Anak Betawi yang Keliling Dunia Lewat Blog

Kate siape anak Betawi kagak bise maju? siape kate anak Betawi pade males dan banyak nyang jadi pengangguran? Bukan maksud nyombong atawe unjuk gigi, aye cuma ngasih tau kalo kagak semue anak Betawi kayak nyang ente kire...

Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...

Monday, November 17, 2008

Maryudi, Guru dengan Bayaran Rp. 100,- per minggu

taken from http://warnaislam.com

Boleh jadi kita termasuk yang sering menyepelekan uang receh nilai seratus rupiah. Kembalian belanja di warung, dianggap tidak berharga. Beberapa orang bahkan sengaja tidak mengambil uang kembalian berupa beberapa koin cepe’an itu dan dibiarkan tergeletak begitu saja di meja kasir pusat perbelanjaan. Sebagian orang tersenyum tanda setuju kepada petugas kasir yang menukar uang seratus dengan sebutir permen.

Di rumah dan di kantor, uang koin seratus rupiah berserakan di lantai atau menumpuk di laci tanpa kejelasan penggunaannya kecuali menunggu pengamen dan pengemis datang. Sebab nilai mata uang terkecil itu pun kadang tak berlaku untuk tukang parkir, bahkan untuk uang jajan anak-anak di sekolah pun tak disentuh, “Seratus? Dapat apa?” kata mereka.

Tahukah Anda bahwa uang receh seratus rupiah sangat berharga bagi seseorang? Maryudi, 36 tahun, seorang guru mengaji anak-anak di Kampung Nangela, Desa Jagabita, Kecamatan Parung Panjang, Kabupaten Bogor. Setiap sore mengajar anak-anak di majelis yang berdiri di halaman rumahnya, bayaran Yudi hanya Rp. 100,- per anak per minggu. “Itu juga nggak wajib, dan kebanyakan yang nggak bayar,” sela Linda, isteri Yudi.

Mulanya, ungkap Yudi, anak-anak yang belajar mengaji ada sekitar seratus anak. Tapi sekarang tinggal lima puluhan anak. “mereka takut, soalnya majelisnya hampir roboh,” terang Yudi sedih. Majelis seluas 7x7 meter yang berdiri di halaman rumah Yudi dibangun sekitar tahun 1993 dengan swadaya masyarakat. Seluruh bahan bangunan model panggung itu menggunakan bambu, mulai dari bawah sampai ke penyangga atap. Atapnya menggunakan genteng tanah, sedangkan dindingnya terbuat dari bilik.

Sebagian lantainya sudah bolong, hal ini yang membuat anak-anak takut karena bisa kejeblos ke bawah. Belum lagi beberapa kaki penyangga yang agak miring, jelas sangat mengkhawatirkan. Pintunya sudah rusak, atapnya pun bocor di beberapa bagian. Padahal majelis ini masih sering dipakai untuk mengaji anak-anak setiap sore, pengajian ibu-ibu setiap hari Kamis dan untuk bapak-bapak Minggu malam. “Ingin sekali memperbaikinya, tapi tidak ada dananya,” ungkap guru muda itu.

Uang seratus rupiah sangat berharga bagi Yudi, namun ia jelas tak bisa mengandalkan kebutuhan hidupnya dari uang yang tak seberapa itu. Maka ia pun bertani, menggarap sawah dan kebun yang bukan miliknya, sekadar untuk mendapatkan makan sehari-hari ia, isteri dan lima anaknya.

Tidak ada barang berharga di rumah berdinding bata merah yang belum diplester itu. Hanya ada satu televisi hitam putih 14 inchi keluaran tahun 1980an bermerk Intel, merk yang mungkin sudah tidak diproduksi lagi. Barang berharga lainnya ada sebuah magic jar, untuk memasak dan menghangatkan nasi. Selebihnya, nyaris tidak ada apapun di rumah itu. Dapurnya masih berlantai tanah, dihiasi dua baris tungku api. Mereka masih menggunakan kayu bakar untuk memasak. Tidak ada kamar mandi di rumah itu, hanya ada bilik berukuran 3x4 meter dengan sebuah sumur tua yang sangat dalam.

Isterinya yang masih berusia 25 tahun, terlihat masih sangat muda menanggung amanah mendidik lima anak, masing-masing Ulfi Mahendra (12), Selvi (9), Sela (8), Resa (4) dan Olip (16 bulan). Ketika penulis bertandang ke rumah Yudi, Resa si pengais bungsu tengah menikmati sepiring kecil nasi dengan kerupuk sebagai lauknya. Resa diduga menderita gizi buruk karena di usianya yang sudah empat tahun hanya memiliki berat badan 9,5 kg. Lingkar lengannya seukuran bayi usia 6 bulan, matanya celong, dan wajahnya pucat tanpa ekspresi.

Serba salah bagi Yudi, ingin sekali ia mencari pekerjaan lain di luar kampungnya demi memberikan penghidupan yang lebih baik untuk keluarganya. Namun keterbatasan keterampilan membuatnya ragu melangkah. Selain itu, ia juga khawatir dengan pembinaan anak-anak di kampungnya. “nggak ada yang mau ngajar ngaji tanpa dibayar, kalau pun ada ya segitu bayarannya…”

Sebaiknya memang harus ada orang-orang yang mendedikasikan dirinya untuk pembinaan anak-anak di sekitarnya. Namun dengan kondisi seperti Yudi, ia harus bertarung antara kebutuhan hidupnya dengan keinginan untuk terus membina anak-anak kampung. Sebuah kondisi yang selalu membuatnya bingung. Ditambah lagi dengan kondisi majelis yang nyaris roboh, berdoa saja tidak cukup bagi Yudi. Namun usaha seorang Yudi pun sendirian bisa dipastikan takkan berhasil menyelesaikannya. Untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya saja ia masih kewalahan.

Hmm, sekadar membaca artikel ini saja tidak cukup buat kita bukan? Mulailah dengan tak menganggap remeh koin seratus rupiah Anda, karena itu sangat berarti bagi seorang seperti Maryudi. (Gaw)

19 comments:

Anonymous said...

Hi. Nice blog

Anonymous said...

menyentuh sekali, bang. sangat menyentuh... sangat! sangat menyentuh sampe saya speechless...

Sudarmanto said...

1oo yang berharga

baca blog aku ya!!!!

Anonymous said...

kalo ada tulisan macam ini , mungkin lebih baik disertakan alamat lengkap,jadi yang mau bantu bisa lebih mudah...

Anonymous said...

Terimakasih sudah berbagi..

salam

n.u.h.a said...

Subhanallah...

boleh sya link y blog nya...

Anonymous said...

inspiratif...!

Anonymous said...

nice blog..btw visit my web dunk di www.girlycious.com..thanx

Unknown said...

membuat aku menangis lagi... pa kabar bang..?

Anonymous said...

Nice site you have here..
Thanks for the info..I'll use this a lot

Ning said...

setuju bang, mungkin ada baiknya dikasih alamat lengkap, jadi memudahkan bagi mereka yang ingin membantu. thx atas sharingnya, membuka mata saya akan kehidupan lain di bumi ini

Rojab Umar Abdillah said...

om gaw ajarind nulis dong !!
pengen nih nulis2 artikel yg hbt buat dakwah k tmn2 d skulah..
blogna link yah..!

Millia Eka Shanti said...

ass wr wb,

boleh minta alamat detailnya, pak gawtama?

syukron,
millia.eka@gmail.com

Anonymous said...

sukses terus untuk blognya
hebat sekali hanya dengan seratus rupiah seminggu dia mau meengajar
ini baru guru tanpa tanda jasa

Anonymous said...

ass wr wb,
kang gw, minta alamat kirim infaq..insyaallah salurkan dana infaq keluarga ke pak yudi seperti yang akang tulis...

ke japri di fahmizl@yahoo.co.id juga boleh atau di +96895992814 untuk sms.

tulisannya bagus...pengen belajar juga...

Unknown said...

Tulisan mas Gaw itu buatku selalu bagus...satu lagi hal kecil didepan mata kita yang tidak pernah kita perhatikan...

Akhyaruddien said...

Tulisan Mas Bayu bagus-bagus. dan sayang ingin sekali bisa menulis juga, cuma sekarang belum bisa (kalau tidak dikatakan tidak bisa)

pupuk organik said...

pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik

lime green bathroom said...

subhanallah. Cerita yang sangat mengharukan. Semoga menjadi pembelajaran bagi kita untuk lebih peduli pada sesama.