Ketika tsunami menghempaskan ratusan ribu manusia di Aceh pada 26 Desember 2004, negeri ini bercucuran air mata. Setiap pelosok dan sudut negeri dihiasi tangis seakan kiamat begitu dekat datangnya. Jutaan makhluk Allah bersimpuh di masjid memohon doa agar Allah berkenan mengampuni segala dosa berharap tak menimpakan bencana yang sama di tempat berbeda. Semua orang saat itu seakan ingat mati, bahkan mereka menjauhi tempat maksiat karena takut mati dalam keadaan tak baik. Ribuan masjid melakukan doa bersama, menampung simpati dan memperbanyak amal shaleh guna membantu meringankan beban para korban bencana.
Sekian lama berlalu, kita pun melupakan bencana yang menghiris hati itu. Tangis pun tak lagi terdengar, simpati dan empati berkurang. Masjid tak lagi dipenuhi orang-orang yang menangis takut akan datangnya adzab Allah, suara-suara panggilan kebaikan lebih sering lewat tanpa perhatian. Mereka yang dulu menangis, kembali tertawa. Orang-orang tak lagi menyesaki masjid, berganti memenuhi tempat-tempat hiburan bahkan tempat maksiat dan mati pun bukan hal yang ditakuti. Tak ada lagi tangan-tangan terhulur bersedekah, semakin sedikit simpati bagi mereka yang kesulitan. Beberapa bencana skala kecil di Jember, Banjarnegara dan Manado pun tak memalingkan wajah kita kepada Allah.
Sehingga Allah berkehendak menurunkan kembali bencana yang lebih besar di Yogyakarta dan Jawa Tengah, Sabtu, 27 Mei 2006 ketika manusia masih terlena dengan indahnya fajar dan alunan nada unggas pagi. Luluh lantak sudah Yogyakarta, menangis lagi negeri ini. Air mata pun tumpah di seluruh pelosok tanah air, dan masjid-masjid kembali disesaki orang-orang bersimpuh memohon ampunan-Nya. Kita menangis, sedih, takut bencana besar menimpa diri dan tempat kita bernaung.
Belum habis air mata, belum usai tangis di Yogyakarta, Sinjai membuat kita terus bercucuran, haru, pilu, getir dan ketakutan yang semakin mendalam. Seolah tak puas membuat kita menangis, alam mengamuk di Gorontalo, Balikpapan, Banjarmasin, Boolang Mongondow, dan entah alam mana lagi di negeri ini yang akan bergejolak.
Ratusan ribu anak negeri sudah menjadi korban keganasan alam, jutaan rumah telah hancur oleh amukan bencana, banjir air mata telah pernah menenggelamkan tanah negeri. Tak cukupkah semua kesedihan, kehilangan, kerugian, kehancuran itu menjadi peringatan bagi kita? Masihkah terus bersenang-senang di tengah bencana yang terus mendera negeri? Tak takutkah kita jika suatu saat maut dan bencana menyambangi rumah-rumah kita dan menenggelamkan seisi rumah kita. Masihkah sanggup tertawa ketika banjir bandang menyeret anak-anak mungil kita, ketika lumpur membenamkan isteri tercinta, ketika reruntuhan bangunan menghimpit tubuh suami kita? Sanggupkah mata ini menyaksikan tubuh-tubuh terbujur kaku atau menemukan mereka dalam keadaan tak lagi bernyawa?
Haruskah menunggu Allah mengirimkan bencana lagi di negeri ini agar membuat kita benar-benar takut kepada-Nya. Mungkin Tuhan belum benar-benar melihat taubat kita yang sesungguhnya, dan sebagian kita masih tenang meski dosa terus berlangsung, meski salah dan khilaf tak pernah alpa, meski kekurangan tak pernah diperbaiki. Sungguh, dengan taubat yang sungguh-sungguh Allah akan menghapuskan segala kesalahan kita, menutup aib dan menyelamatkan kita. Jangan tunda taubat yang sungguh-sungguh. Wallaahu ‘a’lam (Bayu Gawtama)
2 comments:
Very nice site! Mitsubishi 2.0 cylinder head
Best regards from NY! »
Post a Comment