Speechless, saya kehilangan kata-kata, dan mata ini langsung berkaca-kaca mendengar kisah mengharukan dari Ibu N -maaf saya belum mendapat izin menyebut namanya di publik- pada kelas School of Life (SOL) Chapter "Mudahnya Memaafkan", 26 Juli 2008 di Hotel Panghegar, Bandung.
Tanpa harus merinci detil kisahnya seperti yang dituturkannya pada sore itu, N menghadapi sebuah masalah yang sangat serius dalam perjalanan hidupnya berkenaan dengan sang buah hati dan keluarga besarnya. Intinya, kurang lebih satu tahun lalu ia dan suaminya merelakan anak sulungnya, sebut saja Kaka, "dipinjam" oleh saudara dari suaminya dengan alasan sebagai pemancing agar keluarga itu segera diberi momongan oleh Allah.
Mulanya N dengan berat hati melepas Kaka, namun karena ia merasa kasihan dengan saudaranya itu, maka ia pun membolehkan dengan catatan diperbolehkan menjenguk anaknya setiap bulan. Kaka pun dibawa dan tinggal bersama keluarga barunya di salah satu kota di pinggiran Jakarta.
Bagaimanapun, ibu tetaplah ibu, ia akan tetap menjadi ibu bagi anaknya. Ia berdiskusi kepada suaminya untuk mengambil kembali Kaka untuk dibawa ke Bandung. Suaminya setuju dan mulai melakukan pendekatan kepada keluarganya agar diizinkan mengambil kembali anaknya. Terlebih setelah N dan suaminya mengetahui bahwa isteri dari saudaranya itu positif mengidap Miom dan hampir tidak mungkin mendapatkan anak. Tetapi yang terjadi berbeda, dari niatnya "meminjam", berubah ada rasa ingin memiliki. Sisi positifnya, mereka memang sangat menyayangi Kaka seperti anaknya sendiri. Tetapi N dan suaminya tetap merasa lebih berhak mendidik anaknya sendiri.
Masalah ini pun menjadi masalah besar antar dua keluarga. N sempat dilarang untuk sering-sering menjenguk Kaka. "Nanti Kaka ingat terus sama ibunya", begitu alasannya. N makin bingung kenapa ia sebagai ibunya dilarang menengok anaknya sendiri.
Berat bagi N dan suaminya menyelesaikan masalah ini, karena ancaman terburuk jika ia memaksa mengambil Kaka adalah perpecahan keluarga. Ia dan suaminya terus berupaya sambil memohon pertolongan kepada Allah agar dimudahkan dalam menyelesaikan masalah tersebut. N sempat merasa sangat marah dan merasa tak mudah memaafkan sikap saudaranya yang tak mau melepas Kaka.
Tetapi perlahan masalah ini pun bisa terselesaikan dengan komunikasi yang baik dan kesabaran yang luar biasa dari N dan suaminya. Ia sangat ingin Kaka kembali tanpa harus membuat perpecahan di keluarganya. Alhamdulillah setelah melalui proses panjang, akhirnya Kaka pun kembali. Dan hari Sabtu 26 Juli itulah hari bahagia N dan Kaka, karena di hari itulah Kaka dijemput Ayahnya.
"Apakah saya tak berhak marah?" tanya N kepada kelas SOL
Sekali lagi, saya tak mampu berkata apapun. Begitu juga dengan peserta lainnya.
Sobat, Al Gazhali berkata, Seseorang dibolehkan marah jika memiliki alasan yang tepat untuk marah. Terpenting dari itu adalah, bagaimana ia melampiaskan amarahnya itu dengan cara yang wajar, sesuai dengan kadar kesalahan yang dilakukan orang lain yang menjadi objek marahnya. Sebab kebanyakan yang terjadi, kita kerap mencari-cari alasan untuk marah dan ketika melampiaskannya sangat berlebihan, sangat tidak seimbang dengan tingkat kesalahan orang itu.
Tetapi, tetaplah memaafkan lebih baik bukan?
Masih ada kisah lanjutan dari Bandung. Ditunggu, atau daripada menunggu, bergabunglah dengan kelas SOL.
Hubungi Andips, 0856 1115545
email: schooloflife.gaw@gmail.com
http://bayugawtama.net/?p=19
1 comment:
pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik , pupuk organik
Post a Comment