belajar tidak harus di selalu di ruang kelas. Kehidupan pun mengajarkan kita. Buku ini menjadi buktinya,”
Sahrul Gunawan, Artis Sinetron
Bayu Gawtama memiliki segudang aktivitas yang memungkinkannya bertemu dengan banyak orang dari berbagai lapisan. Interaksi inilah yang menjadi sumber inspirasi tulisan-tulisannya. Meskipun menurut pengakuannya, istri dan anak-anaknya-lah sebagi inspirasi tertinggi dalam karier menulisnya. Untuk kontak sehari-hari, Gaw bisa dihubungi di bayugautama@yahoo.com juga di blog pribadinya http://gawtama.blogspot.com
pesanan online langsung ke:
bayugautama@yahoo.com atau ke 0852 190 68581/0888 190 2214 (pembayaran bisa COD atau transfer rekening)
Cantumkan nama lengkap dan alamat pengiriman yang lengkap.
Terima kasih
Wassalaamu'alaikum Wr Wb
Bayu Gawtama
Sunday, July 09, 2006
Saya? Ke Palestina? Allaahu Akbar!!!
Entah mimpi apa saya di malam Jum'at lalu, karena keesokan harinya Jum'at (7/7) hati ini dibuat berdebar-debar dalam rapat Tim ACT-Aksi Cepat Tanggap hari itu. Betapa tidak, salah satu topik yang dibicarakan pada hari itu adalah soal Palestina. Bagaimana pun, ACT sudah mendapat kepercayaan untuk menggalang dana bantuan kemanusiaan untuk negeri yang tengah diembargo -di segala bidang- itu.
Karenanya sesuai amanah yang harus diemban itu, ACT harus mengirim bantuan kemanusiaan itu langsung ke Palestina, tidak melalui perantara dengan maksud agar bantuan langsung sampai ke tangan yang berhak, dalam hal ini rakyat Palestina. Yang membuat berdebar, adalah ketika person yang ditunjuk untuk berangkat ke Palestina adalah saya. Ha??? saya??? ya benar saya dan ditemani seorang personil tim ACT lainnya ( yang satu masih konfirmasi).
"Kenapa saya?" kalimat ini yang hingga coretan ini dibuat masih terus merayapi hati dan benak saya. Hari itu, secara refleks saya menjawab, "Bersedia". Walau pun saya belum minta ijin dari isteri dan anak-anak (kalau anak-anak sih belum ngerti kali ya?).
Sepulang kerja, saya datangi isteri untuk berbicara serius. Ya, memang harus serius. Misi kemanusiaan kali ini jauh lebih berat dan beresiko tinggi. Saya katakan kepada isteri, bahwa dia harus merelakan lelaki cintanya ini jika terdapat kemungkinan terburuk yang terjadi di negeri suci itu. "Bisa jadi abang nggak pulang, siap?" Apa jawab si cantik? "Ajal itu sudah ada jadwalnya, nggak bisa maju nggak bisa mundur. Sudah tercatat tempat dan musababnya," sambil tersenyum.
Aha! Keikhlasan seperti ini yang senantiasa saya dapatkan setiap kali berangkat kemana pun. Dan seringkali keikhlasan ini pula yang menjadi penyemangat saya dalam menjalankan tugas. Menjadi penyemangat pula untuk segera kembali berkumpul bersama keluarga tercinta pada saat menjalankan tugas, kenapa? ya karena saya selalu merindukan pelepasan kepergian yang penuh keikhlasan.
Rencananya, Tim ACT akan berangkat ke Palestina Jum'at, 14 Juli 2006. Itu pun jika semua urusan dokumentasi beres, dan tidak ada kendala teknis lainnya yang menghambat. Namun semuanya kami serahkan kepada Allah yang Maha Memudahkan. Bukankah segala urusan jika sudah digenggaman-Nya menjadi sederhana?
Jika memang jadi berangkat. Masih ada waktu bagi saya untuk meminta maaf kepada rekan-rekan, sahabat, saudara sekalian. Boleh jadi ada sering khilfaf dan salah terselip di antara kalimat dan sikap saya selama bersahabat dan berhubungan. Mohon doa dan dukungan agar saya bisa mengikhlaskan hati untuk mantap melangkah ke negeri para Syuhada itu. Ini misi kemanusiaan, tapi ini juga bisa menjadi ladang amal luar biasa buat lelaki sederhana ini. Allaahu Akbar!
nb. Tapi kalau saya nggak jadi berangkat, jangan dimarahin ya. Dan jika masih ada amanah yang mau sama2 dititipkan sebelum keberangkatan ke Palestina, bisa ditunggu kok.
Bayu Gawtama
Karenanya sesuai amanah yang harus diemban itu, ACT harus mengirim bantuan kemanusiaan itu langsung ke Palestina, tidak melalui perantara dengan maksud agar bantuan langsung sampai ke tangan yang berhak, dalam hal ini rakyat Palestina. Yang membuat berdebar, adalah ketika person yang ditunjuk untuk berangkat ke Palestina adalah saya. Ha??? saya??? ya benar saya dan ditemani seorang personil tim ACT lainnya ( yang satu masih konfirmasi).
"Kenapa saya?" kalimat ini yang hingga coretan ini dibuat masih terus merayapi hati dan benak saya. Hari itu, secara refleks saya menjawab, "Bersedia". Walau pun saya belum minta ijin dari isteri dan anak-anak (kalau anak-anak sih belum ngerti kali ya?).
Sepulang kerja, saya datangi isteri untuk berbicara serius. Ya, memang harus serius. Misi kemanusiaan kali ini jauh lebih berat dan beresiko tinggi. Saya katakan kepada isteri, bahwa dia harus merelakan lelaki cintanya ini jika terdapat kemungkinan terburuk yang terjadi di negeri suci itu. "Bisa jadi abang nggak pulang, siap?" Apa jawab si cantik? "Ajal itu sudah ada jadwalnya, nggak bisa maju nggak bisa mundur. Sudah tercatat tempat dan musababnya," sambil tersenyum.
Aha! Keikhlasan seperti ini yang senantiasa saya dapatkan setiap kali berangkat kemana pun. Dan seringkali keikhlasan ini pula yang menjadi penyemangat saya dalam menjalankan tugas. Menjadi penyemangat pula untuk segera kembali berkumpul bersama keluarga tercinta pada saat menjalankan tugas, kenapa? ya karena saya selalu merindukan pelepasan kepergian yang penuh keikhlasan.
Rencananya, Tim ACT akan berangkat ke Palestina Jum'at, 14 Juli 2006. Itu pun jika semua urusan dokumentasi beres, dan tidak ada kendala teknis lainnya yang menghambat. Namun semuanya kami serahkan kepada Allah yang Maha Memudahkan. Bukankah segala urusan jika sudah digenggaman-Nya menjadi sederhana?
Jika memang jadi berangkat. Masih ada waktu bagi saya untuk meminta maaf kepada rekan-rekan, sahabat, saudara sekalian. Boleh jadi ada sering khilfaf dan salah terselip di antara kalimat dan sikap saya selama bersahabat dan berhubungan. Mohon doa dan dukungan agar saya bisa mengikhlaskan hati untuk mantap melangkah ke negeri para Syuhada itu. Ini misi kemanusiaan, tapi ini juga bisa menjadi ladang amal luar biasa buat lelaki sederhana ini. Allaahu Akbar!
nb. Tapi kalau saya nggak jadi berangkat, jangan dimarahin ya. Dan jika masih ada amanah yang mau sama2 dititipkan sebelum keberangkatan ke Palestina, bisa ditunggu kok.
Bayu Gawtama
Friday, July 07, 2006
Anak Lebih Taat Kepada Bunda, Tanya Kenapa?
Gunawan -bukan nama sebenarnya- mengeluh lantaran Bobby (5), anaknya, lebih mau mendengar kata-kata bundanya tinimbang dirinya. Bahkan ketika ia harus mengeluarkan perintah dengan nada yang lebih keras pun, Bobby tetap tak menggubrisnya, bahkan berlari mencari perlindungan ke Soffie, sang bunda.
Sebagai Ayah, Gunawan merasa 'cemburu' kepada Soffie karena tidak dipatuhi, ditaati bahkan mungkin tidak lebih dicintai oleh Bobby, buah hatinya sendiri. Haruskah Gunawan menghukum Bobby? Adakah andil Soffie yang membuat Bobby tak patuh kepada Ayahnya? Benarkah keadaan seperti ini kesalahan sepenuhnya dialamatkan kepada si kecil Bobby? Atau memang sangat wajar dan demikian adanya, bahwa anak-anak sudah sepantasnya lebih dekat dan lebih patuh kepada bunda sebab kedekatannya selama dalam kandungan, melahirkan dan menyusui.
Masalah yang dihadapi Gunawan, hanyalah satu dari sekian banyak kasus yang terjadi. Tidak sedikit Ayah yang memiliki problem yang sama, dan sangat mungkin ini menjadi permasalahan bersama para Ayah di banyak tempat. Tetapi sebelum mengalamatkan telunjuk kesalahan kepada isteri atau anak-anak akibat keadaan ini, mari melihat apa yang sudah kita lakukan kepada anak-anak.
Untuk kasus Gunawan misalnya. Ia pernah didatangi Bobby saat tengah sibuk memperbaiki kendaraannya. Bobby yang sering memperhatikan Ayahnya mengutak-atik kendaraan menganggap sang Ayah adalah montir handal dan karenanya pastilah bisa pula memperbaiki mobil-mobilan kesayangannya yang rusak. Namun ketika ia meminta bantuan Ayahnya untuk memperbaiki mainannya, kekecewaan lah yang didapatinya dari kalimat, "Pergi sana ke bunda, apa kamu nggak lihat Ayah sedang sibuk". Bobby yang patah hati pun mendatangi sang bunda. Soffie mencoba memperbaiki mainan kesayangan anaknya, dan berhasil!
Boleh jadi, kerusakan mobil kesayangan Bobby bukan sesuatu yang parah. Mungkin saja hanya battery-nya yang habis dan tidak akan menyita waktu banyak untuk memperbaikinya. Pada saat Bobby mendatangi Ayahnya untuk meminta bantuan, itu lah kesempatan terbaik sang Ayah untuk berdekatan dengan anaknya, itulah saat-saat emas menunjukkan perhatian terbaik kepada anak-anak. Nampaknya Gunawan tak menyadari dan melewatkan kesempatan berharga tersebut. Persepsi Bobby pun berubah, "Bunda lebih handal".
Contoh lain ada di malam hari. Suatu kali Bobby meminta Ayahnya untuk menemani tidurnya dengan mendongeng. Lagi-lagi Bobby tak menangkap isarat, bahwa Bobby ingin mendapat perhatian lebih dari sang Ayah. "Sama bunda saja ya, Ayah lelah sekali," ujar Gunawan. Barangkali memang Bobby tak tahu kalau Ayahnya lelah setelah seharian kerja, tetapi Bobby juga seorang anak kecil yang ingin merasa memiliki Ayah. "Bobby juga punya Ayah kan? Bobby tidak hanya punya Bunda kan?" barangkali kalimat ini yang bisa menggambarkan perasaan seorang anak seperti Bobby.
Keberadaan Ayah pada saat dibutuhkan, kehadirannya ketika dinantikan, seringkali menjadi mimpi bagi anak-anak. Terutama bagi anak-anak yang orangtuanya super sibuk. Jangan heran jika Anda mendengar cerita tentang anak-anak yang lebih dekat kepada pembantunya, atau anak-anak yang setiap kali menangis justru berlari ke pelukan babby sitter dan bukan orangtuanya. Salahkah anak-anak memiliki perasaan seperti itu?
Ketika buah hati Anda tak lebih dekat kepada Anda sebagai Ayahnya, tak lebih mendengar kata-kata Anda dibanding ucapan sang Bunda, bahkan tak lebih sayang seperti yang Anda inginkan? Cobalah beri perhatian lebih kepada mereka. Anak-anak akan berlari mendekat kepada Anda, saat Anda berjalan mendekatinya. Saat Anda menciumnya di kening, mereka akan mencium Anda di kening, pipi, mulut, hidung dan dagu Anda. Ketika Anda mau mendengarkan mereka barang sedetik saja, mereka akan melakukan apa saja yang Anda inginkan. Cobalah.
Sebagai Ayah, Gunawan merasa 'cemburu' kepada Soffie karena tidak dipatuhi, ditaati bahkan mungkin tidak lebih dicintai oleh Bobby, buah hatinya sendiri. Haruskah Gunawan menghukum Bobby? Adakah andil Soffie yang membuat Bobby tak patuh kepada Ayahnya? Benarkah keadaan seperti ini kesalahan sepenuhnya dialamatkan kepada si kecil Bobby? Atau memang sangat wajar dan demikian adanya, bahwa anak-anak sudah sepantasnya lebih dekat dan lebih patuh kepada bunda sebab kedekatannya selama dalam kandungan, melahirkan dan menyusui.
Masalah yang dihadapi Gunawan, hanyalah satu dari sekian banyak kasus yang terjadi. Tidak sedikit Ayah yang memiliki problem yang sama, dan sangat mungkin ini menjadi permasalahan bersama para Ayah di banyak tempat. Tetapi sebelum mengalamatkan telunjuk kesalahan kepada isteri atau anak-anak akibat keadaan ini, mari melihat apa yang sudah kita lakukan kepada anak-anak.
Untuk kasus Gunawan misalnya. Ia pernah didatangi Bobby saat tengah sibuk memperbaiki kendaraannya. Bobby yang sering memperhatikan Ayahnya mengutak-atik kendaraan menganggap sang Ayah adalah montir handal dan karenanya pastilah bisa pula memperbaiki mobil-mobilan kesayangannya yang rusak. Namun ketika ia meminta bantuan Ayahnya untuk memperbaiki mainannya, kekecewaan lah yang didapatinya dari kalimat, "Pergi sana ke bunda, apa kamu nggak lihat Ayah sedang sibuk". Bobby yang patah hati pun mendatangi sang bunda. Soffie mencoba memperbaiki mainan kesayangan anaknya, dan berhasil!
Boleh jadi, kerusakan mobil kesayangan Bobby bukan sesuatu yang parah. Mungkin saja hanya battery-nya yang habis dan tidak akan menyita waktu banyak untuk memperbaikinya. Pada saat Bobby mendatangi Ayahnya untuk meminta bantuan, itu lah kesempatan terbaik sang Ayah untuk berdekatan dengan anaknya, itulah saat-saat emas menunjukkan perhatian terbaik kepada anak-anak. Nampaknya Gunawan tak menyadari dan melewatkan kesempatan berharga tersebut. Persepsi Bobby pun berubah, "Bunda lebih handal".
Contoh lain ada di malam hari. Suatu kali Bobby meminta Ayahnya untuk menemani tidurnya dengan mendongeng. Lagi-lagi Bobby tak menangkap isarat, bahwa Bobby ingin mendapat perhatian lebih dari sang Ayah. "Sama bunda saja ya, Ayah lelah sekali," ujar Gunawan. Barangkali memang Bobby tak tahu kalau Ayahnya lelah setelah seharian kerja, tetapi Bobby juga seorang anak kecil yang ingin merasa memiliki Ayah. "Bobby juga punya Ayah kan? Bobby tidak hanya punya Bunda kan?" barangkali kalimat ini yang bisa menggambarkan perasaan seorang anak seperti Bobby.
Keberadaan Ayah pada saat dibutuhkan, kehadirannya ketika dinantikan, seringkali menjadi mimpi bagi anak-anak. Terutama bagi anak-anak yang orangtuanya super sibuk. Jangan heran jika Anda mendengar cerita tentang anak-anak yang lebih dekat kepada pembantunya, atau anak-anak yang setiap kali menangis justru berlari ke pelukan babby sitter dan bukan orangtuanya. Salahkah anak-anak memiliki perasaan seperti itu?
Ketika buah hati Anda tak lebih dekat kepada Anda sebagai Ayahnya, tak lebih mendengar kata-kata Anda dibanding ucapan sang Bunda, bahkan tak lebih sayang seperti yang Anda inginkan? Cobalah beri perhatian lebih kepada mereka. Anak-anak akan berlari mendekat kepada Anda, saat Anda berjalan mendekatinya. Saat Anda menciumnya di kening, mereka akan mencium Anda di kening, pipi, mulut, hidung dan dagu Anda. Ketika Anda mau mendengarkan mereka barang sedetik saja, mereka akan melakukan apa saja yang Anda inginkan. Cobalah.
Thursday, July 06, 2006
Neverending Yogya
Di sebuah pusat perbelanjaan di Jl. Malioboro Yogyakarta terpampang tulisan, "Yogya, Neverending Asia". Nampaknya, orang Yogya tak mau kalah dengan slogan "Malaysia, truly Asia" yang kerap tampil di iklan-iklan pariwisata negeri jiran itu di layar televisi. Karenanya, dibuatlah slogan dengan semangat yang lebih bombastis dari semangat yang dimiliki pemerintah dan rakyat Malaysia. "Malaysia boleh bilang negeri mereka Asia sesungguhnya, tapi Yogya lebih dari itu. Jelajahi seluruh Yogya, Anda akan menemukan Asia yang tak akan ada habisnya," ujar Adi, salah seorang warga Yogya yang tengah asik berjalan-jalan di kawasan paling ramai di Kota Pelajar itu.
Entah kapan pertama kali slogan itu muncul, dan siapa yang mencetuskannya. Namun "Yogya Neverending Asia" nampaknya sangat menyemangati kehidupan warga Yogyakarta, meski boleh jadi belum semua warga Yogya paham betul makna yang dikandung dari slogan tersebut. Bahkan sangat mungkin banyak orang Yogya yang belum tahu keberadaan slogan tersebut lantaran tulisan-tulisan slogan tersebut hanya terlihat di pusat kota saja. Meski demikian, setidaknya sebagian warga Yogya merasa ada ruh baru yang mengiringi hiruk pikuk dan riuh rendah kehidupan dengan adanya slogan tersebut.
Bicara soal "neverending" untuk Yogya memang terasa pas, bukan karena daerah istimewa ini baru saja dilanda kesedihan mendalam akibat diguncang gempa 27 Mei 2006 lalu. Karena slogan dan semangat "Yogya Neverending Asia" jelas-jelas sudah ada jauh sebelum gempa terjadi. Yogya dan segala kekhasannya dianggap sangat pas menyandang label "neverending" karena banyak hal di Yogya yang bisa jadi parameternya. Ambil satu contoh, orrang Yogya terkenal kreatif untuk segala bidang, dari urusan makanan sampai fashion, mulai jari sendal jepit hingga ikat rambut atau topi penutup kepala. Dari makanan saja, siapa pun yang pernah melancong ke Yogya akan mendapatkan tak terhitung pilihan untuk disantap, tentu saja termasuk gudeg Yogya yang sangat terkenal itu.
Kreatifitas orang Yogya juga terlihat dari kaos oblog made in Yogya. Tanpa perlu menyebut merek -karena diyakini banyak orang sudah tahu- kaos-kaos oblong terbitan negeri bakpia ini sangat menggambarkan kreatifitas dan kecerdasan warganya. Makanan, tempat rekreasi dan tempat nongkrong, transportasi tradisional, pakaian, kebiasaan, adat istiadat juga aturan main kota pelajar ini, hingga gempa pun menjadi tema tulisan di kaos oblong. Bahkan, tanpa bermaksud merendahkan makna kreatifitas, tapi semangat neverending pun dicomot untuk urusan jipak menjiplak atau palsu memalsu kaos. Karenanya tidaklah heran banyak orang yang kecewa setelah berlelah-lelah mengelilingi Malioboro ternyata kaos oblong yang dibeli tidak orisinil alias palsu. Padahal kaos itu sudah dipamerkan di kota asalnya dan menjadi bukti kebangaan pernah menginjak tanah Yogyakarta.
Contoh lain bisa tercermin dari menjamurnya sekolah dan lembaga pendidikan. Namanya juga kota pelajar, wajar bila banyak sekolah dan lembaga pendidikan tumbuh di kota ini. Tapi yang bikin geleng-geleng kepala, setiap tahun akademik selalu saja muncul lembaga pendidikan baru, entah itu kampus atau sekadar tempat kursus. Memang sih penulis belum mendapat data persis berapa jumlah pertumbuhan sekolah itu per tahun, tapi siapa pun cukup dibuat takjub dengan kondisi ini. "Ruko ini enam bulan lalu mini market, sekarang sudah menjadi kampus," kalimat ini berapa kali terdengar dari rekan seperjalanan yang orang Yogya beneran. Untuk urusan pendidikan, Yogya memang tidak ada habisnya. Tinggal pilih, mau yang kelas atas, kelas menengah, sampai yang tidak ada kelasnya alias sekolah jalanan, dijamin ada.
27 Mei 2006, gempa mengguncang negeri kesultanan ini. Sedih, pilu, luka bercampur jadi satu. Air mata dan darah tak terpisahkan, menyatu dengan debu dan reruntuhan bangunan kota. Tapi Yogya tetap Yogya, mereka bisa bangkit kembali dan tidak ingin berlama-lama terpuruk dalam kesedihan. Dengan atau tanpa bantuan pun, Yogyakarta akan bangkit kembali. Bolehlah kalau kita menyebut, Yogya memang nggak ada matinya. (gaw)
Entah kapan pertama kali slogan itu muncul, dan siapa yang mencetuskannya. Namun "Yogya Neverending Asia" nampaknya sangat menyemangati kehidupan warga Yogyakarta, meski boleh jadi belum semua warga Yogya paham betul makna yang dikandung dari slogan tersebut. Bahkan sangat mungkin banyak orang Yogya yang belum tahu keberadaan slogan tersebut lantaran tulisan-tulisan slogan tersebut hanya terlihat di pusat kota saja. Meski demikian, setidaknya sebagian warga Yogya merasa ada ruh baru yang mengiringi hiruk pikuk dan riuh rendah kehidupan dengan adanya slogan tersebut.
Bicara soal "neverending" untuk Yogya memang terasa pas, bukan karena daerah istimewa ini baru saja dilanda kesedihan mendalam akibat diguncang gempa 27 Mei 2006 lalu. Karena slogan dan semangat "Yogya Neverending Asia" jelas-jelas sudah ada jauh sebelum gempa terjadi. Yogya dan segala kekhasannya dianggap sangat pas menyandang label "neverending" karena banyak hal di Yogya yang bisa jadi parameternya. Ambil satu contoh, orrang Yogya terkenal kreatif untuk segala bidang, dari urusan makanan sampai fashion, mulai jari sendal jepit hingga ikat rambut atau topi penutup kepala. Dari makanan saja, siapa pun yang pernah melancong ke Yogya akan mendapatkan tak terhitung pilihan untuk disantap, tentu saja termasuk gudeg Yogya yang sangat terkenal itu.
Kreatifitas orang Yogya juga terlihat dari kaos oblog made in Yogya. Tanpa perlu menyebut merek -karena diyakini banyak orang sudah tahu- kaos-kaos oblong terbitan negeri bakpia ini sangat menggambarkan kreatifitas dan kecerdasan warganya. Makanan, tempat rekreasi dan tempat nongkrong, transportasi tradisional, pakaian, kebiasaan, adat istiadat juga aturan main kota pelajar ini, hingga gempa pun menjadi tema tulisan di kaos oblong. Bahkan, tanpa bermaksud merendahkan makna kreatifitas, tapi semangat neverending pun dicomot untuk urusan jipak menjiplak atau palsu memalsu kaos. Karenanya tidaklah heran banyak orang yang kecewa setelah berlelah-lelah mengelilingi Malioboro ternyata kaos oblong yang dibeli tidak orisinil alias palsu. Padahal kaos itu sudah dipamerkan di kota asalnya dan menjadi bukti kebangaan pernah menginjak tanah Yogyakarta.
Contoh lain bisa tercermin dari menjamurnya sekolah dan lembaga pendidikan. Namanya juga kota pelajar, wajar bila banyak sekolah dan lembaga pendidikan tumbuh di kota ini. Tapi yang bikin geleng-geleng kepala, setiap tahun akademik selalu saja muncul lembaga pendidikan baru, entah itu kampus atau sekadar tempat kursus. Memang sih penulis belum mendapat data persis berapa jumlah pertumbuhan sekolah itu per tahun, tapi siapa pun cukup dibuat takjub dengan kondisi ini. "Ruko ini enam bulan lalu mini market, sekarang sudah menjadi kampus," kalimat ini berapa kali terdengar dari rekan seperjalanan yang orang Yogya beneran. Untuk urusan pendidikan, Yogya memang tidak ada habisnya. Tinggal pilih, mau yang kelas atas, kelas menengah, sampai yang tidak ada kelasnya alias sekolah jalanan, dijamin ada.
27 Mei 2006, gempa mengguncang negeri kesultanan ini. Sedih, pilu, luka bercampur jadi satu. Air mata dan darah tak terpisahkan, menyatu dengan debu dan reruntuhan bangunan kota. Tapi Yogya tetap Yogya, mereka bisa bangkit kembali dan tidak ingin berlama-lama terpuruk dalam kesedihan. Dengan atau tanpa bantuan pun, Yogyakarta akan bangkit kembali. Bolehlah kalau kita menyebut, Yogya memang nggak ada matinya. (gaw)
Wednesday, July 05, 2006
Tiga Kali Sudah...
Berat... ini yang saya rasakan ketika harus mengabarkan kepada dua putri saya bahwa adik bayi yang dinantinya tak jadi lantaran isteri saya keguguran. Jum'at lalu (30/6), saya masih di Jogjakarta ketika isteri tiba-tiba telepon memberi kabar bahwa kehamilannya yang sudah masuk bulan ke empat sedikit bermasalah. Saya yang sudah terbiasa menghadapi keadaan seperti ini -lantaran saya tahu persis bahwa isteri saya lumayan tangguh- hanya berkomentar singkat, "Periksa ke dokter, besok Abi pulang".
Sabtu siang tiba di rumah, yang ditanya langsung kabar si jabang bayi di perut isteri. Nyatanya, saya harus mengantar lagi ke dokter sore itu dan memeriksakan kembali. Kali ini dengan bantuan alat ultrasonografi (USG). Menurut dokter yang memeriksanya, ada kelainan dengan perkembangan janin dan kemungkinan malah si janin tidak berkembang. Kami pun diminta esok pagi kembali lagi.
Minggu pagi, sekitar jam sembilan ketika kembali ke klinik keadaannya sudah tidak mungkin dipertahankan. Sehingga pagi itu pula janin harus dikeluarkan karena ternyata memang sudah 'mati' dan tidak berkembang. Dan ini yang ketiga kalinya dalam dua tahun terakhir. Yang lebih mengagetkan ketiga dokter menyatakan kemungkinan isteri terkena tokso. Duh, benarkah?
Akhirnya, kehamilan pun harus tertunda minimal enam bulan setelah keguguran yang ketiga kali ini. Yang paling memberatkan adalah menjawab pertanyaan Hufha (5) dan Iqna (4), yang keburu senang dengan mimpi punya adik bayi. "Dede-nya mana bi? katanya dikeluarin?"
Lembut suara isteri menerangkan, "punya dede-nya nanti aja ya?" jawab si kecil, "Aaah, Ummi bohong, kemarin bilangnya dede bayinya mau dikeluarin. kok sekarang nggak ada"
Terpaksa kami memperlihatkan janin berusia empat bulan sebelum dibawa pulang untuk dikuburkan dan menunjukkan kepada keduanya bahwa inilah adik mereka. Mereka pun mengerti, tapi dengan satu permintaan, "Nanti minta dede lagi ya, tapi nggak mau yang kayak gini," sambil menunjuk janin tersebut. (gaw)
Sabtu siang tiba di rumah, yang ditanya langsung kabar si jabang bayi di perut isteri. Nyatanya, saya harus mengantar lagi ke dokter sore itu dan memeriksakan kembali. Kali ini dengan bantuan alat ultrasonografi (USG). Menurut dokter yang memeriksanya, ada kelainan dengan perkembangan janin dan kemungkinan malah si janin tidak berkembang. Kami pun diminta esok pagi kembali lagi.
Minggu pagi, sekitar jam sembilan ketika kembali ke klinik keadaannya sudah tidak mungkin dipertahankan. Sehingga pagi itu pula janin harus dikeluarkan karena ternyata memang sudah 'mati' dan tidak berkembang. Dan ini yang ketiga kalinya dalam dua tahun terakhir. Yang lebih mengagetkan ketiga dokter menyatakan kemungkinan isteri terkena tokso. Duh, benarkah?
Akhirnya, kehamilan pun harus tertunda minimal enam bulan setelah keguguran yang ketiga kali ini. Yang paling memberatkan adalah menjawab pertanyaan Hufha (5) dan Iqna (4), yang keburu senang dengan mimpi punya adik bayi. "Dede-nya mana bi? katanya dikeluarin?"
Lembut suara isteri menerangkan, "punya dede-nya nanti aja ya?" jawab si kecil, "Aaah, Ummi bohong, kemarin bilangnya dede bayinya mau dikeluarin. kok sekarang nggak ada"
Terpaksa kami memperlihatkan janin berusia empat bulan sebelum dibawa pulang untuk dikuburkan dan menunjukkan kepada keduanya bahwa inilah adik mereka. Mereka pun mengerti, tapi dengan satu permintaan, "Nanti minta dede lagi ya, tapi nggak mau yang kayak gini," sambil menunjuk janin tersebut. (gaw)
Subscribe to:
Posts (Atom)