"Atep mau sekolah... Atep juga mau seperti teman-teman bisa sholat di masjid. Tapi teman-teman nggak mau Atep ada di masjid..."
Kalimat tersebut polos diucapkan Muhammad Yunus alias Atep (10 tahun), anak keenam Sarbini (49) dan alm. Yuyun. Keluarga Sarbini adalah keluarga tak mampu dari Desa Cisarua, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Rumahnya hanya beberapa puluh meter dari Perkebunan teh Goalpara, kaki gunung Gede. Pekerjaan Sarbini hanyalah buruh angkut sayuran dengan pendapatan maksimal Rp. 10.000/hari. "Itu pun kalau sedang ada yang minta antar sayur. Kalau nggak ada, ya nggak dapat uang," ujar Sarbini.
Namun, bukan cuma lantaran faktor ekonomi itu yang membuat Atep tidak bisa sekolah. Apalagi sekadar ke masjid, karena untuk sholat jamaah ke masjid tentu tak memakan biaya. Yang membuat Atep malu ke sekolah dan masjid adalah penyakit yang diderita bocah kecil itu. Atep menderita Atresiani, alias kelainan anatomis berupa lahir tanpa anus. Sudah hampir 10 tahun, sejak usianya satu minggu Atep tak memiliki lubang anus, sehingga selama 10 tahun itu pula Atep harus membuang feces (kotoran) melalui lubang yang dibuat persis di perutnya.
Atresiani, nama yang terdengar indah, tetapi tidak bagi Atep. Sebab lantaran penyakit tersebut, Atep merasa terkucilkan dari lingkungan dan teman-teman mainnya. Teman-temannya tak tahan terhadap bau kotoran yang bisa sewaktu-waktu keluar dari lubang di perut Atep. Sistem pembuangan yang dimiliki Atep saat ini, tidak seperti yang dimiliki kebanyak orang. Atep tidak mampu menahan keluarnya kotoran, bahkan saat ia sedang makan sekalipun. Karena itu, Atep selalu minder terhadap teman-temannya. Hal inilah yang membuat Atep tidak mau sekolah, padahal ia sangat ingin berpakaian seragam merah putih layaknya anak-anak lain sebayanya. "Atep ingin sholat dan ngaji di masjid. Tapi Atep malu sama teman-teman," keluhnya.
Karena tidak sekolah, hari-hari Atep diisi dengan menonton televisi. Ia sangat betah berjam-jam menonton televisi, kadang hingga pukul 12 malam. Menurut Dede (24), kakak Atep, adiknya itu malu keluar rumah. Lubang di perutnya itulah yang membuat ia malu bertemu teman-temannya. "Kalau makan, sepuluh menit kemudian langsung keluar dari lubang itu, bau sekali. Mungkin karena itu teman-teman Atep menjauhinya," tambah Dede. Bau kotoran itu pula yang dikhawatirkan mengganggu teman-teman Atep kalau Atep sekolah atau ke masjid.
Menurut Bidan Lilis, bidan yang menangani kelahiran Atep. Kelahiran Atep berlangsung normal. Namun karena mendapati kelainan berupa atresiani, bidan Lilis langsung membawa bayi malang itu ke Rumah Sakit Syamsudin, Sukabumi. "Lubang itu dibuat seminggu setelah Atep lahir," jelas Bidan Lilis. Bidan Lilis pula yang membawa Atep kecil pulang pergi ke rumah sakit untuk membuat lubang di perutnya.
Yuyun, ibu kandung Atep, tak kuasa menahan tangis saat mengetahui adanya kelainan pada diri Atep. Sejak itu, Yuyun sering sakit-sakitan dan akhirnya meninggal saat usia Atep belum genap 2 tahun. Pada usia tujuh tahun, Atep sempat dibawa ke Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung untuk diperiksakan. Namun dokter menyatakan kondisi Atep belum siap untuk dioperasi.
Dari hasil pemeriksaan, didapati kondisi Atep memang sangat tidak siap untuk dilakukan operasi. Atep bukan hanya menderita atresiani, tapi karena kondisi perekonomian keluarga yang minim, Atep pun menderita gizi buruk sejak bayi. "Gizinya kurang, kesehatan dan staminanya pun tidak memungkinkan untuk dilakukan operasi. Atep harus mendapatkan asupan gizi yang baik, setelah normal baru diperiksa kembali," terang Bidan Lilis.
Bahkan menurut Bidan Lilis, Atep pun menderita hepatitis. Kondisi ini pun membuat Atep semakin sulit untuk dilakukan operasi dengan cepat. Padahal untuk operasi pembuatan anus perlu kondisi tubuh yang benar-benar sehat. Selain itu, biaya yang dibutuhkan tergolong mahal untuk keluarga Sarbini. Paling sedikit Rp. 30 juta, perkiraan Bidan Lilis. "Bisa lebih mahal, karena operasi atresiani harus beberapa tahap. Itu pun belum termasuk ongkos bolak-balik ke rumah sakit di Bandung atau Jakarta". Inilah yang akhirnya membuat Sarbini harus mengurut dada, menatap sedih anaknya yang malang.
Sarbini, buruh kecil dari keluarga tak mampu di kaki Gunung Gede itu sempat putus harapan untuk bisa menyembuhkan Atep. Hingga kemudian, Delta FM Peduli, Yayasan Indera Hati bekerja sama dengan ACT-Aksi Cepat Tanggap mendatangi rumah Atep.
Rabu, 1 Februari 2006, Atep dibawa Tim ACT ke RSCM untuk mulai menjalani berbagai pemeriksaan. Ditemani Ayah, dua kakaknya dan Bidan Lilis, hari itu Atep baru melakukan tahap pertama dari rencana operasinya. Tahap pertama akan dilalui Atep dengan pemeriksaan oleh dokter bedah anak, kemudian pengambilan contoh darah. Butuh waktu berhari-hari, sedikitnya satu pekan hingga dokter memutuskan jadwal operasi. Operasi pun tidak akan berlangsung sekali, paling sedikit akan menjalani tiga kali operasi. Entah berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk Atep.
Dana yang tersedia dari Delta Peduli, Yayasan Indera Hati dan ACT dianggap belum mencukupi. Untuk itu, Atep, bocah kecil penderita atresiani dari Sukabumi, mengetuk kepedulian Anda. Tidak banyak yang diimpikan Atep, ia hanya ingin sekolah dan sholat jamaah di masjid. Perjalanannya masih panjang, Anda bisa membantunya agar proses penyembuhannya tak tersandung di tengah jalan.
Bayu Gawtama
Salurkan bantuan Anda melalui rekening kemanusiaan ACT
BCA 676 0 30 31 33
Mandiri 128 0004593 338
Syariah Mandiri 101 0001 114
Muamalat 304 0023 015
BNI Syariah 009 611 0239
1 comment:
Assalaualaikum,
makasih karna ada info untuk menyalurkan bantuan.
saya juga mau usul, bisa ga blog nya ditambah dengan fasilitas kirim artikel keteman? pliiiiis. tq
nanathea
Post a Comment