Saya pernah menabrak sebuah angkutan kota atau biasa disebut ‘angkot’. Motor saya hancur, begitu juga kaca bagian belakang angkot tersebut. Nahasnya, saat itu saya tak sadarkan diri setelah terbang beberapa meter dan terjerembab di selokan pinggir jalan raya. Hasilnya, pergelangan kiri saya patah dan terdapat banyak memar di sekujur tubuh.
Bukan soal lukanya yang menarik untuk diceritakan, melainkan komentar teman saya beberapa hari usai kecelakaan tersebut. “Yang salah kamu, kenapa naik motor di belakang angkot?” Saya tidak terima, “Jelas-jelas angkot itu ngerem mendadak lantaran mau ambil penumpang tapi tidak menepi terlebih dulu…”
Lalu teman saya berujar, “Bukankah dari jaman Belanda menjajah negeri ini kelakuan sopir angkot sudah seperti itu? Makanya belajar sejarah…” Saya hanya bisa geleng-geleng kepala pertanda tak setuju.
Intinya, menurut teman saya itu, kalau mobil kita diserempet angkot yang salah tetaplah bukan angkot, “siapa suruh dekat-dekat angkot?” kilahnya. Terus, kalau sering dibuat kesal harus ngerem mendadak gara-gara angkot yang kerap berhenti seenaknya, lagi-lagi yang salah bukan angkot, melainkan orang yang berkendara di belakang angkot.
Begitu pula ketika sebuah angkot yang ‘ngetem’ bikin macet sepanjang ratusan meter, tiba-tiba seorang pengendara mobil yang melintasi angkot tersebut berteriak, “Sopir g****k! Minggir dong…”. Sudah tahu kan jawaban sopir angkot? “Kalau pintar, saya nggak jadi sopir angkot”
Kisah lain tentang seorang Kyai di sebuah Pesantren di Subang, Jawa Barat. Suatu hari saya dan beberapa teman menumpang sholat maghrib di pesantren tersebut. Saat itu, Kyai yang merupakan pendiri sekaligus pimpinan pesantren yang memimpin sholat melakukan kekhilafan, sholat maghrib hanya dilakukan dua rakaat. Serempak, saya dan beberapa teman mengucap “Subhanallah” saat Pak Kyai mengucap salam sebagai tanda akhir sholat, padahal baru rakaat kedua. Berkali-kali kami mengucap “Subhanallah” untuk mengingatkan, dan anehnya Kyai tenang saja dan tidak merasa ada yang kurang.
Yang lebih aneh lagi, selain kami, tidak ada satupun jamaah yang turut mengingatkan kurangnya rakaat itu kepada Pak Kyai, termasuk para ustadz dan santrinya. Bahkan usai kami menyelesaikan rakaat ketiga, seorang ustadz menghampiri dan berbisik, “Kalau Kyai salah tidak perlu diingatkan, kami beranggapan kalau Kyai khilaf itu berarti Allah memang berkehendak demikian”.
Masya Allah, jadi sebenarnya para ustadz dan santri itu menyadari kekeliruan Pak Kyai. Hanya saja selain mereka sungkan lantaran menilai Kyai itu memiliki kelebihan ilmu dan kemuliaan, kekeliruan Pak Kyai pun dianggap satu kehendak Allah.
Masih berkenaan dengan kesalahan atau kekeliruan, kita tentu pernah mendengar kalimat seperti ini, “Pasal satu; senior selalu benar. Pasal dua; jika senior melakukan kesalahan, lihat pasal satu”.
Konon, mulanya dua pasal kramat itu berlaku di lingkungan militer. Soal kebenarannya, saya tidak berani memastikan. Tetapi pasal ini sangat terkenal dan bukan hanya berlaku di lingkungan militer. Ketika saya mengikuti masa orientasi dan pengenalan kampus awal tahun 1990-an silam, pasal ini pun berlaku hebat. Sehingga para senior saya bebas melakukan tindakan sewenang-wenang dan sesukanya kepada para junior.
Aksi balas dendam pun menjadi turun temurun diwariskan dalam lingkungan yang menerapkan dua pasal ini. Baik di lingkungan militer, kampus semi militer, sampai kampus dan sekolah menengah umum yang tidak ada hubungannya dengan militer. Saya tidak tahu apakah pasal sakti ini masih dipakai di lingkungan militer, kampus atau sekolah?
Dari tiga kasus di atas, bisa diambil pelajaran yang menarik untuk dikupas secara singkat. Tiga jenis orang yang melakukan kesalahan, pertama; orang yang sudah biasa melakukan kesalahan, sehingga kesalahan demi kesalahan dianggap wajar dan biasa oleh orang lain yang melihatnya. Bila ia melakukan kesalahan dan merugikan orang lain, maka yang dirugikanlah yang diminta berdiam diri dan tak perlu melawan atau menasihati yang salah.
Kedua; lantaran dianggap berilmu dan memiliki kemuliaan, kekeliruan dan kesalahan seolah menjadi sesuatu yang muskil dilakukan orang ini. Menasihati atau mengingatkan kesalahan orang ini adalah hal tabu dan menghinakan. Siapapun yang melihat orang ini melakukan kesalahan, harus menutup mulut dan memandangnya secara wajar.
Ketiga, jabatan dan pangkat kerap mempengaruhi nilai-nilai kebenaran. Seringkali seorang bawahan sungkan menegur atau mengingatkan atasannya demi menyelamatkan karirnya, “daripada saya dipecat” alasannya. Tindakan cari selamat pun jadi budaya di berbagai tempat dan lingkungan.
Haruskah dipertahankan kekeliruan seperti ini? Atau justru kita menjadi bagian yang terus menerus membudayakan tradisi ini? Tidak! Sudah waktunya mengungkap kebenaran itu menjadi tradisi, bukan sebaliknya. Sudah saatnya orang yang benar itu lebih berani dari mereka yang melakukan kesalahan. Dan bukan waktunya lagi kita malu menegur orang yang keliru, karena semestinya mereka lah yang malu karena sering berbuat salah. Semoga (gaw)
5 comments:
kalau salah kagak mau diingatkan
ya tinggal ngeluyur aja,
biar kapok tuh orang.hehehe...
sudah saatnya paham2 kya' gitu dihapus dari pemikiran kita. kadang saya juga sering mnghadapi situasi seperti itu. contohnya waktu orientasi dulu.. tapi karena 'takut' sama senior, terpaksa saya nurut2 saja. eh sewaktu saya yg menjadi senior, dan meng-orientasi adek kelas saya, secara tidak sadar saya mengulangi kesalahan yg sama. lama-lama hal tersbut menjadi hukum alam.. yg senior selalu benar.
apa perlu dilakukan cuci otak ya? :)
yupz...pasal2 senior sepertinya masih ada.. klo dikampus gw itu biasa di fakultas teknik...
kadang orang berjalan hanya mengkuti jejak orang didepannya yg dianggap lebih senior, lebih berilmu, lebih mulia,, padahal kita semua sama2 manusia,
kenapa diperlakukan berbeda ya??
pertanyaanya : siapakah kita???
mohon ijin ngelink ya mas gaw..
pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik
Post a Comment