Papa Ron's, Nomat, SMS, ...
Lampu merah, seberang istana Bogor.
Hampir setiap hari, saat berangkat maupun pulang kantor saya selalu melewatinya. Saya pun jadi hapal baliho iklan apa yang ada di sebelah kanan jalan, dan di kiri jalan. Spanduk apa saja yang setiap hari terpampang dan bahkan saya pun tahu pergantian dari spanduk satu ke spanduk yang lainnya. Dan, satu lagi yang akhir-akhir ini cukup menarik perhatian saya, yaitu anak-anak jalanan.
Jika tak salah, belum dua tahun lalu jumlah anak jalanan yang mengamen di sekitar lampu merah hingga stasiun kereta api Bogor masih bisa dihitung dengan jari sebelah tangan. Tapi kini, saya jadi penasaran dengan semakin tak terhitungnya jumlah mereka. Usia mereka pun beragam, dari yang masih pantas minum susu sampai yang sudah tak lagi pantas menyandang predikat “anak” jalanan.
Kemarin sore, selepas maghrib saya sempatkan menghampiri seorang anak yang tengah bersiap bergegas pergi dari pelataran masjid agung Bogor. Nampaknya ia baru saja sholat sementara beberapa temannya menunggu di halaman masjid. Mereka adalah anak-anak yang setiap hari menggantungkan nasibnya dengan bergelantungan di pintu angkot sambil mengayunkan ‘kerecek’ -alat musik terbuat dari setumpuk tutup botol yang dipipihkan- dan menyanyikan bait lagu yang tak lengkap. Saya tahu, anak itu tak mungkin mau berlama-lama ngobrol, karena ia harus kembali bekerja. Jadi, waktu yang singkat itu saya manfaatkan untuk melontarkan satu pertanyaan, “buat apa kamu ngamen?”
Jawabnya,”buat biaya sekolah”!
Stop disini.
Saya tak terlalu peduli dengan omongan banyak orang bahwa anak-anak jalanan yang jumlahnya terus bertambah itu diorganisir oleh sekelompok orang yang memanfaatkan tenaga mereka, dan anak-anak itu harus menyetor sekian rupiah dalam sehari. Bahkan kalau tidak setor, mereka akan menerima hukuman, entah apa bentuknya.
Saya pun tak peduli ketika seorang teman mengatakan, sebagian anak-anak itu justru disuruh oleh orang tua mereka untuk turut membantu mencari nafkah. Anak-anak itu bahkan dilarang sekolah dengan dalih sekolah tak menghasilkan uang, mendingan ngamen bisa dapat uang, tambahnya. “Sekolah cuma banyak menghasilkan para koruptor yang menjadikan kita miskin, yang menghantarkan anak-anak kami ke pinggir jalanan,” begitu ucap seorang ibu yang anaknya juga seorang anak jalanan.
Satu kalimat penutup dari teman saya, “orang tua macam apa itu, harusnya mereka yang bertanggungjawab mencarikan nafkah untuk anak-anaknya”.
Selanjutnya,
Teman saya menyebutnya “child abuse”. Ah, kalau soal ini betapa banyak di negeri ini sektor yang memanfaatkan anak-anak untuk mendapatkan keuntungan. Sejumlah pabrik masih mempekerjakan anak-anak di bawah umur, tak terhitung anak-anak yang bisa kita temui di tempat-tempat wisata. Dan nyatanya, siapa yang pernah menghitung jumlah anak yang harus mati terjatuh dari kereta, bis, angkot, atau sakit karena terlalu keras bekerja. Tentu sama sulitnya dengan menghitung berapa jumlah uang yang sudah kita belanjakan Papa Ron's setiap akhir pekan. Sama rumitnya dengan mengkalkulasi jumlah pembelian voucher pulsa telepon genggam selama sekian tahun.
Saya kira, kita tak keberatan untuk sesekali tidak nomat (nonton hemat) dalam satu bulan –dengan asumsi Anda nomat setiap pekan- dan mengalokasikan dana tersebut buat mereka yang kekurangan. Mungkin saja bisa pekan depan tak perlu mampir ke Papa Ron's dan kemudian memberikan uangnya kepada fakir miskin. Coba hitung berapa jumlah SMS yang sebenarnya tak perlu dan terbuang sia-sia setiap bulannya, kemudian kalikan dengan biaya per SMS tersebut. Bagaimana jika jumlahnya itu yang setiap bulannya juga kita infakkan?
Seorang teman yang lain berkomentar. Ah, percuma. Mestinya ini tugas pemerintah. Kita punya Menteri Sosial kan? Wallahu a’lam.
Bayu Gautama
catatan: Ada sekian persen dari setiap pembelian Papa Ron's untuk anak jalanan