Ada kisah menarik tentang seseorang yang bekerja sebagai badut di Kebun Binatang. Sebut saja namanya Ipang. Setiap pagi ia sudah tiba di Kabun Bintang untuk bersiap-siap mengenakan kostum hewan yang biasa kita lihat di area tersebut. Ia tak pernah tahu akan memakai kostum apa hari itu, karena setiap hari akan selalu berganti peran. Bisa jadi hari ini ia akan mengaum seperti harimau, meringkik ala kuda, mengembik layaknya kambing, atau meraung sekeras beruang.
Sungguh semua itu dilakukannya untuk satu tujuan; membuat anak-anak tersenyum ceria, dan bersahabat akrab dengan hewan. Jika ada anak yang menangis, tugasnya mendekati merujuknya agar tertawa. Bila si anak bertambah keras menangisnya, gagallah tugasnya. Di kerumunan anak-anak yang tertawa riang, tugasnya menjaga agar tawa itu tetap terdengar. Jika ada anak-anak yang terbirit ketakutan bersembunyi di tubuh orang tuanya, gagal pula ia menjalankan perannya. Karena sekali lagi, tugasnya adalah membuat anak-anak tersenyum ceria. Tak peduli ia berkostum apa.
Tak ada yang pernah tahu siapa di balik kostum gajah itu, seperti apa rupa asli di dalam boneka besar berbentuk beruang. Orang yang bertugas itu pun sadar, bahwa ia tak pernah diperkenankan menunjukkan wajah aslinya di depan kerumunan orang, di muka para pengunjung kebun binatang. Tak pernah sekali pun tiba-tiba ia membuka kedoknya di depan anak-anak yang berkerumun.
Bukan hanya itu, selain ia harus rela tak dikenali. Petugas badut binatang itu pun rela jika harus diusik, dijahili, atau bahkan dicaci orang tua yang anaknya ketakutan akibat aksinya. Baginya, ini bagian dari tanggungjawab profesinya sebagai badut. Ia tak peduli harus berkeringat kepanasan di dalam boneka besar itu, tak dibenarkan membuka kedoknya hanya karena kehausan. Sudah ada waktu khusus baginya untuk beristirahat sejenak, menghirup udara segar dan menyeruput air segar. Kadang, ia pun harus rela melewatkan kesempatan istirahatnya jika anak-anak menarik-narik mengajaknya terus bermain. Sekali lagi, ia akan selalu memegang tujuan utama dari perannya itu; menceriakan anak-anak.
Tak satu pun pernah mengira, tuakah atau seorang pemuda yang di dalam kostum binatang itu, wanita atau lelaki, tampankah ia, cantikkah ia, tak pernah ada yang tahu. Bahkan mungkin, orang tua dan anak-anak di tempat wisata itu juga tak percaya jika ada yang berkata, "Tahu nggak, yang tadi jadi badut harimau itu kan saya...". Bisa jadi mereka tak peduli.
Para pengunjung kebun binatang, berikut anak-anak mereka tak pernah mengerti keletihan, kepanasan, kehausan atau lapar yang diderita petugas badut. Bagi mereka, badut-badut itu harus tetap berdiri, bergoyang, bernyanyi, berlari-lari, untuk tetap membuat anak-anak tersenyum, tertawa dan ikut berlari. Berhenti ia menari dan melucu, anak-anak akan diam, atau ada yang menangis. Tak tega melihat anak-anak itu menangis, ia akan kembali bergoyang, tanpa lagi peduli sekujur tubuhnya sudah teramat letih. Ia tahu, tuntutan terhadapnya begitu banyak, dan tak pernah ada yang tahu betapa ia pun butuh berhenti sejenak.
Kostum apa pun yang ia pakai, ia akan berperangai, bersuara dan bertingkah sesuai kostumnya. Ia tak akan pernah mengembik saat berkostum kelinci, tak pernah melompat-lompat saat tak sedang menjadi katak. Ia juga tak pernah memakai sekali dua kostum, kepala harimau sementara badannya seekor jerapah. Pasti akan membingungkan anak-anak, hewan apa gerangan? Tapi yang pasti ia bisa menjadi apa pun, dan akan bersuara sesuai dengan yang saat itu diperankannya. Hari ini ia menjadi seekor serigala yang melolong, mungkin esok ia menjadi kelinci. Meski tujuannya hanya satu; menceriakan anak-anak.
Bayu Gawtama
berkostum apa pun, saya tetap mencintai anak-anak
No comments:
Post a Comment