Seandainya judul tulisan ini "Simpanan Isteri", entah apakah ada yang tertarik untuk membacanya atau tidak. Kalau pun ada, seyakinnya saya tidak akan sebanyak jika judulnya tetap seperti tertera di atas. Mungkin tidak banyak yang tertarik untuk meng-klik judul di atas untuk kemudian membacanya.
Meski dua kata yang dipakai sama, namun hanya sekadar membalikkan urutannya artinya sangat jauh berbeda. “Simpanan isteri” sangat tidak menarik, orang hanya akan berpikir sebentar dan memahaminya sebatas, “ooh, mungkin maksudnya tabungan, perhiasan atau barang berharga lainnya yang disimpan oleh sang isteri”. Tapi kalau “Isteri simpanan”, wah ini jelas lebih menarik, mengguncang stabilitas rukun tetangga, rukun warga, hingga kelurahan.
Simpan berarti meletakkan sesuatu di tempat yang rapih dan aman. Dengan akhiran ‘an’ di belakang kata tersebut, bermakna sesuatu yang diletakkan oleh seseorang secara rapih dan aman. Jadi, isteri simpanan berarti isteri yang diletakkan –ditempatkan- di satu lokasi yang rapih dan aman. Aman dari siapa? Tentunya aman dari penglihatan dan penciuman isteri pertama.
Di suatu kampung, terdengar desas-desus bahwa perempuan Y ternyata simpanan seorang pejabat di Jakarta. Pantas saja rumahnya besar, mobilnya bagus, pakaiannya bermerk, telepon selularnya sering gonta-ganti, padahal ia tidak bekerja, bukan pengusaha ataupun selebritis. Ini baru gosip, tapi secepat kilat menyebar seantero kampung. Si Y pun langsung menjadi buah bibir ibu-ibu –juga bapak-bapak- sekampung.
Di kampung lain terjadi kehebohan, seorang pria setengah baya yang belum lama menceraikan isterinya yang dianggap sudah tidak menarik, tak berapa lama terlihat sudah menikah lagi dengan isteri muda yang lebih cantik, singset, ranum dan segar. Ketika ditanya tetangganya, dengan enteng dia menjawab, “tukar tambah”.
Meledaklah seisi kampung, dari mulut ke mulut tema yang dibicarakan cuma satu, “isteri kok tukar tambah, memangnya motor!” Tidak peduli lagi apakah istilah “tukar tambah” yang keluar dari mulut pria itu sekadar gurauan atau basa-basi. Yang pasti soal tukar tambah isteri sudah menjalar bahkan memancing pria-pria lain untuk bertanya, “Dimana toko yang jual isteri macam punya situ? Pesan satu dong… ”
Lain lagi di kampung yang tak jauh dari kampung tadi, seorang janda muda diduga sering menginapkan lelaki yang bukan suaminya di rumahnya. Ibu-ibu, juga bapak-bapak ribut mencari tahu kebenaran berita tersebut, tapi hanya dari sumber-sumber yang tidak jelas. Tidak berani langsung dari sumber aslinya. Ini baru dugaan, isu yang belum dapat dibuktikan. Tapi beritanya sudah meluberi kampung, menutupi kenyataan sebenarnya bahwa lelaki yang sering menginap itu adalah adik kandung janda itu yang sangat perhatian terhadap kakak perempuannya.
Gosip, isu, sak wasangka, kabar burung, atau apapun istilahnya yang berkonotasi “katanya-katanya”, sangat cepat berhembus dari satu pintu ke pintu rumah kita. Dari mulut ke mulut seperti tanpa batas, tanpa filter terserap begitu saja. Tidak ada check dan re-check (tabayyun) alias konfirmasi langsung kepada yang bersangkutan, layaknya seorang wartawan senior di medan perang, bersemangat sekali kita menyampaikannya kepada khalayak pendengar sekampung.
Beda ceritanya kalau berita yang terdengar merupakan prestasi, keberhasilan, kesuksesan seorang warga. Misalnya ada yang naik pangkat, juara kelas, terpilih sebagai ibu teladan, diterima sebagai pegawai negeri sipil, atau berbagai prestasi lainnya. Bukan hanya segelintir orang saja yang tahu, karena tema kebaikan dan hal-hal positif di lingkungan warga itu memang tidak menarik untuk dibicarakan.
Kalau pun ada yang membicarakan, ujung-ujungnya negatif. “jelas saja naik pangkat, dia kan sahabat dekat direkturnya” atau “kalau bukan nyontek sewaktu ujian, mana mungkin dia bisa juara kelas” dan “pasti nyogok, kalau tidak, bagaimana dia bisa jadi pegawai negeri”.
Entah kenapa, ada kecenderungan hati dan pikiran masyarakat kita senang terhadap hal-hal yang tak menyenangkan bagi orang lain namun menyenangkan untuk dibicarakan. Energi untuk mengetahui atau mencari tahu keburukan orang lain sangat besar. Sebaliknya, kesenangan, kebahagiaan orang lain kerap disikapi sinis, dengki dan iri hati. Kita tidak senang jika orang lain senang, dan kalau orang lain susah, itulah kebahagiaan kita.
Coba jujur, di lingkungan tempat tinggal kita masing-masing, lebih banyak mana yang beredar, berita negatif berbumbu gosip, isu, kabar burung dan prasangka, atau kepastian tentang prestasi seseorang? Atau mungkin karena telinga kita sudah biasa terpasang lebar untuk kabar-kabar beroma “kata si anu”. Boleh jadi karena kita terlalu banyak menonton acara gosip bertajuk infotainment di televisi.
Sekarang jawab, lebih tertarik mana judul “Isteri Simpanan” atau “Simpanan Isteri”? (gaw)
1 comment:
pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik
Post a Comment