“Waktu ku kecil hidupku
amatlah senang
senang dipangku-dipangku dipeluknya
serta dicium-dicium dimanjanya
namanya kesayangan...”
Masihkah lagu itu dinyanyikan anak-anak sekarang? Jika pertanyaan itu diajukan ke setiap anak di seluruh pelosok negeri ini, saya yakin tidak sedikit anak-anak yang tak mampu menyanyikannya. Bukan karena mereka tak pernah mendengar lagu itu sebelumnya, atau tak pernah diajarkan oleh guru di taman kanak-kanak. Tapi lebih karena lagu tersebut selama ini hanya akan membuat batin mereka menjerit.
“Lagu itu hanya mimpi, yang menciptakan juga sedang bermimpi, apalagi yang menyanyikannya, pastilah para pemimpi”. Kalimat ini pantaslah diucapkan oleh Riska Rosdiana, gadis kecil yang mati mengenaskan di kamar tidurnya setelah berkali-kali diperkosa paman dan dipukuli ibu tirinya. Bolehlah juga dilontarkan oleh Indah Sari yang kini telah berbahagia di sisi Allah, setelah berhari-hari menahan pedihnya luka bakar perbuatan sang ibu. Tinggal Lintar Syahputra, sang adik yang masih tak mengerti mengapa ibu tega membakar dirinya.
Risman pun boleh sekeras-kerasnya berteriak demikian, agar kakek yang telah menganiayanya dengan siraman air panas dan sundutan rokok mendengar. Kakek Risman mungkin sudah lupa, ia dipercaya untuk menjaga cucunya, bukan justru mengurung Risman dalam kamar tanpa makan dan minum. Siti Ihtiatus Sholehah bukan satu-satunya yang pernah merasakan lempengan setrika dengan suhu di atas 100 derajat celcius. Adalah ayahnya sendiri yang membuat Siti meringis kepanasan dan kulitnya melepuh luka bakar.
Di tahun 80-an, kita pernah mendengar kisah memilukan Ari Hanggara. Bahkan karena penganiayaan anak terbilang langka pada saat itu, kasus Ari pun sempat dibuat filmnya. Jika semua kasus penganiayaan anak saat ini dianggap luar biasa, entah sudah berapa judul dan episode film yang harus dibuat. Atau bisa jadi, sutradara dan penulis skenario pun akan kesulitan untuk lebih dulu menulis kasus yang mana. Mungkin juga dibutuhkan ribuan anak untuk melakukan casting sebagai pemeran anak-anak malang itu. Ah, jangan-jangan film-film itu takkan pernah selesai dibuat. Sebab belum selesai satu skenario ditulis, sudah ada puluhan kasus lain yang terjadi.
Akankah suatu saat penganiayaan anak menjadi sesuatu yang biasa di negeri ini? Sehingga anak-anak tak lagi mengerti kenapa mereka harus dilahirkan jika hanya untuk disakiti. Mulut-mulut kecil mereka takkan lagi mampu menyanyikan lagu cinta yang selama ini mereka dengar dan atau diajarkan guru di taman kanak-kanak. Haruskah mereka bernyanyi, “pok ame-ame/ belalang kupu-kupu/ siang dipukuli/ kalau malam disundut rokok/...”
Begitu banyak anak-anak yang tak lagi mendapat kasih sayang selayaknya anak-anak lain. Cinta dan kasih sayang adalah hak mereka, dan kewajiban orang tualah memenuhinya. Mereka butuh belaian, bukan pukulan. Butuh sentuhan, bukan cubitan melintir atau sundutan rokok. Butuh kata-kata manis, bukan makian dan bentakan lengkap dengan kata kasar. Butuh kecupan, bukan tempelengan. Butuh arahan, bukan tendangan yang menyakitkan.
Anak-anak memerlukan seorang ibu, bukan penjahat tak berperasaan yang terus menerus membuat mereka menderita. Anak-anak butuh seorang ayah, bukan gladiator yang akan membunuhnya. Mereka juga membutuhkan lingkungan dan saudara-saudara yang baik dan penuh kasih, bukan para perampok kebebasan.
Telinga mereka yang teramat lembut itu untuk mendengar ungkapan sayang, bukan makian kasar. Mata indahnya semestinya mendapatkan tatapan teduh ayah dan bunda. Kulit halus punya mereka itu untuk mendapat sentuhan lembut, bukan untuk dilukai. Rambut tipis terurainya untuk dibelai, tak untuk dijambak. Dan mereka butuh pelukan untuk menghangatkan tubuh kecilnya, bukan air mendidih atau api menyala-nyala.
Bermimpikah mereka untuk bisa disisiri setiap pagi oleh sang ibu? Salahkah mereka berharap ayah memangku dan mendongengkan cerita indah setiap malam? Atau bermimpi pun mereka tak boleh?
“Satu-satu, aku sayang ibu
dua-dua, juga sayang ayah
tiga-tiga, sayang adik kakak
satu-dua-tiga, sayang semuanya...”
Haruskah mereka menyanyikannya?
Bayu Gawtama
2 comments:
Assalamu'alaikum
Kenapa ya mas, teganya mereka menganiaya anak yang mereka kandung selama 9 bulan 10 hari dan keluar dari rahim mereka sendiri?? Sungguh hati saya menangis baca postingan mas kali ini. Betapa saya merindukan sebuah keluarga, rindukan anak-anak tapi masih ada manusia yang berlaku kejam begitu. Apa ya yang ada di perasaan mereka sewaktu anak-anak kecil itu menjerit kesakitan, minta di kasihani. Ya Allah, sungguh saya tak bisa membayangkan.
:Akmal:
banyak sebab terjadinya kekerasan di rumah baik terhadap anak, maupun istri.
pada indah...ternyata ini benar2 diluar dugaan. karena sang ibu adalah sosok penyayang dan tidak pernah berlaku kasar pada anak2nya. bahkan indah yang tidak bisa berjalan di usia 3 tahun dilatihnya dengan sabar untuk berjalan. saat pembakaran terjadi, indah baru 1 bulan bisa berjalan. Ibu indah tertekan karena suami doyan mabuk, sementara alasan sang suami dia mabuk adalah karena kesal upahnya dibawa kabur mandornya. Lihatlah..betapa kita harus berhati2 melangkah....betapa sikap yg kita ambil seringkali merubah nasib seseorang yang tidak langsung bersentuhan dengan diri kita...Sang mandor yang membawa kabur upah para tukang...mungkin tidak akan pernah menyadari, bahwa diapun ikut andil terhadap terbakarnya indah...
Sementara sang ayah mencari pembenaran terhadap kebiasaan mabuknya...
Mas Gaw...saya menitikan air mata membaca tulisan mas...
saat kejadian indah dibakar, atau Riska diperkosa, saya pun merasa pedih...
Saya jadi ingat anak2 saya sendiri...
terutama saat peristiwa Riska yang mati dicekik ibu tiri setelah diperkosa pamannya...
Saya punya anak tiri dan tidak tinggal serumah dengan saya, dia seusia Riska...ntahlah..saya mengkhawatirkan keadaan dia yang tinggal dengan ibu kandungnya yang sudah menikah lagi...
Begitu juga dengan suami saya...karena dia tak mau tinggal dengan kami, saya dan suami cuma bisa berdoa, mudah2an dia terhindar dari bencana macam itu...
Post a Comment