Anak Betawi yang Keliling Dunia Lewat Blog

Kate siape anak Betawi kagak bise maju? siape kate anak Betawi pade males dan banyak nyang jadi pengangguran? Bukan maksud nyombong atawe unjuk gigi, aye cuma ngasih tau kalo kagak semue anak Betawi kayak nyang ente kire...

Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...

Friday, April 29, 2005

Jika Hari Ini Saya Mati...

"Kalau bukan hari ini, mungkin besok. Tapi datangnya sudah pasti... benarkah hari ini?" saya terus bertanya-tanya selepas subuh tadi, dan terus bertanya ketika di perjalanan hingga tiba di kantor. Tapi jika memang betul waktunya tiba hari ini, jika saat yang tak pernah benar-benar dinanti oleh siapa pun itu menjumpai saya hari ini, sungguh celakalah saya.

Semalam saya tak terjaga untuk menangis sejadinya atas semua kekhilafan dan memohonkan ampun kepada-Nya. Padahal saya sungguh sadar Dia selalu menunggu kapan pun saya mau menganaksembahkan semua sesal sepanjang hidup. Saya terlalu sering lupa berlutut serendah-rendahnya di hadapan-Nya, padahal saya sadar Dia senantiasa menghulurkan tangan-Nya untuk hamba yang nista ini.

Kemarin saya masih berselisih lidah dengan teman sekantor dan belum sempat meminta maaf, sebelumnya saya sempat berpandangan tak ramah dengan tetangga, juga belum sempat memperbaikinya. Saya juga belum sempat menelepon seorang kerabat yang kemarin seharian menunggu kehadiran keluarga saya. Mungkin ia telah menyiapkan penganan kecil yang tak boleh disentuh anak-anaknya sebelum kami datang. Saya dan keluarga tak datang tanpa kabar, sementara kering sudah air mata anak-anak kerabat saya berharap kue yang tak tersentuh hingga pagi.

Semalam saya terlalu ego dengan rasa lelah saya, bekerja keras seharian di kantor membuat badan terasa berat hingga tiba di rumah langsung merebahkan diri. Tak lagi saya pedulikan wajah-wajah kecil yang sejak sore menunggu kepulangan saya berharap laki-laki besar ini menemani mereka bermain atau melihat bintang. Saya tetap terlelap lelah meski tangan-tangan kecil mereka menarik-narik lengan saya agar bangun. Padahal pinta mereka cuma satu; dongeng pengantar tidur seperti malam-malam sebelumnya.

Saya juga masih merasa bersalah semalam melewatkan komunikasi dengan isteri. Bisa jadi sejak siang ia menunggu saat malam untuk bisa mencurahkan semua beban dan membaginya kepada saya. Tapi saat yang dinanti tiba, saya justru terlelap dan sudah pasti ia tak ingin mengganggu saya. Pagi harinya, hanya kata maaf untuk semalam. Namun saya belum memastikan keikhlasannya.

Duhai Allah, saya tak ingin meninggalkan beban untuk isteri dan anak-anak berupa dering telepon dari orang-orang yang menagih pinjaman sepeninggal saya. Sungguh, malam ini saya masih ingin melihat senyum-senyum kecil bidadari di rumah saat saya berdongeng putri bergaun merah muda dengan kereta kencana. Terlihat bening matanya menerawang seolah merekalah sang puteri nan cantik itu. Setidaknya, saya tak ingin meninggalkan isteri saya dengan segunung gundah yang belum tertumpahkan sejak kemarin malam, mungkinkah bisa saya tuntaskan malam ini?

Duhai Sesembahanku, tak perlu saya ragukan bahwa Engkau teramat tahu begitu banyak hal dan persoalan yang kan kuadukan malam ini. Engkau pun pasti bisa melihat seberapa banyak air mata yang siap tumpah di penghujung malam di atas hamparan sajadah. Dapat juga Kau duga betapa ingin saya curahkan selangit syukur atas semua nikmat-Mu, atas semua kedip mata yang tak sanggup terhitung, atas setiap tarikan dan hembusan nafas yang tak mungkin terbilang.

Jika hari ini saya mati, setidaknya Engkau tahu betapa ingin saya melakukan itu semua. Semoga belum terlambat.

Bayu Gautama
masih menangis hingga detik ini

Monday, April 25, 2005

Speechless...

"Baru selesai nyapu, udah disuruh ke warung. Sebentar ya bu, saya masih lelah ..." kata-kata itu selalu keluar setiap ibu meminta tolong membelikan sesuatu di warung yang jaraknya tak lebih dari 20 meter.

Pulang dari warung, ibu minta tolong untuk mengantarkan pesanan bu Sapto, tetangga sebelah rumah, "nanti dulu dong bu, capek nih..." kata itu juga yang menjadi alasan untuk menolak permintaan ibu.

Setiap sore, suara ibu terdengar dari luar kamar agar saya segera mengepel lantai. Biasa, tugas rutin. lagi-lagi, alasan masih lelah keluar dari mulut ini dan membiarkan ibu terus menerus memanggil nama saya. Biasanya kalau sudah bosan, ibu yang mengerjakannya sendiri.

Kemarin sepulang sekolah, secarik kertas menempel di pintu kamar. tertulis pesan, "Jangan tidur siang ya, langsung ke pasar, bantu ibu ambil belanjaan". Seperti biasa, kertas itu tetap menempel sampai sore hari ibu datang terengah-engah berpeluh keringat berjinjing belanjaan. "Capek banget nih bu, maaf ya" hanya itu alasan yang saya punya.

Tadi pagi sebelum berangkat sekolah, saya alpa mengerjakan tugas pagi, menyapu lantai. Sambil menyantap sarapan, saya minta maaf ke ibu karena semalam terlalu larut belajar. "Masih capek nih bu," lagi-lagi alasan itu.

Sore ini, alasan lelah lagi yang saya pakai untuk menolak permintaan ibu menjaga adik. Padahal ibu memintanya dengan penuh harap. Setelah ibu mengalah, justeru saya tak merasa lelah saat datang ajakan bermain bola dari teman-teman.

***

hmm, saya sering meneteskan air mata jika mengingat alasan-alasan yang selalu saya buat untuk menolak permintaan ibu. Sungguh, saya yakin meski tak meminta maaf pun ibu selalu memaafkan anaknya ini.

Kini, saya teramat tahu, ibu tak pernah bilang lelah menuruti kemauanku sejak kecil. Tak sekalipun terdengar keluh ibu menanggapi semua permintaanku. Tak ada kata "ibu lelah nih" untuk pinta yang tak pernah henti dari anaknya ini.

Ibu tak pernah lelah menyediakan dadanya untuk saat-saat sedih saya, juga ketika saya bingung mencari tempat mencurahkan persoalan. Wanita yang teramat tangguh itu tak sedikit pun tersirat untuk berhenti berjalan menempuh ribuan kilo untuk melayani semua keperluan saya.

Bahkan, saya pun tahu ibu dulu tak pernah mengeluh membawa perut buncitnya selama sembilan bulan lebih hingga melahirkan saya antara hidup dan matinya. Lalu saya juga tahu, air susunya menjadi saksi bahwa ia memang tak pernah lelah mengalirkan cintanya kepada saya.

Ah ibu, maafkan anakmu ini yang terkelu tatkala mengingat semua.

Bayu Gautama

Friday, April 22, 2005

Taubat Sekarang atau Malu Kemudian!

Semalam, seorang sahabat saya mampir ke rumah. Setelah hampir setengah jam berbincang, tiba-tiba ia menangis. Beberapa bulir air matanya tak sanggup lagi ia tahan, sementara selaut tangisnya siap tumpah dari kubang matanya yang sudah banjir. Hanya satu yang membuat ia menangis, bahwa ia menyesal pernah melakukan banyak kesalahan di masa lalu dan kini ia merasa takut aib dan keburukan masa lalunya itu kelak akan diketahui orang lain, termasuk calon isterinya kelak.

Saya mencoba tersenyum menanggapi tangisnya, dan tentu saja saya tak perlu ikut-ikutan menangis. Sahabat saya itu tak pernah tahu, dan semoga takkan pernah tahu bahwa orang yang di hadapannya, yang menjadi tempatnya bertanya, yang selalu siap menampung keluh sahabatnya ini, dahulu juga pernah menangis. Dengan air mata yang sama, dengan rasa bersalah yang sama, dan penyesalan yang sama dalamnya.

Duh, sungguh saya ingin juga menangis jika mengingat masa lalu. Dan kalau mau jujur, mungkin semua manusia di muka bumi ini juga akan menangisi masa lalunya, juga menangisi dosanya yang masih berlangsung saat ini. Sungguh, betapa Allah masih berkenan tak menunjukkan semua aib kita itu di hadapan orang lain. Mungkin, jika sahabat saya itu tahu bahwa di masa lalu saya tak lebih baik darinya, ia takkan pernah mengadukan keluhnya.

Pernahkah kita sadar betapa Allah begitu apik menutupi segala aib, keburukan, dosa, kesalahan kita di masa lalu, sehingga orang-orang yang tak semasa saat itu tak tahu dan bahkan tak perlu tahu apa yang pernah membuat kita begitu nista. Atau bahkan disaat ini, ketika teramat sering perilaku memalukan sering tersimpan rapi di balik wajah kehormatan, dibalik pakaian kebaikan sehari-hari kita di hadapan orang lain. Besarnya kebaikan Allah menyimpan semua aib kita sehingga tak semua orang tahu sisi lain diri kita.

Sepatutnya kita bersyukur Allah tak membuka aib kita kepada para tetangga, mereka hanya tahu kita warga yang baik, rajin ke masjid, aktif di lingkungan. Mungkin tetangga tak pernah tahu sedikit banyak aib yang kita lakukan di luar sepengetahuan mereka. Allah juga berkenan tak membuka aib seorang suami di hadapan isterinya, ketika ia berada di kantor atau di luar rumah, Dia juga tak serta merta membuka aib isteri saat sang suami di kantor. Allah yang Maha Tahu juga menjaga teman sekantor tak tahu apa yang dilakukan teman di meja sebelahnya, di balik lacinya. Dia mengunci rapat-rapat celah yang memungkinkan seorang bawahan mendengar dan tahu banyak kesalahan yang dilakukan atasannya. Dia yang tak pernah iseng membeberkan keburukan seorang guru di hadapan murid-muridnya, menelanjangi seseorang dengan kesalahan-kesalahan yang pernah diperbuat di depan orang yang mengaguminya. Sungguh, Allah begitu santun menyimpan semua aib dan keburukan setiap hamba, meski Dia juga akan teramat mudah membukanya lebar-lebar.

Kepada sahabat itu, saya katakan bahwa yang paling pantas mendengar, menampung, memberi nasihat, dan mencarikan jalan keluar bagi masalahnya hanya lah Allah. Kepada Allah lah kita harus mencurahkan segala masalah, ketakutan, kekhawatiran, dan semua beban seberat apa pun. "Kita hanya bisa bertaubat dan mohon ampun, dan berharap Allah tetap menutupi aib kita di masa lalu," satu pesan yang juga berlaku buat yang memberi pesan.

Kemudian bersamanya, saya membaca sebuah ayat yang semakin membuat saya menangis, "Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai ..." (At Tahrim:8)

Sebagai manusia, mungkin kita tak pernah luput dari berbuat kesalahan, sekecil apa pun itu. Kata kunci yang selalu saya pegang, mohon ampun sekarang juga, atau siap-siap Allah membuat saya malu di hadapan orang lain karena aib saya yang terbuka.

Subhanallah, walhamdulillaah.
Bayu Gautama

Thursday, April 21, 2005

Cerita Kawan Saya tentang Temannya

Kawan sekantor saya bercerita tentang satu 'rencana' Allah yang tidak pernah diduga sebelumnya. Ia pernah berjanji untuk menyisihkan rezekinya untuk seorang temannya dan baru beberapa pekan yang lalu ia sempat menunaikan janjinya tersebut.

Siang sebelum ia berkunjung ke rumah temannya, sang teman baru saja mengirim sejumlah uang ke ibunya di kampung. Ibunya sangat membutuhkan uang tersebut, namun sebenanya ia sendiri juga sama butuhnya. kecintaannya kepada sang ibu dan keyakinannya akan rezeki yang kelak ia peroleh kembali ketika mengutamakan kepentingan orang lain -terlebih ibunya sendiri- membuat ia mengirimkan hampir seluruh uang yang ia punya saat itu juga. Ia pun hanya menyisakan beberapa rupiah untuknya dan keluarganya.

Kawan saya dan temannya itu sudah lama tak bertemu, bahkan kontak telepon sekali pun, sehingga ia nyaris lupa akan janjinya itu. Sesaat setelah ia teringat, maka diputuskannya untuk segera menemui temannya sore itu juga, khawatir terlupa lagi.

Lama tak bertemu, dua sahabat itu terlihat akrab bercerita, tertawa tentang masa lalu dan hal-hal mengesankan yang pernah mereka lalui bersama. Keriangan suasana yang tercipta mampu menutupi gundah di hati sang teman yang terus berpikir bagaimana mendapatkan uang untuk makan anak isterinya esok hari. Kawan saya pun tak pernah berpikir ia tengah dalam kesulitan sore itu, dari senyum dan caranya berbicara juga tertawa, tak tersirat sedikit pun masalah di matanya.

Hingga maghrib menjelang, kawan saya pamit pulang. Sebelumnya, ia mengeluarkan sebuah amplop berisi uang, "Kamu ingatkan, dulu saya pernah berjanji untuk ini," hanya kata itu yang keluar. Dan tangan gemetar sang teman dibarengi rasa syukur teramat dalam tak mampu menolak pemberian sahabatnya itu. Tambah sebaris lagi keyakinannya akan janji Allah.

Saya selalu percaya satu hal, bahwa tidak ada 'kebetulan' dalam setiap langkah hidup kita. Bertemu sahabat lama di bis kota, mendapat rezeki yang tidak diduga-duga, atau bahkan mengalami kecelakaan meski kita sudah berusaha untuk berhati-hati, semuanya adalah rencana Allah. Teramat sering kita berkata, "kebetulan nih kita ketemu," padahal semua itu bukan kebetulan, pertemuan Anda dan sahabat lama Anda sudah di-create oleh Allah. Atau ketika Anda diperkenankan menemukan sejumlah uang di tengah jalan, juga bukan kebetulan. Allah merencanakan Anda yang menemukannya, karena mungkin uang -dompet- itu takkan pernah kembali ke pemiliknya jika tangan orang lain yang mendapatinya.

Seperti cerita kawan saya tentang temannya keesokan harinya. Malamnya, ia mendapat sms dari temannya bahwa jumlah uang yang ia berikan sama persis dengan jumlah yang ia kirimkan ke ibunya siang tadi. Bahkan sampai pecahan terkecilnya. Adakah yang berani mengatakan bahwa kejadian ini suatu kebetulan?

Agar Anda semakin yakin, saya akan membagi dua ayat yang teramat indah melukiskan cerita-cerita di atas.

"Dan segala (urusan) yang kecil maupun yang besar adalah tertulis" (Al Qamar:53)

"Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang gaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lawh Mahfuz)" (Al An'am:59)

Bayu Gautama

Wednesday, April 13, 2005

Oase Jiwa; Truly, Deeply, Sincerely: Beli!

Akhirnya, yang ditunggu-tunggu hadir juga. Eramuslim dengan bangga mempersembahkan sebuah buku terbaru, Oase Jiwa; Truly, Deeply, Sincerely. Buku setebal 250 halaman dengan cover yang lux (hard cover) ini merupakan kumpulan artikel oase iman di situs eramuslim.com, terdiri dari 49 artikel dari 22 penulis yang biasa mengisi rubrik oase iman di situs Islam terbesar di Indonesia saat ini.

Tidak perlu berpanjang lebar untuk mempromosikan buku ini, silahkan baca komentar para tokoh di bawah ini tentang buku Oase Jiwa.

Image hosted by Photobucket.com

Pengantar Oleh: Taufiq Ismail
"Penulisannya lebih merupakan catatan-catatan ringkas pengalama dan pengamatan pribadi terhadap sesuatu yang sangat dikenal penulisnya, yaitu peristiwa yang teramat dekat berlangsung di sekitar penulisnya - dengan demikian akrab dan tidak terasa direncana-rencanakan seperti karya fiksi pada umumnya. Tulisan-tulisan ini jernih, sederhana, jujur dan mengharukan"

Teguh Juwarno (Praktisi Medaia, PR Manager RCTI):
"Pencerahan, adalah kalimat yang nyaris tepat untuk menggambarkan apa yang saya rasakan kala menelusuri lembar demi lembar Oase Jiwa. Membaca buku ini, kita seakan diajak membuka catatan harian yang begitu hidup dan menggelitik keingintahuan untuk terus membuka lembar berikutnya hingga usai. Dengan gaya bertutur yang mengalir, karya para penulis dalam Oase Jiwa menggiring pembacanya untuk bercermin terhadap apa yang telah kita perbuat. Bahkan jika kita membuka hati kita lebih lapang, banyak sentilan dan mungkin gugatan terhadap cara pandang kita terhadap berbagai persoalan.

Mencerahkan... sekaligus menjanjikan pelepas dahaga di tengah hiruk pikuk tuntutan kehidupan yang kian berat dan melelahkan. Padahal yang diperlukan adalah berhenti sejenak, merenungi perjalanan yang telah dilalui dan mencari pelepas dahaga jiwa..."

Dwiki Dharmawan (Musisi):
"Keseimbangan adalah hal yang selalu dilupakan dalam kehidupan manusia di zaman sekarang ini. Saya pribadi merasakan ketika sudah tidak ada keseimbangan dalam menjalani kehidupan, maka hampalah jiwa kita. Buku ini membawa kita merenung ke dalam hal-hal yang sebetulnya sangat sederhana tetapi sungguh menyentuh dan mengingatkan kita untuk selalu menjaga keseimbangan di dalam menjalani kehidupan. Dan yang terpenting, kita yang membaca semakin sadar bahwa sungguh sempit waktu kita di dunia fana ini, untuk membuat hal-hal yang membawa pahala, sedangkan sungguh terbuka lebar dunia memberi kesempatan kita berbuat dosa dann sia-sia"

Helvy Tiana Rosa (Anggota Dewan Kesenian Jakarta):
"Buku ini menyajikan kisah-kisah keseharian, dari yang sederhana sampai yang tak biasa. Seperti judulnya, Oase Jiwa, tuturan-tuturan nan sejuk dalam buku ini membawa kita merenungi hakikat diri, bahwa sebagai hamba, nilai lebih diri kita sesungguhnya ditentukan oleh intensitas sujud kita, bukan yang lain"

So, tunggu apa lagi?
Buruaaan beliiiiiiiiiii....

Tuesday, April 12, 2005

My daughter's request

Image hosted by Photobucket.com

Sudah beberapa hari ini ada satu permintaan Hufha yang selalu diucapkannya setiap malam sebelum tidur. Biasanya, selesai mendongeng untuk anak-anak saya selalu bilang, "bobo ya, mimpiin abi...". Hufha menjawabnya dengan satu permintaan, "Besok abi jangan berangkat sebelum Hufha bangun ya..."

Duh, sungguh ini permintaan yang agak sulit untuk dikabulkan. Bayangkan, saya berangkat pukul 06.00 WIB, sementara Hufha baru bangun paling cepat pukul 07.30 WIB. Jelas saja, saya agak sering kecewa dengan terus memandanginya dari pintu kamar sebelum berangkat.

Image hosted by Photobucket.com

Lain lagi dengan Iqna, anak abi yang satu ini lebih mudah dipenuhi permintaannya. "Sebelum ke kantor, cium Iqna ya bi...". Wuah, gampang banget, dia nggak minta sarat harus nungguin dia bangun dulu. Berarti biar lagi tidur tetap aja saya cium, walau umminya selalu mewanti-wanti, "lembut aja bi ciumnya, ntar dia bangun. Ummi masih banyak kerjaan..." he he he...

Meski sudah diingetin begitu, tetap saja saya menciumnya dengan gemas. Lihat deh pipinya, gemesin banget sih, maap ya mi, kadang-kadang abi ciumnya sampe Iqna bangun.

Sekali lagi, semua karena cinta. mmmuuuaah...

Bayu Gautama

Wednesday, April 06, 2005

Kasih yang Terlupa

Saya masih ingat pernah memberinya sebuah baju merah sebagai hadiah ulang tahunnya sebelas tahun yang lalu. Itu juga merupakan hadiah pertama yang mampu saya berikan setelah empat bulan bekerja di pabrik. Ibu begitu senang menerimanya hingga selautan doa tak pelit tercurah untuk anaknya ini agar Allah senantiasa melimpahkan rezeki. Meski hadiah itu sudah tak lagi terpakai dan entah dimana, entah kenapa saya masih selalu ingat pemberian itu sampai hari jadi ibu yang ke 56 dua hari lalu. Tapi disaat yang sama saya tak pernah mampu mengingat apa-apa yang pernah ia berikan kepada saya.

Empat tahun yang lalu, saya pernah membopong ibu saat sakit keras menuju mobil kemudian membawanya ke rumah sakit. Seolah, beban berat tubuh ibu masih terasa hingga kini dan saya teramat sering menceritakan pengorbanan saya itu kepada isteri dan anak-anak saya. Namun, entah di bagian otak saya yang mana terdapat kesalahan sehingga saat ini tak pernah mampu menghitung berapa kali sehari wanita mulia itu pernah menggendongku semenjak kecil. Bahkan sudah pasti saya tak pernah ingat sembilan bulan lebih ia tak pernah meninggalkan saya.

Pernah saya menangis saat ia sakit keras dan beberapa hari tak sembuh. Rasanya habis sudah air mata ini waktu itu membuat saya merasa menjadi anak yang paling cinta terhadapnya. Tentu, masih terlintas jelas dalam ingatan ini kejadian itu karena berhari-hari saya rela tak tidur untuk menemani ibu. Tapi pernahkan saya tahu berapa banyak air mata yang pernah keluar dari sudut matanya untuk diri ini? Kadang ia juga ikut menangis saat saya meringis kesakitan ketika terjatuh dari sepeda.

Sejak kecil saya diajarkan untuk senantiasa mendoakan orang tua. Meski kadang saya terlupa dan lebih mendahulukan menyebut nama isteri dan anak-anak saya. Padahal saya teramat tahu ia tak pernah absen menyebut nama saya dalam setiap doa panjangnya. Selalu saja terdengar nama saya disebut dalam isak tangisnya di hadapan Allah.

Sore menjelang maghrib saya pernah menunggunya tak lebih dari setengah jam untuk menjemputnya sepulang mengajar. Hujan sore itu memaksa saya menunggunya untuk menghantarkan payung agar ia tak kehujanan. Anehnya, saya tak pernah tahu seberapa sering ia kepanasan dan kehujanan di jalan demi mencari sesuap nasi untuk anak-anaknya. Satu yang masih kuingat, ia pernah melindungi saya dari guyuran hujan dengan wajah dan tubuhnya. Entah sudah kali keberapa ia pernah lakukan itu, saya tak pernah menghitungnya.

Pada hari jadinya dua hari lalu, saya dan anak-anak ibu yang lain berkumpul dan itu membuatnya bahagia. Saya tak pernah tahu sesering apa saya pernah membuatnya bahagia. Saya jauh lebih ingat sebegitu sering membuatnya bersedih dan kecewa dengan sikap dan kenakalan saya. Sementara, disaat yang sama saya benar-benar tak pernah, dan takkan pernah bisa menjumlah kebahagiaan yang pernah ia ciptakan untuk saya.

Sungguh, betapa banyak kasih yang terlupakan. Begitu luas cinta yang tak pernah terbalas, dan teramat sedikit yang mampu terekam dengan baik oleh saya. Sehingga hari ini saya tetap tak pernah mampu memutar lintasan-lintasan cintanya, mungkin tak kan cukup memori yang saya miliki yang jelas-jelas tak sebanding dengan semua yang pernah ia tuluskan untuk saya.

Selamat ulang tahun, ibu.

Bayu Gautama
4 April 2005

Tuesday, April 05, 2005

Alhamdulillah Ia Isteriku...

Minggu sore, saya mengantar rombongan orang tua dan adik-adik yang hendak pulang ke Bogor. Sebuah angkot berpenumpang dua orang berhenti di depan kami dan menawarkan untuk mengantarkan sampai ke tempat tujuan. Setelah menghitung jumlah orang dan melihat tempat yang tersedia, saya isyaratkan kepada sopir angkot bahwa kita tak jadi menaiki kendaraannya karena tak cukup. Dan kami akan menunggu angkot berikutnya.

Tetapi angkot tersebut tetap tak mau jalan dan lagi-lagi sopirnya memaksa agar kami tetap menumpang kenadaraannya dengan meminta penumpang yang ada untuk turun mencari angkot berikutnya. Saya lantas marah dan meminta sopir itu tidak melakukan tindakan yang merugikan penumpang itu. Saya juga meminta kepada penumpang yang ada untuk tidak turun dan biarlah kami yang menunggu angkot berikutnya. Entah kenapa tiba-tiba penumpang yang di dalam angkot itu turun sambil menggendong anaknya dan mempersilahkan kami masuk. Karuan saja saya tambah marah kepada sopir angkot itu dan meminta penumpang sebelumnya naik kembali. Walau akhirnya, kami pun terpaksa naik angkot tersebut setelah sebelumnya bapak yang menggendong anak itu langsung naik angkot yang tiba berikutnya. Sepanjang perjalanan saya hanya diam dan jujur saja, hati ini masih 'panas' oleh sikap sopir itu. Sementara isteri saya memandangi sikap saya dengan senyum.

Sepulang dari terminal mengantar rombongan naik bis ke Bogor, saya ditemani isteri mengendarai motor menuju ATM. Malam itu sedikit gerimis dan jalanan mulai becek sehingga saya mengendarai motor sedikit hati-hati. Tapi tiba-tiba sebuah angkot melaju kencang dekat perempatan yang baru saja saya lewati dan nyaris menyerempet motor saya seandainya saya tidak segera benting stir ke bahu jalan. Saya marah dan saya kejar angkot tersebut. Kebetulan ia sedang menurunkan penumpang sehingga tak sulit bagi saya mengejarnya. Yang membuat saya kesal, sopir itu tak menunjukkan rasa bersalahnya dan juga tak minta maaf. Saya tak sempat memakinya dengan kata-kata kasar karena isteri saya segera berbisik, “sudah lah, bang”

Sesampainya di rumah, saya tanyakan kepada isteri saya kenapa satu hari ini saya tidak seperti biasanya. Tidak sabar. Biasanya saya tak pernah ambil pusing dengan sikap sopir angkot yang seenaknya menurunkan penumpang demi mendapatkan penumpang yang lebih banyak. Saya juga selalu menurut kalau kebetulan metromini yang saya tumpangi memindahkan saya dan beberapa penumpang lainnya ke metromini di belakangnya dengan berbagai alasan. Saya kadang hanya berpikir, inilah cara mereka mencari rezeki dan saya harus memakluminya.

Dahulu saya teramat mudah memaafkan sopir angkot yang menyebabkan kecelakaan atas diri saya. Motor saya hancur dan saya harus masuk UGD gara-gara sopir angkot yang berhenti mendadak persis sepersekian detik di depan motor saya yang melaju dengan kecepatan tinggi. Saya menabrak bagian belakang mobil hingga kaca mobil itu pecah. Motor saya hancur dan saya pun terbang hingga jatuh ke selokan. Anehnya, setelah sembuh saya tak dendam terhadap sopir angkot tersebut, saya luluh dengan permintaan maafnya yang tulus.

Mendengar pertanyaan saya tersebut, isteri saya berujar singkat, “ibadahnya kurang kali…” Astaghfirullaah…

Inilah yang selalu membuat saya semakin cinta kepadanya. Kadang saya acapkali terlupa bahwa penasihat terbaik sekaligus terbijak itu ada dan selama ini berdiri mendampingi di samping. Terima kasih ya Allah, alhamdulillah ia isteriku.

Bayu Gautama

buat redaksi eramuslim, kalo mau dimuat buat artikel keluarga, judulnya diganti: Penasihat Terbijak