Sepuluh menit begitu berarti? Ya, waktu yang sebentar itu bisa membuat saya tenang menjalani dua puluh tiga jam lima puluh menit selanjutnya, atau sebaliknya, sepuluh menit akan menjadikan sepanjang hidup saya dihantui perasaan bersalah dan penuh penyesalan. Karena sepuluh menit yang saya maksud adalah kesempatan untuk mengajak kedua putri saya berputar-putar sekeliling rumah setiap pagi sebelum ke kantor.
Mengajak anak-anak berputar dengan motor setiap pagi sudah menjadi rutinitas harian. Saya tak pernah menawarinya, justru awalnya merekalah yang meminta. Jadilah berputar selama kurang lebih sepuluh menit itu sebuah "kewajiban" tak tertulis namun tersepakati antara saya dan anak-anak, bahwa jangan pernah ada satu hari pun terlewati tanpa rutinitas tersebut. Kecuali jika saya sedang keluar kota.
Pernah satu pagi saya tergesa ke kantor sehingga mengabaikan keinginan anak-anak untuk berputar-putar seperti pagi-pagi sebelumnya. Namun karena saya merasa harus datang lebih awal ke kantor lantaran khawatir terlambat, saya tak menggubris tangisan kedua anak saya. Motor pun menderu berpacu mengejar waktu, beberapa menit kemudian saya pun tiba di kantor. Saya memang tak terlambat untuk mengikuti rapat pagi itu, tetapi begitu rapat dimulai ada yang begitu berat menggelayuti perasaan yang membuat saya tak konsentrasi berada di ruang rapat.
Terbayanglah wajah-wajah mungil di rumah yang masih menangis terabaikan, tersisihkan oleh kepentingan saya untuk segera tiba di kantor. Padahal mereka sudah mandi pagi-pagi mendahului saya, berdandan rapi lengkap dengan jilbab tercantik pilihan mereka sendiri, demi satu keinginan; berputar keliling komplek rumah dengan motor. "Iqna pakai jilbab ini lho, kalau kena angin kan bisa terbang-terbang..." seru si kecil bersemangat. "Teteh boleh pakai sepatu nggak bi?" sebuah tanya yang terjawab oleh deru mesin yang bergegas ke kantor.
Pagi itu, dua pasang mata menatap sedih motor saya yang melaju kencang. Suara tangis mereka hilang sudah ditelan angin pagi. Nampaknya, rayuan sang bunda pun tak membuat mereka bergeming. "Hampir setengah jam anak-anak tetap berdiri di depan rumah, berharap abi kembali lagi," ujar isteri saya sesaat setelah saya pulang.
Saya merasa bersalah, menyesal, marah pada diri sendiri. Anak-anak hanya butuh waktu sepuluh menit di pagi hari sebelum melepaskan keridhaan mereka melepas kepergian saya ke kantor dengan masing-masing tiga kecupan; pipi kanan, pipi kiri dan bibir. Tetapi pagi itu, jangankan kecupan, bahkan lambaian tangan saya pun tak dihiraukan.
Menangis pun tak berarti, saya harus minta maaf kepada mereka. Semoga permintaan maaf saya bisa diterima agar penyesalan saya tak berketerusan. Tetapi sungguh, yang paling membuat saya takut hingga detik ini bukan soal mereka tak mau memaafkan, melainkan kekhawatiran saya bahwa pagi itu kedua hati gadis kecil itu telah saya patahkan dengan sengaja, telah saya lukai tanpa merasa bersalah. Saya telah dengan sengaja memupuskan harapan mereka. Jika benar terjadi demikian, sebuah harga mahal harus saya tebus; mereka kecewa akan saya, setidaknya pagi itu.
Bayu Gawtama
2 comments:
nice posting
ummi saja sampe sekarang masih belajar terus..
kalau gak salah daku pernah mampir kesini kan?
Kadang kita sebagai orang dewasa suka mengambil kesempatan atas perasaan anak-anak kecil..
Post a Comment