Ariya, 20 bulan, semestinya balita seusianya masih harus mendapatkan asupan gizi yang cukup. Namun penghasilan ayahnya sebagai buruh kecil dan ibunya yang menjadi pembantu rumah tangga membuatnya terpaksa tak menikmati gizi yang memadai. Janganlah bicara gizi, untuk makanan sehari-hari pun bocah kecil kurus itu hampir jarang menikmati.
Kedua orangtuanya harus pasrah membiarkan anaknya sering kelaparan, karena mereka pun mengalami nasib yang tak berbeda, perut mereka lebih sering kosong. Dalam sepekan, bisa jadi empat hari perutnya kosong. Akibat kelaparan yang diderita Ariya dan keluarganya, kini Ariya harus menjalani perawatan intensif di rumah sakit di Bulukumba, Sulawesi Selatan, karena mengalami gizi buruk. Tak hanya itu, yang lebih menyedihkan, separuh bibir Ariya tampak habis, layaknya buah jambu yang digerogoti kelelawar. Ternyata, akibat sering menahan lapar Ariya sering menggigiti bibirnya sendiri sampai bolong.
Masih di daerah yang sama, Bulukumba, Dimas, usianya sedikit lebih tua dari Ariya, 2 tahun. Tapi berat badannya sama dengan berat badan bayi 3 bulan. Tulang-tulang di dadanya sangat menonjol, hanya kulit tipis yang menutupi tulang-tulang itu. Sedangkan kedua tangan dan kakinya lebih mirip akar yang kehabisan air. Dimas juga mengalami gizi buruk lantaran orangtuanya tak mampu memberinya makanan bergizi. Setiap hari, sejak usianya 6 bulan, hanya makanan orang dewasa yang didapat Dimas. Tak ada susu formula, dan makanan bergizi lainnya.
Jika Ariya dan Dimas hanyalah dua dari jutaaan anak yang mengalami gizi buruk lantaran sulit mendapatkan makanan, tidak berbeda dengan kelompok-kelompok warga lainnya di berbagai tempat. Kampung Bungbulang, Garut, mungkin tidak banyak orang yang pernah mendengarnya. Sebuah kampung terpencil di Jawa Barat itu baru-baru ini menggemparkan karena nyaris seluruh warganya mengalami kelaparan. Memang sudah ada LSM dan dokter yang menangani warga di kampung tersebut, namun bagaimana pun kejadian ini sungguh memilukan. Hingga hari ini, warga Kampung Bungbulang masih harus terus mendapatkan bantuan. Lebih penting dari itu, mereka juga harus mendapatkan penyuluhan kesehatan dan pola makan sehat.
Tak hanya di Garut. Ratusan warga di beberapa daerah di Brebes, Jawa Tengah terpaksa kembali makan tiwul, penganan yang terbuat dari singkong. Beralihnya makanan dari beras ke singkong lantaran semakin tingginya harga beras yang tak terjangkau oleh penghasilan mereka yang minim. Masih di Brebes, 80 kepala keluarga terancam kelaparan usai banjir yang melanda kampung mereka tiga pekan yang lalu. Banjir tak hanya menenggelamkan rumah warga, melainkan juga menggenangi ratusan hektar sawah milik mereka selama berhari-hari. Akibatnya, seluruh padi yang siap dipanen pun puso. Selain panen yang gagal, persediaan beras dan makanan warga pun musnah terbawa banjir. Karena tak lagi memiliki beras untuk dimakan, ratusan jiwa itu pun kini hanya bisa makan nasi aking, yakni nasi sisa/bekas yang dikeringkan kemudian dimasak kembali.
Di tempat lainnya, Bellu, Nusa Tenggara Timur, ancaman kelaparan sudah menimpa warga lantaran sarana transportasi yang sempat terputus akibat banjir bandang. Bantuan bahan makanan memang dikirim ke wilayah tersebut, namun jumlahnya sangat terbatas dan belum mencukupi. Sedangkan banjir telah lebih dulu menghancurkan ladang-ladang mereka, akibatnya ratusan warga korban banjir terpaksa memakan batang pohon yang dihaluskan.
Sejumlah daerah lainnya yang pekan lalu terkena banjir dan longsor, seperti Sumbawa, Lombok Timur, beberapa daerah di Jawa Tengah, bahkan termasuk Kabupaten Purwakarta pun tak luput dari ancaman kelaparan. Pekan lalu, Lurah Desa Panyindangan, Kabupaten Purwakarta, H. Adang Permana melaporkan, akibat bencana longsor, kini wilayahnya bisa dibilang paceklik beras. Pasalnya, meski longsor hanya menghancurkan belasan rumah warganya, namun ratusan hektar sawah milik warga kini dipenuhi bebatuan besar. Butuh waktu berbulan-bulan bagi para pemilik sawah itu untuk menyingkirkan batu-batu besar yang bertebaran di sawah mereka. Sementara itu, bantuan yang datang pun tak seberapa. “Jujur saja, saat ini warga masih punya persediaan beras. Tapi dua bulan ke depan, kami tidak tahu harus mendapatkan beras dari mana,” ujar Lurah Adang.
Bila kondisi ini tak segera mendapat perhatian dari pemerintah khususnya, dan dari masyarakat di tempat lain yang tidak terkena ancaman kelaparan, bisa jadi akan ada puluhan juta Dimas dan Ariya yang harus dirawat di rumah sakit akibat gizi buruk dan busung lapar. Bahkan mungkin, banyak anak-anak yang tidak terselamatkan dan mati kelaparan. Atau mungkin ada fenomena baru seperti Ariya, dimana anak-anak tak lagi menggigiti bibir, bisa saja jari-jari, tangan atau anggota tubuh lainnya menjadi alternatif makanan.
Ancaman kelaparan ini bukan saja berakibat pada kematian, tapi lebih daripada itu, haruskah kita kehilangan generasi-generasi penerus bangsa ini? Atau relakah kita jika kelak bangsa ini dipimpin oleh generasi yang tumbuh dan berkembang dalam predikat gizi buruk? Sungguh ini juga merupakan bencana, bencana yang merenggut jiwa anak-anak bangsa secara perlahan, dan semakin lama akan habislah generasi masa datang.
Bayu Gawtama
No comments:
Post a Comment