Anak Betawi yang Keliling Dunia Lewat Blog

Kate siape anak Betawi kagak bise maju? siape kate anak Betawi pade males dan banyak nyang jadi pengangguran? Bukan maksud nyombong atawe unjuk gigi, aye cuma ngasih tau kalo kagak semue anak Betawi kayak nyang ente kire...

Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...

Friday, December 23, 2005

Cinta Putih

“Ini siapa yang makan kue tidak dihabiskan?” tanya saya kepada isteri malam itu. Di meja makan, terdapat sepotong kue yang tak habis termakan. "Itu potongan untuk Abang. Anak-anak dapat kue dari tetangga siang tadi, tapi mereka ingin membaginya untuk abi," jelas isteri saya. "Ini Hufha, ini buat dede Iqna, ini Ummi, dan ini buat Abi," begitu katanya setelah memotong empat bagian kue itu. Anak-anak sudah tidur, semoga dalam mimpinya mereka melihat saya menikmati kue yang sengaja disisakannya. Saya selalu ingat setiap kali anak-anak mendapatkan kue atau makanan enak lainnya, mereka tak lupa menelepon saya di kantor untuk sekadar memberitahu kalau saya tak perlu khawatir, karena mereka akan menyisihkannya untuk saya.

Pagi hari, pertanyaan pertama anak-anak adalah, "Kuenya dimakan nggak bi?"

***

Saya pernah diprotes isteri karena pulang terlambat. Padahal sebelumnya saya sudah berjanji untuk mengajak mereka jalan-jalan ke Mall. Setiap akhir bulan, anak-anak sudah hafal betul jadwal belanja bulanan kami. Meski masih terlalu kecil, mudah bagi mereka menandakan waktunya belanja bulanan. Jika persediaan susu mereka sudah menipis, itulah waktunya belanja. Saya menjanjikan akhir pekan ini akan mengajak mereka berbelanja, itu yang membuat mereka rela menahan kantuk tidak tidur siang karena takut ditinggal. Walaupun waktu belanja kami biasanya sesudah maghrib, sejak jam 16.00 anak-anak itu sudah cantik dengan baju pilihan mereka sendiri. Tapi, hari itu saya membuatnya kecewa. Pukul 21.15 malam saya baru tiba di rumah dan mendapati kedua anak saya terlelap di sofa masih lengkap dengan baju bagus, sepatu dan jilbab yang tak lepas.

Pagi hari, mereka tak marah. "Hari ini kerja nggak? pulangnya jangan malam-malam ya, kan sudah janji mau ke Mall," Saya tak berani berjanji, tapi saya akan menepatinya. Sungguh.

***

"Mi, nanti kalau abi pulang bangunin ya," pesan anak pertama saya yang ingin membanggakan lima bintang yang diterimanya hari ini untuk pelajaran melukis di sekolah. Cerita isteri saya, sejak pulang sekolah kertas hasil lukisannya itu selalu dibawa-bawa dan tak boleh disentuh siapapun. Tak satu pun yang boleh melihatnya sebelum saya melihatnya dan mengatakan, "Duuh pinternya cantik abi". Setelah mandi sore, tercatat sebelas kali ia bertanya jam berapa saya pulang. Selepas maghrib, entah untuk keberapa kali ia bertanya, "Abi kok belum pulang sih?" tentu saja dengan kertas lukisan masih di tangannya. Ia pun berjaga-jaga di sofa menunggu kepulangan saya, agar apa yang saya dapatkan begitu membuka pintu adalah wajah cerianya sambil menunjukkan lima bintang di kertas lukisannya.

Yang dinanti tak kunjung tiba. Kantuk pun tak kuasa ditahannya, lima bintang pun ikut terlelap dalam dekapannya. Hari masih terlalu dini, ia sudah bangun membawa kertas lukisannya ke kamar saya. Matanya masih terlihat mengantuk ketika ia menggugah saya, "bi, sudah lihat gambar Hufha? dapat bintang lima nih".

***

Pekerjaan saya saat ini banyak menyita waktu yang semestinya merupakan waktu untuk keluarga. Tak jarang mereka protes dengan kalimat, "kerja melulu, kapan liburnya?". Ya, saya sering merasa bersalah setiap harus pergi untuk urusan pekerjaan di hari libur. Terlebih ketika harus membatalkan acara yang sudah direncanakan jauh hari. Cara mereka mengingatkan saya akan teramat banyak hutang kehadiran saya untuk mereka cukup unik, yakni dengan menyebut jumlah dongeng yang belum saya lakukan. Kalau saya pergi tiga hari, maka di malam saya menemani tidurnya, mereka akan minta saya merapel cerita jadi empat. satu jatah malam ini, tiga cerita adalah untuk hari yang terlewati tanpa dongeng.

Kalau pun saya terlalu lelah untuk empat dongeng malam itu, mereka pun tak marah. Hanya saja, "tapi besok jadi lima ya".

***

Hari Minggu kemarin, saya baru pulang ke rumah pukul 20.30 malam. Siang harinya saya berjanji untuk pulang sore dan mengajak mereka berputar-putar dengan motor. Senja hampir tiba, mereka masih yakin saya akan segera pulang. Karenanya mereka menunggu saya sambil bersembunyi. Rupanya, mereka berniat mengejutkan saya dari balik pintu. Malam sudah tiba, anak-anak masih di balik pintu, kali ini mereka tak berdiri, tapi sudah duduk. Mungkin lelah menunggu. Waktu terus berjalan, sampai mereka pun terlelap di balik pintu, tak peduli kata-kata umminya bahwa saya akan terlambat pulang. "Nggak, Abi bilang sebentar kok perginya," ujar si kecil.

***

Terlalu sering saya membuat anak-anak kecewa. Namun tak pernah saya mendapatkan wajah cemberut mereka meski saya tak tahu lagi dengan cara apa mengucap maaf. Tanpa meminta maaf pun, ternyata mereka sudah lebih dulu memaafkan. Mestinya saya belajar mencinta seperti mereka, dan cinta punya mereka adalah cinta yang putih. Seputih hatinya.

Bayu Gawtama

Thursday, December 22, 2005

Bahasa Ibu, Bahasa Kalbu

Tak ada satu patah pun terucap dari bibirnya, pun tak terdengar suaranya. Ia hanya memainkan sedikit matanya untuk membuat kami mundur teratur beberapa langkah dan urung masuk ke dalam rumah. Rupanya, ibu tengah menerima beberapa orang tamu dan nampak sedang serius. Saya sempat berpikir, bahwa tamu-tamu itu hanya orang biasa, bukan orang penting yang tidak bisa diganggu sekian detik oleh kehadiran anak-anak kecil yang baru pulang sekolah. Saya juga tidak berniat mengganggu mereka, hanya sekadar mencium punggung tangan ibu beberapa detik, kemudian meluncur ke kamar.

Tapi maksud ibu berbeda, siapapun tamunya, penting atau tidak penting kedatangannya dan dari manapun datangnya tetap harus dihormati. Jadilah saya, abang dan adik-adik menunggu cukup lama di depan rumah. Tak berani masuk, apalagi memanggil-manggil ibu. Empat puluh menit sudah, si bungsu bahkan sudah terlelap di pojok teras rumah, keringatnya membasahi baju seragamnya yang kotor. Akhirnya, para tamu pun pamit pulang. "Eeh, baru pulang sekolah ya?” tanya mereka. Belum sempat kami menjawab, “Iya, baru sampai tuh,” sergah ibu. Sekali lagi, menjaga hati para tamu agar tak merasa tak enak hati.

Tak selalu begitu memang. Tapi dalam beberapa kesempatan, ibu sering mengajarkan kepada kami tentang sopan santun dan tatakrama. Maklum, sebelum-sebelumnya kami sering membuat ibu malu di hadapan tamunya dengan segala polah yang tak terkontrol. Yang minta minumlah, minta dibukakan sepatu, atau ini yang bikin ibu tambah malu, “Bu, belum masak ya? lapar nih...”

***

Hari ibu tiba. Ini hari yang paling ditunggu oleh kami, karena hari ini adalah jadwal acara memasak bersama, tanpa ibu. Kami akan membiarkan ibu duduk mendampingi kami yang berjibaku dengan kompor dan peralatan masak. Sesekali saya menangkap wajah khawatir ibu saat saya menyalakan kompor minyak. Meski sudah sering dan bisa dibilang mahir saya melakukan pekerjaan itu, tetap saja mata ibu tak lepas dari tangan kecil ini yang menyulutkan api ke sumbu kompor. Begitu api menyala, cerialah wajahnya. Begitu juga ketika si bungsu memotong-motong wortel dan kentang dengan pisau yang ukurannya lebih besar dari tangannya. Maklum, si kecil itu teramat sering terluka jarinya oleh benda tajam itu. Setiap irisan wortel, setiap kali itu pula nafas ibu tertahan. Urusan barang pecah belah, ini urusan “orang gede”. Mulai dari mengambil dari rak piring, menatanya di meja makan, sampai mencucinya setelah pesta usai. Untuk satu hal ini, ibu harus merelakan beberapa benda kesayangannya benar-benar menjadi benda pecah-belah alias benar-benar pecah.

Hidangan pun tersaji, waktunya makan. Karena hari ibu, ibulah yang mendapat kehormatan sebagai orang pertama yang mencicipi masakan kami. Srrup... sesendok kuah sayur sup olahan kami pun diseruput ibu, dan... matanya menyeripit, bibirnya seperti menahan sesuatu, perlahan tenggorokannya terlihat seolah tak rela membiarkan kuah yang ada di lidahnya masuk ke perut. Seketika, lima wajah kami pun serempak mengerut, “kenapa?”

“Sup ini... sup paling nikmat yang pernah ibu rasakan,” wajahnya kembali tenang dan ia pun mempersilahkan kami menikmati makan bersama hari itu. Namun sebelumnya, ibu mengajukan saran, “Sup ini sudah nikmat, tapi menurut ibu, kalau mau lebih nikmat airnya perlu ditambah ya.” Tangan terampil ibu pun mengolah kembali sup tersebut dengan menambah bumbu lainnya. Sepuluh menit berikutnya, barulah pesta sebenarnya dimulai. Sungguh, kami tak tahu apa yang terasa dilidah ibu dengan sup hasil olahan kami.

***

Suatu pagi, ibu mengaku kehilangan sejumlah uang belanjanya. Dikumpulkanlah lima anaknya untuk ditanya satu persatu. Meski ada orang lain selain kami, ibu tetap menganggap perlu untuk mengumpulkan anak-anaknya terlebih dulu. “Ibu menuduh kami?” tanya saya tergagap. “Bukan. Ibu hanya memberi tahu bahwa kita tidak masak hari ini, karena uang belanja ibu tidak ada,” ujar ibu lembut.

Kami pun berangkat sekolah dengan perasaan berat dan saling curiga, siapa yang tega mengambil uang ibu. Tidak sampai di situ, kami pun terbayang siang ini akan dilewati dengan perut lapar. Pulang sekolah, jangan harap ada makanan tersaji di meja makan. Saya sempat berpikir, akan saya pukul orang yang mengambil uang ibu. Karena dia akan menyebabkan semuanya kelaparan.

Kembali dari sekolah, aroma semur tahu kesukaan saya sudah tercium dari pagar depan rumah. Saya berlari ke dapur dan mendapati ibu sedang memasak. “Kok ibu masak? Uangnya sudah ketemu? Siapa yang mengambilnya?” pertanyaan beruntun saya dijawab ibu dengan senyum. “Siapapun dia, yang jelas dia sudah mengerti kepentingan keluarga lebih utama dari kepentingan sendiri,” jelas ibu. Saya tahu, ibu tak akan memberi tahu siapa orang dimaksud, karena ibu tak ingin kami membencinya. Apalagi memukulnya, seperti niat saya sebelumnya.

***

Ibu, rindu rasanya saya pada masa-masa indah seperti dulu. Semoga masih selalu ada waktu untuk kita mencipta terminal kenangan yang tak kalah indahnya dengan masa lalu. Sungguh, kadang ibu memang cerewet, tapi saya tahu semua itu adalah bahasa kalbu ibu yang selalu menyejukkan hati.

Happy mothers day, mom...

Bayu Gawtama

Wednesday, December 21, 2005

Ayahku, Idolaku

Saya akan senantiasa mengecup kening, pipi dan ubun-ubun kepalanya di pagi, siang, dan malam hari. Sejak ia baru membuka matanya di waktu fajar hingga menjelang menutup mata. Bahkan saya bangunkan ia dengan beberapa kecupan hangat, agar senyum manisnya lah yang membuka paginya. Andai ia tahu, di setiap pertengahan malam saat ia terlelap dibuai mimpi pun akan selalu ada kecupan lembut menghangatinya. Saya lakukan itu agar sampai kapanpun ia takkan pernah lupa, ada sosok penuh cinta yang setiap tuturnya bermakna sayang, dan setiap dengusan nafasnya berarti kasih.

Saya akan menjadi apapun untuknya. Kadang menjadi harimau yang menerjang-nerjang dengan auman keras yang membuatnya berteriak, sesekali menjadi kodok yang melompat-lompat lucu, atau menjadi burung yang hinggap dari satu ranting ke ranting lainnya. Pagi hari menjadi ayam ber-kukuruyuk membelah fajar dan malamnya menjadi bintang-bintang yang menemani tidurnya hingga malam berlalu. Saya tak akan bosan mendongeng untuknya kapan pun, dimana pun, kalau perlu sampai ia bosan. Walau pun saya tahu, sebanyak apapun cerita yang saya dongengkan, ia takkan pernah bosan. Baginya, sayalah pendongeng terhebat di dunia. Yang mampu membuatnya tertawa tergelak dan terkekeh, kadang membuatnya menjerit ketakutan, atau memaksanya mengeluarkan air mata.

Berangkat bersama fafar yang beranjak pergi, pulang dari kantor ditemani lampu jalan dan dinginnya malam. Pekerjaan apa pun rela saya tempuhi untuk sebuah keyakinan ia mendapatkan makanan yang baik, cukup dan halal, setidaknya untuk hari ini. Untuk sebuah harapan agar ia mendapatkan pendidikan yang layak untuk masa depannya. Inilah bentuk pengorbanan yang tak pernah saya meminta balasan apa pun darinya kelak. Bagi seorang Ayah, mendapati senyum si buah hati tetap menghiasi hari-harinya, itu sudah cukup.

Sahabat. Inilah kata yang selalu saya sebutkan kepadanya tentang siapa saya. Saya bukan sekadar Ayah baginya, melainkan sahabat. Saya akan menjadi sahabat terbaiknya, yang menyediakan hati sehamparan bumi dan telinga seluas lautan. Yang akan mendengarkan semua kesahnya dan menampung sebanyak apapun airmatanya. Yang akan bersedia menangis bersamanya saat ia sedih, dan tertawa bersamanya di hari-hari bahagianya. Yang akan senantiasa hadir untuknya kapan pun, dimanapun ia membutuhkan. Dada ini setegar karang di laut yang siap menjadi tambatan kepalanya, dengan segunung persoalan yang dihadapinya.

Dalam setiap sujud dan tengadah jemari, namanya tak pernah alpa terucap. Sepanjang doa yang terlantun, tak pernah sekalipun namanya terlupa. Kepada Allah senantiasa terpinta agar seribu malaikat membimbing setiap jengkal langkahnya, agar sejuta cahaya tak pernah padam menerangi jalannya, dan tak terbilang tangan menjaganya dari jalan yang menyimpang. Tak jarang, airmata ini menetes tak tertahan memandang wajah polosnya, berharap tak banyak dosa yang mengotori perjalanan hidupnya, meminta tak banyak aral melintangi langkah kecilnya, dan tak tersebar onak yang akan menghambat jalannya. Kebahagiaannya, adalah kata kunci dalam setiap pinta saya kepada Allah.

Saya sadar betul, tak patut berharap ia akan membalas cinta seperti yang saya curahkan kepadanya. Apalah lagi menakar-nakar agar ia tahu betapa tak terhitung kasih yang saya berikan kepadanya. Pun tak mungkin saya menuntutnya untuk mengganti semua peluh yang bercucuran untuknya. Tak sedikit pun saya meminta bayaran untuk setiap airmata yang luruh sepanjang hidupnya semenjak kecil. Bukan karena saya tahu ia takkan pernah sanggup membayarnya, tapi sekadar ia tahu bahwa cinta ini begitu tulus, jujur, bersih namun sederhana. Tak ada yang sanggup menggantinya, berapapun yang ditawarkannya.

Sungguh, saya melakukan ini semua demi satu harapan. Kelak sampai kapan pun ia tak perlu mencari figur lain yang ia banggakan, tak sulit untuk menyebut sosok yang ia dambakan kehadirannya, yang ia tangisi kepergiannya. Karena, sampai kapan pun ia akan berkata kepada dunia, “Ayahku, Idolaku”.

Bayu Gawtama
Coretan kecil untuk anak-anak Abi

Tuesday, December 20, 2005

Hidup Tanpa Menuding

Konon, salah satu pekerjaan paling mudah di dunia ini adalah menuding alias menyalahkan orang lain di setiap kegagalan yang terjadi. Pengkambinghitaman orang lain kerap menjadi reaksi pertama setiap kali kita melakukan kesalahan. Terlebih kesalahan itu berefek besar terhadap kepentingan banyak orang. Rupanya, dari hal kecil semacam dapat hasil buruk dalam ujian matematika, hingga urusan keretakan rumah tangga, selalu ada orang lain yang dianggap ikut andil memunculkan masalah tersebut.

Ketika angka 4 yang tertera di atas lembar nilai ujian matematika, guru sering menjadi alamat tudingan, “Gurunya ngajarnya nggak becus” atau “Memang sejak lama guru matematika itu sentimen sama saya”. Sewaktu gagal masuk perguruan tinggi negeri, mudahnya kita berujar, “suasana kelas tidak kondusif dan kotor. Jelas sangat mengganggu konsentrasi”. Saat kita terlambat memberikan bahan laporan yang diminta atasan, padahal batas waktu yang diberikan sudah lewat, komputer menjadi sasaran. “Komputernya error terus pak”. Presentasi yang gagal dan menyebabkan kerjasama dengan pihak lain tidak terealisasi, rekan sekerja pun tertuding, dianggap tidak banyak membantu.

Begitu juga dalam rumah tangga. Soal tuding menuding ini nampaknya sudah lumrah terjadi. Anak kesayangan pulang sambil menangis dan mengaku dipukul teman bermainnya, sang ibu pun mencak-mencak dengan sejuta makian tanpa mau tahu siapa yang salah, dan siapa yang memulai. Bahkan kehancuran mahligai rumah tangga pun tak jarang memunculkan orang ketiga sebagai kambing hitamnya. Padahal bisa jadi, berbagai kekurangan yang terlupa kita tutupi selama bertahun-tahun berumah tangga lah yang sebenarnya menjadi penyebab utama.

Dalam kerja tim pun demikian. Agar terhindar dari penilaian buruk atas prestasi kerja kita, maka partner kerja pun dijadikan alasan kegagalan dalam laporan kepada atasan. Kita lupa, bahwa kesuksesan maupun kegagalan kerja tim, yang dinilai adalah tim itu sendiri, bukan individunya. Kegagalan anggota tim, pasti ada andil pimpinan tim yang menyebabkannya. Dan siapa pun yang menjadi pimpinan tim, harus siap menanggung resiko lebih besar. Bukankah pimpinan tim juga mendapatkan keuntungan lebih besar dari keberhasilan yang dicapai?

Cobalah telusuri lagi setiap permasalahan yang terjadi, pasti ada celah kesalahan yang alpa kita antisipasi dan itu benar-benar murni kesalahan kita. Masalahnya, seringkali mata ini tertutupi oleh rasa kecewa yang begitu besar sehingga tak mampu melihat permasalahan lebih jernih. Kalaulah kita sudah mengantisipasi setiap inci faktor penyebab kesalahan pada diri sendiri, jangan-jangan kita lupa mengingatkan anggota tim lainnya untuk melakukan hal yang sama; Meminimalisir faktor kesalahan.

***

Hidup tanpa menyalahkan atau menuding orang lain di balik kegagalan yang terjadi semestinya dibiasakan. Sejak detik ini, dan mulai dari diri sendiri. Jika kita mampu menerapkannya dalam diri, barulah mengajak anggota keluarga yang lain untuk memulainya. Terus berlanjut ke lingkungan sekitarnya untuk menularkan kebiasaan ini. Duh, indahnya membayangkan sebuah kampung yang berisi orang-orang yang mau berunjuk diri, dan berani mengakui kesalahan tanpa menuding orang lain. Nikmatnya hidup di sebuah negeri yang masyarakatnya berani berdiri paling depan untuk bertanggungjawab atas kegagalan, kekeliruan, dan kealpaan yang terjadi. Tentu teramat bahagia jika kita sendiri yang mau memulainya; hidup tanpa menuding. Pasti bisa.

Bayu Gawtama
yang belajar hidup tanpa menuding

Mobile Social Rescue (MSR) ACT-Aksi Cepat Tanggap

Nurul Hanifah yang menderita gizi buruk, Nur Azizah yang tigabelas tahun tergolek di tempat tidur karena polio, H. Lucky sang mualaf yang miskin dan rumahnya hampir ambruk terkena angin ribut, Ruminah yang nyaris tak tertolong jiwanya karena selama sembilan bulan paru-parunya penuh cairan, nama-nama itu adalah sebagian orang yang telah dibantu ACT-Aksi Cepat Tanggap melalui program Mobile Social Rescue (MSR).

Jauh sebelum nama-nama di atas, telah banyak pula sederet nama lain yang dibantu ACT-Aksi Cepat Tanggap, baik dalam pengobatan langsung ke rumah sakit, advokasi pembuatan kartu Gakin (keluarga miskin) agar mendapatkan keringanan biaya rumah sakit, juga pemberian makanan dan asupan gizi langsung bagi para penderita gizi buruk.

MSR adalah program yang baru-baru ini dimunculkan ACT seiring dengan sering terjadinya masalah-masalah sosial di masyarakat Indonesia, antara lain kesehatan, kemiskinan dan pendidikan. Orang-orang seperti Nurul Hanifah, Nur Azizah, H. Lucky, Ruminah dan lain-lain memang harus dibantu. Karenanya, ACT mengaktifkan Tim ACT Rescue yang ada untuk menjalankan program MSR. Sedianya, Tim ACT Rescue yang dikomandani Eko Yudho ini adalah mereka yang diturunkan ACT ketika dalam fase darurat bencana alam. Yakni untuk membantu evakuasi korban bencana alam.

Bencana sosial tak kalah pentingnya untuk segera ditangani seperti halnya bencana alam. Atas dasar itulah, program MSR ini diaktifkan. Target dan sasaran program untuk sementara masih di wilayah Jabodetabek, karena masalah sosial di wilayah ini pun terbilang sangat banyak dan belum tertangani. “Kalau kita bisa sampai ke Aceh, Papua, dan bahkan luar negeri untuk membantu saudara-saudara kita, kenapa yang dekat tidak kita bantu?” ujar Ahyuddin, Direktur ACT-Aksi Cepat Tanggap soal program MSR ini.

Selain kesiapan tim untuk menjalankan program ini, tentu kami takkan melupakan jasa pihak lain yang ikut melancarkan program MSR. Mereka adalah pelapor kondisi korban, dan yang tak kalah pentingnya adalah para donor yang tak henti membantu ACT. Beberapa orang yang ditangani ACT saat ini cukup terbantu atas sumbangsih para donor tersebut.

Saat ini masih ada Urip, si cacat tubuh yang tak kenal menyerah menjalani kerasnya hidup, atau Rani yang rela berjalan kaki 10 kilometer tanpa uang saku pergi-pulang ke sekolah agar tak memberatkan beban orang tuanya. Pulang sekolah, ia masih harus mencari tambahan uang dengan cara menjadi pembersih mushola sekolahnya. Akan ada banyak lagi yang akan ditangani Tim ACT Rescue lewat program MSR ini, mengingat semakin banyaknya laporan yang masuk ke kantor kami. Partisipasi Anda dalam program ini, tentu akan sangat memperlancar jalannya MSR, dan yang pasti akan semakin banyak orang terbantu.

Mari bersama bantu mereka

ACT-Aksi Cepat Tanggap
Komplek Perkantoran Ciputat Indah Permai Blok B-8
Jl. Ir. H. Juanda No. 50 Ciputat 15419
Telp. +61 21 7414482, Fax. +62 21 7420664
www.aksicepattanggap.com
email: info@aksicepattanggap.com

Contact Person: Bayu Gawtama (0852 190 685 81)
Maya Dwi Lestari (0856 115 4124)

Monday, December 19, 2005

Dalam Kepasrahan Pasti Ada Jalan

“Bang, baru hari kedua saja kita sudah harus bayar 1,5 juta. Bagaimana kalau seminggu? Kita nggak punya uang lagi nih?” Pesan singkat itu masuk ke telepon genggam saya menjelang siang ini. Tentu saja itu SMS dari isteri saya yang tengah menemani Hufha, anak pertama saya yang sedang dirawat di rumah sakit.

Minggu pagi, usai Subuh, isteri saya mendapati sulung kami itu dalam keadaan demam tinggi. Yang membuat panik, di sekujur tubuhnya terdapat bercak-bercak merah. Karuan saja bayangan kami langsung ke penyakit yang sedang ngetop saat ini, demam berdarah. Tak ambil pusing, dan tak peduli nanti biaya dari mana, kami langsung melarikan Hufha ke UGD RS Al-Qadr, Tangerang. Setelah diperiksa dokter dan melalui tes darah, dipastikan bukan DBD, melainkan Tampak. Orang betawi menyebutnya Tampek. Saya tidak tahu apa bedanya dengan Campak, karena sebagian orang pun menyebutnya demikian.

Karena penyakit tersebut menular, dianjurkan dokter agar dirawat di ruang isolasi. Saya pun menyetujuinya, meski saya sempat menangkap mata isteri saya yang masih bingung. Tentu saya tahu apa yang dipikirkannya saat itu, dan perlahan saya berbisik, “ini yang terbaik bagi kesembuhan Hufha, jangan pikirkan soal itu dulu”.

Saya bukannya tak mengerti apa yang dipikirkan isteri. Sampai anak kami masuk ruang perawatan pun, lagi-lagi isteri bertanya soal biaya rumah sakit. Maklum, saya baru saja bekerja setelah pindah dari tempat sebelumnya. Dan di tempat kerja yang baru ini belum ada jaminan asuransi seperti sebelumnya. Saya rasa itulah yang membuat isteri saya sedikit keberatan. “Harus dirawat di rumah sakit ya dok? Nggak bisa kalau di rumah saja?” kalimat itu sempat terucap kepada dokter yang memeriksanya.

Saya hanya patut bersyukur masih memiliki keberanian untuk membawa anak saya ke rumah sakit. Padahal saya banyak tahu tentang orang-orang di sekitar yang bahkan untuk berobat ke klinik pun tak berani, bayangan mereka langsung pada setumpuk uang yang harus mereka bayarkan untuk sebuah nikmat bernama kesehatan. Sebenarnya, bukan cuma keberanian yang saya punya, melainkan ketenangan dan yang pasti kepasrahan kepada Allah. Usaha memang harus tetap dilakukan, tapi terpenting dari usaha itu adalah keikhlasan kita untuk menyerahkan segala urusan kepada Allah. Biarkan Allah campur tangan terhadap semua masalah kita, pasti yang terbaiklah yang dilakukan-Nya. Hasilnya? Jangan pernah meragukan hasil kerja Allah.

Ya, keberanian, ketenangan dan kepasrahan ini pula yang saya miliki sewaktu Hufha masuk rumah sakit Desember tahun lalu akibat Typhus. Yang penting sembuh dulu, soal bayar rumah sakit, dipikirkan selanjutnya. Intinya, kalau pun harus menggadaikan diri untuk kesembuhan orang-orang tercinta, saya akan lakukan. Heroik? Bukan, saya menyebutnya cinta. Cinta yang saya yakini akan berbalas cinta yang sebanding, bahkan lebih.

Pesan singkat isteri saya masuk lagi siang ini, “Gimana? Sudah ada belum uangnya?” Saya tahu dia begitu panik, karena langsung berhadapan dengan tagihan itu. Sedangkan saya, masih sibuk dengan setumpuk pekerjaan yang tak bisa ditinggalkan. Sambil tersenyum saya kirim balasan pesan singkatnya, “Cukup abang saja yang pusing soal itu, yang penting temani saja Hufha dengan senyum ya”.

Lalu SMS kedua saya pun meluncur menyusul pesan sebelumnya, “Dalam kepasrahan, pasti ada jalan. Ingat tahun lalu deh”. Alhamdulillah, pesan singkat itu pun terbalas cepat dengan sebuah ikon ‘smile’.

Bayu Gawtama

Friday, December 16, 2005

Menangislah untuk Yahukimo

Tatapan matanya begitu tajam, sepasang anak dan ibu itu terus membuntuti saya lewat tatapannya. Semakin menjauh saya semakin memicing matanya, seolah tak ingin melepaskan saya yang semakin jauh. Beberapa kali saya menengok ke belakang, masih saja dua pasang mata itu menatap, semakin tajam terasa bahkan. Tapi, jauh di dalam ketajaman matanya itu teramat jelas sejarah panjang tanah tempat tinggalnya yang teramat jauh dari peradaban. Sebuah kampung yang berada di lembah, dengan pegunungan di sekelilingnya. Hanya sebuah pesawat kecil yang mampu menjangkau tempat tinggalnya.

Yahukimo, baru-baru ini namanya terdengar. Sebagian orang masih terpeleset lidahnya karena terbiasa menyebut Yohokama, salah satu kota di Jepang. Tapi Yahukimo bukan di Jepang, ia berada di Indonesia, tepatnya di Papua. Lebih tepat lagi, berada di daerah Jawawijaya. Kabupaten Yahukimo adalah pemekaran dari Kabupaten Jayawijaya. Selain Yahukimo, dua kabupaten lainnya adalah Tolikara dan Pegunungan Bintang. Namun, di banding tiga kabupaten lainnya, Yahukimo lah yang bernasib paling buruk. Dan baru-baru ini, orang Indonesia di berbagai kota baru sadar, ada satu daerah di Papua yang bernama Yahukimo.

Yahukimo mendadak terkenal bukan karena di tanah itu terdapat kandungan emas, seperti halnya Timika. Bukan juga karena di daerah itu tempat kelahiran seorang artis ternama ibukota. Tak ada tambang emas di Yahukimo, pun tak ada artis yang dilahirkan di salah satu dari 34 Distrik yang ada di Kabupaten Yahukimo. Justru, kabar yang membuat Yahukimo begitu terkenal baru-baru ini adalah sebuah kabar memilukan, puluhan orang diduga mati kelaparan.

Miris mendengarnya. Tentu saja. Karena Yahukimo bukan di Ethiopia, bukan pula di negara lain yang menjadi langganan bencana kelaparan. Tapi Yahukimo masih berbendera Indonesia dan berbahasa yang sama dengan orang Jakarta. Suku-suku di Papua memang berbeda bahasa, namun justru yang menyatukan mereka adalah bahasa Indonesia. Bahasa negara yang menjadi tumpuan mereka, agar nasib mereka setidaknya tak jauh berbeda dengan orang-orang di Jakarta.

Saya dan Eko Yudho, Tim Aksi Cepat Tanggap (ACT) yang langsung dikirim begitu kabar pilu itu menyeruak, tak kuasa menahan tangis tatkala melihat langsung kondisi masyarakat Distrik Holuwon, salah satu distrik di Kabupaten Yahukimo. Siburuh, begitu sebutan mereka untuk umbi-umbian yang menjadi makanan utama masyarakat Yahukimo. Tak ada lagi siburuh untuk dimakan, adalah hujan lebat yang terus menerus mengguyur tanah mereka sejak Mei 2005, menyebabkan warga gagal panen. Siburuh yang mereka tanam, tumbuh tanpa isi dan lembek. Akibatnya, tak satu pun yang bisa dimakan. Alternatif makanan mereka saat ini adalah buah merah, yang bagi sebagian orang Jakarta dijadikan obat yang lumayan mahal harganya.

Menurut catatan Kepala Pos Distrik Holuwon, Bernard Yahole, 25 orang sudah meninggal akibat kelaparan di Distriknya. Distrik Holuwon dihuni oleh 8975 penduduk yang tersebar di 15 Kampung. Mereka yang meninggal terdiri dari anak-anak dan orang dewasa. Meski Bernard secara tegas bahwa 25 warganya memang meninggal akibat kelaparan. Mungkin tidak serta merta seluruhnya meninggal akibat kelaparan, bisa jadi sebagian mereka meninggal karena sakit. Bernard pun menjelaskan, bahwa di distriknya bukan hanya bencana kelaparan yang tengah terjadi, ditambah wabah penyakit. Selain Malaria yang sudah menjadi endemi di Papua, diare, penyakit pernafasan dan juga penyakit yang disebabkan oleh bakteri amoeba pun menyerang warga Holuwon. Sangat mungkin, mereka yang awalnya kelaparan, sangat mudah terserang penyakit lantaran daya tahan tubuh mereka melemah. Kemudian, ajal pun siap menjemput.

Tragis memang. Puluhan orang harus mati kelaparan. Mereka meninggal sebagai warga negara Indonesia. Sementara para pejabat Kabupaten Yahukimo, justru lebih banyak berada di kota, bahkan lebih sering ke Jakarta. Wajarlah, bila orang yang kelaparan hingga mati di wilayahnya tak pernah terdeteksi. Dan terperanjatlah mereka setelah tahu ada warganya yang mati. Mati kelaparan.

Menangiskah kita untuk Yahukimo? Atau berita kelaparan Yahukimo sekadar menjadi berita hangat peneman teh panas di pagi hari kita, tanpa ada tangan terhulur untuk mereka. Ah, jangan-jangan kita begitu mudah berujar, "Itu sudah menjadi tugas pemerintah".

Saya benar-benar masih terus terbayang wajah sepasang anak dan ibu itu. Tatapan matanya tajam, tapi kosong. Sekosong perut mereka pastinya.

Bayu Gawtama

Friday, December 09, 2005

Musibah Kelaparan di Hari Ketahanan Pangan Nasional, Gaw Terbang ke Papua

Ironis. Sekaligus mengejutkan. Negeri gemah ripah loh jinawi seperti Indonesia harus mengalami musibah kelaparan, bahkan telah memakan korban jiwa hingga 55 orang. Papua, pulau terjauh dari pusat pemerintahan Indonesia menggemparkan dengan berita terbarunya. 55 orang meninggal dan 112 orang sakit berat di Kabupaten Yahokimo, Papua, akibat kelaparan.

Bahkan, berita yang dilansir di beberapa media hari ini, bencana kelaparan terjadi di tujuh distrik dan 10 pos pemerintahan di Kabupaten Yahokimo, Papua, sejak 11 November 2005. Sekitar 55.000 penduduk di tujuh distrik itu kehabisan makanan umbi-umbian karena terlambar menanam. Daerah pemekaran dari Kabupaten Jayawijaya ini hanya dapat dijangkau dengan pesawat terbang.

Kejadian ini sungguh sebuah ironi di negeri ini, bukan hanya karena Indonesia terkenal sebagai negeri subur dengan sumber daya alam yang berlimpah, tetapi karena musibah ini terjadi bertepatan dengan Hari Ketahanan Pangan Nasional.

Akibat bencana ini, dua relawan Aksi Cepat Tanggap (ACT), Bayu Gawtama dan Eko Yudho, Sabtu malam (10/12) direncanakan terbang ke Yahokima guna memberikan bantuan makanan dan obat-obatan. “kami berharap, ini menjadi perhatian serius pemerintah. Musibah yang sampai luput dari perhatian pemerintah ini harus segera ditangani. Dan kami berusaha membantu semampunya, tentu dengan bantuan dari berbagai elemen masyarakat, “ ujar Ahyuddin, Direktur ACT.

Seperti biasanya, aksi ACT akan sangat memanfaatkan sumber daya lokal yang ada, baik relawan maupun dalam pengadaan bahan bantuan. ACT hanya membawa sejumlah uang untuk kemudian membelanjakan bahan makanan dan obat-obatan di Papua sebagai bagian dari upaya pemberdayaan masyarakat lokal.

Diharapkan, keberangkatan relawan ACT ke Papua ini juga mendapatkan sokongan dari seluruh elemen masyarakat di Indonesia, kalau perlu dunia internasional. Agar lebih banyak bantuan yang tersampaikan untuk saudara-saudara kita di Papua. (Bayu Gawtama)

Bantuan bisa disalurkan melalui
Rekening kemanusiaan ACT:

BCA 676 0 30 31 33
Mandiri 128 000 4555 808
BSM 004 011 9999
Muamalat 304 0022 915

Informasi : Maya Dwi Lestari
021-7414482

Thursday, December 08, 2005

Dosa Kala Derita

Dua hari ini dua anggota keluarga saya sakit. Hari pertama isteri saya demam disertai panas tinggi. Setelah panasnya mereda, sehari kemudian giliran anak pertama saya yang terserang demam, panas dan batuk. Dan dalam dua hari itu pula, saya mengantar ke dokter yang sama, dokter yang sudah menjadi langganan keluarga kami. Seperti saat berobat sebelumnya, saya selalu meminta kwitansi pengobatan karena biasanya akan mendapat penggantian dari kantor.

Yang menarik, setiap kali hendak menuliskan nominal yang akan tertera di kwitansi, petugas klinik selalu bertanya, “mau ditulis berapa di kwitansinya?”. Meski dia sudah tahu jawaban saya selalu sama, “sesuai yang saya keluarkan”. Rupanya, petugas itu sebenarnya sudah tahu akan jawaban saya itu, namun ia hanya ingin tahu apakah saya akan berubah atau tetap pada pendirian saya. Bahwa saya tidak akan melebihkan bahkan satu sen pun nominal yang tertera di kwitansi untuk mendapatkan keuntungan. Ketika mendapat jawaban yang sama, wanita berusia limapuluh tahunan itu berujar, “alhamdulillah masih lurus…”

Kesempatan berbuat dosa ternyata selalu terbuka di mana pun dan kapan pun, termasuk disaat kita menderita. Saat kita sakit, atau anggota keluarga sakit, kesempatan itu datang dengan cara seperti yang saya ceritakan di atas. Melalui kwitansi rumah sakit atau klinik, kita bisa saja mencantumkan nominal yang lebih dari sudah kita bayarkan. Kesempatan itu selalu saja ada dan bahkan ditawarkan, seperti yang selalu saya alami. Mungkin seandainya saya mengambil kesempatan itu dan meminta petugas klinik menuliskan nominalnya dua kali lipat dari yang saya bayarkan, kantor akan menggantinya tanpa banyak bertanya. Tetapi, apakah semudah itu saya menyebut angka yang saya inginkan? Akankah terasa ringan tangan saya saat menerima uang pengganti berobat dari kantor dalam jumlah yang tak sesuai?

Saya terus berpikir, seandainya saya mengambil kesempatan itu dan terus menerus mengulanginya setiap kali meminta kwitansi berobat. Dua kesalahan, kalau tidak bisa dibilang dosa, langsung tercipta secara bersamaan. Pertama, berdusta dengan nilai nominal yang tak semestinya. Kedua, merugikan perusahaan yang menurut saya masuk dalam kategori korupsi. Lantas, apa bedanya kita dengan para koruptor? Perbuatannya sama-sama memanipulasi angka-angka dan sama-sama merugikan perusahaan. Meski nilainya berbeda, namanya tetap sama; korupsi.

Tidak selesai sampai di dua kesalahan itu, perbuatan itu juga akan berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap diri ini. Pertama, jelas-jelas kita akan dimintai pertanggungjawabannya kelak oleh Allah. Kedua, karena Allah tidak suka dengan perbuatan kita, jangan-jangan Sang Maha Penyembuh itu tak berkenan memberikan kesembuhan. Tentu ini lebih mengerikan, karena dengan semakin seringnya anggota keluarga kita sakit lantaran tak sembuh-sembuh, jangan-jangan kita semakin sering memanfaatkan kesempatan ini secara terus menerus untuk memanipulasi angka.

Semestinya kita bersyukur, setiap kali sakit atau anggota keluarga yang sakit, masih ada biaya untuk ke dokter. Apakah pantas rasa syukur itu diwujudkan dengan cara memanipulasi nominal dalam kwitansi berobat kita? Di saat yang sama, di luar kita teramat banyak orang-orang bernasib tak seberuntung kita membiarkan penyakitnya terus menggerogoti tubuhnya lantaran tak ada biaya untuk ke dokter. Tak sedikit yang harus menahan sakitnya hingga maut menjemput, lagi-lagi biaya menjadi kendala. Banyak anak-anak yang bertahun-tahun tergolek di tempat tidur, sementara orangtuanya tak mampu berbuat apa pun untuk kesembuhan si buah hati.

Sedangkan kita? Jangankan bersyukur, justru kita melakukan dosa di saat Allah menegur kita dengan sakit. Kwitansi itu hanya selembar kertas. Namun jika tertera nominal yang dimanipulasi di atasnya, selembar kertas itu akan membuat repot urusan kita di hadapan Allah kelak.

Bayu Gawtama

Wednesday, December 07, 2005

H. Zacky, Potret Keluarga Miskin di Pinggiran Jakarta

Tidak kuasa kami menahan haru menyaksikan kondisi Sebuah rumah yang hampir roboh, dindingnya yang terbuat dari bata putih sudah berangsur condong, atapnya dari asbes bekas sudah porak poranda akibat terpaan angin ribut disertai hujan, yang melanda desa Bedahan Sawangan depok pada hari Rabu 30 November 2005. Rumah dengan bangunan seluas 50 meter persegi dibangun di atas tanah seluas 50 meter persegi itu dihuni oleh H. Zacky Tamam Muslim (57 tahun) bersama sang istri, Hindun (44 tahun) dan enam orang anaknya. Dalam rumah itu juga terdapat dua mantu serta dua cucunya. Berarti rumah yang nyaris roboh tersebut dihuni 3 keluarga dengan 12 jiwa. Mereka hidup tanpa listrik dan tidur beralaskan tikar, seluruh anggota keluarga lebih banyak berpuasa meski diluar bulan Ramadhan.

H. Zakcy yang sebelumnya bernama Lucky Lucas Polhaupessy adalah seorang mualaf yang mengucapkan syahadat pada tahun 1995. Gelar Haji yang dimilikinya adalah hadiah dari Departemen Agama yang memberangkatkannya ke Tanah Suci pada tahun 1997. Keinginannya yang kuat untuk menimba ilmu dan wawasan keislaman salah satunya dilakukan dengan melakukan perjalanan Jihad Muhibah pada tahun 1999 yaitu melakukan berjalan kaki ke seluruh wilayah Indonesia.

Profesi H. Zacky adalah guru privat Bahasa Inggris dan pengrajin maket miniatur menara dari bahan bambu. Setelah krisis moneter tahun 1998, usaha kerajinan tangan mulai suram apalagi setahun yang lalu sang istri menderita sakit stroke memerlukan biaya yang besar, sehingga modal usahanya terpakai untuk membiayai pengobatan istrinya. Demikian pula kegiatan mengajar sebagai guru privat juga sudah mulai berkurang karena biaya transportasi yang mahal akibat kenaikan BBM. Kini mobilitasnya jauh menurun, kalaupun mengajar, sang guru privat ini harus berjalan kaki dari Sawangan ke tempat ia mengajar, antara lain di Jakarta dan di Bogor. Untuk kembali menggerakkan roda ekonomi keluarga, H. Zacky sangat membutuhkan modal usaha. Sebenarnya usaha kerajinan membuat miniatur menara ini banyak pesanan dari beberapa pihak. Saat ini ada permintaan pembiatan miniature rumah adat dan menara yang belum terselesaikan akibat tidak adanya dana.

Hindun, sang istri, pernah menjadi kepala dapur Pesantren Al-Awwabin yang berada di depan rumahnya. Namun setahun yang lalu ia tak lagi bekerja di pesantren tersebut karena penyakit stroke yang dideritanya. Kini Hindun lebih banyak di rumah dan tidak bisa melakukan kegiatan untuk menopang ekonomi keluarganya. Hingga hari ini, Hindun masih perlu perawatan intensif untuk penyakitnya itu. Namun, ketiadaan biaya membuatnya lebih banyak pasrah menerima nasib.

Meski terhimpit ekonominya, namun untuk pendidikan anaknya, H. Zacky sangat memberi perhatian dan berharap kelak anaknya yang masih sekolah dapat membahagiakan orang tuanya di kemudian hari. Upaya ini terlihat dari anak ke tiganya yang masih duduk di bangku SMA kelas 2, mendapatkan beasiswa karena prestasinya dan keahliannya melukis. Tidak selayaknya anak usia SMA yang lain, anak gadis H. Zacky ini juga harus berjuang untuk meringankan orang tuannya. Ia berangkat dan pergi ke sekolah dengan berjalan kaki yang jaraknya lebih dari 5 kilometer. Setelah jam pelajaran sekolah usai, ia tidak langsung pulang, tetapi membantu membersihkan dan merapikan musholla yang berada di lingkungan sekolah. Oleh pengurus mushollah, ia diberi uang jajan dan untuk membeli peralatan sekolah.

1 Desember 2005, di bawah terik matahari dengan berjalan kaki dari rumahnya, H. Zacky menuju kantor ACT yang berjarak lebih dari 25 Km. Lelaki itu berharap ada pihak yang dapat meringankan beban hidupnya. Di kantor ACT, ia diterima oleh staf komunikasi untuk selanjutnya berkas diteruskan ke ACT Rescue di bawah Divisi Program. Dari penuturan H. Zacky dan kesimpulan diskusi Divisi Program, berselang satu hari, Tim ACT Rescue meluncur menuju kediaman H. Zacky untuk melakukan verifikasi dan validasi data. Setelah melihat langsung kondisi rumah dan keluarganya, tak kuasa kami menahan air mata. Tak layak kami menyebut rumah itu sebagai tempat tinggal. Atapnya tinggal seperempat bagian, dindingnya nyaris roboh, lantaran pernah ditabrak mobil. Apabila hujan turun, semua anggota keluarga harus mengungsi sebab kamar dan ruang tamu banjir. Mengingat kondisi rumah yang sudah sangat tidak layak huni, yang sewaktu-waktu rumah tersebut roboh dan dapat mengakibatkan jatuhnya korban. Kadang saat hujan deras, mereka lebih memilih berbasah kuyup kedinginan karena khawatir rumah mereka roboh.

Tim ACT Rescue segera merencanakan untuk melakukan tindakan emergency secepatnya. Yaitu membangun kembali bagian atap rumah dan memasang slope untuk memperkuat rangka penyangga atap.

3 Desember 2005, sepuluh anggota Tim ACT Rescue beraksi bergotong royong membangun atap rumah H. Zacky. Sebagian dana yang diterima ACT dari para donatur, kami pergunakan untuk membangun rumah tersebut. Saat ini, kami masih menerima beberapa sumbangan untuk keluarga H. Zacky.

Meski H. Zakcy dan keluarga kini dapat berlindung dari air hujan, namun ia masih berharap ada pihak yang dapat meringankan beban hidupnya. (Eko Yudho)

Bayu Gawtama
Communication Team
Aksi Cepat Tanggap (ACT)
021-7414482
0852 190 68581

Friday, December 02, 2005

Tiga Belas Tahun Tergolek di Tempat Tidur, Nur Azizah yang Terlupakan

Seolah tak percaya, saat melihat kondisi Nur Azizah, seorang gadis
berusia 13 tahun tergolek lemas tak berdaya di tempat tidur. Gadis
bertubuh kurus dengan berat badan yang tidak sampai 20 kg itu
menderita kelumpuhan sejak usia 6 bulan setelah mendapatkan
imunisasi. Sapri, 40 tahun, ayah Nur Azizah, hanya bisa pasrah dengan kondisi anaknya. Lelaki yang sehari-hari bekerja sebagai buruh
bangunan dengan penghasilan yang tak menentu itu mengaku tak memiliki cukup uang untuk biaya berobat Nur Azizah. "Untuk kebutuhan pokok sehari-hari pun, penghasilan saya belum bisa dibilang cukup. Dari mana uang untuk biaya rumah sakit?" tanyanya penuh harap.

Di tepi keputusasaannya, Kholis, 37 tahun, sang ibunda masih menyimpan secercah harapan kelak anaknya akan membaik kondisinya. Namun dengan kondisi ekonomi keluarga yang sangat terbatas, Kholis hanya bisa pasrah dan berdoa untuk kesembuhan buah hatinya itu.

Nur Azizah, puteri kedua dari tiga bersaudara, yang tinggal di Kampung Pugur, Desa Lengkong Kulon, Kecamatan Pagedangan, Kabupaten Tangerang itu, hanya bisa menggerakkan wajahnya untuk berinteraksi dengan orang di sekitarnya. Anak-anak seusianya, umumnya sudah duduk di bangku kelas satu SLTP. Tidak demikian dengan Nur Azizah, gadis malang itu harus terus menerus tergolek di tempat tidur selama 13. Praktis, seluruh aktivitas hidupnya, seperti mandi, makan, minum, sangat bergantung kepada ibunya.

Sebenarnya, kondisi Nur Azizah pernah diketahui oleh aparat desa bahkan para pejabat di Kecamatan Pagedangan. Bahkan pada saat pemerintah setempat tengah giat menangani kasus polio, Kholis dan anaknya diminta datang ke Kecamatan untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut. Kedatangan Kholis yang membawa anaknya itu disaksikan
juga oleh aparat MUSPIKA (Musyawarah Pimpinan Kecamatan). Terbersit kegembiraan di wajah Kholis membayangkan anaknya dapat segera sembuh. Apalagi ketika ia mendapatkan kartu Gakin (keluarga miskin) dan rekomendasi dari kecamatan untuk berobat gratis ke RSUD Tangerang.

Berbekal kartu Gakin dan surat keterangan dari Kepala Desa, Kholis memapah anaknya dan menumpang angkutan umum menuju RSUD Tangerang. Wanita yang sehari-harinya hanya menjaga dan melayani Nur Azizah itu berpikir seluruh biaya pengobatan anaknya akan benar-benar gratis. Akan tetapi, setelah diperiksa oleh dokter RSUD, Kholis diminta membawa Nur Azizah untuk dilakukan scanning pada bagian kepalanya di rumah sakit lain. Ditambah, ia pun harus menebus beberapa resep obat di apotik. Tak sepeser pun uang di kantongnya untuk biaya scanning dan resep obat. Maka sejak itu, Kholis tak lagi membawa Nur Azizah ke rumah sakit.

7 Oktober 2005, Absor, relawan ACT dari Kecamatan Pagedangan, melaporkan kepada ACT perihal kondisi Nurul Azizah. Dari laporan tersebut, Sabtu, 8 Oktober 2005, Eko Yudho, Koordinator ACT Rescue didampingi Absor, segera meluncur menuju rumah keluarga Nur Azizah.

Binar mata Kholis tak mampu menyembunyikan kesedihannya saat menuturkan kisah perjalanan anak kedua yang dicintainya itu kepada Tim ACT. Tak berapa lama, Kholis pun tak mampu lagi membendung tangisnya. Kehadiran Tim ACT baginya, seperti doa yang terijabah. Sebab, usai sholat Maghrib sehari sebelumnya, Kholis berdo'a untuk kesembuhan Nur Azizah, juga agar dirinya diberi kesabaran dalam menjalani ujian dalam kehidupan ini.

Untuk membangun kembali rasa optimisme ibunda Nur Azizah, Tim ACT memberikan semangat dan motivasi agar tidak berputus asa dalam mengupayakan kesembuhan anaknya. Disamping memberikan bantuan biaya transportasi untuk berobat ke rumah sakit, Tim ACT juga secara paralel melakukan advokasi agar hak Nur Azizah sebagai anggota masyarakat yang tidak mampu mendapatkan pengobatan secara gratis dari pemerintah.

Seolah terbayang harapan cerah membentang di depan, Kholis kembali bersemangat untuk membawa Nur Azizah berobat. Ternyata pada saat akan ke rumah sakit, masa berlaku kartu Gakin sudah habis. Kholis pun segera mengurus kembali di Kantor Desa Lengkong Kulon. Namun, pengurusan kartu Gakin tersebut seperti dipersulit oleh salah seorang staf Kepala Desa. Kholis menangis di kantor Kepala Desa, mengiba agar dibuatkan surat keterangan untuk memperoleh kartu Gakin. Alhamdulillah, setelah sempat bersitegang dengan staf Kepala Desa itu, akhirnya Kholis mendapatkan kartu Gakin tersebut.

Namun, lagi-lagi Kholis harus tetap mengeluarkan sejumlah uang untuk menebus beberapa resep obat di apotik, karena obat dimaksud tidak tersedia di rumah sakit. Bisa dibayangkan, sambil berpuasa ibu Kholis memapah anaknya menuju rumah sakit dengan menumpang angkutan umum. Untuk sampai ke rumah sakit, ibu dan anak itu harus berganti kendaraan dua kali.

Sabtu, 29 Oktober 2005, empat hari sebelum lebaran, kembali Tim ACT mendatangi rumah Nur Azizah untuk memantau perkembangan kesehatannya. Puji Syukur bagi Allah, kondisi Nur Azizah tampak membaik, ia menyambut kami dengan senyuman dan lambaian tangan. Padahal sebelumnya, gadis itu tak mampu, bahkan untuk sekadar mengepalkan tangannya. Kini, Nur Azizah sudah sudah mampu menggenggam sesuatu.

Sebelumnya, Nur Azizah yang hanya tergolek di tempat tidur, kini ia sudah bisa merayap di lantai dan menggerakkan sedikit demi sedikit kakinya untuk berpindah. Melihat perkembangan kondisi Nur Azizah yang menggembirakan ini, Tim ACT memberikan bantuan makanan bergizi berupa susu bubuk instan untuk penguatan tulang dan pertumbuhan.

Untuk kelanjutan pengobatan anaknya, Kholis masih mengeluhkan ongkos transportasi ke rumah sakit yang semakin mahal, terlebih setelah kenaikan harga BBM. Perlu diketahui, keluarga Nur Azizah tidak terdaftar untuk mendapatkan Bantuan Tunai Langsung (BTL) kompensasi kenaikan BBM. Kholis berharap masih ada yang peduli untuk meringankan kesulitan hidupnya.

Ketika kasus polio menjadi kasus nasional, seluruh perhatian pemerintah di bidang kesehatan dan masyarakat tertuju kepada para korban penderita polio. Bahkan berita tentang penderita polio ini mendominasi sebagian besar media massa. Namun seiring berjalannya waktu, kasus polio ini mulai berangsur-angsur hilang dari pemberitaan dan pembicaraan. Menyusul kasus penyakit lainnya yang melanda negeri ini. Bisa jadi, kasus polio ini pun dilupakan. Berapa banyak anak-anak yang bernasib sama dengan Nur Azizah?

Gaung pengobatan gratis di tingkat implementasi belum menjadi kenyataan. Namun kita sebagai anggota masyarakat tidak boleh hanya menyalahkan keadaan.. Harus ada tindakan nyata untuk meringankan penderitaan saudara-saudara kita yang nasibnya belum beruntung.

Ingat, bisa jadi, rezeki kita saat ini karena doa mereka. Orang-orang yang pernah kita bantu. (Eko Yudho P)

Bayu Gawtama
Communication Team
Aksi Cepat Tanggap (ACT)
021-7414482
0852 190 68581

Thursday, December 01, 2005

Adakah yang Akan Membantunya?

“Saya tak mau menjual akidah untuk uang 70 juta rupiah,” lirih Lucky saat menceritakan satu kisah di tahun 1999. Saat itu, ia terhimpit kesulitan keuangan dan tak tahu lagi kemana harus mencari pinjaman. Tetangganya yang mayoritas muslim di kawasan tempat tinggalnya seperti hidup sendiri-sendiri, seolah tak pernah tahu keadaan sekeliling. Selain juga karena Lucky tak biasa meminta atau meminjam uang. Saat itu, salah satu anak gadisnya yang hendak melahirkan mengalami pendarahan hebat. Pihak rumah sakit meminta uang 1 juta rupiah untuk biaya pengobatan ibu dan calon anak itu agar selamat. Pikirannya pun buntu, yang dituju hanyalah sebuah rumah di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Sampai di rumah itu, ia langsung disodorkan amplop berisi ung 70 juta rupiah. Tak hanya itu, jika merasa kurang orang-orang di rumah itu pun menawarkan sejumlah cek yang siap ditandatangani hari itu juga dan esoknya bisa dicairkan. Bukan tanpa syarat, karena Lucky harus menandatangani selembar perjanjian. Mengetahui bahwa surat dimaksud berisi pernyataan bahwa ia harus kembali ke agama asal, urunglah ia mengambil 70 juta rupiah itu dan pulang dengan tangan hampa. “Yang saya butuhkan hanya 1 juta, untuk biaya rumah sakit,” ujarnya.

Itulah sepenggal kisah H. Lucky Lucas Polhaupessy, lelaki kelahiran Ambon, 26 Juni 1948, yang siang itu mampir ke kantor Aksi Cepat Tanggap (ACT) mengadukan soal rumahnya yang hancur terkena angin ribut, Rabu, 30 November 2005, sekitar pukul 11.30 WIB. Saat kejadian, ia sedang di luar rumah untuk mencari sesuap nasi. Memang tidak ada hujan hari itu, hanya angin besar yang terjangannya mampu merusak atap bagian dapur dan kamar mandi yang terbuat dari asbes model lama yang lebar. Rumah seluas 50 meter persegi itu ditempati duabelas kepala, terdiri dari Lucky beserta isteri dan anak menantunya.

Rumah kecil yang tak berplester itu kini dibiarkan dengan bagian dapur dan kamar mandi yang terbuka. Bisa dibilang, jika turun hujan rumahnya bukan lagi kebocoran, lebih pantas disebut kehujanan. “Untuk menadah air hujan di dapur, saya pakai terpal plastik. Ada yang ngasih,” terang Ayah enam anak itu. Berangkat dari rumahnya di daerah Sawangan, Depok, pukul 09.00, ia berjalan kaki menuju kantor ACT di Ciputat, Tangerang. Tiba di kantor ACT hampir pukul 13.00 WIB. Ia mengaku lebih memilih berjalan kaki untuk menghemat uangnya. “buat makan sehari-hari saja sudah pas-pasan,” tambahnya.

H. Lucky Lucas Polhaupessy, asal Pulau Tuhaha, Ambon, sebenarnya bukan lelaki sembarangan. Butuh perjuangan berat baginya ketika harus memilih jalan hidupnya sebagai muslim. Sebelumnya, saat masih beragama non muslim, ia terbilang orang berekonomi plus, punya rumah bagus dan kendaraan. Sejak tahun 1989, ia mulai tertarik untuk mempelajari agama Islam. Ia makin serius mempelajari Islam hingga akhirnya memutuskan untuk memeluk agama Islam dan membawa serta seluruh keluarga ke dalam Islam pada tahun 1995.

Bukan perkara enteng bagi Lucky dan keluarganya memutuskan berislam. Tahun 1994, ia dan keluarganya sudah memantapkan hati untuk memeluk agama Islam, tapi secara materi mereka belum siap. Butuh waktu lama bagi keluarga itu untuk memutuskan dan mantap menerima resiko terbesar ketika memeluk agama Islam. “Waktu itu saya bilang kepada isteri dan anak-anak, kalau kita masuk Islam, harus bersiap-siap kalau suatu saat harus tinggal di kolong jembatan atau emperan toko,” tuturnya.

Ya, keluarga Lucky di Ambon bukan sembarang keluarga. Ayahnya adalah kepala suku Pulau Tuhaha, Ambon. Darah ‘ningrat’ yang dimilikinya membuatnya mendapat kesempatan untuk hidup mewah dan berkecukupan di Jakarta. Kemewahan dan kecukupan inilah yang harus rela ditinggalkannya ketika memutuskan berpindah agama. “Istilahnya, saya ini terkena hukum adat. Semua harta kekayaan saya disita oleh adat. Bahkan nama saya pun mungkin sudah dicoret dari daftar hak waris dan silsilah keluarga di Tuhaha,” tandasnya. Meski demikian, malu-malu ia mengakui bahwa hingga detik ini ia masih diharapkan kembali ke Tuhaha, dan kembali ke agama semula.

Tahun 1995, akhirnya ia dan seluruh keluarga merasa mantap untuk memeluk Islam dengan segala konsekuensinya. Dan memang benar, Lucky yang kemudian berganti nama menjadi H. Zacky Tamam Muslim itu harus tersingkir dari rumah mewahnya di Kebayoran. Sebelumnya mereka juga pernah menempati rumah besar di daerah Senen, Jakarta Pusat. Mereka sekeluarga pun menempati rumah petak kontrakan di Pondok Kopi, Jakarta Timur. Sempat berpindah kontrakan di beberapa tempat di Jakarta Timur, sampai akhirnya ia menempati rumah kecil di Sawangan. Rumah yang saat ini ditempatinya.

Ia dan keluarganya mengucapkan syahadat di Masjid Istiqlal, dibimbing KH. Hasan Basri (alm). Dua tahun kemudian, 1997, ia mendapatkan kesempatan pergi ke tanah suci bersama rombongan amirul mukminin kala itu, Pak Habibie. Lucky pun bimbang, ia sempat bertanya apakah kesempatan itu bisa diuangkan saja mengingat kondisi keluarganya yang memprihatinkan. Tapi, kesempatan itu tidak bisa diuangkan. Akhirnya, atas kesepakatan keluarga, ia pun berangkat menunaikan rukun Islam kelima itu. Tentu saja dengan gundah hati memikirkan keluarga di tanah air. ”pernah kami bertahan berminggu-minggu hanya dengan sebungkus mie. Tetangga tak ada yang tahu apakah kami makan atau tidak hari itu,” akunya.

Sejak memeluk agama Islam, perekonomian keluarganya berubah 180 derajat. Jangankan kendaraan, rumah pun seadanya. Bahkan saat ini sudah dalam keadaan setengah rusak akibat terjangan angin ribut hari Kamis, 30 November 2005 lalu. Kini, sehari-harinya ia mengandalkan penghasilan dari usaha kecil-kecilan berupa seni kerajinan bambu. Sedikit keahliannya membuat menara-menara kecil (miniatur) dari bambu itulah yang menjadi sandaran hidup keluarganya kini. “tapi sekarang lagi sepi order. Tidak ada pesanan,” keluhnya.

Kedatangannya ke kantor ACT, untuk meminta bantuan bahan bangunan agar rumahnya bisa diperbaiki kembali. Selain itu, ia juga berharap rumahnya lebih layak dihuni. Ingin sekali kami sampaikan kepadanya, bahwa kami hanya lembaga sosial yang tak mampu berbuat banyak. Tapi kami tak ingin membuatnya kecewa yang telah datang jauh menempuh empat jam berjalan kaki dari rumahnya hanya dengan jawaban, “Maaf, kami tak dapat membantu.” Kami yakinkan kepadanya, masih banyak saudara-saudara muslim yang akan membantunya. Insya Allah.

Lucky tersenyum, ia merasa mendapatkan energi baru. Sebaris kata mengakhiri obrolan kami, “bantu juga keluarga kami dengan doa, agar tetap bertahan sebagai mukmin”.

(tulisan ini tak bermaksud apa pun untuk kalangan/agama tertentu. Kami hanya ingin mengetuk kepedulian saudara-saudara kami sesama muslim).
Bantuan bisa disalurkan melalui rekening:
BCA 676 0 30 31 33
Bank Mandiri 128 000 4555 808
BSM 004 011 9999
Muamalat 304 0022 915
Info: 0812 969 0183 (Fatimah Noer)

Bayu Gawtama
Communication Team
Aksi Cepat Tanggap (ACT)
0217414482
0852 190 68581