Anak Betawi yang Keliling Dunia Lewat Blog

Kate siape anak Betawi kagak bise maju? siape kate anak Betawi pade males dan banyak nyang jadi pengangguran? Bukan maksud nyombong atawe unjuk gigi, aye cuma ngasih tau kalo kagak semue anak Betawi kayak nyang ente kire...

Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...

Thursday, November 13, 2008

Judulnya Usil

Putri sulung saya bilang, “teman teteh mengaku gerah kalau lihat teteh pakai jilbab terus. Katanya, pasti dia nggak tahan kalau pakai jilbab”. Kemudian saya tanya, “teteh merasa gerah nggak?” jawabnya, “Ya nggak lah, aneh ya, teteh yang pakai jilbab kok teman yang gerah”.

Kemarin, saat berada di Jogja Islamic Book Fair, banyak pengunjung pameran yang mengenakan cadar (penutup wajah). Seorang teman sempat bertanya, “repot nggak ya kalau mau makan?” “bagaimana kita tahu kalau dia tersenyum atau tidak?”. Ini soal keyakinan, adapun soal repot atau tidak, bukan urusan kita. Buktinya mereka masih bertahan dengan cadarnya itu.

Lain lagi dengan para lelaki yang senang mengenakan celana ngatung alias celana yang menggantung, ujung celananya hanya sampai kira-kira sepuluh centimeter di atas mata kaki. Teman yang lain berkomentar, “betah ya mereka pakai celana begitu, kan nggak semua tempat pantas dikunjungi dengan celana model seperti itu”.

Sebenarnya, orang yang mengenakan celana ngatung itu terlihat nyaman dan santai-santai saja. Problemnya justru ada di teman yang berkomentar itu, orang lain yang pakai celana ngatung, kenapa dia yang merasa tidak nyaman. “Nggak betah melihatnya,” komentar tambahannya.

Di tempat lain, sering terlihat orang-orang yang di jalan raya sambil menenteng tas besar berisi beragam produk. Berjalan kaki sambil dipayungi terik matahari, mengenakan kemeja lengan panjang plus dasi! Ada lagi yang berkomentar, “Keren nggak, gerah iya. Panas-panas di jalan raya masih pakai dasi…”

Jalan raya dan tempat-tempat umum lain, layaknya catwalk. Di kantor, di rumah sakit, sekolah, kampus, jalan raya, bis kota, ruang pameran dan tempat lainnya terdapat jutaan peraga busana dengan aneka ragam model penampilan. Kita sering berperan sebagai tim penilai, padahal kita sendiri tengah dinilai.

Kadang, tanpa disadari mulut ini sering usil dan dengan mudahnya mengomentari penampilan orang lain. Apa saja yang terasa ganjil di mata selalu menjadi sasaran mulut jahil ini untuk berkomentar, memberi penilaian layaknya juri lomba fashion. Orang lain yang pakai jilbab, kita yang gerah. Melihat orang pakai baju bolong-bolong, kita yang malu. Ada yang jenggotnya panjang, kita yang geli, dan orang lain yang senang pakai dasi justru kita yang pusing.

Memang tidak sedikit orang yang belum memahami soal estetika dalam berpenampilan. Dalam pemilihan model, baik model pakaian maupun aksesoris yang menempel di tubuh, termasuk rambut. Ada yang ingin jadi trendsetter ada pula yang follower, tidak peduli pantas atau tidak. Begitu pula soal pilihan warna, sering sekali berseliweran orang dengan warna pakaian yang tidak cocok dengan warna kulitnya.

Tapi kalau mau jujur, yang aneh itu sebenarnya bukan orang-orang yang sering dianggap salah kostum –saltum- itu. Sesungguhnya yang aneh adalah orang yang banyak komentar soal penampilan orang lain, seolah tidak ada hal lain yang lebih layak untuk dipikirkan atau dikomentari. Sayang sekali energi dihabiskan untuk menilai orang lain sementara yang bersangkutan tidak peduli dan tetap percaya diri dengan penampilannya.

Lebih aneh lagi, karena pada saat yang sama, kita sering lupa menilai penampilan diri sendiri, apakah sudah cukup pantas, rapih, dan enak dipandang. Saking sibuknya menilai penampilan orang lain, padahal orang lain pun sebenarnya tengah menilai penampilan kita yang juga tak sedap dipandang. Jadilah orang aneh menilai orang aneh.

Memilih dan menentukan penampilan biasanya orang memertimbangkan dua hal, kepercayaan diri dan selera orang. Di dalamnya termasuk soal estetika, kepantasan, trend dan mode, dan lain sebagainya. Namun seringkali hanya satu dari dua hal tadi yang dijadikan dasar, ada yang mengandalkan rasa percaya diri, tidak peduli orang suka atau tidak. Ada pula yang menuruti selera orang, masa bodoh pantas atau tidak di tubuh sendiri.

Jadi yang lebih baik bagaimana? Percaya diri boleh, juga jangan terlalu menuruti selera orang. Masukan dari orang lain diseimbangkan dengan proporsi tubuh dan yang pasti daya beli. Hormati saja penampilan orang lain, toh belum ada yang mengusik penampilan Anda kan? Yang lebih penting dari itu, sebelum banyak komentar soal penampilan orang, lihat dulu diri sendiri. (gaw)

4 comments:

Anonymous said...

Asslm. salam kenal mas. aq setuju bngt ma kmu.seperti kata pepatah semut d seberang lautan jelas kelihatan tapi gajah d depan mata tidak kelihatan. Kdng suka sibuk sendiri dgn komentar orng ttng penampilan kita, atau meniru artis idola. Menurutqu selama kita merasa nyaman, sopan dn sesuai dgn situasi dn kondisi be your self. TQ

Anonymous said...

kadang2 juga.. orang itu gak peduli matching atau nggak.. lha punyanya cuma itu.. :-)yang terbagus menurut dia, dan yang ada..
tapi terkadang orang lain usil banget emang ngomentari.. daripada komen ya beliin dong.. kekekeke
*itu komen saya ke temen saya yang komen ama baju orang berlebaran, padahal kenal juga nggak ..

Anonymous said...

he..he... saya setuju 100 %, tapi... emang susah buat ngilangin kebiasaan usil tersebut... (mungkin sebagai bentuk kasih sayang atau perhatian kita ma orang lain ya kang??).

pupuk organik said...

pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik