taken from http://warnaislam.com
Boleh jadi kita termasuk yang sering menyepelekan uang receh nilai seratus rupiah. Kembalian belanja di warung, dianggap tidak berharga. Beberapa orang bahkan sengaja tidak mengambil uang kembalian berupa beberapa koin cepe’an itu dan dibiarkan tergeletak begitu saja di meja kasir pusat perbelanjaan. Sebagian orang tersenyum tanda setuju kepada petugas kasir yang menukar uang seratus dengan sebutir permen.
Di rumah dan di kantor, uang koin seratus rupiah berserakan di lantai atau menumpuk di laci tanpa kejelasan penggunaannya kecuali menunggu pengamen dan pengemis datang. Sebab nilai mata uang terkecil itu pun kadang tak berlaku untuk tukang parkir, bahkan untuk uang jajan anak-anak di sekolah pun tak disentuh, “Seratus? Dapat apa?” kata mereka.
Tahukah Anda bahwa uang receh seratus rupiah sangat berharga bagi seseorang? Maryudi, 36 tahun, seorang guru mengaji anak-anak di Kampung Nangela, Desa Jagabita, Kecamatan Parung Panjang, Kabupaten Bogor. Setiap sore mengajar anak-anak di majelis yang berdiri di halaman rumahnya, bayaran Yudi hanya Rp. 100,- per anak per minggu. “Itu juga nggak wajib, dan kebanyakan yang nggak bayar,” sela Linda, isteri Yudi.
Mulanya, ungkap Yudi, anak-anak yang belajar mengaji ada sekitar seratus anak. Tapi sekarang tinggal lima puluhan anak. “mereka takut, soalnya majelisnya hampir roboh,” terang Yudi sedih. Majelis seluas 7x7 meter yang berdiri di halaman rumah Yudi dibangun sekitar tahun 1993 dengan swadaya masyarakat. Seluruh bahan bangunan model panggung itu menggunakan bambu, mulai dari bawah sampai ke penyangga atap. Atapnya menggunakan genteng tanah, sedangkan dindingnya terbuat dari bilik.
Sebagian lantainya sudah bolong, hal ini yang membuat anak-anak takut karena bisa kejeblos ke bawah. Belum lagi beberapa kaki penyangga yang agak miring, jelas sangat mengkhawatirkan. Pintunya sudah rusak, atapnya pun bocor di beberapa bagian. Padahal majelis ini masih sering dipakai untuk mengaji anak-anak setiap sore, pengajian ibu-ibu setiap hari Kamis dan untuk bapak-bapak Minggu malam. “Ingin sekali memperbaikinya, tapi tidak ada dananya,” ungkap guru muda itu.
Uang seratus rupiah sangat berharga bagi Yudi, namun ia jelas tak bisa mengandalkan kebutuhan hidupnya dari uang yang tak seberapa itu. Maka ia pun bertani, menggarap sawah dan kebun yang bukan miliknya, sekadar untuk mendapatkan makan sehari-hari ia, isteri dan lima anaknya.
Tidak ada barang berharga di rumah berdinding bata merah yang belum diplester itu. Hanya ada satu televisi hitam putih 14 inchi keluaran tahun 1980an bermerk Intel, merk yang mungkin sudah tidak diproduksi lagi. Barang berharga lainnya ada sebuah magic jar, untuk memasak dan menghangatkan nasi. Selebihnya, nyaris tidak ada apapun di rumah itu. Dapurnya masih berlantai tanah, dihiasi dua baris tungku api. Mereka masih menggunakan kayu bakar untuk memasak. Tidak ada kamar mandi di rumah itu, hanya ada bilik berukuran 3x4 meter dengan sebuah sumur tua yang sangat dalam.
Isterinya yang masih berusia 25 tahun, terlihat masih sangat muda menanggung amanah mendidik lima anak, masing-masing Ulfi Mahendra (12), Selvi (9), Sela (8), Resa (4) dan Olip (16 bulan). Ketika penulis bertandang ke rumah Yudi, Resa si pengais bungsu tengah menikmati sepiring kecil nasi dengan kerupuk sebagai lauknya. Resa diduga menderita gizi buruk karena di usianya yang sudah empat tahun hanya memiliki berat badan 9,5 kg. Lingkar lengannya seukuran bayi usia 6 bulan, matanya celong, dan wajahnya pucat tanpa ekspresi.
Serba salah bagi Yudi, ingin sekali ia mencari pekerjaan lain di luar kampungnya demi memberikan penghidupan yang lebih baik untuk keluarganya. Namun keterbatasan keterampilan membuatnya ragu melangkah. Selain itu, ia juga khawatir dengan pembinaan anak-anak di kampungnya. “nggak ada yang mau ngajar ngaji tanpa dibayar, kalau pun ada ya segitu bayarannya…”
Sebaiknya memang harus ada orang-orang yang mendedikasikan dirinya untuk pembinaan anak-anak di sekitarnya. Namun dengan kondisi seperti Yudi, ia harus bertarung antara kebutuhan hidupnya dengan keinginan untuk terus membina anak-anak kampung. Sebuah kondisi yang selalu membuatnya bingung. Ditambah lagi dengan kondisi majelis yang nyaris roboh, berdoa saja tidak cukup bagi Yudi. Namun usaha seorang Yudi pun sendirian bisa dipastikan takkan berhasil menyelesaikannya. Untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya saja ia masih kewalahan.
Hmm, sekadar membaca artikel ini saja tidak cukup buat kita bukan? Mulailah dengan tak menganggap remeh koin seratus rupiah Anda, karena itu sangat berarti bagi seorang seperti Maryudi. (Gaw)
Anak Betawi yang Keliling Dunia Lewat Blog
Kate siape anak Betawi kagak bise maju? siape kate anak Betawi pade males dan banyak nyang jadi pengangguran? Bukan maksud nyombong atawe unjuk gigi, aye cuma ngasih tau kalo kagak semue anak Betawi kayak nyang ente kire...
Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...
Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...
Monday, November 17, 2008
Thursday, November 13, 2008
Tak Cukup dengan Doa
Ada seseorang yang mendatangi saudaranya sesama muslim untuk mengadukan masalahnya. Sebenarnya ia bingung dan malu menyampaikan maksud kedatangannya, namun karena permasalahannya sudah sangat mendesak ia pun terpaksa mengutarakannya, itu pun dengan sangat hati-hati. “Kontrakan saya sudah mau habis, bagaimana menurut saudara?”, ia kehabisan ide untuk menyampaikan maksudnya lebih jelas.
“Ohh, saya kira sebaiknya saudara mencari kontrakan yang baru. Tempat tinggal yang sekarang nampaknya kurang baik untuk kesehatan seluruh anggota keluarga”, saran saudaranya itu.
Padahal, maksudnya bukan minta saran seperti itu, melainkan ia secara tidak langsung ingin meminta bantuan pinjaman uang untuk memerpanjang kontrakannya satu tahun atau setidaknya enam bulan ke depan. Perasaan tidak enak dan malu membuatnya bingung menyampaikan maksud hati yang sebenarnya.
Ia pun mencobanya kembali, “Usaha dagang saya sedang tidak bagus, bulan kemarin saja saya harus nombok dan terus merugi. Saya sudah kehabisan uang,” kali ini mulai lebih jelas.
Tapi, “Mungkin saudara belum benar-benar khusyuk dalam beribadah, belum serius dalam berdoa. Cobalah lebih banyak lagi menambah amalan-amalan sunnah, berdoalah lebih iba kepada Allah. Insya Allah, Dia akan lebih mendengar doa saudara. Tenang, saya saudaramu, saya juga akan mendoakan agar usahamu lancar dan berhasil,” rupanya masih belum nyambung.
Maksud ia mendatangi saudaranya itu sebenarnya sudah jelas untuk minta bantuan, bukan minta nasihat. Ia berharap saudaranya yang kelebihan harta dan memiliki beberapa bidang usaha itu mau memberinya modal usaha. Bukan doa yang dimintanya, padahal saudaranya itu memiliki sejumlah kontrakan, salah satu bidang usahanya.
Satu sisi, tidak ada yang salah dengan nasihat-nasihatnya. Mungkin betul saudaranya itu kurang dalam ibadahnya, jarang meminta kepada Allah. Tetapi bisa jadi sebaliknya, ada orang yang sudah benar-benar khusyuk dalam beribadah, dan tak melewatkan satu malam pun untuk berdoa dalam tahajjudnya, hanya saja Allah masih ingin menguji kesabarannya.
Faktanya, saat itu ia memerlukan bantuan saudaranya secara nyata. Bukan dalam bantuk doa dan nasihat. Entah itu sedekah atau pinjaman, karena memang itu yang benar-benar diharapkannya. Setelah memberi bantuan, terserah mau sebanyak apapun memberi nasihat, pasti akan didengarkan karena hatinya sudah sedikit tenang.
Orang yang tertimpa musibah dan mendapat kesulitan, sebaiknya tidak ditolong hanya dengan doa. Ringankan bebannya terlebih dulu, kemudian berilah ia nasihat kesabaran dan doakan agar ia bisa segera keluar dari kesulitannya. Sama halnya dengan saudara kita yang sedang sakit, ucapan “semoga lekas sembuh” memang sudah cukup sebagai bentuk perhatian. Namun bagi sebagian lain, kesembuhannya bisa lebih cepat dengan cara dikunjungi dan membawa sedikit buah tangan untuk menghiburnya. Bahkan, ada pula yang harus dibantu biaya perawatannya.
Jika ada saudara kita yang kelaparan, apakah akan merasa kenyang setelah kita doakan? (gaw)
“Ohh, saya kira sebaiknya saudara mencari kontrakan yang baru. Tempat tinggal yang sekarang nampaknya kurang baik untuk kesehatan seluruh anggota keluarga”, saran saudaranya itu.
Padahal, maksudnya bukan minta saran seperti itu, melainkan ia secara tidak langsung ingin meminta bantuan pinjaman uang untuk memerpanjang kontrakannya satu tahun atau setidaknya enam bulan ke depan. Perasaan tidak enak dan malu membuatnya bingung menyampaikan maksud hati yang sebenarnya.
Ia pun mencobanya kembali, “Usaha dagang saya sedang tidak bagus, bulan kemarin saja saya harus nombok dan terus merugi. Saya sudah kehabisan uang,” kali ini mulai lebih jelas.
Tapi, “Mungkin saudara belum benar-benar khusyuk dalam beribadah, belum serius dalam berdoa. Cobalah lebih banyak lagi menambah amalan-amalan sunnah, berdoalah lebih iba kepada Allah. Insya Allah, Dia akan lebih mendengar doa saudara. Tenang, saya saudaramu, saya juga akan mendoakan agar usahamu lancar dan berhasil,” rupanya masih belum nyambung.
Maksud ia mendatangi saudaranya itu sebenarnya sudah jelas untuk minta bantuan, bukan minta nasihat. Ia berharap saudaranya yang kelebihan harta dan memiliki beberapa bidang usaha itu mau memberinya modal usaha. Bukan doa yang dimintanya, padahal saudaranya itu memiliki sejumlah kontrakan, salah satu bidang usahanya.
Satu sisi, tidak ada yang salah dengan nasihat-nasihatnya. Mungkin betul saudaranya itu kurang dalam ibadahnya, jarang meminta kepada Allah. Tetapi bisa jadi sebaliknya, ada orang yang sudah benar-benar khusyuk dalam beribadah, dan tak melewatkan satu malam pun untuk berdoa dalam tahajjudnya, hanya saja Allah masih ingin menguji kesabarannya.
Faktanya, saat itu ia memerlukan bantuan saudaranya secara nyata. Bukan dalam bantuk doa dan nasihat. Entah itu sedekah atau pinjaman, karena memang itu yang benar-benar diharapkannya. Setelah memberi bantuan, terserah mau sebanyak apapun memberi nasihat, pasti akan didengarkan karena hatinya sudah sedikit tenang.
Orang yang tertimpa musibah dan mendapat kesulitan, sebaiknya tidak ditolong hanya dengan doa. Ringankan bebannya terlebih dulu, kemudian berilah ia nasihat kesabaran dan doakan agar ia bisa segera keluar dari kesulitannya. Sama halnya dengan saudara kita yang sedang sakit, ucapan “semoga lekas sembuh” memang sudah cukup sebagai bentuk perhatian. Namun bagi sebagian lain, kesembuhannya bisa lebih cepat dengan cara dikunjungi dan membawa sedikit buah tangan untuk menghiburnya. Bahkan, ada pula yang harus dibantu biaya perawatannya.
Jika ada saudara kita yang kelaparan, apakah akan merasa kenyang setelah kita doakan? (gaw)
Jangan Dibaca!
Tidak aneh jika mendapati dinding yang penuh coretan tangan iseng, meski di dinding itu sudah ada sebuah peringatan “Dilarang coret-coret”. Semakin dilarang semakin penuh coretannya. Pernah ada anak sekolah yang mencoret bis kota dengan spidol dengan alasan, “Saya cuma menambah coretan yang sudah ada kok…” sambil menunjuk tulisan “dilarang mencoret” yang dianggapnya sebagai coretan pertama.
Kalau ada pojok jalanan, sudut pasar atau tempat-tempat yang dianggap strategis lainnya yang beraroma tak sedap alias bau pesing, selalu saja ada peringatan “Dilarang kencing di sini”. Bukan karena sebelumnya tempat itu selalu jadi tempat aman untuk buang hajat, melainkan memang sampai detik ini masih selalu dipakai oleh mereka yang kesulitan menemukan toilet yang sebenarnya.
Sering juga lihat tulisan “Dilarang dicoba sebelum membeli” di antara tumpukan buah lengkeng di sebuah pusat perbelanjaan. Menarik sekali karena justru tulisan itu dikelilingi orang-orang yang tengah memilih sambil menikmati manisnya buah kelengkeng. Alasannya sih masuk akal, “Kalau manis baru kita beli, makanya dicoba dulu”. Tapi kenapa nyobanya berkali-kali?
Tidak berbeda ketika memberikan larangan kepada anak-anak. Misalnya, “jangan disentuh” pasti disentuh, atau “jangan berisik” justru gaduhnya minta ampun. Dibilang jangan berlari, dia berlari, jangan masuk eh sudah di dalam. Suruh berdiri, dia duduk, begitu juga sebaliknya. Di Mall, seorang ibu yang berpesan “jangan kemana-mana ya nak, diam di sini”, sesaat kemudian kebingungan mencari anaknya ke seluruh sudut Mall.
Akhir pekan kemarin saat menjadi trainer outbound anak-anak SMA, anak-anak yang takut melintasi flying fox dimotivasi tidak dengan cara menyemangati, melainkan diminta untuk menyerah. “Sudah ya, menyerah saja. Daripada ragu-ragu, wajar kok kalau anak-anak takut”. Yang terjadi sebaliknya, ia maju dengan berani dan melewati semua rintangan. Dia bilang, “Siapa yang takut?”
Ini logika terbalik, dilarang justru dilakukan, tidak boleh diartikan sebagai izin, namun ketika diizinkan malah tidak melakukan apa-apa. Perintah tidak digubris, yang tidak diperintah malah dikerjakan.
Secara psikologis, kalimat “jangan”, “tidak boleh” atau “dilarang” mengandung rasa ingin tahu. Anak-anak maupun orang dewasa memiliki kecenderungan yang sama, jika dilarang lantas bertanya, “kenapa?”, maka reaksi selanjutnya adalah melakukan apa-apa yang “tidak boleh” dan “dilarang” itu untuk mengetahui sebab apa sesuatu itu dilarang.
Dilarang main api, maka ada yang nekat main api. Ketika terjadi kebakaran, barulah ia mengerti kenapa main api itu dilarang. Orang belum bisa percaya bahwa membuang sampah sembarangan itu bisa menyebabkan banjir, bahkan menebang pohon secara serampangan akan mengakibatkan banjir bandang. Nanti jika sudah benar-benar terjadi banjir, barulah ia mengerti akibat perbuatannya. Masalahnya, sudah terlambat.
Seperti tulisan ini, meskipun judulnya “Jangan Dibaca”, Anda membaca juga kan? Begitulah kita, selalu memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Tidak masalah, sepanjang perasaan itu mampu diarahkan kepada hal-hal yang positif. (gaw).
http://warnaislam.com
Kalau ada pojok jalanan, sudut pasar atau tempat-tempat yang dianggap strategis lainnya yang beraroma tak sedap alias bau pesing, selalu saja ada peringatan “Dilarang kencing di sini”. Bukan karena sebelumnya tempat itu selalu jadi tempat aman untuk buang hajat, melainkan memang sampai detik ini masih selalu dipakai oleh mereka yang kesulitan menemukan toilet yang sebenarnya.
Sering juga lihat tulisan “Dilarang dicoba sebelum membeli” di antara tumpukan buah lengkeng di sebuah pusat perbelanjaan. Menarik sekali karena justru tulisan itu dikelilingi orang-orang yang tengah memilih sambil menikmati manisnya buah kelengkeng. Alasannya sih masuk akal, “Kalau manis baru kita beli, makanya dicoba dulu”. Tapi kenapa nyobanya berkali-kali?
Tidak berbeda ketika memberikan larangan kepada anak-anak. Misalnya, “jangan disentuh” pasti disentuh, atau “jangan berisik” justru gaduhnya minta ampun. Dibilang jangan berlari, dia berlari, jangan masuk eh sudah di dalam. Suruh berdiri, dia duduk, begitu juga sebaliknya. Di Mall, seorang ibu yang berpesan “jangan kemana-mana ya nak, diam di sini”, sesaat kemudian kebingungan mencari anaknya ke seluruh sudut Mall.
Akhir pekan kemarin saat menjadi trainer outbound anak-anak SMA, anak-anak yang takut melintasi flying fox dimotivasi tidak dengan cara menyemangati, melainkan diminta untuk menyerah. “Sudah ya, menyerah saja. Daripada ragu-ragu, wajar kok kalau anak-anak takut”. Yang terjadi sebaliknya, ia maju dengan berani dan melewati semua rintangan. Dia bilang, “Siapa yang takut?”
Ini logika terbalik, dilarang justru dilakukan, tidak boleh diartikan sebagai izin, namun ketika diizinkan malah tidak melakukan apa-apa. Perintah tidak digubris, yang tidak diperintah malah dikerjakan.
Secara psikologis, kalimat “jangan”, “tidak boleh” atau “dilarang” mengandung rasa ingin tahu. Anak-anak maupun orang dewasa memiliki kecenderungan yang sama, jika dilarang lantas bertanya, “kenapa?”, maka reaksi selanjutnya adalah melakukan apa-apa yang “tidak boleh” dan “dilarang” itu untuk mengetahui sebab apa sesuatu itu dilarang.
Dilarang main api, maka ada yang nekat main api. Ketika terjadi kebakaran, barulah ia mengerti kenapa main api itu dilarang. Orang belum bisa percaya bahwa membuang sampah sembarangan itu bisa menyebabkan banjir, bahkan menebang pohon secara serampangan akan mengakibatkan banjir bandang. Nanti jika sudah benar-benar terjadi banjir, barulah ia mengerti akibat perbuatannya. Masalahnya, sudah terlambat.
Seperti tulisan ini, meskipun judulnya “Jangan Dibaca”, Anda membaca juga kan? Begitulah kita, selalu memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Tidak masalah, sepanjang perasaan itu mampu diarahkan kepada hal-hal yang positif. (gaw).
http://warnaislam.com
Perantara Kebaikan
Di dunia ini selalu ada dua kutub yang seringkali sulit untuk bertemu satu sama lain. Meski sebenarnya, jarak keduanya tidaklah teramat jauh dan bahkan kerap berdekatan. Hanya saja, di antara kedua kutub ini berdiri dinding tebal, besar dan tinggi yang memisahkan.
Mereka yang berada di balik kedua dinding itu, satu sisi tak mampu mendaki ketinggiannya, sisi lain takut menuruni lembah yang curam. Satu pihak tak punya daya menghancurkan dindingnya, pihak lain tak ingin tangannya terluka, meski memiliki kekuatan untuk memecah ketebalan pemisah itu.
Si kaya dan si miskin adalah dua kutub yang seringkali tak bertemu meski jarak keduanya bisa saja sangat dekat bahkan berdampingan. Di sekitar rumah-rumah mewah, banyak berdiri gubuk reot dan rumah-rumah yang nyaris roboh. Penghuninya, janda tua, fakir miskin atau anak-anak yatim. Keduanya sering bertemu, tapi tak saling mengenal. Kerap berjalan beriringan, yang satu berjalan kaki, satu lainnya melintas cepat dengan mobil mewahnya.
Ada orang-orang yang tengah diuji dengan berbagai kesulitan, sementara di seberang lainnya terdapat orang-orang yang selalu mendapat atau memiliki segala kemudahan dalam hidup. Semestinya keduanya bisa bertemu, agar yang mendapat kesulitan bisa terbantu.
Tidak sedikit orang-orang yang hidup dalam kekurangan, sedangkan di pihak lain tidak sedikit pula mereka yang berkelebihan. Bukan karena yang kelebihan ini serakah dan tak berkenan berbagi kelebihannya kepada yang kekurangan. Dinding tebal dan tinggi kerap menghalangi langkah mereka menuju tempat-tempat yang kekurangan.
Begitu pula dengan soal makanan, ada orang-orang yang masih kelaparan di negeri ini. Namun ada pula yang terpaksa membuang makanannya karena berlebih atau bahkan kekenyangan. Bukan lantaran mereka senang makan berlebihan, atau punya kebiasaan membuang-buang makanan. Mereka hanya tak tahu dimana bersembunyi orang-orang yang kelaparan yang seharusnya mendapat bagian dari rezeki yang mereka punya.
Orang-orang yang terkena bencana, bukan tidak ada yang mau membantu atau memberikan sumbangan untuk meringankan penderitaannya. Sebenarnya, dermawan banyak bertebaran di berbagai tempat dan siap membantu, hanya saja mereka sering tak tahu dimana bencana itu terjadi dan bagaimana menyalurkan kedermawanannya.
Dua kutub lainnya, adalah orang-orang yang memiliki keterbatasan akses untuk mendapatkan ilmu pengetahuan sehingga sering dianggap orang-orang bodoh dan malas belajar. Padahal mereka hanya perlu dipertemukan dengan orang yang punya banyak buku-buku masih bermanfaat namun teronggok di gudang-gudang penyimpanan barang bekas. Ada yang bingung harus membeli lemari baru karena jumlah pakaiannya terus bertambah, sementara yang lain mengenakan pakaian yang itu-itu saja setiap hari.
Ada anak-anak yang kelebihan berat badan, ada pula yang kurang gizi. Ada yang bersekolah di gedung sekolah mewah berfasilitas lengkap dan modern, ada pula yang gedung sekolahnya nyaris roboh. Ada yang bingung tak punya sepatu, ada lagi yang bingung memilih sepatu. Ada yang mudah mengeluarkan uang seratus ribu rupiah, ada pula yang harus berdarah-darah untuk mendapatkan seribu rupiah.
Mudah mempertemukan dua kutub ini sepanjang ada orang-orang yang merelakan waktu, tenaga dan pikirannya untuk menjadi relawan. Mereka yang mau mendaki terjalnya tebing, memanjat tingginya dinding, menempuh perjalanan jauh, menerjang badai, angin, terik matahari serta gelap dan dinginnya malam, merelakan pundaknya menampuk beban guna menjadi perantara kebaikan.
Sebisa mungkin kita menjadi pelopor dan pelaku kebaikan, menjadi relawan itu pun sebuah kebaikan yang tak semua orang mau melakukannya. Namun ia juga berperan sebagai perantara orang yang memerlukan pertolongan dengan yang ditolong, orang yang kelebihan dengan yang kekurangan, antara mereka yang ingin berderma dengan mereka yang layak mendapat derma. Mereka juga menjadi penunjuk jalan bagi orang lain untuk menyampaikan sendiri kepeduliannya.
Tanyakan kepada mereka yang sudah menjalaninya, ada yang ingin berhenti menjadi perantara kebaikan? (gaw)
----------------------------------------------
artikel ini dipersembahkan untuk semua relawan pelangi, yang kemarin tergabung dalam kegiatan Lebaran Bareng Anak Yatim. Saya sudah buatkan milist khusus, silahkan bergabung di http://groups.yahoo.com/group/relawan_pelangi/- terbuka untuk siapa saja
Mereka yang berada di balik kedua dinding itu, satu sisi tak mampu mendaki ketinggiannya, sisi lain takut menuruni lembah yang curam. Satu pihak tak punya daya menghancurkan dindingnya, pihak lain tak ingin tangannya terluka, meski memiliki kekuatan untuk memecah ketebalan pemisah itu.
Si kaya dan si miskin adalah dua kutub yang seringkali tak bertemu meski jarak keduanya bisa saja sangat dekat bahkan berdampingan. Di sekitar rumah-rumah mewah, banyak berdiri gubuk reot dan rumah-rumah yang nyaris roboh. Penghuninya, janda tua, fakir miskin atau anak-anak yatim. Keduanya sering bertemu, tapi tak saling mengenal. Kerap berjalan beriringan, yang satu berjalan kaki, satu lainnya melintas cepat dengan mobil mewahnya.
Ada orang-orang yang tengah diuji dengan berbagai kesulitan, sementara di seberang lainnya terdapat orang-orang yang selalu mendapat atau memiliki segala kemudahan dalam hidup. Semestinya keduanya bisa bertemu, agar yang mendapat kesulitan bisa terbantu.
Tidak sedikit orang-orang yang hidup dalam kekurangan, sedangkan di pihak lain tidak sedikit pula mereka yang berkelebihan. Bukan karena yang kelebihan ini serakah dan tak berkenan berbagi kelebihannya kepada yang kekurangan. Dinding tebal dan tinggi kerap menghalangi langkah mereka menuju tempat-tempat yang kekurangan.
Begitu pula dengan soal makanan, ada orang-orang yang masih kelaparan di negeri ini. Namun ada pula yang terpaksa membuang makanannya karena berlebih atau bahkan kekenyangan. Bukan lantaran mereka senang makan berlebihan, atau punya kebiasaan membuang-buang makanan. Mereka hanya tak tahu dimana bersembunyi orang-orang yang kelaparan yang seharusnya mendapat bagian dari rezeki yang mereka punya.
Orang-orang yang terkena bencana, bukan tidak ada yang mau membantu atau memberikan sumbangan untuk meringankan penderitaannya. Sebenarnya, dermawan banyak bertebaran di berbagai tempat dan siap membantu, hanya saja mereka sering tak tahu dimana bencana itu terjadi dan bagaimana menyalurkan kedermawanannya.
Dua kutub lainnya, adalah orang-orang yang memiliki keterbatasan akses untuk mendapatkan ilmu pengetahuan sehingga sering dianggap orang-orang bodoh dan malas belajar. Padahal mereka hanya perlu dipertemukan dengan orang yang punya banyak buku-buku masih bermanfaat namun teronggok di gudang-gudang penyimpanan barang bekas. Ada yang bingung harus membeli lemari baru karena jumlah pakaiannya terus bertambah, sementara yang lain mengenakan pakaian yang itu-itu saja setiap hari.
Ada anak-anak yang kelebihan berat badan, ada pula yang kurang gizi. Ada yang bersekolah di gedung sekolah mewah berfasilitas lengkap dan modern, ada pula yang gedung sekolahnya nyaris roboh. Ada yang bingung tak punya sepatu, ada lagi yang bingung memilih sepatu. Ada yang mudah mengeluarkan uang seratus ribu rupiah, ada pula yang harus berdarah-darah untuk mendapatkan seribu rupiah.
Mudah mempertemukan dua kutub ini sepanjang ada orang-orang yang merelakan waktu, tenaga dan pikirannya untuk menjadi relawan. Mereka yang mau mendaki terjalnya tebing, memanjat tingginya dinding, menempuh perjalanan jauh, menerjang badai, angin, terik matahari serta gelap dan dinginnya malam, merelakan pundaknya menampuk beban guna menjadi perantara kebaikan.
Sebisa mungkin kita menjadi pelopor dan pelaku kebaikan, menjadi relawan itu pun sebuah kebaikan yang tak semua orang mau melakukannya. Namun ia juga berperan sebagai perantara orang yang memerlukan pertolongan dengan yang ditolong, orang yang kelebihan dengan yang kekurangan, antara mereka yang ingin berderma dengan mereka yang layak mendapat derma. Mereka juga menjadi penunjuk jalan bagi orang lain untuk menyampaikan sendiri kepeduliannya.
Tanyakan kepada mereka yang sudah menjalaninya, ada yang ingin berhenti menjadi perantara kebaikan? (gaw)
----------------------------------------------
artikel ini dipersembahkan untuk semua relawan pelangi, yang kemarin tergabung dalam kegiatan Lebaran Bareng Anak Yatim. Saya sudah buatkan milist khusus, silahkan bergabung di http://groups.yahoo.com/group/relawan_pelangi/- terbuka untuk siapa saja
Kopi Susu Singkong Keju
Bukan lantaran pagi ini saya menikmati singkong goreng yang masih panas mengepul sambil menyeruput kopi susu panas, kemudian tulisan ini berjudul seperti tertera di atas. Kopi susu sudah menjadi rutinitas pagi sebelum beraktifitas, seraya menyaksikan beragam berita pagi yang disajikan beberapa stasiun televisi.
Sejak dulu orang sudah mengenal kopi. Penikmati kopi sejati tahu persis jenis kopi paling enak di jagad raya, meski setiap orang dari berbagai daerah punya selera masing-masing. Kopi Jawa dianggap lebih lembut dari kopi Sumatera. Bahkan kopi Sumatera pun masih berbeda-beda rasanya, mulai dari Lampung sampai Aceh.
Cara meracik dan meminum kopi pun berbeda-beda, ada kopi tarik di Aceh karena cara meraciknya dengan cara ditarik seduhan kopinya ke atas menggunakan saringan dan dituangkan ke cangkir langsung dari saringan yang sudah ditarik ke atas. Di Blora, tepatnya di Cepu ada kopi kotok, entah kenapa namanya demikian, tetapi cara meraciknya lumayan menarik. Bubuk kopi, gula dan air direbus sama-sama di atas tungku sampai mendidih, baru kemudian dituangkan ke cangkir.
Kopi berwarna hitam dengan rasa dan aroma yang khas, cita rasa pahitnya sangat digemari berbagai kalangan, laki-laki dan perempuan. Begitu pula dengan susu, sebelum ada susu coklat, minuman ini identik dengan warna putih.
Hitam dan putih adalah dua kutub warna yang berseberangan, kerap dijadikan perumpamaan kebenaran dan kebatilan. Kasihan sekali si hitam yang selalu dianggap salah, padahal si putih tidak selalu benar. Iklan-iklan di televisi pun sering ikut-ikutan tidak adil merefleksikan kecantikan dengan kulit putih. Terlebih kita tidak pernah mendengar istilah “kambing putih” karena yang ada hanya “kambing hitam”.
Entah kapan orang pertama kali mencampur kopi dengan susu, sebab dahulu kopi dan susu ibarat minyak dan air, sesuatu yang tabu dicampur. Kopi ya kopi, berwarna hitam. Susu juga susu saja, putih warnanya. Namun setelah dicampur aduk antara keduanya, tersajilah sebuah minuman yang tak kalah nikmatnya, kopi susu. Orang yang sebelumnya tidak suka susu, tapi kalau dicampur dengan kopi jadi suka susu. Sebaliknya pun begitu, yang sebelumnya tak minum kopi, jadi minum kopi setelah dipadu dengan susu. Sekali seruput dua rasa ternikmati, cita rasa bubuk kopi pahit, berpadu di lidah bersama manisnya susu yang semriwing.
Mengisi pagi dengan seruputan kopi susu belum lengkap jika tidak disertai camilan. Ada pilihan menarik, kalau orang betawi di masa lalu pilihannya ada dua, roti dan singkong. Roti isi keju salah satu favorit camilan untuk menemani kopi, ini bagi yang mampu. Bagi sebagian yang lain, pilihannya cuma ‘roti sumbu’ alias singkong.
Maka jadilah singkong dan keju ibarat langit dan bumi untuk menggambarkan si miskin dan si kaya, anak gedongan dengan anak kolong jembatan, orang mampu dengan orang yang baru bisa mimpi. Kalau bisa makan keju serasa tuan tanah, sementara yang lain cukup makan buah tanah, ya singkong itu.
Tetapi kreativitas orang-orang di negeri ini membuat jarak langit dan bumi itu menjadi rapat. Kemudian ada makanan nikmat yang disebut singkong keju, dinikmati berbagai lapisan masyarakat, tua dan muda, tak pandang status sosial. Yang sebelumnya ‘alergi’ dan merasa bukan kelasnya makan singkong, ikut menikmati. Begitu juga yang sebelumnya rasa keju masih aneh di lidah, karena niatnya makan singkong, ya lahap juga.
Sekarang bayangkan, pagi hari menonton berita Barrack Obama menjadi Presiden terpilih Amerika Serikat, atau sambil membaca koran dengan tema yang nyaris tak ada bedanya, tidak akan senikmat menyeruput kopi susu panas ditemani singkong keju yang hangat. Hmm…
Minum kopi saja sudah enak, tapi dicampur susu pun tak kalah nikmatnya. Singkong digoreng empuk hanya berbumbu garam saja sudah lezat, ditaburi keju di atasnya pasti bikin ketagihan.
Begitulah hidup, bagi sebagian orang mungkin hidup sendiri sudah merasa cukup. Tapi hidup berdampingan, akur dan bersabahat dengan tetangga dari berbagai daerah dan latar belakang, jauh lebih indah. Mengandalkan kekuatan sendiri, mungkin sudah mampu. Namun bersinergi dengan kekuatan yang dimiliki orang lain, bayangkan betapa mudahnya hidup ini. Segala yang berat terasa ringan dikerjakan bersama-sama, semua yang tidak mungkin tercapai, tiba-tiba terasa mudah terwujud.
Ada yang tidak suka kopi susu dan singkong keju? Masih ada pilihan lain kok, bisa kopi coklat, mocca atau singkong coklat… (gaw)
Sejak dulu orang sudah mengenal kopi. Penikmati kopi sejati tahu persis jenis kopi paling enak di jagad raya, meski setiap orang dari berbagai daerah punya selera masing-masing. Kopi Jawa dianggap lebih lembut dari kopi Sumatera. Bahkan kopi Sumatera pun masih berbeda-beda rasanya, mulai dari Lampung sampai Aceh.
Cara meracik dan meminum kopi pun berbeda-beda, ada kopi tarik di Aceh karena cara meraciknya dengan cara ditarik seduhan kopinya ke atas menggunakan saringan dan dituangkan ke cangkir langsung dari saringan yang sudah ditarik ke atas. Di Blora, tepatnya di Cepu ada kopi kotok, entah kenapa namanya demikian, tetapi cara meraciknya lumayan menarik. Bubuk kopi, gula dan air direbus sama-sama di atas tungku sampai mendidih, baru kemudian dituangkan ke cangkir.
Kopi berwarna hitam dengan rasa dan aroma yang khas, cita rasa pahitnya sangat digemari berbagai kalangan, laki-laki dan perempuan. Begitu pula dengan susu, sebelum ada susu coklat, minuman ini identik dengan warna putih.
Hitam dan putih adalah dua kutub warna yang berseberangan, kerap dijadikan perumpamaan kebenaran dan kebatilan. Kasihan sekali si hitam yang selalu dianggap salah, padahal si putih tidak selalu benar. Iklan-iklan di televisi pun sering ikut-ikutan tidak adil merefleksikan kecantikan dengan kulit putih. Terlebih kita tidak pernah mendengar istilah “kambing putih” karena yang ada hanya “kambing hitam”.
Entah kapan orang pertama kali mencampur kopi dengan susu, sebab dahulu kopi dan susu ibarat minyak dan air, sesuatu yang tabu dicampur. Kopi ya kopi, berwarna hitam. Susu juga susu saja, putih warnanya. Namun setelah dicampur aduk antara keduanya, tersajilah sebuah minuman yang tak kalah nikmatnya, kopi susu. Orang yang sebelumnya tidak suka susu, tapi kalau dicampur dengan kopi jadi suka susu. Sebaliknya pun begitu, yang sebelumnya tak minum kopi, jadi minum kopi setelah dipadu dengan susu. Sekali seruput dua rasa ternikmati, cita rasa bubuk kopi pahit, berpadu di lidah bersama manisnya susu yang semriwing.
Mengisi pagi dengan seruputan kopi susu belum lengkap jika tidak disertai camilan. Ada pilihan menarik, kalau orang betawi di masa lalu pilihannya ada dua, roti dan singkong. Roti isi keju salah satu favorit camilan untuk menemani kopi, ini bagi yang mampu. Bagi sebagian yang lain, pilihannya cuma ‘roti sumbu’ alias singkong.
Maka jadilah singkong dan keju ibarat langit dan bumi untuk menggambarkan si miskin dan si kaya, anak gedongan dengan anak kolong jembatan, orang mampu dengan orang yang baru bisa mimpi. Kalau bisa makan keju serasa tuan tanah, sementara yang lain cukup makan buah tanah, ya singkong itu.
Tetapi kreativitas orang-orang di negeri ini membuat jarak langit dan bumi itu menjadi rapat. Kemudian ada makanan nikmat yang disebut singkong keju, dinikmati berbagai lapisan masyarakat, tua dan muda, tak pandang status sosial. Yang sebelumnya ‘alergi’ dan merasa bukan kelasnya makan singkong, ikut menikmati. Begitu juga yang sebelumnya rasa keju masih aneh di lidah, karena niatnya makan singkong, ya lahap juga.
Sekarang bayangkan, pagi hari menonton berita Barrack Obama menjadi Presiden terpilih Amerika Serikat, atau sambil membaca koran dengan tema yang nyaris tak ada bedanya, tidak akan senikmat menyeruput kopi susu panas ditemani singkong keju yang hangat. Hmm…
Minum kopi saja sudah enak, tapi dicampur susu pun tak kalah nikmatnya. Singkong digoreng empuk hanya berbumbu garam saja sudah lezat, ditaburi keju di atasnya pasti bikin ketagihan.
Begitulah hidup, bagi sebagian orang mungkin hidup sendiri sudah merasa cukup. Tapi hidup berdampingan, akur dan bersabahat dengan tetangga dari berbagai daerah dan latar belakang, jauh lebih indah. Mengandalkan kekuatan sendiri, mungkin sudah mampu. Namun bersinergi dengan kekuatan yang dimiliki orang lain, bayangkan betapa mudahnya hidup ini. Segala yang berat terasa ringan dikerjakan bersama-sama, semua yang tidak mungkin tercapai, tiba-tiba terasa mudah terwujud.
Ada yang tidak suka kopi susu dan singkong keju? Masih ada pilihan lain kok, bisa kopi coklat, mocca atau singkong coklat… (gaw)
Isteri Simpanan
Seandainya judul tulisan ini "Simpanan Isteri", entah apakah ada yang tertarik untuk membacanya atau tidak. Kalau pun ada, seyakinnya saya tidak akan sebanyak jika judulnya tetap seperti tertera di atas. Mungkin tidak banyak yang tertarik untuk meng-klik judul di atas untuk kemudian membacanya.
Meski dua kata yang dipakai sama, namun hanya sekadar membalikkan urutannya artinya sangat jauh berbeda. “Simpanan isteri” sangat tidak menarik, orang hanya akan berpikir sebentar dan memahaminya sebatas, “ooh, mungkin maksudnya tabungan, perhiasan atau barang berharga lainnya yang disimpan oleh sang isteri”. Tapi kalau “Isteri simpanan”, wah ini jelas lebih menarik, mengguncang stabilitas rukun tetangga, rukun warga, hingga kelurahan.
Simpan berarti meletakkan sesuatu di tempat yang rapih dan aman. Dengan akhiran ‘an’ di belakang kata tersebut, bermakna sesuatu yang diletakkan oleh seseorang secara rapih dan aman. Jadi, isteri simpanan berarti isteri yang diletakkan –ditempatkan- di satu lokasi yang rapih dan aman. Aman dari siapa? Tentunya aman dari penglihatan dan penciuman isteri pertama.
Di suatu kampung, terdengar desas-desus bahwa perempuan Y ternyata simpanan seorang pejabat di Jakarta. Pantas saja rumahnya besar, mobilnya bagus, pakaiannya bermerk, telepon selularnya sering gonta-ganti, padahal ia tidak bekerja, bukan pengusaha ataupun selebritis. Ini baru gosip, tapi secepat kilat menyebar seantero kampung. Si Y pun langsung menjadi buah bibir ibu-ibu –juga bapak-bapak- sekampung.
Di kampung lain terjadi kehebohan, seorang pria setengah baya yang belum lama menceraikan isterinya yang dianggap sudah tidak menarik, tak berapa lama terlihat sudah menikah lagi dengan isteri muda yang lebih cantik, singset, ranum dan segar. Ketika ditanya tetangganya, dengan enteng dia menjawab, “tukar tambah”.
Meledaklah seisi kampung, dari mulut ke mulut tema yang dibicarakan cuma satu, “isteri kok tukar tambah, memangnya motor!” Tidak peduli lagi apakah istilah “tukar tambah” yang keluar dari mulut pria itu sekadar gurauan atau basa-basi. Yang pasti soal tukar tambah isteri sudah menjalar bahkan memancing pria-pria lain untuk bertanya, “Dimana toko yang jual isteri macam punya situ? Pesan satu dong… ”
Lain lagi di kampung yang tak jauh dari kampung tadi, seorang janda muda diduga sering menginapkan lelaki yang bukan suaminya di rumahnya. Ibu-ibu, juga bapak-bapak ribut mencari tahu kebenaran berita tersebut, tapi hanya dari sumber-sumber yang tidak jelas. Tidak berani langsung dari sumber aslinya. Ini baru dugaan, isu yang belum dapat dibuktikan. Tapi beritanya sudah meluberi kampung, menutupi kenyataan sebenarnya bahwa lelaki yang sering menginap itu adalah adik kandung janda itu yang sangat perhatian terhadap kakak perempuannya.
Gosip, isu, sak wasangka, kabar burung, atau apapun istilahnya yang berkonotasi “katanya-katanya”, sangat cepat berhembus dari satu pintu ke pintu rumah kita. Dari mulut ke mulut seperti tanpa batas, tanpa filter terserap begitu saja. Tidak ada check dan re-check (tabayyun) alias konfirmasi langsung kepada yang bersangkutan, layaknya seorang wartawan senior di medan perang, bersemangat sekali kita menyampaikannya kepada khalayak pendengar sekampung.
Beda ceritanya kalau berita yang terdengar merupakan prestasi, keberhasilan, kesuksesan seorang warga. Misalnya ada yang naik pangkat, juara kelas, terpilih sebagai ibu teladan, diterima sebagai pegawai negeri sipil, atau berbagai prestasi lainnya. Bukan hanya segelintir orang saja yang tahu, karena tema kebaikan dan hal-hal positif di lingkungan warga itu memang tidak menarik untuk dibicarakan.
Kalau pun ada yang membicarakan, ujung-ujungnya negatif. “jelas saja naik pangkat, dia kan sahabat dekat direkturnya” atau “kalau bukan nyontek sewaktu ujian, mana mungkin dia bisa juara kelas” dan “pasti nyogok, kalau tidak, bagaimana dia bisa jadi pegawai negeri”.
Entah kenapa, ada kecenderungan hati dan pikiran masyarakat kita senang terhadap hal-hal yang tak menyenangkan bagi orang lain namun menyenangkan untuk dibicarakan. Energi untuk mengetahui atau mencari tahu keburukan orang lain sangat besar. Sebaliknya, kesenangan, kebahagiaan orang lain kerap disikapi sinis, dengki dan iri hati. Kita tidak senang jika orang lain senang, dan kalau orang lain susah, itulah kebahagiaan kita.
Coba jujur, di lingkungan tempat tinggal kita masing-masing, lebih banyak mana yang beredar, berita negatif berbumbu gosip, isu, kabar burung dan prasangka, atau kepastian tentang prestasi seseorang? Atau mungkin karena telinga kita sudah biasa terpasang lebar untuk kabar-kabar beroma “kata si anu”. Boleh jadi karena kita terlalu banyak menonton acara gosip bertajuk infotainment di televisi.
Sekarang jawab, lebih tertarik mana judul “Isteri Simpanan” atau “Simpanan Isteri”? (gaw)
Meski dua kata yang dipakai sama, namun hanya sekadar membalikkan urutannya artinya sangat jauh berbeda. “Simpanan isteri” sangat tidak menarik, orang hanya akan berpikir sebentar dan memahaminya sebatas, “ooh, mungkin maksudnya tabungan, perhiasan atau barang berharga lainnya yang disimpan oleh sang isteri”. Tapi kalau “Isteri simpanan”, wah ini jelas lebih menarik, mengguncang stabilitas rukun tetangga, rukun warga, hingga kelurahan.
Simpan berarti meletakkan sesuatu di tempat yang rapih dan aman. Dengan akhiran ‘an’ di belakang kata tersebut, bermakna sesuatu yang diletakkan oleh seseorang secara rapih dan aman. Jadi, isteri simpanan berarti isteri yang diletakkan –ditempatkan- di satu lokasi yang rapih dan aman. Aman dari siapa? Tentunya aman dari penglihatan dan penciuman isteri pertama.
Di suatu kampung, terdengar desas-desus bahwa perempuan Y ternyata simpanan seorang pejabat di Jakarta. Pantas saja rumahnya besar, mobilnya bagus, pakaiannya bermerk, telepon selularnya sering gonta-ganti, padahal ia tidak bekerja, bukan pengusaha ataupun selebritis. Ini baru gosip, tapi secepat kilat menyebar seantero kampung. Si Y pun langsung menjadi buah bibir ibu-ibu –juga bapak-bapak- sekampung.
Di kampung lain terjadi kehebohan, seorang pria setengah baya yang belum lama menceraikan isterinya yang dianggap sudah tidak menarik, tak berapa lama terlihat sudah menikah lagi dengan isteri muda yang lebih cantik, singset, ranum dan segar. Ketika ditanya tetangganya, dengan enteng dia menjawab, “tukar tambah”.
Meledaklah seisi kampung, dari mulut ke mulut tema yang dibicarakan cuma satu, “isteri kok tukar tambah, memangnya motor!” Tidak peduli lagi apakah istilah “tukar tambah” yang keluar dari mulut pria itu sekadar gurauan atau basa-basi. Yang pasti soal tukar tambah isteri sudah menjalar bahkan memancing pria-pria lain untuk bertanya, “Dimana toko yang jual isteri macam punya situ? Pesan satu dong… ”
Lain lagi di kampung yang tak jauh dari kampung tadi, seorang janda muda diduga sering menginapkan lelaki yang bukan suaminya di rumahnya. Ibu-ibu, juga bapak-bapak ribut mencari tahu kebenaran berita tersebut, tapi hanya dari sumber-sumber yang tidak jelas. Tidak berani langsung dari sumber aslinya. Ini baru dugaan, isu yang belum dapat dibuktikan. Tapi beritanya sudah meluberi kampung, menutupi kenyataan sebenarnya bahwa lelaki yang sering menginap itu adalah adik kandung janda itu yang sangat perhatian terhadap kakak perempuannya.
Gosip, isu, sak wasangka, kabar burung, atau apapun istilahnya yang berkonotasi “katanya-katanya”, sangat cepat berhembus dari satu pintu ke pintu rumah kita. Dari mulut ke mulut seperti tanpa batas, tanpa filter terserap begitu saja. Tidak ada check dan re-check (tabayyun) alias konfirmasi langsung kepada yang bersangkutan, layaknya seorang wartawan senior di medan perang, bersemangat sekali kita menyampaikannya kepada khalayak pendengar sekampung.
Beda ceritanya kalau berita yang terdengar merupakan prestasi, keberhasilan, kesuksesan seorang warga. Misalnya ada yang naik pangkat, juara kelas, terpilih sebagai ibu teladan, diterima sebagai pegawai negeri sipil, atau berbagai prestasi lainnya. Bukan hanya segelintir orang saja yang tahu, karena tema kebaikan dan hal-hal positif di lingkungan warga itu memang tidak menarik untuk dibicarakan.
Kalau pun ada yang membicarakan, ujung-ujungnya negatif. “jelas saja naik pangkat, dia kan sahabat dekat direkturnya” atau “kalau bukan nyontek sewaktu ujian, mana mungkin dia bisa juara kelas” dan “pasti nyogok, kalau tidak, bagaimana dia bisa jadi pegawai negeri”.
Entah kenapa, ada kecenderungan hati dan pikiran masyarakat kita senang terhadap hal-hal yang tak menyenangkan bagi orang lain namun menyenangkan untuk dibicarakan. Energi untuk mengetahui atau mencari tahu keburukan orang lain sangat besar. Sebaliknya, kesenangan, kebahagiaan orang lain kerap disikapi sinis, dengki dan iri hati. Kita tidak senang jika orang lain senang, dan kalau orang lain susah, itulah kebahagiaan kita.
Coba jujur, di lingkungan tempat tinggal kita masing-masing, lebih banyak mana yang beredar, berita negatif berbumbu gosip, isu, kabar burung dan prasangka, atau kepastian tentang prestasi seseorang? Atau mungkin karena telinga kita sudah biasa terpasang lebar untuk kabar-kabar beroma “kata si anu”. Boleh jadi karena kita terlalu banyak menonton acara gosip bertajuk infotainment di televisi.
Sekarang jawab, lebih tertarik mana judul “Isteri Simpanan” atau “Simpanan Isteri”? (gaw)
Ustadz Harus Ganteng?
Ada ustadz bagus, mumpuni, sarat ilmu, dilengkapi dengan teknik penyampaian yang memikat. Sayangnya, sang ustadz dianggap memiliki kekurangan, tampangnya tidak menarik alias tidak bisa dibilang tampan. “gesture-nya nggak pas, kurang menjual,” ujar seorang produser televisi.
Setelah hunting kesana kemari, mencari informasi dari berbagai sumber, didapatlah seorang ustadz yang diinginkan. Sarat pertama, tampan alias ganteng. Wajah bersih, menarik, good looking, dan yang paling utama; menjual! Sedangkan sarat lainnya, soal kapasitas keilmuan, bobot materi, bahkan integritas kepribadian, bisa jadi nomor sekian.
Materi bisa saja ada yang menuliskan, kepasitas keilmuan bisa sambil jalan, integritas kepribadian bisa dikamuflase dengan wajah rupawan dan keahlian retorika yang memikat. Maka jadilah sosok ustadz atau ustadzah hasil sulapan, yang ditampilkan demi meraup keuntungan melalui mekanisme rating dan selera pasar, sekaligus keinginan pihak sponsor.
Ustadz dan ustadzah ini, karena kegantengannya dan kecantikannya cepat meroket, melesat bak selebritis. Bahkan hampir tidak ada bedanya dengan selebritis, sebab ia pun kerap masuk dalam beragam acara infotainment yang sebelumnya menjadi hegemoni penuh para selebritis kita. Dan lantaran ingin memenuhi selera pasar pula, penampilan sang ustadz dan ustadzah pun dipermak layaknya seorang artis. Pakaiannya jadi trendsetter, banyak para jamaah yang berupaya mengikuti semua gaya dan penampilannya, dari baju gamis, kacamata, jilbab sampai sepatu.
Ustadz dan ustadzah pun jadi bintang iklan, cenderung dimanfaatkan oleh orang-orang yang mencari keuntungan dari popularitas keustadz-annya. Mereka pikir, ustadz dan ustadzah kan punya pengikut, jamaah atau bahkan fans, jadi yang diincar itu bukan ustadznya, tapi yang berada di belakang ustadz itu.
Kemudian, makin terkenallah ustadz dan ustadzah ini, diundang ceramah ke berbagai daerah dan kota seluruh Indonesia, sampai ke luar negeri. Kehadirannya disambut meriah, pakai tepuk tangan agar tambah ramai. Ustadz dielu-elukan, dan orang-orang pun berebut menyentuh tangannya untuk diciumi tidak peduli ustadznya masih muda, sedangkan yang mencium tangan muda itu adalah lelaki tua yang jalannya sudah membungkuk.
Permintaan ceramah pun semakin banyak, sehingga ustadz bisa memilih mana bayaran yang paling besar jika terdapat jadwal yang bentrok. Bahkan pada saatnya, sang ustadz melalui managernya boleh mengajukan tarif tertentu kepada panitia penyelenggara atau tidak jadi sama sekali. Maklum, permintaan tinggi, harga juga bisa ditinggikan.
Gigit jarilah para pengurus masjid di kampung-kampung, di desa-desa dan di berbagai pelosok negeri yang nyata-nyata tidak sanggup menyediakan uang transport dan akomodasi yang memadai saat harus mengundang ustadz kondang ini berceramah di masjidnya. Sebab, kelas ustadz ini memang bukan lagi di masjid-masjid kecil, di kampung-kampung becek, melainkan di masjid besar, dan hotel.
Coba hitung, selain tarif yang mahal, masih harus menyediakan tiket pesawat, akomodasi yang layak sekelas selebritis. Ujung-ujungnya, ustadz kampung lagi yang dipakai, selain bayarannya murah, tidak perlu tiket pesawat, hotel, dan bisa dijemput pakai motor. Meskipun seringkali yang disebut ustadz ‘kampung’ ini kualitasnya boleh jadi lebih bagus dari ustadz kondang dari kota. Baik kualitas materinya, juga integritas kepribadiannya. Sayangnya, jamaah kita sudah silau oleh ketenaran sang ustadz kota.
Ketika seorang teman bertanya, “Ssst… hati-hati bicara seperti itu. Memangnya siapa ustadz yang Anda maksud?”
Belum ada sih, ini hanya kekhawatiran saya saja. Makanya saya sering titip pesan kepada para ustadz-ustadz muda yang ganteng, bobot ilmunya bagus dan integritas kepribadiannya tidak diragukan, “Ustadz, jangan mau ditawarin masuk tv ya, saya khawatir ustadz jadi susah ditemui. Nanti saya kalau mau konsultasi atau tanya soal agama harus lewat manager ustadz…”
Kalau ustadz yang lain, yang kualitasnya keilmuannya sama baiknya, punya integritas kepribadian yang juga menarik, namun secara fisik tak bakal dilirik stasiun televisi, saya cukup tersenyum dengan ungkapannya, “kalau semua ceramah di tv, terus yang ceramah di masjid-masjid kampung siapa?”
Ustadz oh ustadz, nggak harus ganteng kok jadi ustadz. (gaw)
http://warnaislam.com
Setelah hunting kesana kemari, mencari informasi dari berbagai sumber, didapatlah seorang ustadz yang diinginkan. Sarat pertama, tampan alias ganteng. Wajah bersih, menarik, good looking, dan yang paling utama; menjual! Sedangkan sarat lainnya, soal kapasitas keilmuan, bobot materi, bahkan integritas kepribadian, bisa jadi nomor sekian.
Materi bisa saja ada yang menuliskan, kepasitas keilmuan bisa sambil jalan, integritas kepribadian bisa dikamuflase dengan wajah rupawan dan keahlian retorika yang memikat. Maka jadilah sosok ustadz atau ustadzah hasil sulapan, yang ditampilkan demi meraup keuntungan melalui mekanisme rating dan selera pasar, sekaligus keinginan pihak sponsor.
Ustadz dan ustadzah ini, karena kegantengannya dan kecantikannya cepat meroket, melesat bak selebritis. Bahkan hampir tidak ada bedanya dengan selebritis, sebab ia pun kerap masuk dalam beragam acara infotainment yang sebelumnya menjadi hegemoni penuh para selebritis kita. Dan lantaran ingin memenuhi selera pasar pula, penampilan sang ustadz dan ustadzah pun dipermak layaknya seorang artis. Pakaiannya jadi trendsetter, banyak para jamaah yang berupaya mengikuti semua gaya dan penampilannya, dari baju gamis, kacamata, jilbab sampai sepatu.
Ustadz dan ustadzah pun jadi bintang iklan, cenderung dimanfaatkan oleh orang-orang yang mencari keuntungan dari popularitas keustadz-annya. Mereka pikir, ustadz dan ustadzah kan punya pengikut, jamaah atau bahkan fans, jadi yang diincar itu bukan ustadznya, tapi yang berada di belakang ustadz itu.
Kemudian, makin terkenallah ustadz dan ustadzah ini, diundang ceramah ke berbagai daerah dan kota seluruh Indonesia, sampai ke luar negeri. Kehadirannya disambut meriah, pakai tepuk tangan agar tambah ramai. Ustadz dielu-elukan, dan orang-orang pun berebut menyentuh tangannya untuk diciumi tidak peduli ustadznya masih muda, sedangkan yang mencium tangan muda itu adalah lelaki tua yang jalannya sudah membungkuk.
Permintaan ceramah pun semakin banyak, sehingga ustadz bisa memilih mana bayaran yang paling besar jika terdapat jadwal yang bentrok. Bahkan pada saatnya, sang ustadz melalui managernya boleh mengajukan tarif tertentu kepada panitia penyelenggara atau tidak jadi sama sekali. Maklum, permintaan tinggi, harga juga bisa ditinggikan.
Gigit jarilah para pengurus masjid di kampung-kampung, di desa-desa dan di berbagai pelosok negeri yang nyata-nyata tidak sanggup menyediakan uang transport dan akomodasi yang memadai saat harus mengundang ustadz kondang ini berceramah di masjidnya. Sebab, kelas ustadz ini memang bukan lagi di masjid-masjid kecil, di kampung-kampung becek, melainkan di masjid besar, dan hotel.
Coba hitung, selain tarif yang mahal, masih harus menyediakan tiket pesawat, akomodasi yang layak sekelas selebritis. Ujung-ujungnya, ustadz kampung lagi yang dipakai, selain bayarannya murah, tidak perlu tiket pesawat, hotel, dan bisa dijemput pakai motor. Meskipun seringkali yang disebut ustadz ‘kampung’ ini kualitasnya boleh jadi lebih bagus dari ustadz kondang dari kota. Baik kualitas materinya, juga integritas kepribadiannya. Sayangnya, jamaah kita sudah silau oleh ketenaran sang ustadz kota.
Ketika seorang teman bertanya, “Ssst… hati-hati bicara seperti itu. Memangnya siapa ustadz yang Anda maksud?”
Belum ada sih, ini hanya kekhawatiran saya saja. Makanya saya sering titip pesan kepada para ustadz-ustadz muda yang ganteng, bobot ilmunya bagus dan integritas kepribadiannya tidak diragukan, “Ustadz, jangan mau ditawarin masuk tv ya, saya khawatir ustadz jadi susah ditemui. Nanti saya kalau mau konsultasi atau tanya soal agama harus lewat manager ustadz…”
Kalau ustadz yang lain, yang kualitasnya keilmuannya sama baiknya, punya integritas kepribadian yang juga menarik, namun secara fisik tak bakal dilirik stasiun televisi, saya cukup tersenyum dengan ungkapannya, “kalau semua ceramah di tv, terus yang ceramah di masjid-masjid kampung siapa?”
Ustadz oh ustadz, nggak harus ganteng kok jadi ustadz. (gaw)
http://warnaislam.com
Judulnya Usil
Putri sulung saya bilang, “teman teteh mengaku gerah kalau lihat teteh pakai jilbab terus. Katanya, pasti dia nggak tahan kalau pakai jilbab”. Kemudian saya tanya, “teteh merasa gerah nggak?” jawabnya, “Ya nggak lah, aneh ya, teteh yang pakai jilbab kok teman yang gerah”.
Kemarin, saat berada di Jogja Islamic Book Fair, banyak pengunjung pameran yang mengenakan cadar (penutup wajah). Seorang teman sempat bertanya, “repot nggak ya kalau mau makan?” “bagaimana kita tahu kalau dia tersenyum atau tidak?”. Ini soal keyakinan, adapun soal repot atau tidak, bukan urusan kita. Buktinya mereka masih bertahan dengan cadarnya itu.
Lain lagi dengan para lelaki yang senang mengenakan celana ngatung alias celana yang menggantung, ujung celananya hanya sampai kira-kira sepuluh centimeter di atas mata kaki. Teman yang lain berkomentar, “betah ya mereka pakai celana begitu, kan nggak semua tempat pantas dikunjungi dengan celana model seperti itu”.
Sebenarnya, orang yang mengenakan celana ngatung itu terlihat nyaman dan santai-santai saja. Problemnya justru ada di teman yang berkomentar itu, orang lain yang pakai celana ngatung, kenapa dia yang merasa tidak nyaman. “Nggak betah melihatnya,” komentar tambahannya.
Di tempat lain, sering terlihat orang-orang yang di jalan raya sambil menenteng tas besar berisi beragam produk. Berjalan kaki sambil dipayungi terik matahari, mengenakan kemeja lengan panjang plus dasi! Ada lagi yang berkomentar, “Keren nggak, gerah iya. Panas-panas di jalan raya masih pakai dasi…”
Jalan raya dan tempat-tempat umum lain, layaknya catwalk. Di kantor, di rumah sakit, sekolah, kampus, jalan raya, bis kota, ruang pameran dan tempat lainnya terdapat jutaan peraga busana dengan aneka ragam model penampilan. Kita sering berperan sebagai tim penilai, padahal kita sendiri tengah dinilai.
Kadang, tanpa disadari mulut ini sering usil dan dengan mudahnya mengomentari penampilan orang lain. Apa saja yang terasa ganjil di mata selalu menjadi sasaran mulut jahil ini untuk berkomentar, memberi penilaian layaknya juri lomba fashion. Orang lain yang pakai jilbab, kita yang gerah. Melihat orang pakai baju bolong-bolong, kita yang malu. Ada yang jenggotnya panjang, kita yang geli, dan orang lain yang senang pakai dasi justru kita yang pusing.
Memang tidak sedikit orang yang belum memahami soal estetika dalam berpenampilan. Dalam pemilihan model, baik model pakaian maupun aksesoris yang menempel di tubuh, termasuk rambut. Ada yang ingin jadi trendsetter ada pula yang follower, tidak peduli pantas atau tidak. Begitu pula soal pilihan warna, sering sekali berseliweran orang dengan warna pakaian yang tidak cocok dengan warna kulitnya.
Tapi kalau mau jujur, yang aneh itu sebenarnya bukan orang-orang yang sering dianggap salah kostum –saltum- itu. Sesungguhnya yang aneh adalah orang yang banyak komentar soal penampilan orang lain, seolah tidak ada hal lain yang lebih layak untuk dipikirkan atau dikomentari. Sayang sekali energi dihabiskan untuk menilai orang lain sementara yang bersangkutan tidak peduli dan tetap percaya diri dengan penampilannya.
Lebih aneh lagi, karena pada saat yang sama, kita sering lupa menilai penampilan diri sendiri, apakah sudah cukup pantas, rapih, dan enak dipandang. Saking sibuknya menilai penampilan orang lain, padahal orang lain pun sebenarnya tengah menilai penampilan kita yang juga tak sedap dipandang. Jadilah orang aneh menilai orang aneh.
Memilih dan menentukan penampilan biasanya orang memertimbangkan dua hal, kepercayaan diri dan selera orang. Di dalamnya termasuk soal estetika, kepantasan, trend dan mode, dan lain sebagainya. Namun seringkali hanya satu dari dua hal tadi yang dijadikan dasar, ada yang mengandalkan rasa percaya diri, tidak peduli orang suka atau tidak. Ada pula yang menuruti selera orang, masa bodoh pantas atau tidak di tubuh sendiri.
Jadi yang lebih baik bagaimana? Percaya diri boleh, juga jangan terlalu menuruti selera orang. Masukan dari orang lain diseimbangkan dengan proporsi tubuh dan yang pasti daya beli. Hormati saja penampilan orang lain, toh belum ada yang mengusik penampilan Anda kan? Yang lebih penting dari itu, sebelum banyak komentar soal penampilan orang, lihat dulu diri sendiri. (gaw)
Kemarin, saat berada di Jogja Islamic Book Fair, banyak pengunjung pameran yang mengenakan cadar (penutup wajah). Seorang teman sempat bertanya, “repot nggak ya kalau mau makan?” “bagaimana kita tahu kalau dia tersenyum atau tidak?”. Ini soal keyakinan, adapun soal repot atau tidak, bukan urusan kita. Buktinya mereka masih bertahan dengan cadarnya itu.
Lain lagi dengan para lelaki yang senang mengenakan celana ngatung alias celana yang menggantung, ujung celananya hanya sampai kira-kira sepuluh centimeter di atas mata kaki. Teman yang lain berkomentar, “betah ya mereka pakai celana begitu, kan nggak semua tempat pantas dikunjungi dengan celana model seperti itu”.
Sebenarnya, orang yang mengenakan celana ngatung itu terlihat nyaman dan santai-santai saja. Problemnya justru ada di teman yang berkomentar itu, orang lain yang pakai celana ngatung, kenapa dia yang merasa tidak nyaman. “Nggak betah melihatnya,” komentar tambahannya.
Di tempat lain, sering terlihat orang-orang yang di jalan raya sambil menenteng tas besar berisi beragam produk. Berjalan kaki sambil dipayungi terik matahari, mengenakan kemeja lengan panjang plus dasi! Ada lagi yang berkomentar, “Keren nggak, gerah iya. Panas-panas di jalan raya masih pakai dasi…”
Jalan raya dan tempat-tempat umum lain, layaknya catwalk. Di kantor, di rumah sakit, sekolah, kampus, jalan raya, bis kota, ruang pameran dan tempat lainnya terdapat jutaan peraga busana dengan aneka ragam model penampilan. Kita sering berperan sebagai tim penilai, padahal kita sendiri tengah dinilai.
Kadang, tanpa disadari mulut ini sering usil dan dengan mudahnya mengomentari penampilan orang lain. Apa saja yang terasa ganjil di mata selalu menjadi sasaran mulut jahil ini untuk berkomentar, memberi penilaian layaknya juri lomba fashion. Orang lain yang pakai jilbab, kita yang gerah. Melihat orang pakai baju bolong-bolong, kita yang malu. Ada yang jenggotnya panjang, kita yang geli, dan orang lain yang senang pakai dasi justru kita yang pusing.
Memang tidak sedikit orang yang belum memahami soal estetika dalam berpenampilan. Dalam pemilihan model, baik model pakaian maupun aksesoris yang menempel di tubuh, termasuk rambut. Ada yang ingin jadi trendsetter ada pula yang follower, tidak peduli pantas atau tidak. Begitu pula soal pilihan warna, sering sekali berseliweran orang dengan warna pakaian yang tidak cocok dengan warna kulitnya.
Tapi kalau mau jujur, yang aneh itu sebenarnya bukan orang-orang yang sering dianggap salah kostum –saltum- itu. Sesungguhnya yang aneh adalah orang yang banyak komentar soal penampilan orang lain, seolah tidak ada hal lain yang lebih layak untuk dipikirkan atau dikomentari. Sayang sekali energi dihabiskan untuk menilai orang lain sementara yang bersangkutan tidak peduli dan tetap percaya diri dengan penampilannya.
Lebih aneh lagi, karena pada saat yang sama, kita sering lupa menilai penampilan diri sendiri, apakah sudah cukup pantas, rapih, dan enak dipandang. Saking sibuknya menilai penampilan orang lain, padahal orang lain pun sebenarnya tengah menilai penampilan kita yang juga tak sedap dipandang. Jadilah orang aneh menilai orang aneh.
Memilih dan menentukan penampilan biasanya orang memertimbangkan dua hal, kepercayaan diri dan selera orang. Di dalamnya termasuk soal estetika, kepantasan, trend dan mode, dan lain sebagainya. Namun seringkali hanya satu dari dua hal tadi yang dijadikan dasar, ada yang mengandalkan rasa percaya diri, tidak peduli orang suka atau tidak. Ada pula yang menuruti selera orang, masa bodoh pantas atau tidak di tubuh sendiri.
Jadi yang lebih baik bagaimana? Percaya diri boleh, juga jangan terlalu menuruti selera orang. Masukan dari orang lain diseimbangkan dengan proporsi tubuh dan yang pasti daya beli. Hormati saja penampilan orang lain, toh belum ada yang mengusik penampilan Anda kan? Yang lebih penting dari itu, sebelum banyak komentar soal penampilan orang, lihat dulu diri sendiri. (gaw)
Miskin Syukur
taken from http://warnaislam.com
Pagi hari masih bisa beli nasi uduk, lengkap dengan bihun, tempe goreng atau semur jengkol sebenarnya sudah bagus. Tetapi kerap mulut berbicara lain, “Nasi uduk melulu, nggak ada makanan lain?” Akhirnya sampai sore sepiring nasi uduk itu tak disentuh sama sekali.
Sudah sepuluh tahun bekerja dan punya penghasilan tetap saja mengeluh, “Kerja begini-begini saja, nggak ada perubahan, gaji sebulan habis seminggu…” Belum lagi ‘nyanyian’ isteri di rumah, “cari kerja tambahan dong pak, biar hidup kita nggak susah terus”
Dikaruniai isteri yang shaleh dan baik masih menggerutu, “baik sih, rajin sholat, tapi kurang cantik…” Tidak beda dengan seorang perempuan yang menikah dengan pria bertampang pas-pasan, “Sudah miskin nggak ganteng pula. Masih untung saya mau nikah sama dia…”
Punya kesempatan memiliki rumah meski hanya type kecil dan rumah sangat sederhana tentu lebih baik dari sekian orang yang baru bisa mimpi punya rumah sendiri. Disaat yang lain masih ngontrak dan nomaden, mulut ini berceloteh, “Ya rumah sempit, gerah, sesak. Sebenarnya sih nggak betah, tapi mau dimana lagi?”
Sudah bagus suaminya tidak naik angkot atau bis kota berkali-kali karena memiliki sepeda motor walau keluaran tahun lama. Eh, bisa-bisanya sang isteri berkomentar, “Jual saja pak, saya malu kalau diboncengin pakai motor butut itu”.
Ada lagi yang dikaruniai anak, sudah bagus anaknya terlahir normal, tidak cacat fisik maupun mental. Gara-gara anaknya kurang cantik atau tidak tampan, ia mencari kambing hitam, “Bapak salah milih ibu nih, jadinya wajah kamu nggak karuan begini”. Padahal di waktu yang berbeda, ibunya pun berkata yang hampir mirip, “Maaf ya nak, waktu itu ibu terpaksa menikahi bapakmu. Habis, kasihan dia nggak ada yang naksir”.
Kita, termasuk saya, tanpa disadari sudah menjadi orang-orang miskin. Bukan karena kita tidak memiliki apa-apa, justru sebaliknya kita tengah berlimpah harta dan memiliki sesuatu yang orang lain belum berkesempatan memilikinya. Kita benar-benar miskin meski dalam keadaan kaya raya, karena kita tak pernah bersyukur dengan apa yang dianugerahkan Allah saat ini. Ya, kita ini miskin rasa syukur.
Punya sedikit ingin banyak, boleh. Dapat satu, ingin dua, tidak dilarang. Merasa kurang dan mau lebih, silahkan. Tidak masalah kok kalau merasa kurang, sebab memang demikian sifat manusia, tidak pernah merasa puas. Pertanyaannya, yang sedikit, yang satu, yang kurang itu sudah disyukuri kah?
Pada rasa syukur itulah letak kekayaan sebenarnya. Berangkat dari rasa syukur pula kita merasa kaya, sehingga melahirkan keinginan membagi apa yang dipunya kepada orang lain. Kita miskin karena tidak pernah mensyukuri apa yang ada. Meski dunia berada di genggaman namun kalau tak sedikit pun rasa syukur terukir di hati dan terucap di lisan, selamanya kita miskin.
Coba hitung, duduk di teras rumah sambil sarapan pagi, ditambah secangkir kopi panas yang disediakan isteri shalihah. Sesaat sebelum berangkat ke kantor menggunakan sepeda motor, lambaian tangan si kecil seraya mendoakan, “hati-hati Ayah…”. Subhanallah, ternyata Anda kaya raya! (gaw)
Pagi hari masih bisa beli nasi uduk, lengkap dengan bihun, tempe goreng atau semur jengkol sebenarnya sudah bagus. Tetapi kerap mulut berbicara lain, “Nasi uduk melulu, nggak ada makanan lain?” Akhirnya sampai sore sepiring nasi uduk itu tak disentuh sama sekali.
Sudah sepuluh tahun bekerja dan punya penghasilan tetap saja mengeluh, “Kerja begini-begini saja, nggak ada perubahan, gaji sebulan habis seminggu…” Belum lagi ‘nyanyian’ isteri di rumah, “cari kerja tambahan dong pak, biar hidup kita nggak susah terus”
Dikaruniai isteri yang shaleh dan baik masih menggerutu, “baik sih, rajin sholat, tapi kurang cantik…” Tidak beda dengan seorang perempuan yang menikah dengan pria bertampang pas-pasan, “Sudah miskin nggak ganteng pula. Masih untung saya mau nikah sama dia…”
Punya kesempatan memiliki rumah meski hanya type kecil dan rumah sangat sederhana tentu lebih baik dari sekian orang yang baru bisa mimpi punya rumah sendiri. Disaat yang lain masih ngontrak dan nomaden, mulut ini berceloteh, “Ya rumah sempit, gerah, sesak. Sebenarnya sih nggak betah, tapi mau dimana lagi?”
Sudah bagus suaminya tidak naik angkot atau bis kota berkali-kali karena memiliki sepeda motor walau keluaran tahun lama. Eh, bisa-bisanya sang isteri berkomentar, “Jual saja pak, saya malu kalau diboncengin pakai motor butut itu”.
Ada lagi yang dikaruniai anak, sudah bagus anaknya terlahir normal, tidak cacat fisik maupun mental. Gara-gara anaknya kurang cantik atau tidak tampan, ia mencari kambing hitam, “Bapak salah milih ibu nih, jadinya wajah kamu nggak karuan begini”. Padahal di waktu yang berbeda, ibunya pun berkata yang hampir mirip, “Maaf ya nak, waktu itu ibu terpaksa menikahi bapakmu. Habis, kasihan dia nggak ada yang naksir”.
Kita, termasuk saya, tanpa disadari sudah menjadi orang-orang miskin. Bukan karena kita tidak memiliki apa-apa, justru sebaliknya kita tengah berlimpah harta dan memiliki sesuatu yang orang lain belum berkesempatan memilikinya. Kita benar-benar miskin meski dalam keadaan kaya raya, karena kita tak pernah bersyukur dengan apa yang dianugerahkan Allah saat ini. Ya, kita ini miskin rasa syukur.
Punya sedikit ingin banyak, boleh. Dapat satu, ingin dua, tidak dilarang. Merasa kurang dan mau lebih, silahkan. Tidak masalah kok kalau merasa kurang, sebab memang demikian sifat manusia, tidak pernah merasa puas. Pertanyaannya, yang sedikit, yang satu, yang kurang itu sudah disyukuri kah?
Pada rasa syukur itulah letak kekayaan sebenarnya. Berangkat dari rasa syukur pula kita merasa kaya, sehingga melahirkan keinginan membagi apa yang dipunya kepada orang lain. Kita miskin karena tidak pernah mensyukuri apa yang ada. Meski dunia berada di genggaman namun kalau tak sedikit pun rasa syukur terukir di hati dan terucap di lisan, selamanya kita miskin.
Coba hitung, duduk di teras rumah sambil sarapan pagi, ditambah secangkir kopi panas yang disediakan isteri shalihah. Sesaat sebelum berangkat ke kantor menggunakan sepeda motor, lambaian tangan si kecil seraya mendoakan, “hati-hati Ayah…”. Subhanallah, ternyata Anda kaya raya! (gaw)
Monday, November 03, 2008
Senior Selalu Benar?
Saya pernah menabrak sebuah angkutan kota atau biasa disebut ‘angkot’. Motor saya hancur, begitu juga kaca bagian belakang angkot tersebut. Nahasnya, saat itu saya tak sadarkan diri setelah terbang beberapa meter dan terjerembab di selokan pinggir jalan raya. Hasilnya, pergelangan kiri saya patah dan terdapat banyak memar di sekujur tubuh.
Bukan soal lukanya yang menarik untuk diceritakan, melainkan komentar teman saya beberapa hari usai kecelakaan tersebut. “Yang salah kamu, kenapa naik motor di belakang angkot?” Saya tidak terima, “Jelas-jelas angkot itu ngerem mendadak lantaran mau ambil penumpang tapi tidak menepi terlebih dulu…”
Lalu teman saya berujar, “Bukankah dari jaman Belanda menjajah negeri ini kelakuan sopir angkot sudah seperti itu? Makanya belajar sejarah…” Saya hanya bisa geleng-geleng kepala pertanda tak setuju.
Intinya, menurut teman saya itu, kalau mobil kita diserempet angkot yang salah tetaplah bukan angkot, “siapa suruh dekat-dekat angkot?” kilahnya. Terus, kalau sering dibuat kesal harus ngerem mendadak gara-gara angkot yang kerap berhenti seenaknya, lagi-lagi yang salah bukan angkot, melainkan orang yang berkendara di belakang angkot.
Begitu pula ketika sebuah angkot yang ‘ngetem’ bikin macet sepanjang ratusan meter, tiba-tiba seorang pengendara mobil yang melintasi angkot tersebut berteriak, “Sopir g****k! Minggir dong…”. Sudah tahu kan jawaban sopir angkot? “Kalau pintar, saya nggak jadi sopir angkot”
Kisah lain tentang seorang Kyai di sebuah Pesantren di Subang, Jawa Barat. Suatu hari saya dan beberapa teman menumpang sholat maghrib di pesantren tersebut. Saat itu, Kyai yang merupakan pendiri sekaligus pimpinan pesantren yang memimpin sholat melakukan kekhilafan, sholat maghrib hanya dilakukan dua rakaat. Serempak, saya dan beberapa teman mengucap “Subhanallah” saat Pak Kyai mengucap salam sebagai tanda akhir sholat, padahal baru rakaat kedua. Berkali-kali kami mengucap “Subhanallah” untuk mengingatkan, dan anehnya Kyai tenang saja dan tidak merasa ada yang kurang.
Yang lebih aneh lagi, selain kami, tidak ada satupun jamaah yang turut mengingatkan kurangnya rakaat itu kepada Pak Kyai, termasuk para ustadz dan santrinya. Bahkan usai kami menyelesaikan rakaat ketiga, seorang ustadz menghampiri dan berbisik, “Kalau Kyai salah tidak perlu diingatkan, kami beranggapan kalau Kyai khilaf itu berarti Allah memang berkehendak demikian”.
Masya Allah, jadi sebenarnya para ustadz dan santri itu menyadari kekeliruan Pak Kyai. Hanya saja selain mereka sungkan lantaran menilai Kyai itu memiliki kelebihan ilmu dan kemuliaan, kekeliruan Pak Kyai pun dianggap satu kehendak Allah.
Masih berkenaan dengan kesalahan atau kekeliruan, kita tentu pernah mendengar kalimat seperti ini, “Pasal satu; senior selalu benar. Pasal dua; jika senior melakukan kesalahan, lihat pasal satu”.
Konon, mulanya dua pasal kramat itu berlaku di lingkungan militer. Soal kebenarannya, saya tidak berani memastikan. Tetapi pasal ini sangat terkenal dan bukan hanya berlaku di lingkungan militer. Ketika saya mengikuti masa orientasi dan pengenalan kampus awal tahun 1990-an silam, pasal ini pun berlaku hebat. Sehingga para senior saya bebas melakukan tindakan sewenang-wenang dan sesukanya kepada para junior.
Aksi balas dendam pun menjadi turun temurun diwariskan dalam lingkungan yang menerapkan dua pasal ini. Baik di lingkungan militer, kampus semi militer, sampai kampus dan sekolah menengah umum yang tidak ada hubungannya dengan militer. Saya tidak tahu apakah pasal sakti ini masih dipakai di lingkungan militer, kampus atau sekolah?
Dari tiga kasus di atas, bisa diambil pelajaran yang menarik untuk dikupas secara singkat. Tiga jenis orang yang melakukan kesalahan, pertama; orang yang sudah biasa melakukan kesalahan, sehingga kesalahan demi kesalahan dianggap wajar dan biasa oleh orang lain yang melihatnya. Bila ia melakukan kesalahan dan merugikan orang lain, maka yang dirugikanlah yang diminta berdiam diri dan tak perlu melawan atau menasihati yang salah.
Kedua; lantaran dianggap berilmu dan memiliki kemuliaan, kekeliruan dan kesalahan seolah menjadi sesuatu yang muskil dilakukan orang ini. Menasihati atau mengingatkan kesalahan orang ini adalah hal tabu dan menghinakan. Siapapun yang melihat orang ini melakukan kesalahan, harus menutup mulut dan memandangnya secara wajar.
Ketiga, jabatan dan pangkat kerap mempengaruhi nilai-nilai kebenaran. Seringkali seorang bawahan sungkan menegur atau mengingatkan atasannya demi menyelamatkan karirnya, “daripada saya dipecat” alasannya. Tindakan cari selamat pun jadi budaya di berbagai tempat dan lingkungan.
Haruskah dipertahankan kekeliruan seperti ini? Atau justru kita menjadi bagian yang terus menerus membudayakan tradisi ini? Tidak! Sudah waktunya mengungkap kebenaran itu menjadi tradisi, bukan sebaliknya. Sudah saatnya orang yang benar itu lebih berani dari mereka yang melakukan kesalahan. Dan bukan waktunya lagi kita malu menegur orang yang keliru, karena semestinya mereka lah yang malu karena sering berbuat salah. Semoga (gaw)
Bukan soal lukanya yang menarik untuk diceritakan, melainkan komentar teman saya beberapa hari usai kecelakaan tersebut. “Yang salah kamu, kenapa naik motor di belakang angkot?” Saya tidak terima, “Jelas-jelas angkot itu ngerem mendadak lantaran mau ambil penumpang tapi tidak menepi terlebih dulu…”
Lalu teman saya berujar, “Bukankah dari jaman Belanda menjajah negeri ini kelakuan sopir angkot sudah seperti itu? Makanya belajar sejarah…” Saya hanya bisa geleng-geleng kepala pertanda tak setuju.
Intinya, menurut teman saya itu, kalau mobil kita diserempet angkot yang salah tetaplah bukan angkot, “siapa suruh dekat-dekat angkot?” kilahnya. Terus, kalau sering dibuat kesal harus ngerem mendadak gara-gara angkot yang kerap berhenti seenaknya, lagi-lagi yang salah bukan angkot, melainkan orang yang berkendara di belakang angkot.
Begitu pula ketika sebuah angkot yang ‘ngetem’ bikin macet sepanjang ratusan meter, tiba-tiba seorang pengendara mobil yang melintasi angkot tersebut berteriak, “Sopir g****k! Minggir dong…”. Sudah tahu kan jawaban sopir angkot? “Kalau pintar, saya nggak jadi sopir angkot”
Kisah lain tentang seorang Kyai di sebuah Pesantren di Subang, Jawa Barat. Suatu hari saya dan beberapa teman menumpang sholat maghrib di pesantren tersebut. Saat itu, Kyai yang merupakan pendiri sekaligus pimpinan pesantren yang memimpin sholat melakukan kekhilafan, sholat maghrib hanya dilakukan dua rakaat. Serempak, saya dan beberapa teman mengucap “Subhanallah” saat Pak Kyai mengucap salam sebagai tanda akhir sholat, padahal baru rakaat kedua. Berkali-kali kami mengucap “Subhanallah” untuk mengingatkan, dan anehnya Kyai tenang saja dan tidak merasa ada yang kurang.
Yang lebih aneh lagi, selain kami, tidak ada satupun jamaah yang turut mengingatkan kurangnya rakaat itu kepada Pak Kyai, termasuk para ustadz dan santrinya. Bahkan usai kami menyelesaikan rakaat ketiga, seorang ustadz menghampiri dan berbisik, “Kalau Kyai salah tidak perlu diingatkan, kami beranggapan kalau Kyai khilaf itu berarti Allah memang berkehendak demikian”.
Masya Allah, jadi sebenarnya para ustadz dan santri itu menyadari kekeliruan Pak Kyai. Hanya saja selain mereka sungkan lantaran menilai Kyai itu memiliki kelebihan ilmu dan kemuliaan, kekeliruan Pak Kyai pun dianggap satu kehendak Allah.
Masih berkenaan dengan kesalahan atau kekeliruan, kita tentu pernah mendengar kalimat seperti ini, “Pasal satu; senior selalu benar. Pasal dua; jika senior melakukan kesalahan, lihat pasal satu”.
Konon, mulanya dua pasal kramat itu berlaku di lingkungan militer. Soal kebenarannya, saya tidak berani memastikan. Tetapi pasal ini sangat terkenal dan bukan hanya berlaku di lingkungan militer. Ketika saya mengikuti masa orientasi dan pengenalan kampus awal tahun 1990-an silam, pasal ini pun berlaku hebat. Sehingga para senior saya bebas melakukan tindakan sewenang-wenang dan sesukanya kepada para junior.
Aksi balas dendam pun menjadi turun temurun diwariskan dalam lingkungan yang menerapkan dua pasal ini. Baik di lingkungan militer, kampus semi militer, sampai kampus dan sekolah menengah umum yang tidak ada hubungannya dengan militer. Saya tidak tahu apakah pasal sakti ini masih dipakai di lingkungan militer, kampus atau sekolah?
Dari tiga kasus di atas, bisa diambil pelajaran yang menarik untuk dikupas secara singkat. Tiga jenis orang yang melakukan kesalahan, pertama; orang yang sudah biasa melakukan kesalahan, sehingga kesalahan demi kesalahan dianggap wajar dan biasa oleh orang lain yang melihatnya. Bila ia melakukan kesalahan dan merugikan orang lain, maka yang dirugikanlah yang diminta berdiam diri dan tak perlu melawan atau menasihati yang salah.
Kedua; lantaran dianggap berilmu dan memiliki kemuliaan, kekeliruan dan kesalahan seolah menjadi sesuatu yang muskil dilakukan orang ini. Menasihati atau mengingatkan kesalahan orang ini adalah hal tabu dan menghinakan. Siapapun yang melihat orang ini melakukan kesalahan, harus menutup mulut dan memandangnya secara wajar.
Ketiga, jabatan dan pangkat kerap mempengaruhi nilai-nilai kebenaran. Seringkali seorang bawahan sungkan menegur atau mengingatkan atasannya demi menyelamatkan karirnya, “daripada saya dipecat” alasannya. Tindakan cari selamat pun jadi budaya di berbagai tempat dan lingkungan.
Haruskah dipertahankan kekeliruan seperti ini? Atau justru kita menjadi bagian yang terus menerus membudayakan tradisi ini? Tidak! Sudah waktunya mengungkap kebenaran itu menjadi tradisi, bukan sebaliknya. Sudah saatnya orang yang benar itu lebih berani dari mereka yang melakukan kesalahan. Dan bukan waktunya lagi kita malu menegur orang yang keliru, karena semestinya mereka lah yang malu karena sering berbuat salah. Semoga (gaw)
Wednesday, October 29, 2008
Dagang Ummat
Seorang kader partai tengah memanggul beberapa bilah bambu panjang yang di ujungnya sudah terpasang bendera partai tersebut. Sendirian ia menancapkan satu persatu bambu itu dan mengikatkannya pada pohon atau tiang listrik. Seorang teman saya berkomentar, “kader militan…”
Ia, pemuda itu, satu dari sekian juta kader-kader partai di negeri ini yang rela melakukan apapun untuk partai yang dicintainya, demi nilai-nilai yang diperjuangkan partainya meskipun tidak mendapatkan bayaran, insentif atau bonus sepeser pun. Sekadar makan siang dan sebotol air mineral, ditambah sebuah doktrin guru mengajinya, “Berjuang harus ikhlas, ini bagian dari dakwah. Biarlah Allah yang membalas semua jerih payah kita. Bayaran Allah jauh lebih besar dari siapapun di dunia ini”
Di tempat berbeda, seorang pemuda dari partai yang lain terlihat tengah memasang spanduk seorang calon anggota legislatif, padahal saat itu waktu menunjukkan pukul 23.45 WIB. Rupanya, puluhan bahkan ratusan spanduk yang bertebaran di jalan raya itu hasil kerja kerasnya bersama dengan beberapa kader partai lainnya. Yang menarik, ternyata ia dan rekan-rekannya tak benar-benar mengenal foto-foto yang terpasang di berbagai spanduk yang dipasangnya itu. Namun jawaban soal mengapa ia mau melakukan pekerjaan itu jauh lebih menarik untuk disimak, “Saya percaya orang-orang ini akan berjuang mengusung aspirasi rakyat. Mereka orang-orang bersih, berdedikasi dan punya kapabilitas untuk menduduki kursi parlemen”.
“Tapi Anda kan tidak benar-benar mengenal mereka, bagaimana bisa punya penilaian seperti itu?”
“Mmm… itu yang disampaikan para pimpinan kami di partai,” ujarnya.
Nanti, jelang waktu pemilu semakin dekat. Kita akan melihat jutaan orang rela berkumpul di sebuah lapangan meneriakkan yel-yel, slogan-slogan partai, juga mengelu-elukan jagonya, mengibarkan bendera partai. Sebagian anak-anak muda bahkan rela mengecat wajahnya dengan lambang partai, kaum ibu sambil menggendong anak-anak bayinya di terik panas, bersedia mengenakan baju, jas, jilbab sampai kaus kaki berlogo partai yang diyakininya itu. Jangan aneh pula bila menemukan beragam kendaraan, mulai dari kendaraan roda dua sampai mobil-mobil yang tergolong mahal rela dicat atau ditempeli stiker logo partai, dari ukuran kecil sampai yang menutupi hampir seluruh body kendaraannya.
Dan ketika sang jagoan naik ke atas podium, serentak menyambutnya dengan tepuk tangan layaknya artis, eh bukan, lebih tepatnya pahlawan. Padahal mereka baru memulai perjuangan dengan mencalonkan atau dicalonkan sebagai anggota dewan, tetapi inilah gambaran harapan rakyat di bawah akan perubahan yang diusung oleh partai dan para calon legislatifnya.
Teriakan “Allahu Akbar” membahana membelah langit, kalimat yang sama juga yang terdengar dari calon anggota parlemen lainnya, dari partai yang berbeda. Entah kenapa, ini seperti kalimat sakti yang bisa menyihir semua pendukung partai untuk meyakini bahwa orang yang barusan berteriak “Allahu Akbar” di atas podium itu benar-benar orang baik, shalih dan dianggap amanah, bersih, bahkan diyakini tidak akan mencederai kepercayaan yang disematkan di pundaknya dengan melakukan tindakan-tindakan seperti korupsi atau tindakan tak pantas lainnya yang kerap kita dengar dan lihat terjadi di Senayan.
Percaya atau tidak, sampai detik ini masih ada kader-kader partai yang meyakini sampai ke tulang, bahwa orang-orang yang diusung sebagai anggota dewan ini jujur dan tak mungkin korupsi. “Mereka dibina bertahun-tahun, punya banyak jamaah pula. Kapasitas mereka mumpuni, dan mereka dikenal bersih”. Ada pula yang berkata, “Mereka orang-orang yang dekat dengan masyarakat, dikenal baik oleh tetangganya sebagai tokoh masyarakat atau pengurus masjid”. Ada lagi yang berkomentar seperti ini, “Rajin beribadah, juga rutin menghadiri kajian. Saya dengar sholat malamnya juga rajin. Masak sih dia akan korupsi?”. Bahkan pendapat yang lebih bombastis, “Bab korupsi itu materi pengajian yang selalu diulang-ulang dalam kelompok kami. Jadi mereka sudah tahu persis hukumnya…”
Calon anggota dewan, juga yang sekarang sudah menjadi anggota dewan, layaknya dewa yang diyakini selalu bersih dan tidak mungkin berbuat salah. Ini fakta, nyata, realita alias benar-benar ada.
Keikhlasan, keyakinan, kecintaan, pengorbanan dan loyalitas yang ditunjukkan para kader partai adalah cermin hebatnya sebuah sistem dibangun. Sebuah kondisi yang memerlukan waktu bertahun-tahun, dimulai dari kelompok-kelompok kecil yang dibina hingga menjadi sebuah komunitas besar dengan keseragaman ciri dan kebiasaan. Kader-kader partai tertentu misalnya, bisa sangat mudah dikenali dari cara berpakaiannya, bahasa dan istilah yang dipakainya, pergaulannya, kehidupan sehari-harinya, juga aksesoris di tubuhnya.
Hanya saja, patut disayangkan ketika keikhlasan, keyakinan, kecintaan, pengorbanan, dan loyalitas yang mereka berikan seutuhnya untuk partai dan para petinggi partai ini justru dimanfaatkan secara tak tepat. Kader-kader partai ini sudah cukup silau dengan prestasi, portofolio dan bahkan label “Ustadz” atau “Da’i” yang ada pada para calon penghuni Senayan itu. Terlebih jika guru mengaji mereka yang mengeluarkan fatwa, diselipi dalil-dalil. Sikap mereka pun seragam, “kami dengar dan kami taat”.
Ummat, paling dicari ketika musim pemilu tiba. Rakyat adalah komoditas paling laku untuk dijual di musim ini. Seseorang bisa menjadi calon anggota legislatif karena dianggap memiliki jamaah atau pengikuti yang setia. Tidak hanya itu, nilai seorang calon legislatif ini pun bisa terdongkrak ke puncak bila ia diyakini mampu menjadi vote getter bagi partainya. Berbekal janji manis, ummat pun rela mengeluarkan uang, tenaga dan pikirannya untuk memuluskan jalan jagoannya melenggang ke Senayan.
Para calon anggota legislatif ini berani bertarung berebut kursi parlemen lantaran merasa memiliki dukungan yang cukup signifikan dari ummatnya, rakyatnya, warganya atau pengikut yang mengenalnya. Pimpinan partai pun harus jeli menyusun nomor urut para calon legislatifnya, nomor urut satu sudah pasti yang paling dianggap mampu meraih sebanyak-banyaknya suara ummat.
Ketika waktunya tiba, para dewa dan jagoan berhasil digelandang menuju Senayan. Teriakan takbir kembali membahana, sebagai ungkapan syukur atas kesuksesan yang diraih. Jerih payah, peluh, bahkan darah yang tumpah selama masa kampanye hilang sudah, terbasuh oleh senyum ceria para politisi yang baru saja dilantik dan resmi menyandang gelar anggota parlemen. Kader-kader partai ini pun kembali ke rumah masing-masing, masih dengan membawa rasa syukur atas kesuksesan partainya meraih suara signifikan, yang artinya lebih banyak calon legislatif yang berhasil dihantarkan ke gedung DPR.
Sedih rasanya melihat nasib ummat yang hanya laku dijual pada saat musim kampanye menjelang pemilu ini. Sementara mereka terus berjuang bertahan hidup dengan segala keterbatasan, para anggota dewan yang diusungnya tengah menikmati hidup berlebihan. Disaat sebagian kader yang berjuang dengan bayaran “ikhlas karena Allah” terseok-seok di jalan mencari sesuap nasi, para dewa di parlemen tengah menikmati makan siang di sebuah restoran mewah bersama para kolega atau pejabat pemerintah. Ketika kader-kader militan ini dilanda kebingungan harus membayar kontrakan yang sudah menunggak empat bulan, yang duduk di parlemen justru sibuk menambah rumah dan kendaraan mereka.
Yang lebih menyedihkan, sampai detik ini masih banyak ummat yang mau dan rela diperdagangkan. Mereka tidak menyadari bahwa disaat menjelang pemilu, satu suara mereka sangat mahal harganya. Namun usai pemilu, berteriak sampai urat leher putus pun suara mereka takkan pernah mampu menembus dinding tebal gedung parlemen.
Maka tidak heran ketika seorang teman bertanya, “dagang apa nih yang bagus sekarang?” Teman lain di sebelahnya ketus menjawab, “dagang ummat”. Wallaahu a’lam (gaw)
http://warnaislam.com
Ia, pemuda itu, satu dari sekian juta kader-kader partai di negeri ini yang rela melakukan apapun untuk partai yang dicintainya, demi nilai-nilai yang diperjuangkan partainya meskipun tidak mendapatkan bayaran, insentif atau bonus sepeser pun. Sekadar makan siang dan sebotol air mineral, ditambah sebuah doktrin guru mengajinya, “Berjuang harus ikhlas, ini bagian dari dakwah. Biarlah Allah yang membalas semua jerih payah kita. Bayaran Allah jauh lebih besar dari siapapun di dunia ini”
Di tempat berbeda, seorang pemuda dari partai yang lain terlihat tengah memasang spanduk seorang calon anggota legislatif, padahal saat itu waktu menunjukkan pukul 23.45 WIB. Rupanya, puluhan bahkan ratusan spanduk yang bertebaran di jalan raya itu hasil kerja kerasnya bersama dengan beberapa kader partai lainnya. Yang menarik, ternyata ia dan rekan-rekannya tak benar-benar mengenal foto-foto yang terpasang di berbagai spanduk yang dipasangnya itu. Namun jawaban soal mengapa ia mau melakukan pekerjaan itu jauh lebih menarik untuk disimak, “Saya percaya orang-orang ini akan berjuang mengusung aspirasi rakyat. Mereka orang-orang bersih, berdedikasi dan punya kapabilitas untuk menduduki kursi parlemen”.
“Tapi Anda kan tidak benar-benar mengenal mereka, bagaimana bisa punya penilaian seperti itu?”
“Mmm… itu yang disampaikan para pimpinan kami di partai,” ujarnya.
Nanti, jelang waktu pemilu semakin dekat. Kita akan melihat jutaan orang rela berkumpul di sebuah lapangan meneriakkan yel-yel, slogan-slogan partai, juga mengelu-elukan jagonya, mengibarkan bendera partai. Sebagian anak-anak muda bahkan rela mengecat wajahnya dengan lambang partai, kaum ibu sambil menggendong anak-anak bayinya di terik panas, bersedia mengenakan baju, jas, jilbab sampai kaus kaki berlogo partai yang diyakininya itu. Jangan aneh pula bila menemukan beragam kendaraan, mulai dari kendaraan roda dua sampai mobil-mobil yang tergolong mahal rela dicat atau ditempeli stiker logo partai, dari ukuran kecil sampai yang menutupi hampir seluruh body kendaraannya.
Dan ketika sang jagoan naik ke atas podium, serentak menyambutnya dengan tepuk tangan layaknya artis, eh bukan, lebih tepatnya pahlawan. Padahal mereka baru memulai perjuangan dengan mencalonkan atau dicalonkan sebagai anggota dewan, tetapi inilah gambaran harapan rakyat di bawah akan perubahan yang diusung oleh partai dan para calon legislatifnya.
Teriakan “Allahu Akbar” membahana membelah langit, kalimat yang sama juga yang terdengar dari calon anggota parlemen lainnya, dari partai yang berbeda. Entah kenapa, ini seperti kalimat sakti yang bisa menyihir semua pendukung partai untuk meyakini bahwa orang yang barusan berteriak “Allahu Akbar” di atas podium itu benar-benar orang baik, shalih dan dianggap amanah, bersih, bahkan diyakini tidak akan mencederai kepercayaan yang disematkan di pundaknya dengan melakukan tindakan-tindakan seperti korupsi atau tindakan tak pantas lainnya yang kerap kita dengar dan lihat terjadi di Senayan.
Percaya atau tidak, sampai detik ini masih ada kader-kader partai yang meyakini sampai ke tulang, bahwa orang-orang yang diusung sebagai anggota dewan ini jujur dan tak mungkin korupsi. “Mereka dibina bertahun-tahun, punya banyak jamaah pula. Kapasitas mereka mumpuni, dan mereka dikenal bersih”. Ada pula yang berkata, “Mereka orang-orang yang dekat dengan masyarakat, dikenal baik oleh tetangganya sebagai tokoh masyarakat atau pengurus masjid”. Ada lagi yang berkomentar seperti ini, “Rajin beribadah, juga rutin menghadiri kajian. Saya dengar sholat malamnya juga rajin. Masak sih dia akan korupsi?”. Bahkan pendapat yang lebih bombastis, “Bab korupsi itu materi pengajian yang selalu diulang-ulang dalam kelompok kami. Jadi mereka sudah tahu persis hukumnya…”
Calon anggota dewan, juga yang sekarang sudah menjadi anggota dewan, layaknya dewa yang diyakini selalu bersih dan tidak mungkin berbuat salah. Ini fakta, nyata, realita alias benar-benar ada.
Keikhlasan, keyakinan, kecintaan, pengorbanan dan loyalitas yang ditunjukkan para kader partai adalah cermin hebatnya sebuah sistem dibangun. Sebuah kondisi yang memerlukan waktu bertahun-tahun, dimulai dari kelompok-kelompok kecil yang dibina hingga menjadi sebuah komunitas besar dengan keseragaman ciri dan kebiasaan. Kader-kader partai tertentu misalnya, bisa sangat mudah dikenali dari cara berpakaiannya, bahasa dan istilah yang dipakainya, pergaulannya, kehidupan sehari-harinya, juga aksesoris di tubuhnya.
Hanya saja, patut disayangkan ketika keikhlasan, keyakinan, kecintaan, pengorbanan, dan loyalitas yang mereka berikan seutuhnya untuk partai dan para petinggi partai ini justru dimanfaatkan secara tak tepat. Kader-kader partai ini sudah cukup silau dengan prestasi, portofolio dan bahkan label “Ustadz” atau “Da’i” yang ada pada para calon penghuni Senayan itu. Terlebih jika guru mengaji mereka yang mengeluarkan fatwa, diselipi dalil-dalil. Sikap mereka pun seragam, “kami dengar dan kami taat”.
Ummat, paling dicari ketika musim pemilu tiba. Rakyat adalah komoditas paling laku untuk dijual di musim ini. Seseorang bisa menjadi calon anggota legislatif karena dianggap memiliki jamaah atau pengikuti yang setia. Tidak hanya itu, nilai seorang calon legislatif ini pun bisa terdongkrak ke puncak bila ia diyakini mampu menjadi vote getter bagi partainya. Berbekal janji manis, ummat pun rela mengeluarkan uang, tenaga dan pikirannya untuk memuluskan jalan jagoannya melenggang ke Senayan.
Para calon anggota legislatif ini berani bertarung berebut kursi parlemen lantaran merasa memiliki dukungan yang cukup signifikan dari ummatnya, rakyatnya, warganya atau pengikut yang mengenalnya. Pimpinan partai pun harus jeli menyusun nomor urut para calon legislatifnya, nomor urut satu sudah pasti yang paling dianggap mampu meraih sebanyak-banyaknya suara ummat.
Ketika waktunya tiba, para dewa dan jagoan berhasil digelandang menuju Senayan. Teriakan takbir kembali membahana, sebagai ungkapan syukur atas kesuksesan yang diraih. Jerih payah, peluh, bahkan darah yang tumpah selama masa kampanye hilang sudah, terbasuh oleh senyum ceria para politisi yang baru saja dilantik dan resmi menyandang gelar anggota parlemen. Kader-kader partai ini pun kembali ke rumah masing-masing, masih dengan membawa rasa syukur atas kesuksesan partainya meraih suara signifikan, yang artinya lebih banyak calon legislatif yang berhasil dihantarkan ke gedung DPR.
Sedih rasanya melihat nasib ummat yang hanya laku dijual pada saat musim kampanye menjelang pemilu ini. Sementara mereka terus berjuang bertahan hidup dengan segala keterbatasan, para anggota dewan yang diusungnya tengah menikmati hidup berlebihan. Disaat sebagian kader yang berjuang dengan bayaran “ikhlas karena Allah” terseok-seok di jalan mencari sesuap nasi, para dewa di parlemen tengah menikmati makan siang di sebuah restoran mewah bersama para kolega atau pejabat pemerintah. Ketika kader-kader militan ini dilanda kebingungan harus membayar kontrakan yang sudah menunggak empat bulan, yang duduk di parlemen justru sibuk menambah rumah dan kendaraan mereka.
Yang lebih menyedihkan, sampai detik ini masih banyak ummat yang mau dan rela diperdagangkan. Mereka tidak menyadari bahwa disaat menjelang pemilu, satu suara mereka sangat mahal harganya. Namun usai pemilu, berteriak sampai urat leher putus pun suara mereka takkan pernah mampu menembus dinding tebal gedung parlemen.
Maka tidak heran ketika seorang teman bertanya, “dagang apa nih yang bagus sekarang?” Teman lain di sebelahnya ketus menjawab, “dagang ummat”. Wallaahu a’lam (gaw)
http://warnaislam.com
Dagang Ummat
Seorang kader partai tengah memanggul beberapa bilah bambu panjang yang di ujungnya sudah terpasang bendera partai tersebut. Sendirian ia menancapkan satu persatu bambu itu dan mengikatkannya pada pohon atau tiang listrik. Seorang teman saya berkomentar, “kader militan…”
Ia, pemuda itu, satu dari sekian juta kader-kader partai di negeri ini yang rela melakukan apapun untuk partai yang dicintainya, demi nilai-nilai yang diperjuangkan partainya meskipun tidak mendapatkan bayaran, insentif atau bonus sepeser pun. Sekadar makan siang dan sebotol air mineral, ditambah sebuah doktrin guru mengajinya, “Berjuang harus ikhlas, ini bagian dari dakwah. Biarlah Allah yang membalas semua jerih payah kita. Bayaran Allah jauh lebih besar dari siapapun di dunia ini”
Di tempat berbeda, seorang pemuda dari partai yang lain terlihat tengah memasang spanduk seorang calon anggota legislatif, padahal saat itu waktu menunjukkan pukul 23.45 WIB. Rupanya, puluhan bahkan ratusan spanduk yang bertebaran di jalan raya itu hasil kerja kerasnya bersama dengan beberapa kader partai lainnya. Yang menarik, ternyata ia dan rekan-rekannya tak benar-benar mengenal foto-foto yang terpasang di berbagai spanduk yang dipasangnya itu. Namun jawaban soal mengapa ia mau melakukan pekerjaan itu jauh lebih menarik untuk disimak, “Saya percaya orang-orang ini akan berjuang mengusung aspirasi rakyat. Mereka orang-orang bersih, berdedikasi dan punya kapabilitas untuk menduduki kursi parlemen”.
“Tapi Anda kan tidak benar-benar mengenal mereka, bagaimana bisa punya penilaian seperti itu?”
“Mmm… itu yang disampaikan para pimpinan kami di partai,” ujarnya.
Nanti, jelang waktu pemilu semakin dekat. Kita akan melihat jutaan orang rela berkumpul di sebuah lapangan meneriakkan yel-yel, slogan-slogan partai, juga mengelu-elukan jagonya, mengibarkan bendera partai. Sebagian anak-anak muda bahkan rela mengecat wajahnya dengan lambang partai, kaum ibu sambil menggendong anak-anak bayinya di terik panas, bersedia mengenakan baju, jas, jilbab sampai kaus kaki berlogo partai yang diyakininya itu. Jangan aneh pula bila menemukan beragam kendaraan, mulai dari kendaraan roda dua sampai mobil-mobil yang tergolong mahal rela dicat atau ditempeli stiker logo partai, dari ukuran kecil sampai yang menutupi hampir seluruh body kendaraannya.
Dan ketika sang jagoan naik ke atas podium, serentak menyambutnya dengan tepuk tangan layaknya artis, eh bukan, lebih tepatnya pahlawan. Padahal mereka baru memulai perjuangan dengan mencalonkan atau dicalonkan sebagai anggota dewan, tetapi inilah gambaran harapan rakyat di bawah akan perubahan yang diusung oleh partai dan para calon legislatifnya.
Teriakan “Allahu Akbar” membahana membelah langit, kalimat yang sama juga yang terdengar dari calon anggota parlemen lainnya, dari partai yang berbeda. Entah kenapa, ini seperti kalimat sakti yang bisa menyihir semua pendukung partai untuk meyakini bahwa orang yang barusan berteriak “Allahu Akbar” di atas podium itu benar-benar orang baik, shalih dan dianggap amanah, bersih, bahkan diyakini tidak akan mencederai kepercayaan yang disematkan di pundaknya dengan melakukan tindakan-tindakan seperti korupsi atau tindakan tak pantas lainnya yang kerap kita dengar dan lihat terjadi di Senayan.
Percaya atau tidak, sampai detik ini masih ada kader-kader partai yang meyakini sampai ke tulang, bahwa orang-orang yang diusung sebagai anggota dewan ini jujur dan tak mungkin korupsi. “Mereka dibina bertahun-tahun, punya banyak jamaah pula. Kapasitas mereka mumpuni, dan mereka dikenal bersih”. Ada pula yang berkata, “Mereka orang-orang yang dekat dengan masyarakat, dikenal baik oleh tetangganya sebagai tokoh masyarakat atau pengurus masjid”. Ada lagi yang berkomentar seperti ini, “Rajin beribadah, juga rutin menghadiri kajian. Saya dengar sholat malamnya juga rajin. Masak sih dia akan korupsi?”. Bahkan pendapat yang lebih bombastis, “Bab korupsi itu materi pengajian yang selalu diulang-ulang dalam kelompok kami. Jadi mereka sudah tahu persis hukumnya…”
Calon anggota dewan, juga yang sekarang sudah menjadi anggota dewan, layaknya dewa yang diyakini selalu bersih dan tidak mungkin berbuat salah. Ini fakta, nyata, realita alias benar-benar ada.
Keikhlasan, keyakinan, kecintaan, pengorbanan dan loyalitas yang ditunjukkan para kader partai adalah cermin hebatnya sebuah sistem dibangun. Sebuah kondisi yang memerlukan waktu bertahun-tahun, dimulai dari kelompok-kelompok kecil yang dibina hingga menjadi sebuah komunitas besar dengan keseragaman ciri dan kebiasaan. Kader-kader partai tertentu misalnya, bisa sangat mudah dikenali dari cara berpakaiannya, bahasa dan istilah yang dipakainya, pergaulannya, kehidupan sehari-harinya, juga aksesoris di tubuhnya.
Hanya saja, patut disayangkan ketika keikhlasan, keyakinan, kecintaan, pengorbanan, dan loyalitas yang mereka berikan seutuhnya untuk partai dan para petinggi partai ini justru dimanfaatkan secara tak tepat. Kader-kader partai ini sudah cukup silau dengan prestasi, portofolio dan bahkan label “Ustadz” atau “Da’i” yang ada pada para calon penghuni Senayan itu. Terlebih jika guru mengaji mereka yang mengeluarkan fatwa, diselipi dalil-dalil. Sikap mereka pun seragam, “kami dengar dan kami taat”.
Ummat, paling dicari ketika musim pemilu tiba. Rakyat adalah komoditas paling laku untuk dijual di musim ini. Seseorang bisa menjadi calon anggota legislatif karena dianggap memiliki jamaah atau pengikuti yang setia. Tidak hanya itu, nilai seorang calon legislatif ini pun bisa terdongkrak ke puncak bila ia diyakini mampu menjadi vote getter bagi partainya. Berbekal janji manis, ummat pun rela mengeluarkan uang, tenaga dan pikirannya untuk memuluskan jalan jagoannya melenggang ke Senayan.
Para calon anggota legislatif ini berani bertarung berebut kursi parlemen lantaran merasa memiliki dukungan yang cukup signifikan dari ummatnya, rakyatnya, warganya atau pengikut yang mengenalnya. Pimpinan partai pun harus jeli menyusun nomor urut para calon legislatifnya, nomor urut satu sudah pasti yang paling dianggap mampu meraih sebanyak-banyaknya suara ummat.
Ketika waktunya tiba, para dewa dan jagoan berhasil digelandang menuju Senayan. Teriakan takbir kembali membahana, sebagai ungkapan syukur atas kesuksesan yang diraih. Jerih payah, peluh, bahkan darah yang tumpah selama masa kampanye hilang sudah, terbasuh oleh senyum ceria para politisi yang baru saja dilantik dan resmi menyandang gelar anggota parlemen. Kader-kader partai ini pun kembali ke rumah masing-masing, masih dengan membawa rasa syukur atas kesuksesan partainya meraih suara signifikan, yang artinya lebih banyak calon legislatif yang berhasil dihantarkan ke gedung DPR.
Sedih rasanya melihat nasib ummat yang hanya laku dijual pada saat musim kampanye menjelang pemilu ini. Sementara mereka terus berjuang bertahan hidup dengan segala keterbatasan, para anggota dewan yang diusungnya tengah menikmati hidup berlebihan. Disaat sebagian kader yang berjuang dengan bayaran “ikhlas karena Allah” terseok-seok di jalan mencari sesuap nasi, para dewa di parlemen tengah menikmati makan siang di sebuah restoran mewah bersama para kolega atau pejabat pemerintah. Ketika kader-kader militan ini dilanda kebingungan harus membayar kontrakan yang sudah menunggak empat bulan, yang duduk di parlemen justru sibuk menambah rumah dan kendaraan mereka.
Yang lebih menyedihkan, sampai detik ini masih banyak ummat yang mau dan rela diperdagangkan. Mereka tidak menyadari bahwa disaat menjelang pemilu, satu suara mereka sangat mahal harganya. Namun usai pemilu, berteriak sampai urat leher putus pun suara mereka takkan pernah mampu menembus dinding tebal gedung parlemen.
Maka tidak heran ketika seorang teman bertanya, “dagang apa nih yang bagus sekarang?” Teman lain di sebelahnya ketus menjawab, “dagang ummat”. Wallaahu a’lam (gaw)
Ia, pemuda itu, satu dari sekian juta kader-kader partai di negeri ini yang rela melakukan apapun untuk partai yang dicintainya, demi nilai-nilai yang diperjuangkan partainya meskipun tidak mendapatkan bayaran, insentif atau bonus sepeser pun. Sekadar makan siang dan sebotol air mineral, ditambah sebuah doktrin guru mengajinya, “Berjuang harus ikhlas, ini bagian dari dakwah. Biarlah Allah yang membalas semua jerih payah kita. Bayaran Allah jauh lebih besar dari siapapun di dunia ini”
Di tempat berbeda, seorang pemuda dari partai yang lain terlihat tengah memasang spanduk seorang calon anggota legislatif, padahal saat itu waktu menunjukkan pukul 23.45 WIB. Rupanya, puluhan bahkan ratusan spanduk yang bertebaran di jalan raya itu hasil kerja kerasnya bersama dengan beberapa kader partai lainnya. Yang menarik, ternyata ia dan rekan-rekannya tak benar-benar mengenal foto-foto yang terpasang di berbagai spanduk yang dipasangnya itu. Namun jawaban soal mengapa ia mau melakukan pekerjaan itu jauh lebih menarik untuk disimak, “Saya percaya orang-orang ini akan berjuang mengusung aspirasi rakyat. Mereka orang-orang bersih, berdedikasi dan punya kapabilitas untuk menduduki kursi parlemen”.
“Tapi Anda kan tidak benar-benar mengenal mereka, bagaimana bisa punya penilaian seperti itu?”
“Mmm… itu yang disampaikan para pimpinan kami di partai,” ujarnya.
Nanti, jelang waktu pemilu semakin dekat. Kita akan melihat jutaan orang rela berkumpul di sebuah lapangan meneriakkan yel-yel, slogan-slogan partai, juga mengelu-elukan jagonya, mengibarkan bendera partai. Sebagian anak-anak muda bahkan rela mengecat wajahnya dengan lambang partai, kaum ibu sambil menggendong anak-anak bayinya di terik panas, bersedia mengenakan baju, jas, jilbab sampai kaus kaki berlogo partai yang diyakininya itu. Jangan aneh pula bila menemukan beragam kendaraan, mulai dari kendaraan roda dua sampai mobil-mobil yang tergolong mahal rela dicat atau ditempeli stiker logo partai, dari ukuran kecil sampai yang menutupi hampir seluruh body kendaraannya.
Dan ketika sang jagoan naik ke atas podium, serentak menyambutnya dengan tepuk tangan layaknya artis, eh bukan, lebih tepatnya pahlawan. Padahal mereka baru memulai perjuangan dengan mencalonkan atau dicalonkan sebagai anggota dewan, tetapi inilah gambaran harapan rakyat di bawah akan perubahan yang diusung oleh partai dan para calon legislatifnya.
Teriakan “Allahu Akbar” membahana membelah langit, kalimat yang sama juga yang terdengar dari calon anggota parlemen lainnya, dari partai yang berbeda. Entah kenapa, ini seperti kalimat sakti yang bisa menyihir semua pendukung partai untuk meyakini bahwa orang yang barusan berteriak “Allahu Akbar” di atas podium itu benar-benar orang baik, shalih dan dianggap amanah, bersih, bahkan diyakini tidak akan mencederai kepercayaan yang disematkan di pundaknya dengan melakukan tindakan-tindakan seperti korupsi atau tindakan tak pantas lainnya yang kerap kita dengar dan lihat terjadi di Senayan.
Percaya atau tidak, sampai detik ini masih ada kader-kader partai yang meyakini sampai ke tulang, bahwa orang-orang yang diusung sebagai anggota dewan ini jujur dan tak mungkin korupsi. “Mereka dibina bertahun-tahun, punya banyak jamaah pula. Kapasitas mereka mumpuni, dan mereka dikenal bersih”. Ada pula yang berkata, “Mereka orang-orang yang dekat dengan masyarakat, dikenal baik oleh tetangganya sebagai tokoh masyarakat atau pengurus masjid”. Ada lagi yang berkomentar seperti ini, “Rajin beribadah, juga rutin menghadiri kajian. Saya dengar sholat malamnya juga rajin. Masak sih dia akan korupsi?”. Bahkan pendapat yang lebih bombastis, “Bab korupsi itu materi pengajian yang selalu diulang-ulang dalam kelompok kami. Jadi mereka sudah tahu persis hukumnya…”
Calon anggota dewan, juga yang sekarang sudah menjadi anggota dewan, layaknya dewa yang diyakini selalu bersih dan tidak mungkin berbuat salah. Ini fakta, nyata, realita alias benar-benar ada.
Keikhlasan, keyakinan, kecintaan, pengorbanan dan loyalitas yang ditunjukkan para kader partai adalah cermin hebatnya sebuah sistem dibangun. Sebuah kondisi yang memerlukan waktu bertahun-tahun, dimulai dari kelompok-kelompok kecil yang dibina hingga menjadi sebuah komunitas besar dengan keseragaman ciri dan kebiasaan. Kader-kader partai tertentu misalnya, bisa sangat mudah dikenali dari cara berpakaiannya, bahasa dan istilah yang dipakainya, pergaulannya, kehidupan sehari-harinya, juga aksesoris di tubuhnya.
Hanya saja, patut disayangkan ketika keikhlasan, keyakinan, kecintaan, pengorbanan, dan loyalitas yang mereka berikan seutuhnya untuk partai dan para petinggi partai ini justru dimanfaatkan secara tak tepat. Kader-kader partai ini sudah cukup silau dengan prestasi, portofolio dan bahkan label “Ustadz” atau “Da’i” yang ada pada para calon penghuni Senayan itu. Terlebih jika guru mengaji mereka yang mengeluarkan fatwa, diselipi dalil-dalil. Sikap mereka pun seragam, “kami dengar dan kami taat”.
Ummat, paling dicari ketika musim pemilu tiba. Rakyat adalah komoditas paling laku untuk dijual di musim ini. Seseorang bisa menjadi calon anggota legislatif karena dianggap memiliki jamaah atau pengikuti yang setia. Tidak hanya itu, nilai seorang calon legislatif ini pun bisa terdongkrak ke puncak bila ia diyakini mampu menjadi vote getter bagi partainya. Berbekal janji manis, ummat pun rela mengeluarkan uang, tenaga dan pikirannya untuk memuluskan jalan jagoannya melenggang ke Senayan.
Para calon anggota legislatif ini berani bertarung berebut kursi parlemen lantaran merasa memiliki dukungan yang cukup signifikan dari ummatnya, rakyatnya, warganya atau pengikut yang mengenalnya. Pimpinan partai pun harus jeli menyusun nomor urut para calon legislatifnya, nomor urut satu sudah pasti yang paling dianggap mampu meraih sebanyak-banyaknya suara ummat.
Ketika waktunya tiba, para dewa dan jagoan berhasil digelandang menuju Senayan. Teriakan takbir kembali membahana, sebagai ungkapan syukur atas kesuksesan yang diraih. Jerih payah, peluh, bahkan darah yang tumpah selama masa kampanye hilang sudah, terbasuh oleh senyum ceria para politisi yang baru saja dilantik dan resmi menyandang gelar anggota parlemen. Kader-kader partai ini pun kembali ke rumah masing-masing, masih dengan membawa rasa syukur atas kesuksesan partainya meraih suara signifikan, yang artinya lebih banyak calon legislatif yang berhasil dihantarkan ke gedung DPR.
Sedih rasanya melihat nasib ummat yang hanya laku dijual pada saat musim kampanye menjelang pemilu ini. Sementara mereka terus berjuang bertahan hidup dengan segala keterbatasan, para anggota dewan yang diusungnya tengah menikmati hidup berlebihan. Disaat sebagian kader yang berjuang dengan bayaran “ikhlas karena Allah” terseok-seok di jalan mencari sesuap nasi, para dewa di parlemen tengah menikmati makan siang di sebuah restoran mewah bersama para kolega atau pejabat pemerintah. Ketika kader-kader militan ini dilanda kebingungan harus membayar kontrakan yang sudah menunggak empat bulan, yang duduk di parlemen justru sibuk menambah rumah dan kendaraan mereka.
Yang lebih menyedihkan, sampai detik ini masih banyak ummat yang mau dan rela diperdagangkan. Mereka tidak menyadari bahwa disaat menjelang pemilu, satu suara mereka sangat mahal harganya. Namun usai pemilu, berteriak sampai urat leher putus pun suara mereka takkan pernah mampu menembus dinding tebal gedung parlemen.
Maka tidak heran ketika seorang teman bertanya, “dagang apa nih yang bagus sekarang?” Teman lain di sebelahnya ketus menjawab, “dagang ummat”. Wallaahu a’lam (gaw)
Thursday, October 23, 2008
Peduli Sahabat
Tahun 1993, sehari menjelang ujian masuk Perguruan Tinggi Negeri. Seorang remaja berinisial DK, jatuh sakit. Sebenarnya, sakit adalah keseharian DK, sehingga setiap kali mendengar ia sakit, sahabat-sahabatnya menganggap lumrah, “Kalau DK sakit itu biasa, tapi kalau ia sehat, baru luar biasa” ungkap sahabat-sahabatnya.
Tetapi malam itu berbeda, sakitnya lebih parah dari biasanya. Beberapa pekan sebelumnya ia menderita sakit tipus selama hampir tiga bulan. Kemudian ia kembali jatuh sakit dengan kondisi yang lebih mengkhawatirkan. Padahal esok pagi ia harus mengikuti ujian masuk di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah yang sekarang bernama Universitas Islam Negeri (UIN) di Ciputat.
Kuliah di IAIN adalah impian seorang DK, sejak di bangku SLTA ia sudah bercita-cita ingin masuk kampus tersebut. Para sahabatnya tahu persis impian itu, bagi DK segala kemampuan akan dikerahkannya untuk bisa mendapatkan satu kursi di kampus yang telah lama diidamkannya itu. Namun malam itu ia terpaksa berkata lain, “Nampaknya saya harus mengubur impian ini, jangankan untuk mengikuti ujian, bangun dari tempat tidur pun saya tidak kuat”. Beberapa sahabat yang menemani tertunduk lesu, tak tega melihat sahabatnya terpuruk dalam kesedihan yang berlipat, sedih karena menderita sakit, ditambah tidak bisa mengikuti ujian esok pagi.
Waktu sudah menunjukkan pukul 21.00 WIB, seorang sahabat mencoba menyemangati DK agar tak lekas menyerah. “Tapi mana mungkin? Saya sih yakin bisa menyelesaikan soal-soal ujian besok, tetapi malam ini saja saya masih tergolek lemah di tempat tidur…” DK tak melanjutkan kalimatnya, ia hanya menghela nafas panjang. Bisa terlihat oleh para sahabatnya, DK tengah mencoba melupakan impiannya kuliah di IAIN.
Sahabat-sahabatnya tahu persis, DK salah seorang pelajar yang dikaruniai kecerdasan di atas rata-rata, sehingga mereka pun percaya DK mampu menyelesaikan soal-soal ujian. Setelah berembuk sejenak dan memahami pokok masalahnya hanya pada masalah fisik, para sahabat itu pun menawarkan bantuan. “Begini kawan, bagaimana kalau kami berlima ini mengantar DK ke Ciputat malam ini juga. Biar cukup istirahat dan besok bisa ikut ujian…”
Rupanya tawaran sahabat-sahabatnya itu disambut antusias oleh DK. Ia seolah tak peduli lagi dengan sakit yang dideritanya. Malam itu juga, segala perlengkapan disiapkan, mulai dari buku-buku, pakaian untuk ujian, juga jaket untuk menahan dinginnya malam. Lewat pukul 21.00 WIB, mereka bergegas menuju Ciputat. Perjalanan dari Perumnas Tangerang ke Ciputat diperkirakan memakan waktu kurang lebih dua jam dengan menumpang tiga kali angkutan umum.
Sahabat-sahabat itu bergantian membopong tubuh lemah DK, satu orang bertugas membawa barang-barang milik DK. Di perjalanan, sahabat-sahabat itu merasa khawatir dengan kondisi kesehatan DK, “kalau tidak kuat, kita kembali saja ya…” ujar salah seorang sahabat.
Namun yang keluar dari mulut DK, “Bersama kalian, saya merasa kuat dan sehat”. Para sahabat pun tersenyum bertambah semangat meski tersengal-sengal membopong tubuh DK. Maklum, tubuh ke enam sahabat itu sama kecilnya, dengan usia yang masih remaja, relatif sama dan sama-sama baru lulus SLTA.
Selang hampir dua jam, mereka pun tiba di sebuah kamar kos milik seorang teman di belakang kampus IAIN. Para sahabat itu menitipkan DK kepada teman-teman di kamar kos, agar mau menjaganya sekaligus mengantar DK ke lokasi ujian esok hari.
Waktu sudah menunjukkan pukul 23.30 WIB ketika para sahabat itu berpamitan pulang. DK sempat mengucapkan terima kasih, “Saya tidak akan pernah lupa apa yang sahabat-sahabat lakukan malam ini. Saya akan membayarnya dengan berhasil lulus ujian besok,” janji DK.
DK berhasil lulus ujian dan kuliah di kampus impiannya itu. Ia cukup dikenal sebagai salah satu mahasiswa cerdas dan penggerak kegiatan dakwah di IAIN kala itu. Selain menjadi redaktur di sebuah majalah Islam, kini ia mengabdikan diri dan ilmunya dengan membuka RUMAH AUTIS, sebuah klinik terapi bagi anak-anak autis.
***
Ketika kekuatan mulai tergerus dan melemahkan semangat, sahabat mampu mengalirkan energi yang bersumber dari cinta dan kasih sayang. Sahabat peduli sahabat, sebuah kebajikan yang terus berbalas, ibarat sebuah mata rantai baja yang tak lekang dipanggang api. Semakin panas apinya, semakin rantai itu, semakin kokoh pula ikatannya.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Ikuti, School of Life (SOL), Bersama Gaw
Chapter “Sahabat Peduli Sahabat”
Ahad, 9 November 2008
Pukul 08.30 – 11.30 WIB,
Sari Melayu Resto, Jl. KH. Ahmad Dahlan (depan Labschool Kebayoran), Jakarta Selatan
Joining Fee; Rp. 150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah)
Reservasi;
Balisdjadi 0813 999 80000 – 999 80000 atau email ke; bayugautama@yahoo.com
Program ini didukung oleh http://warnaislam.com
Tetapi malam itu berbeda, sakitnya lebih parah dari biasanya. Beberapa pekan sebelumnya ia menderita sakit tipus selama hampir tiga bulan. Kemudian ia kembali jatuh sakit dengan kondisi yang lebih mengkhawatirkan. Padahal esok pagi ia harus mengikuti ujian masuk di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah yang sekarang bernama Universitas Islam Negeri (UIN) di Ciputat.
Kuliah di IAIN adalah impian seorang DK, sejak di bangku SLTA ia sudah bercita-cita ingin masuk kampus tersebut. Para sahabatnya tahu persis impian itu, bagi DK segala kemampuan akan dikerahkannya untuk bisa mendapatkan satu kursi di kampus yang telah lama diidamkannya itu. Namun malam itu ia terpaksa berkata lain, “Nampaknya saya harus mengubur impian ini, jangankan untuk mengikuti ujian, bangun dari tempat tidur pun saya tidak kuat”. Beberapa sahabat yang menemani tertunduk lesu, tak tega melihat sahabatnya terpuruk dalam kesedihan yang berlipat, sedih karena menderita sakit, ditambah tidak bisa mengikuti ujian esok pagi.
Waktu sudah menunjukkan pukul 21.00 WIB, seorang sahabat mencoba menyemangati DK agar tak lekas menyerah. “Tapi mana mungkin? Saya sih yakin bisa menyelesaikan soal-soal ujian besok, tetapi malam ini saja saya masih tergolek lemah di tempat tidur…” DK tak melanjutkan kalimatnya, ia hanya menghela nafas panjang. Bisa terlihat oleh para sahabatnya, DK tengah mencoba melupakan impiannya kuliah di IAIN.
Sahabat-sahabatnya tahu persis, DK salah seorang pelajar yang dikaruniai kecerdasan di atas rata-rata, sehingga mereka pun percaya DK mampu menyelesaikan soal-soal ujian. Setelah berembuk sejenak dan memahami pokok masalahnya hanya pada masalah fisik, para sahabat itu pun menawarkan bantuan. “Begini kawan, bagaimana kalau kami berlima ini mengantar DK ke Ciputat malam ini juga. Biar cukup istirahat dan besok bisa ikut ujian…”
Rupanya tawaran sahabat-sahabatnya itu disambut antusias oleh DK. Ia seolah tak peduli lagi dengan sakit yang dideritanya. Malam itu juga, segala perlengkapan disiapkan, mulai dari buku-buku, pakaian untuk ujian, juga jaket untuk menahan dinginnya malam. Lewat pukul 21.00 WIB, mereka bergegas menuju Ciputat. Perjalanan dari Perumnas Tangerang ke Ciputat diperkirakan memakan waktu kurang lebih dua jam dengan menumpang tiga kali angkutan umum.
Sahabat-sahabat itu bergantian membopong tubuh lemah DK, satu orang bertugas membawa barang-barang milik DK. Di perjalanan, sahabat-sahabat itu merasa khawatir dengan kondisi kesehatan DK, “kalau tidak kuat, kita kembali saja ya…” ujar salah seorang sahabat.
Namun yang keluar dari mulut DK, “Bersama kalian, saya merasa kuat dan sehat”. Para sahabat pun tersenyum bertambah semangat meski tersengal-sengal membopong tubuh DK. Maklum, tubuh ke enam sahabat itu sama kecilnya, dengan usia yang masih remaja, relatif sama dan sama-sama baru lulus SLTA.
Selang hampir dua jam, mereka pun tiba di sebuah kamar kos milik seorang teman di belakang kampus IAIN. Para sahabat itu menitipkan DK kepada teman-teman di kamar kos, agar mau menjaganya sekaligus mengantar DK ke lokasi ujian esok hari.
Waktu sudah menunjukkan pukul 23.30 WIB ketika para sahabat itu berpamitan pulang. DK sempat mengucapkan terima kasih, “Saya tidak akan pernah lupa apa yang sahabat-sahabat lakukan malam ini. Saya akan membayarnya dengan berhasil lulus ujian besok,” janji DK.
DK berhasil lulus ujian dan kuliah di kampus impiannya itu. Ia cukup dikenal sebagai salah satu mahasiswa cerdas dan penggerak kegiatan dakwah di IAIN kala itu. Selain menjadi redaktur di sebuah majalah Islam, kini ia mengabdikan diri dan ilmunya dengan membuka RUMAH AUTIS, sebuah klinik terapi bagi anak-anak autis.
***
Ketika kekuatan mulai tergerus dan melemahkan semangat, sahabat mampu mengalirkan energi yang bersumber dari cinta dan kasih sayang. Sahabat peduli sahabat, sebuah kebajikan yang terus berbalas, ibarat sebuah mata rantai baja yang tak lekang dipanggang api. Semakin panas apinya, semakin rantai itu, semakin kokoh pula ikatannya.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Ikuti, School of Life (SOL), Bersama Gaw
Chapter “Sahabat Peduli Sahabat”
Ahad, 9 November 2008
Pukul 08.30 – 11.30 WIB,
Sari Melayu Resto, Jl. KH. Ahmad Dahlan (depan Labschool Kebayoran), Jakarta Selatan
Joining Fee; Rp. 150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah)
Reservasi;
Balisdjadi 0813 999 80000 – 999 80000 atau email ke; bayugautama@yahoo.com
Program ini didukung oleh http://warnaislam.com
Ibadah for Sale
Ada tradisi unik dalam pernikahan di beberapa daerah yang saya temui. Ini bukan soal pelaksanaan adat pernikahan masing-masing daerah itu, melainkan soal angpaw yang biasa diterima pasangan pengantin atau keluarga pengantin sepanjang pernikahan. Percaya atau tidak, di beberapa daerah jika seseorang memberikan angpaw saat menghadiri pernikahan, maka si tuan rumah akan langsung membuka amplop itu langsung di hadapan tamunya itu dan mencatat nominalnya. Maksudnya jelas, jika nanti si tamu menikahkan anaknya, maka sejumlah nominal itu pula yang akan diberikan kepadanya. Tidak jelas apakah mereka memerhitungkan tingkat inflasi dan perubahan harga-harga lainnya dalam rentang waktu tersebut.
Lain di desa lain pula di kota. Dalam satu dekade terakhir, kita pasti tak aneh dengan kalimat yang tertera di kartu undangan pernikahan, “dengan tidak mengurangi rasa hormat kami, dimohon tidak memberikan ungkapan bahagia dalam bentuk cinderamata atau karangan bunga”. Maksudnya, “Uang saja ya, jangan barang, nanti repot menjualnya”. Mungkin masih menahan rasa malu untuk terang-terangan mencantumkan nomor rekening di kartu undangan. Atau mungkin suatu saat kita akan menemukannya.
Meskipun si tuan rumah punya alasan sendiri, “kalau uang bisa lebih bermanfaat untuk keperluan sebuah keluarga baru”. Tapi nampaknya hal ini sudah menjadi satu ketentuan umum yang lumrah, bahkan cenderung wajib. Bagi sebagian tamu, tentu saja memudahkan karena tidak perlu repot membeli dan membungkus kado dan menjinjingnya ke acara pernikahan. Walau bagi yang lainnya, lumayan membingungkan. Pasalnya, kalau ia biasa membeli kado dengan harga yang bisa disesuaikan dengan situasi kantongnya saat itu, namun dalam bentuk uang adakalanya harus merogoh kocek lebih dalam. Terlebih jika yang menikah adalah sahabat dekat, atasan atau kolega strategis.
Pada kenyataannya, perihal “minta uangnya saja” dalam pernikahan juga dimanfaatkan sebagian orang yang punya uang pas-pasan ketika hendak menghadiri pernikahan. Mumpung pakai amplop dan tidak perlu diberi nama, uang sepuluh ribu pun tidak ada yang tahu. Yang penting bisa makan enak, atau dalam bahasa kalangan mahasiswa, “perbaikan gizi”. Cerita menariknya, tidak sedikit pula keluarga mempelai yang gigit jari lantaran banyak amplop kosong yang didapat.
Soal angpaw pun kerap menjadi pemicu keributan di dalam keluarga. Masa indah yang harusnya dinikmati kedua mempelai, harus diwarnai dengan aksi saling merasa memiliki “hasil” acara resepsi. Sang pengantin merasa berhak karena ialah aktor dari cerita ini, namun kedua orang tua pun tak mau kalah. Karena merasa sudah mengeluarkan cukup banyak modal, maka mereka pun punya kepentingan untuk mendapatkan setidaknya Break Event Point (BEP) alias balik modal. Sukur-sukur kalau ada lebihnya sebagai keuntungan yang bisa dibagi-bagi sesuai prosentase peran dan andil dalam proses pernikahan.
Nikah itu ibadah, segala prosesnya dari A sampai Z jika diniatkan sebagai ibadah akan bernilai ibadah pula di mata Allah. Semestinya tetap demikian, sepanjang tidak berniat mencari keuntungan materi dari ibadah yang dilakukan. Sebab, tidak sedikit orang yang sudah memerhitungkan untung rugi materi saat hendak melakukan prosesi ibadah, pernikahan misalnya. Ada yang benar-benar meraup untung besar, ada pula yang tekor alias rugi dan tidak balik modal.
Yang pernah meraup untung pun dengan bangganya memberikan sedikit tips kepada calon penyelenggara pernikahan agar tak mengalami kerugian. “Jodohkan dengan anak pejabat, selebritis atau pengusaha” ini tips pertama. Tips kedua, “minta calon suami yang menanggung semua biaya sampai hal terkecil, sementara Anda lah penguasa tunggal amplop-amplop yang masuk ke kotak resepsi”. Tips ketiganya, “semua urusan pernikahan Anda yang mengaturnya, jadi Anda tahu berapa selisih yang didapat dari anggaran”
Wuah, hebat sekali! Pernikahan sudah benar-benar menjadi industri yang bisa memberikan keuntungan menggiurkan. Ini namanya ibadah for sale, tidak bedanya dengan anak-anak muda yang pura-pura menutup lubang di jalan raya dengan puing ala kadarnya sambil menyorongkan baki atau topinya meminta sumbangan. Padahal, kalau mereka ikhlas melakukannya, itu bisa bernilai ibadah di mata Allah.
Lihat juga para pendoa yang menjual jasa doa-doanya di area pemakaman, atau bahkan yang lebih menarik lagi, saya mendapati ratusan orang beramai-ramai mengikuti sholat jenazah di sebuah masjid. Saya pikir si jenazah ini orang saleh yang karena ketaqwaannya ia disegani masyarakat, sehingga ketika ia meninggal banyak orang yang ikut menyolati jenazahnya. Rupanya saya salah, karena sebagian besar orang-orang justru tak begitu mengenal si jenazah. Dan saya memang benar-benar salah setelah melihat langsung salah seorang anggota keluarga menyelipkan amplop kepada para jamaah usai sholat jenazah. “Imamnya lebih besar nominalnya” begitu katanya.
Terakhir, seorang kawan bertanya kepada saya, “kalau ustadz yang pasang tarif untuk ceramah, masuk ketegori ini nggak?” Wah, saya cuma bisa mesem-mesem sambil menjawab, “Untung saya nggak pernah mengaku sebagai ustadz”. (gaw)
http://warnaislam.com
Lain di desa lain pula di kota. Dalam satu dekade terakhir, kita pasti tak aneh dengan kalimat yang tertera di kartu undangan pernikahan, “dengan tidak mengurangi rasa hormat kami, dimohon tidak memberikan ungkapan bahagia dalam bentuk cinderamata atau karangan bunga”. Maksudnya, “Uang saja ya, jangan barang, nanti repot menjualnya”. Mungkin masih menahan rasa malu untuk terang-terangan mencantumkan nomor rekening di kartu undangan. Atau mungkin suatu saat kita akan menemukannya.
Meskipun si tuan rumah punya alasan sendiri, “kalau uang bisa lebih bermanfaat untuk keperluan sebuah keluarga baru”. Tapi nampaknya hal ini sudah menjadi satu ketentuan umum yang lumrah, bahkan cenderung wajib. Bagi sebagian tamu, tentu saja memudahkan karena tidak perlu repot membeli dan membungkus kado dan menjinjingnya ke acara pernikahan. Walau bagi yang lainnya, lumayan membingungkan. Pasalnya, kalau ia biasa membeli kado dengan harga yang bisa disesuaikan dengan situasi kantongnya saat itu, namun dalam bentuk uang adakalanya harus merogoh kocek lebih dalam. Terlebih jika yang menikah adalah sahabat dekat, atasan atau kolega strategis.
Pada kenyataannya, perihal “minta uangnya saja” dalam pernikahan juga dimanfaatkan sebagian orang yang punya uang pas-pasan ketika hendak menghadiri pernikahan. Mumpung pakai amplop dan tidak perlu diberi nama, uang sepuluh ribu pun tidak ada yang tahu. Yang penting bisa makan enak, atau dalam bahasa kalangan mahasiswa, “perbaikan gizi”. Cerita menariknya, tidak sedikit pula keluarga mempelai yang gigit jari lantaran banyak amplop kosong yang didapat.
Soal angpaw pun kerap menjadi pemicu keributan di dalam keluarga. Masa indah yang harusnya dinikmati kedua mempelai, harus diwarnai dengan aksi saling merasa memiliki “hasil” acara resepsi. Sang pengantin merasa berhak karena ialah aktor dari cerita ini, namun kedua orang tua pun tak mau kalah. Karena merasa sudah mengeluarkan cukup banyak modal, maka mereka pun punya kepentingan untuk mendapatkan setidaknya Break Event Point (BEP) alias balik modal. Sukur-sukur kalau ada lebihnya sebagai keuntungan yang bisa dibagi-bagi sesuai prosentase peran dan andil dalam proses pernikahan.
Nikah itu ibadah, segala prosesnya dari A sampai Z jika diniatkan sebagai ibadah akan bernilai ibadah pula di mata Allah. Semestinya tetap demikian, sepanjang tidak berniat mencari keuntungan materi dari ibadah yang dilakukan. Sebab, tidak sedikit orang yang sudah memerhitungkan untung rugi materi saat hendak melakukan prosesi ibadah, pernikahan misalnya. Ada yang benar-benar meraup untung besar, ada pula yang tekor alias rugi dan tidak balik modal.
Yang pernah meraup untung pun dengan bangganya memberikan sedikit tips kepada calon penyelenggara pernikahan agar tak mengalami kerugian. “Jodohkan dengan anak pejabat, selebritis atau pengusaha” ini tips pertama. Tips kedua, “minta calon suami yang menanggung semua biaya sampai hal terkecil, sementara Anda lah penguasa tunggal amplop-amplop yang masuk ke kotak resepsi”. Tips ketiganya, “semua urusan pernikahan Anda yang mengaturnya, jadi Anda tahu berapa selisih yang didapat dari anggaran”
Wuah, hebat sekali! Pernikahan sudah benar-benar menjadi industri yang bisa memberikan keuntungan menggiurkan. Ini namanya ibadah for sale, tidak bedanya dengan anak-anak muda yang pura-pura menutup lubang di jalan raya dengan puing ala kadarnya sambil menyorongkan baki atau topinya meminta sumbangan. Padahal, kalau mereka ikhlas melakukannya, itu bisa bernilai ibadah di mata Allah.
Lihat juga para pendoa yang menjual jasa doa-doanya di area pemakaman, atau bahkan yang lebih menarik lagi, saya mendapati ratusan orang beramai-ramai mengikuti sholat jenazah di sebuah masjid. Saya pikir si jenazah ini orang saleh yang karena ketaqwaannya ia disegani masyarakat, sehingga ketika ia meninggal banyak orang yang ikut menyolati jenazahnya. Rupanya saya salah, karena sebagian besar orang-orang justru tak begitu mengenal si jenazah. Dan saya memang benar-benar salah setelah melihat langsung salah seorang anggota keluarga menyelipkan amplop kepada para jamaah usai sholat jenazah. “Imamnya lebih besar nominalnya” begitu katanya.
Terakhir, seorang kawan bertanya kepada saya, “kalau ustadz yang pasang tarif untuk ceramah, masuk ketegori ini nggak?” Wah, saya cuma bisa mesem-mesem sambil menjawab, “Untung saya nggak pernah mengaku sebagai ustadz”. (gaw)
http://warnaislam.com
Monday, October 20, 2008
Selamat Tinggal Pornografi !
Selamat pagi bung, salam kenal. Sudah lama saya mengenal Anda, tahu nama Anda, sering pula mendengar cerita tentang Anda. Bahkan harus saya akui, berkali-kali melihat, bertemu dan berpapasan dengan Anda. Entah itu di jalanan, di angkutan umum, televisi, radio, koran, majalah, tabloid, internet, di rak-rak buku, buku teka-teki silang, telepon seluler, di lapak-lapak pinggir jalan, kartu remi atau domino, Anda selalu hadir.
Rupanya Anda sangat terkenal ya. Mulai dari para anggota dewan perwakilan rakyat, para politisi, menteri, sampai presiden pun pernah dan tengah membincangkan persoalan Anda. Bukan hanya kalangan pejabat yang tengah membicarakan perihal Anda. Para selebritis, tokoh masyarakat, ulama pun berdebat soal Anda. Yang menarik, semua kelompok itu berbeda suara tentang Anda. Tidak semua pejabat mendukung kehadiran Anda, sebagian menteri belum bersuara tentang sepak terjang Anda, para politisi pun demikian. Mudah-mudahan saja Presiden dan wakilnya tidak berdebat soal Anda ya…
Uniknya, sebagian orang yang dianggap tokoh masyarakat dan ulama pun mendukung sosok Anda, dengan dalih kebebasan berekspresi, seni atau mempertahankan budaya. Mereka yang semula tidak mendukung, namun karena tokoh panutannya memberikan dukungan penuh, maka bertambahlah seruan, “hidup pornografi!”
Bung Por, atau apa ya enaknya saya memanggil Anda? Mas No, Tante Grafi atau siapa? Sebab sejatinya saya tidak tahu jenis kelamin Anda. Pasalnya Anda disukai laki-laki dan tidak sedikit perempuan. Para karyawan di kantor-kantor, mulai dari office boy sampai direkturnya senang meluncur ke halaman-halaman yang menampilkan sosok Anda di internet. Berbagai kalangan senang berlama-lama memandangi Anda, para mahasiswa, juga dosennya, pedagang di pasar, pedagang asongan, buruh pabrik, sopir truk dan bis kota, tukang becak, sampai para ibu rumah tangga beserta pembantunya, tukang kebun, juga sopir pribadinya.
Hebatnya lagi, Anda punya penggemar junior! Yakni anak-anak sekolah yang sering menyimpan gambar-gambar Anda di telepon selulernya, atau yang terselip di antara buku pelajarannya. Lucunya, sebagian tenaga pendidik yang berkewajiban mengawasi dan membina para pelajar pun tak mampu berbuat banyak, sebab diam-diam pak dan bu guru sama-sama menyukainya.
Anda mudah sekali dijumpai, mulai dari café sampai warung kopi, dari restoran sampai warung tegal, dari gedung bertingkat sampai lantai dasarnya pun ada. Dari sekolah dasar sampai kampus perguruan tinggi, dari pasar tradisional sampai Mall, semuanya ada sehingga memaksa mereka yang tak tahu soal Anda jadi tahu, yang sebelumnya tidak mengenal jadi kenal, bahkan yang tadinya tidak suka berubah menjadi penggemar.
Tapi Bung, eh Mas, eh mbak, Tante Pornografi… saya hanya mau memberi tahu sebuah rahasia besar. Bahwa sesungguhnya, hanya segelintir saja yang benar-benar menjadi penggemar dan pendukung Anda. Lebih banyak karyawan kantor yang membenci Anda, jauh lebih banyak mahasiswa yang menolak kehadiran Anda, begitu juga para pelajar, hanya satu dua orang saja yang setia kepada Anda. Masih lebih banyak sopir truk, bis kota, angkutan umum, dan taksi, juga pedagang asongan, buruh pabrik dan ibu-ibu rumah tangga, yang tak berkenan menikmati sosok Anda.
Tak berbeda dengan yang lainnya, lebih banyak tokoh masyarakat, ulama, para pejabat negara, politikus, anggota dewan perwakilan rakyat, yang bahu membahu bersatu menyingkirkan Anda. Saya yakin, presiden dan wakilnya pun satu suara tentang Anda, menolak! Ya kan Pak? Benarkan Pak? Saya tidak salah kan? Ya dong. Bapak berdua kan orang paling bertanggungjawab atas negeri ini.
Saya pun lebih banyak menjumpai tempat-tempat umum, sekolah, kampus, apartemen, kantor, warung kopi, café, restauran, warung tegal, yang jijik menampilkan profil Anda. Para pengunjung dan penghuninya pun demikian, bukan bagian dari Anda, dan bukan penikmat Anda.
Jadi, bersiap-siaplah Anda, karena orang-orang yang saya sebutkan di atas, malu dan masih punya harga diri untuk berkarib dengan Anda, terlebih menjadi bagian dari Anda. Kalaupun pagi ini saya sempat mengucapkan selamat pagi untuk Anda, maaf, saya tidak yakin untuk siang dan malam nanti. Karena mulai pagi ini akan berbondong-bondong orang mengucapkan, “SELAMAT TINGGAL PORNOGRAFI”. Tak lama lagi akan banyak rumah-rumah, kantor, warung, sekolah dan tempat-tempat umum lainnya yang memasang sticker “AREA TANPA PORNOGRAFI”, atau banyak orang-orang di segala tempat mengenakan kaos bertuliskan, “SAYA BUKAN PENIKMAT PORNOGRAFI”.
Bahkan Anda yang merupakan golongan pornografer, akan ditolak memasuki berbagai area dan wilayah di negeri ini karena semua kawasan itu juga bertuliskan, "Hormati hak orang lain, jangan berlaku tidak sopan di hadapan kami".
Oke bung, goodbye! (gaw)
--------------------
Buktikan Anda bukan bagian dari PORNOGRAFI, sukseskan RUU Pornografi!
klik : http://warnaislam.com/ruupornografi
Rupanya Anda sangat terkenal ya. Mulai dari para anggota dewan perwakilan rakyat, para politisi, menteri, sampai presiden pun pernah dan tengah membincangkan persoalan Anda. Bukan hanya kalangan pejabat yang tengah membicarakan perihal Anda. Para selebritis, tokoh masyarakat, ulama pun berdebat soal Anda. Yang menarik, semua kelompok itu berbeda suara tentang Anda. Tidak semua pejabat mendukung kehadiran Anda, sebagian menteri belum bersuara tentang sepak terjang Anda, para politisi pun demikian. Mudah-mudahan saja Presiden dan wakilnya tidak berdebat soal Anda ya…
Uniknya, sebagian orang yang dianggap tokoh masyarakat dan ulama pun mendukung sosok Anda, dengan dalih kebebasan berekspresi, seni atau mempertahankan budaya. Mereka yang semula tidak mendukung, namun karena tokoh panutannya memberikan dukungan penuh, maka bertambahlah seruan, “hidup pornografi!”
Bung Por, atau apa ya enaknya saya memanggil Anda? Mas No, Tante Grafi atau siapa? Sebab sejatinya saya tidak tahu jenis kelamin Anda. Pasalnya Anda disukai laki-laki dan tidak sedikit perempuan. Para karyawan di kantor-kantor, mulai dari office boy sampai direkturnya senang meluncur ke halaman-halaman yang menampilkan sosok Anda di internet. Berbagai kalangan senang berlama-lama memandangi Anda, para mahasiswa, juga dosennya, pedagang di pasar, pedagang asongan, buruh pabrik, sopir truk dan bis kota, tukang becak, sampai para ibu rumah tangga beserta pembantunya, tukang kebun, juga sopir pribadinya.
Hebatnya lagi, Anda punya penggemar junior! Yakni anak-anak sekolah yang sering menyimpan gambar-gambar Anda di telepon selulernya, atau yang terselip di antara buku pelajarannya. Lucunya, sebagian tenaga pendidik yang berkewajiban mengawasi dan membina para pelajar pun tak mampu berbuat banyak, sebab diam-diam pak dan bu guru sama-sama menyukainya.
Anda mudah sekali dijumpai, mulai dari café sampai warung kopi, dari restoran sampai warung tegal, dari gedung bertingkat sampai lantai dasarnya pun ada. Dari sekolah dasar sampai kampus perguruan tinggi, dari pasar tradisional sampai Mall, semuanya ada sehingga memaksa mereka yang tak tahu soal Anda jadi tahu, yang sebelumnya tidak mengenal jadi kenal, bahkan yang tadinya tidak suka berubah menjadi penggemar.
Tapi Bung, eh Mas, eh mbak, Tante Pornografi… saya hanya mau memberi tahu sebuah rahasia besar. Bahwa sesungguhnya, hanya segelintir saja yang benar-benar menjadi penggemar dan pendukung Anda. Lebih banyak karyawan kantor yang membenci Anda, jauh lebih banyak mahasiswa yang menolak kehadiran Anda, begitu juga para pelajar, hanya satu dua orang saja yang setia kepada Anda. Masih lebih banyak sopir truk, bis kota, angkutan umum, dan taksi, juga pedagang asongan, buruh pabrik dan ibu-ibu rumah tangga, yang tak berkenan menikmati sosok Anda.
Tak berbeda dengan yang lainnya, lebih banyak tokoh masyarakat, ulama, para pejabat negara, politikus, anggota dewan perwakilan rakyat, yang bahu membahu bersatu menyingkirkan Anda. Saya yakin, presiden dan wakilnya pun satu suara tentang Anda, menolak! Ya kan Pak? Benarkan Pak? Saya tidak salah kan? Ya dong. Bapak berdua kan orang paling bertanggungjawab atas negeri ini.
Saya pun lebih banyak menjumpai tempat-tempat umum, sekolah, kampus, apartemen, kantor, warung kopi, café, restauran, warung tegal, yang jijik menampilkan profil Anda. Para pengunjung dan penghuninya pun demikian, bukan bagian dari Anda, dan bukan penikmat Anda.
Jadi, bersiap-siaplah Anda, karena orang-orang yang saya sebutkan di atas, malu dan masih punya harga diri untuk berkarib dengan Anda, terlebih menjadi bagian dari Anda. Kalaupun pagi ini saya sempat mengucapkan selamat pagi untuk Anda, maaf, saya tidak yakin untuk siang dan malam nanti. Karena mulai pagi ini akan berbondong-bondong orang mengucapkan, “SELAMAT TINGGAL PORNOGRAFI”. Tak lama lagi akan banyak rumah-rumah, kantor, warung, sekolah dan tempat-tempat umum lainnya yang memasang sticker “AREA TANPA PORNOGRAFI”, atau banyak orang-orang di segala tempat mengenakan kaos bertuliskan, “SAYA BUKAN PENIKMAT PORNOGRAFI”.
Bahkan Anda yang merupakan golongan pornografer, akan ditolak memasuki berbagai area dan wilayah di negeri ini karena semua kawasan itu juga bertuliskan, "Hormati hak orang lain, jangan berlaku tidak sopan di hadapan kami".
Oke bung, goodbye! (gaw)
--------------------
Buktikan Anda bukan bagian dari PORNOGRAFI, sukseskan RUU Pornografi!
klik : http://warnaislam.com/ruupornografi
Saturday, October 18, 2008
Kita Tak Perlu Robin Hood
Robin Hood adalah tokoh dalam cerita rakyat Inggris. Ia adalah seorang bangsawan yang menjadi musuh Sheriff of Nottingham atau Prince John, melawan pejabat yang korupsi untuk kepentingan rakyat. Ia memimpin 140 orang yang disebut "Merry Men".
Selain Robin Hood, cerita rakyat lainnya kita kenal pahlawan bertopeng, Zorro, dengan seragam khasnya hitam-hitam, kehadirannya selalu dinantikan orang-orang yang lemah (dhuafa) dan tertindas.
Dalam negeri sendiri, kita punya cerita rakyat Si Pitung, yang kerap beraksi menyatroni rumah-rumah tuan tanah yang tak peduli pada kesengsaraan rakyat sekitarnya. Hasil rampasannya kemudian dibagi-bagikan kepada fakir miskin dan mereka yang membutuhkan.
Masih banyak cerita-cerita rakyat dari berbagai bangsa yang pernah kita dengar, cerita intinya hanya satu, para pahlawan ini dicintai karena membela kepentingan kaum dhuafa dan orang-orang tertindas. Rakyat bahkan tak peduli sekalipun yang dilakukan para “jagoan” ini memaksa bahkan merampas harta orang-orang kaya dan penguasa. Mungkin ini sebuah gambaran, bahwa ketika kemiskinan, kesengsaraan dan kelaparan sudah mencapai puncaknya seringkali membuat orang tak peduli lagi dari mana ia bisa mendapatkan sesuatu sekadar untuk makan.
Cerita-cerita rakyat itu juga sebuah cermin matinya kepedulian terhadap lingkungan sekitar. Mata mereka seolah dibutakan sehingga tak mau dan mampu melihat penderitaan di sekelilingnya. Hatinya membatu, tak mudah tersentuh dengan ratapan, rintihan, juga orang-orang yang tanpa malu lagi meminta-minta. Teliganya tersumpal gunung terbesar di dunia, sehingga tak mungkin lagi mendengar jeritan kelaparan. Dan tangan-tangan mereka pun tak pernah terhulur menyodorkan derma.
Tapi itu dulu…
Sekarang sangat jauh berbeda. Para dermawan selalu menunggu untuk didatangi anak-anak yatim, fakir miskin dan kaum dhuafa lainnya. Tak sedikit yang langsung menyambangi panti asuhan, menemui anak-anak terlantar di kolong jembatan dan menyantuni mereka layaknya anak-anak sendiri.
Saat ini, orang-orang yang diberi kecukupan oleh Allah SWT menyadari sepenuhnya, bahwa yang mereka miliki bukan sepenuhnya hak mereka. Ada hak orang lain di dalam hartanya. Karenanya jangan aneh, jika setiap hari, pecan dan bulan, juga tahun, orang-orang yang dicintai Allah ini sibuk menghitung berapa yang wajib dikeluarkan sebagai zakat, infak dan sedekah.
Zaman sudah berubah, kita tak lagi memerlukan Robin Hood, Zorro, atau jagoan silat macam Si Pitung. Hanya perlu sedikit sentuhan, himbauan dan informasi kemana mereka harus menyalurkan kepedulian. Kita hanya perlu menunjukkan tempat-tempat orang yang tengah dilanda kesusahan. Bahkan, tidak sedikit para dermawan yang sudah hafal betul jalan-jalan kecil, becek dan berlumpur menuju wilayah kantong-kantong kemiskinan.
Jadi, maaf buat Mas Robin, Kang Zorro dan Bang Pitung, Anda sudah tidak diperlukan lagi di negeri ini. Orang-orang di negeri ini sudah sadar dan faham, bahwa semakin banyak berderma mereka akan semakin kaya raya. (gaw)
warnaislam.com
Selain Robin Hood, cerita rakyat lainnya kita kenal pahlawan bertopeng, Zorro, dengan seragam khasnya hitam-hitam, kehadirannya selalu dinantikan orang-orang yang lemah (dhuafa) dan tertindas.
Dalam negeri sendiri, kita punya cerita rakyat Si Pitung, yang kerap beraksi menyatroni rumah-rumah tuan tanah yang tak peduli pada kesengsaraan rakyat sekitarnya. Hasil rampasannya kemudian dibagi-bagikan kepada fakir miskin dan mereka yang membutuhkan.
Masih banyak cerita-cerita rakyat dari berbagai bangsa yang pernah kita dengar, cerita intinya hanya satu, para pahlawan ini dicintai karena membela kepentingan kaum dhuafa dan orang-orang tertindas. Rakyat bahkan tak peduli sekalipun yang dilakukan para “jagoan” ini memaksa bahkan merampas harta orang-orang kaya dan penguasa. Mungkin ini sebuah gambaran, bahwa ketika kemiskinan, kesengsaraan dan kelaparan sudah mencapai puncaknya seringkali membuat orang tak peduli lagi dari mana ia bisa mendapatkan sesuatu sekadar untuk makan.
Cerita-cerita rakyat itu juga sebuah cermin matinya kepedulian terhadap lingkungan sekitar. Mata mereka seolah dibutakan sehingga tak mau dan mampu melihat penderitaan di sekelilingnya. Hatinya membatu, tak mudah tersentuh dengan ratapan, rintihan, juga orang-orang yang tanpa malu lagi meminta-minta. Teliganya tersumpal gunung terbesar di dunia, sehingga tak mungkin lagi mendengar jeritan kelaparan. Dan tangan-tangan mereka pun tak pernah terhulur menyodorkan derma.
Tapi itu dulu…
Sekarang sangat jauh berbeda. Para dermawan selalu menunggu untuk didatangi anak-anak yatim, fakir miskin dan kaum dhuafa lainnya. Tak sedikit yang langsung menyambangi panti asuhan, menemui anak-anak terlantar di kolong jembatan dan menyantuni mereka layaknya anak-anak sendiri.
Saat ini, orang-orang yang diberi kecukupan oleh Allah SWT menyadari sepenuhnya, bahwa yang mereka miliki bukan sepenuhnya hak mereka. Ada hak orang lain di dalam hartanya. Karenanya jangan aneh, jika setiap hari, pecan dan bulan, juga tahun, orang-orang yang dicintai Allah ini sibuk menghitung berapa yang wajib dikeluarkan sebagai zakat, infak dan sedekah.
Zaman sudah berubah, kita tak lagi memerlukan Robin Hood, Zorro, atau jagoan silat macam Si Pitung. Hanya perlu sedikit sentuhan, himbauan dan informasi kemana mereka harus menyalurkan kepedulian. Kita hanya perlu menunjukkan tempat-tempat orang yang tengah dilanda kesusahan. Bahkan, tidak sedikit para dermawan yang sudah hafal betul jalan-jalan kecil, becek dan berlumpur menuju wilayah kantong-kantong kemiskinan.
Jadi, maaf buat Mas Robin, Kang Zorro dan Bang Pitung, Anda sudah tidak diperlukan lagi di negeri ini. Orang-orang di negeri ini sudah sadar dan faham, bahwa semakin banyak berderma mereka akan semakin kaya raya. (gaw)
warnaislam.com
Seseorang Di Sisimu
Saya menghentikan motor tiba-tiba ketika melihat sosok tua berjalan tertatih-tatih di depan gerbang perumahan Griya Asri Depok. Setelah parkir motor di tempat aman, saya pun menghampirinya.
"Mbah, mau kemana?”
Tatapannya kosong, bibirnya bergetar berusaha menjawab, “ke sana…” ia menunjuk ke arah perempatan jalan.
"Mau ngapain kesana?” tanya saya lagi.
“Ngamen…” suaranya makin bergetar.
Gemuruh hati saya lebih keras kali ini. Saya tatap secermat mungkin lelaki tua itu, mulai dari wajahnya hingga ke kaki. Namanya Mbah Dalim, ia asal Cirebon dan kini tinggal di Stasiun Depok Baru. Perhatian, yang dimaksud bukan ngontrak atau punya rumah di dekat stasiun, melainkan benar-benar tinggal di stasiun, ya di stasiun!
Usianya 88 tahun, ia tak punya isteri terlebih anak. Sebatang kara menyusuri jalan setiap hari dengan menjual suara parah nan lemahnya, mencoba berbisik kepada para pejalan kaki yang melintas sekadar bermimpi dilemparkan koin dan receh.
Jalannya tertatih-tatih, nampak sekali ia butuh perjuangan berat untuk mengangkat kakinya. Rupanya di kaki kanannya terdapat penyakit eksim, “sudah bertahun-tahun, saya tidak punya uang untuk berobat” kata Mbah Dalim tentang penyakitnya itu. Setiap 3-5 meter, ia berhenti melangkah, mungkin mengumpulkan tenaga dan mengambil nafas.
Suaranya sangat parau dan lemah, apa mungkin ia mengamen? Tetapi kotak karaoke besar yang dipanggulnya di punggung belakang sangat menjawab pertanyaan saya itu. Saya sempat mengangkat sebentar kotak itu, lumayan berat untuk saya, pastilah teramat berat untuknya.
"Kalau ada milik, sehari dapat enam ribu…” terang Mbah Dalim, menjawab pertanyaan saya, berapa yang didapatnya dengan mengamen. Ya, katanya, kalau ada milik, bagaimana jika tidak? Apa yang dimakannya? Pun ia mendapatkan uang ‘segitu’, bagaimana ia bisa hidup dengan uang yang teramat kecil bagi sebagian orang.
Langit bagai runtuh saat itu, mendung pekat terbanding. Banjir sudah air mata saya, seperti hujan terlebat yang pernah Allah turunkan, “kemana saja saya selama ini?”
Saya pun merogoh kantong, menyisakan sekadar untuk mengisi perut siang nanti, “Mbah, segera ke rumah sakit ya, obati kakinya. Juga ini ada sedikit untuk makan siang dan malam nanti”.
Mbah Dalim pun melanjutkan langkahnya, saya masih belum bisa bergerak dan mata ini terus mengikuti tubuhnya yang bergerak lamban. Bahkan saya terus mengikutinya dengan memperlambat laju motor, sempat saya menawarkan untuk memboncengnya sampai ke tujuan, “terima kasih, saya jalan saja”.
Hhh… saya menghela nafas panjang menyaksikan episode kehidupan ini.
***
Memiliki seseorang, entah itu suami, isteri atau sahabat, adalah anugerah terindah dalam kehidupan. Sayangilah ia, sebab kita akan merasakan arti kehadirannya tidak hanya saat ini, juga nanti disaat seperti yang tengah dijalani mbah Dalim.
Titip salam saya untuk seseorang di sisimu, katakan sekarang juga, “Saya bersyukur memilikimu”
Gaw
ttp://warnaislam.com
"Mbah, mau kemana?”
Tatapannya kosong, bibirnya bergetar berusaha menjawab, “ke sana…” ia menunjuk ke arah perempatan jalan.
"Mau ngapain kesana?” tanya saya lagi.
“Ngamen…” suaranya makin bergetar.
Gemuruh hati saya lebih keras kali ini. Saya tatap secermat mungkin lelaki tua itu, mulai dari wajahnya hingga ke kaki. Namanya Mbah Dalim, ia asal Cirebon dan kini tinggal di Stasiun Depok Baru. Perhatian, yang dimaksud bukan ngontrak atau punya rumah di dekat stasiun, melainkan benar-benar tinggal di stasiun, ya di stasiun!
Usianya 88 tahun, ia tak punya isteri terlebih anak. Sebatang kara menyusuri jalan setiap hari dengan menjual suara parah nan lemahnya, mencoba berbisik kepada para pejalan kaki yang melintas sekadar bermimpi dilemparkan koin dan receh.
Jalannya tertatih-tatih, nampak sekali ia butuh perjuangan berat untuk mengangkat kakinya. Rupanya di kaki kanannya terdapat penyakit eksim, “sudah bertahun-tahun, saya tidak punya uang untuk berobat” kata Mbah Dalim tentang penyakitnya itu. Setiap 3-5 meter, ia berhenti melangkah, mungkin mengumpulkan tenaga dan mengambil nafas.
Suaranya sangat parau dan lemah, apa mungkin ia mengamen? Tetapi kotak karaoke besar yang dipanggulnya di punggung belakang sangat menjawab pertanyaan saya itu. Saya sempat mengangkat sebentar kotak itu, lumayan berat untuk saya, pastilah teramat berat untuknya.
"Kalau ada milik, sehari dapat enam ribu…” terang Mbah Dalim, menjawab pertanyaan saya, berapa yang didapatnya dengan mengamen. Ya, katanya, kalau ada milik, bagaimana jika tidak? Apa yang dimakannya? Pun ia mendapatkan uang ‘segitu’, bagaimana ia bisa hidup dengan uang yang teramat kecil bagi sebagian orang.
Langit bagai runtuh saat itu, mendung pekat terbanding. Banjir sudah air mata saya, seperti hujan terlebat yang pernah Allah turunkan, “kemana saja saya selama ini?”
Saya pun merogoh kantong, menyisakan sekadar untuk mengisi perut siang nanti, “Mbah, segera ke rumah sakit ya, obati kakinya. Juga ini ada sedikit untuk makan siang dan malam nanti”.
Mbah Dalim pun melanjutkan langkahnya, saya masih belum bisa bergerak dan mata ini terus mengikuti tubuhnya yang bergerak lamban. Bahkan saya terus mengikutinya dengan memperlambat laju motor, sempat saya menawarkan untuk memboncengnya sampai ke tujuan, “terima kasih, saya jalan saja”.
Hhh… saya menghela nafas panjang menyaksikan episode kehidupan ini.
***
Memiliki seseorang, entah itu suami, isteri atau sahabat, adalah anugerah terindah dalam kehidupan. Sayangilah ia, sebab kita akan merasakan arti kehadirannya tidak hanya saat ini, juga nanti disaat seperti yang tengah dijalani mbah Dalim.
Titip salam saya untuk seseorang di sisimu, katakan sekarang juga, “Saya bersyukur memilikimu”
Gaw
ttp://warnaislam.com
Perbaiki Subuh Kita
“Siapa yang ingin berjihad di jalan Allah, saya tunggu di bukit ini ba’da subuh”
Kalimat di atas sangat melekat di benak saya, meski sudah lebih dua puluh tahun silam saya mendengarnya di sebuah film epik berjudul Cut Nyak Dien. Kisah kepahlawanan para pejuang Aceh yang gagah perkasa melawan penjajah Belanda ketika itu. Kalimat penuh semangat dan mengandung ruh jihad itu diucapkan oleh seorang panglima perang Aceh, Teuku Umar di hadapan para pejuangnya.
Bertahun-tahun saya sempat bertanya, “kenapa ba’da subuh?”
Kala itu, jawaban yang saya dapat sangat polos, lumayan masuk akal, namun cukup menggelikan kalau dipikir-pikir. “Orang-orang Belanda itu nggak sholat subuh, jadi kalau pasukan Aceh menyerbu ba’da subuh, pasukan Belanda masih tidur dan tidak siap menghadapi serangan”.
Seiring dengan waktu, saya mendapatkan jawaban yang mudah-mudahan lebih tepat untuk pertanyaan, “kenapa ba’da subuh?”
Diantara lima waktu sholat wajib, subuh dianggap paling berat meskipun jumlah rakaatnya paling sedikit. Bangun subuh, mendirikan sholat dan berjamaah di masjid adalah perjuangan berat bagi sebagian orang. Bangunnya saja perlu perjuangan, beberapa mata tak sanggup terbuka, sebagian bangun dengan bermalas-malasan, ada yang terbangun kemudian terlelap lagi, ada yang bergerak hanya untuk menarik selimut dan melanjutkan mimpi, dan ada pula yang sama sekali tak bergerak dan terus mendengkur.
Ada orang-orang yang memerlukan bantuan orang lain untuk bangun subuh. Kalau pun sudah bangun, ada yang menunda-nunda sholatnya. Ada pula berdiri sholat dalam keadaan malas, itu terlihat dari gerakan sholatnya yang terburu-buru atau dari sikap berdirinya yang tidak tegap. Dan ada loh yang sholat sambil matanya terpejam atau sholat sambil berkali-kali menguap.
Sampai disini sebenarnya sudah lumayan bagus, yang penting masih mau sholat subuh. Tetapi bagi orang-orang yang beriman, ketika adzan berkumandang ia semangat bergegas membasuh muka. Bahkan sebagian lainnya menyesal jika hanya terbangun pada saat adzan, sebab ia biasanya bangun di sepertiga malam dan tak tertidur lagi sampai waktu subuh. Orang-orang ini, rela mengorbankan kenikmatan tidurnya serta meminimalkan istirahatnya.
Kesungguhannya semakin teruji ketika ia memilih untuk membelah fajar, menerobos udara dingin menuju masjid untuk sholat berjamaah. Orang-orang yang bersungguh-sungguh diwaktu subuh inilah yang dipilih, seperti Muhammad yang terpilih untuk mengangkat Hajar Aswad karena tiba di Ka’bah lebih dulu.
Maka wajar jika Teuku Umar meminta para pejuangnya berkumpul persis ba’da subuh, karena ia hanya ingin berjuang bersama orang-orang yang memiliki semangat pengorbanan, yang jiwanya dipenuhi kesungguhan diatas rata-rata kebanyakan orang lainnya. Mereka yang tak bangun subuh, bukan saja tertinggal tak ikut berjuang, melainkan memang tak dibutuhkan sama sekali dalam perjuangan karena dianggap tak bersungguh-sungguh.
Semangat dan kesungguhan yang diperoleh dari kebiasaan sholat subuh, bisa kita terapkan dalam mengatasi berbagai masalah kehidupan. Seberat apapun masalah, pasti ada jalan keluarnya. Masalahnya adalah, apakah kita memiliki semangat dan kesungguhan diatas rata-rata untuk mencari jalan keluarnya? Jika belum, mungkin ada baiknya kita mulai dengan sama-sama memperbaiki subuh kita. Mau? (gaw)
http://warnaislam.com
Kalimat di atas sangat melekat di benak saya, meski sudah lebih dua puluh tahun silam saya mendengarnya di sebuah film epik berjudul Cut Nyak Dien. Kisah kepahlawanan para pejuang Aceh yang gagah perkasa melawan penjajah Belanda ketika itu. Kalimat penuh semangat dan mengandung ruh jihad itu diucapkan oleh seorang panglima perang Aceh, Teuku Umar di hadapan para pejuangnya.
Bertahun-tahun saya sempat bertanya, “kenapa ba’da subuh?”
Kala itu, jawaban yang saya dapat sangat polos, lumayan masuk akal, namun cukup menggelikan kalau dipikir-pikir. “Orang-orang Belanda itu nggak sholat subuh, jadi kalau pasukan Aceh menyerbu ba’da subuh, pasukan Belanda masih tidur dan tidak siap menghadapi serangan”.
Seiring dengan waktu, saya mendapatkan jawaban yang mudah-mudahan lebih tepat untuk pertanyaan, “kenapa ba’da subuh?”
Diantara lima waktu sholat wajib, subuh dianggap paling berat meskipun jumlah rakaatnya paling sedikit. Bangun subuh, mendirikan sholat dan berjamaah di masjid adalah perjuangan berat bagi sebagian orang. Bangunnya saja perlu perjuangan, beberapa mata tak sanggup terbuka, sebagian bangun dengan bermalas-malasan, ada yang terbangun kemudian terlelap lagi, ada yang bergerak hanya untuk menarik selimut dan melanjutkan mimpi, dan ada pula yang sama sekali tak bergerak dan terus mendengkur.
Ada orang-orang yang memerlukan bantuan orang lain untuk bangun subuh. Kalau pun sudah bangun, ada yang menunda-nunda sholatnya. Ada pula berdiri sholat dalam keadaan malas, itu terlihat dari gerakan sholatnya yang terburu-buru atau dari sikap berdirinya yang tidak tegap. Dan ada loh yang sholat sambil matanya terpejam atau sholat sambil berkali-kali menguap.
Sampai disini sebenarnya sudah lumayan bagus, yang penting masih mau sholat subuh. Tetapi bagi orang-orang yang beriman, ketika adzan berkumandang ia semangat bergegas membasuh muka. Bahkan sebagian lainnya menyesal jika hanya terbangun pada saat adzan, sebab ia biasanya bangun di sepertiga malam dan tak tertidur lagi sampai waktu subuh. Orang-orang ini, rela mengorbankan kenikmatan tidurnya serta meminimalkan istirahatnya.
Kesungguhannya semakin teruji ketika ia memilih untuk membelah fajar, menerobos udara dingin menuju masjid untuk sholat berjamaah. Orang-orang yang bersungguh-sungguh diwaktu subuh inilah yang dipilih, seperti Muhammad yang terpilih untuk mengangkat Hajar Aswad karena tiba di Ka’bah lebih dulu.
Maka wajar jika Teuku Umar meminta para pejuangnya berkumpul persis ba’da subuh, karena ia hanya ingin berjuang bersama orang-orang yang memiliki semangat pengorbanan, yang jiwanya dipenuhi kesungguhan diatas rata-rata kebanyakan orang lainnya. Mereka yang tak bangun subuh, bukan saja tertinggal tak ikut berjuang, melainkan memang tak dibutuhkan sama sekali dalam perjuangan karena dianggap tak bersungguh-sungguh.
Semangat dan kesungguhan yang diperoleh dari kebiasaan sholat subuh, bisa kita terapkan dalam mengatasi berbagai masalah kehidupan. Seberat apapun masalah, pasti ada jalan keluarnya. Masalahnya adalah, apakah kita memiliki semangat dan kesungguhan diatas rata-rata untuk mencari jalan keluarnya? Jika belum, mungkin ada baiknya kita mulai dengan sama-sama memperbaiki subuh kita. Mau? (gaw)
http://warnaislam.com
Miskin Sebenarnya
Orang yang berpakaian lusuh, kusam, atau bahkan sobek di beberapa bagiannya. Mereka yang tak memiliki pakaian selain yang melekat di tubuhnya, bahkan orang-orang yang memanfaatkan bekas karung terigu untuk dijadikan pakaian, apakah mereka yang dikategorikan orang miskin?
Orang-orang yang tak memiliki cukup makanan untuk disantap setiap hari, yang kebingungan setelah sarapan pagi siang nanti tidak tahu harus makan apa, atau mereka yang tidak yakin apakah esok hari masih ada makanan untuk disantap. Orang-orang yang hanya bertemu makanan satu kali dalam sehari, atau mereka yang terpaksa berpuasa berhari-hari karena tidak ada uang untuk membeli sedikit makanan. Inikah yang disebut miskin?
Anak-anak yatim dan terlantar di banyak panti asuhan, atau anak-anak yang berkeliaran di jalanan mencari makan di usia mereka yang masih belia. Para pengamen jalanan, tukang koran, tukang semir sepatu, pedagang asongan, yang penghasilan mereka lebih kecil dari uang jajan anak-anak di sekolah elit dan terpadu. Miskinkah mereka?
Tukang gali, buruh bangunan, buruh angkut di pasar, penyapu jalanan, pengais dan tukang angkut sampah, tukang becak, tukang ojeg, supir angkot, kondektur bis, serta semua pekerja kasar lainnya, benarkah mereka komunitas orang-orang miskin?
Anak-anak penderita gizi buruk, orang-orang yang sakit bertahun-tahun tak kunjung sembuh karena tak pernah bisa membeli obat, orang-orang yang memiliki banyak hutang dan tak sanggup membayarnya meski harus menyicil, mereka yang kerap mengantri pembagian jatah sembako, atau warga yang masuk dalam daftar penerima dana bantuan langsung tunai (BLT), miskin sesungguhnya?
Sebuah keluarga yang puluhan tahun berpindah-pindah kontrakan lantaran terlalu sering diusir pemilik kontrakan karena tak sanggup membayar, keluarga lainnya yang bahkan untuk mengontrak pun tak sanggup, atau mereka yang memilih mendirikan gubuk-gubuk di daerah kumuh atau tempat pembuangan sampah. Layakkah disebut miskin?
Yang tidak punya handphone, tidak pernah makan pizza, tidak tahu rasanya ayam crispy merk terkenal, yang tak pernah tahu jenis makanan terdaftar di restoran karena nama dan bentuknya sangat asing, tidak pernah ke bioskop, bahkan tidak punya televisi di rumah mereka, ini yang dibilang miskin?
Orang-orang yang tak memiliki satu jenis pun kendaraan meski hanya sebatang sepeda, yang setiap hari mengukur jalan terpanggang matahari, tak pernah merasakan sejuknya pengatur udara (air conditioner) di dalam mobil, yang celingak-celinguk jika masuk ke gedung bertingkat atau hotel, yang cuma bisa bengong di dalam Mall atau pusat perbelanjaan karena mereka hanya bisa bermimpi memiliki barang-barang yang terpajang di etalase, yang seperti inikah miskin itu?
***
Bukan. Sepanjang mereka tak merasa miskin, selama mereka selalu merasa cukup dengan apa yang dimiliki, semasa rasa syukur selalu menjadi kekuatan utama dalam menjalani kehidupan, dan menjadikan Allah satu-satunya tempat bergantung dan meminta, mereka adalah orang-orang kaya.
Tidak. Selagi mereka tak cepat putus asa, tak selalu mengeluh dan menangisi nasib, tak mengemis dan selalu berharap belas kasihan dari orang lain, tak menjadikan dirinya beban bagi orang lain, mereka justru sangat kaya.
Miskin sebenarnya, mereka yang tak bersyukur atas setiap nikmat yang didapatinya, yang tak pernah merasa cukup dan selalu ingin hidup berlebih. Teramat banyak, mereka yang terlihat berlimpah harta tetapi sesungguhnya jauh lebih miskin dari orang-orang yang sering disebut miskin. (gaw)
http://warnaislam.com
Orang-orang yang tak memiliki cukup makanan untuk disantap setiap hari, yang kebingungan setelah sarapan pagi siang nanti tidak tahu harus makan apa, atau mereka yang tidak yakin apakah esok hari masih ada makanan untuk disantap. Orang-orang yang hanya bertemu makanan satu kali dalam sehari, atau mereka yang terpaksa berpuasa berhari-hari karena tidak ada uang untuk membeli sedikit makanan. Inikah yang disebut miskin?
Anak-anak yatim dan terlantar di banyak panti asuhan, atau anak-anak yang berkeliaran di jalanan mencari makan di usia mereka yang masih belia. Para pengamen jalanan, tukang koran, tukang semir sepatu, pedagang asongan, yang penghasilan mereka lebih kecil dari uang jajan anak-anak di sekolah elit dan terpadu. Miskinkah mereka?
Tukang gali, buruh bangunan, buruh angkut di pasar, penyapu jalanan, pengais dan tukang angkut sampah, tukang becak, tukang ojeg, supir angkot, kondektur bis, serta semua pekerja kasar lainnya, benarkah mereka komunitas orang-orang miskin?
Anak-anak penderita gizi buruk, orang-orang yang sakit bertahun-tahun tak kunjung sembuh karena tak pernah bisa membeli obat, orang-orang yang memiliki banyak hutang dan tak sanggup membayarnya meski harus menyicil, mereka yang kerap mengantri pembagian jatah sembako, atau warga yang masuk dalam daftar penerima dana bantuan langsung tunai (BLT), miskin sesungguhnya?
Sebuah keluarga yang puluhan tahun berpindah-pindah kontrakan lantaran terlalu sering diusir pemilik kontrakan karena tak sanggup membayar, keluarga lainnya yang bahkan untuk mengontrak pun tak sanggup, atau mereka yang memilih mendirikan gubuk-gubuk di daerah kumuh atau tempat pembuangan sampah. Layakkah disebut miskin?
Yang tidak punya handphone, tidak pernah makan pizza, tidak tahu rasanya ayam crispy merk terkenal, yang tak pernah tahu jenis makanan terdaftar di restoran karena nama dan bentuknya sangat asing, tidak pernah ke bioskop, bahkan tidak punya televisi di rumah mereka, ini yang dibilang miskin?
Orang-orang yang tak memiliki satu jenis pun kendaraan meski hanya sebatang sepeda, yang setiap hari mengukur jalan terpanggang matahari, tak pernah merasakan sejuknya pengatur udara (air conditioner) di dalam mobil, yang celingak-celinguk jika masuk ke gedung bertingkat atau hotel, yang cuma bisa bengong di dalam Mall atau pusat perbelanjaan karena mereka hanya bisa bermimpi memiliki barang-barang yang terpajang di etalase, yang seperti inikah miskin itu?
***
Bukan. Sepanjang mereka tak merasa miskin, selama mereka selalu merasa cukup dengan apa yang dimiliki, semasa rasa syukur selalu menjadi kekuatan utama dalam menjalani kehidupan, dan menjadikan Allah satu-satunya tempat bergantung dan meminta, mereka adalah orang-orang kaya.
Tidak. Selagi mereka tak cepat putus asa, tak selalu mengeluh dan menangisi nasib, tak mengemis dan selalu berharap belas kasihan dari orang lain, tak menjadikan dirinya beban bagi orang lain, mereka justru sangat kaya.
Miskin sebenarnya, mereka yang tak bersyukur atas setiap nikmat yang didapatinya, yang tak pernah merasa cukup dan selalu ingin hidup berlebih. Teramat banyak, mereka yang terlihat berlimpah harta tetapi sesungguhnya jauh lebih miskin dari orang-orang yang sering disebut miskin. (gaw)
http://warnaislam.com
Gawat! Saya Nggak Bisa Nulis Lagi
Sudah berjam-jam saya berhadapan dengan notebook, memelototi layarnya dengan posisi jari-jari siap menekan tuts keyboard. Satu judul coba diketik, kemudian dihapus lagi. Ketik lagi delete lagi, terus begitu. Saya seperti kehilangan akal untuk mulai menulis, layaknya orang yang tidak pernah menulis sama sekali.
Ide-ide yang biasanya berseliweran, bahkan mengejar-ngejar untuk segera ditulis, kali ini entah terbang kemana. Tak satupun yang mampir, dicari-cari juga tidak ketemu. Saya coba sedikit memaksa menemukan ide, tetapi tak satupun nampak batang hidungnya si ide itu. Nah, cara pamungkas pun harus dilakukan, yakni mampir dan merenung di toilet! Namun hasilnya tetap nihil, perut sudah kosong, ide tetap saja tak muncul.
Kembali ke notebook, mencoba mengetik apa saja. Hasilnya adalah barisan kata-kata dan kalimat tanpa makna. Ini aneh, sungguh aneh. Sangat tidak biasa. Biasanya saya hanya perlu waktu kurang dari dua puluh menit untuk menyelesaikan sebuah tulisan. Kadang hanya sepuluh menit, satu karya selesai ditulis. Tetapi ini sudah tiga jam lebih! Belum satupun tulisan selesai dibuat.
Haruskah saya menggebrak-gebrak notebook? Tentu saja tidak. Sebab masalahnya bukan pada perangkat yang setia menemani hari-hari saya itu. Melainkan pada otak ini yang sepertinya belum mau bekerja.
Buntu, otak ini seperti tidak bisa diajak berpikir sama sekali. Saya bahkan tidak tahu mau menulis apa, bahkan juga tidak tahu kenapa tiba-tiba mengambil notebook. Begitu sudah berhadapan dengan layar notebook, malah tidak tahu harus menulis apa. Padahal rasanya otak ini sudah penuh dan harus ditumpahkan ke dalam tulisan, tetapi kenapa setiap kali dicoba untuk menumpahkannya hanya sedikit yang keluar.
“Hey….” saya berteriak kepada otak sendiri, agar mau sedikit mencair dari kebekuan. Beberapa detik kemudian, kepala ini pun saya pukul-pukul sendiri agar ide-ide berjatuhan, kemudian saya punguti satu persatu untuk ditulis. Sudah pusing kepala ini dikeplak-keplak, dan nyaris saya hantamkan kepala ke dinding, namun saya urungkan. Saya sadar, ada yang tidak beres dengan diri ini, otak ini, hati ini sehingga tidak satupun tulisan bisa dihasilkan pagi ini.
Saya berdiri, mencoba cari udara segar di luar. Kembali lagi, melihat layar notebook yang masih kosong melompong. Keluar lagi, kali ini bukan cuma udara segar yang dicari, siapa tahu ide-ide yang biasanya dekat sedang bermain di luar dan tidak tahu jalan pulang. Ternyata, di luar juga tidak ada ide. Ujung-ujungnya, saya pun bengong di depan pintu menunggu ide. “Siapa tahu ada ide orang nyasar ke sini, salah alamat…”
Disaat bengong dan melamun tidak karuan, isteri saya menegur, “daripada bengong begitu, mending sholat dhuha bi…”
***
Air wudhu mencairkan kebekuan otak ini. Sholat dhuha bisa melunturkan dosa-dosa pagi, kalimat takbir membuka cakrawala, sujud panjang di pagi hari mencerahkan pikiran.
Bodoh sekali saya, saking buntunya kenapa sampai lupa sholat dhuha? Sumpah, habis sholat dhuha, beberapa tulisan pun berhasil saya buat hanya dalam waktu satu jam saja. Produktivitas dan kreativitas meningkat usai sholat dhuha. Buktikan sendiri! (gaw)
Ide-ide yang biasanya berseliweran, bahkan mengejar-ngejar untuk segera ditulis, kali ini entah terbang kemana. Tak satupun yang mampir, dicari-cari juga tidak ketemu. Saya coba sedikit memaksa menemukan ide, tetapi tak satupun nampak batang hidungnya si ide itu. Nah, cara pamungkas pun harus dilakukan, yakni mampir dan merenung di toilet! Namun hasilnya tetap nihil, perut sudah kosong, ide tetap saja tak muncul.
Kembali ke notebook, mencoba mengetik apa saja. Hasilnya adalah barisan kata-kata dan kalimat tanpa makna. Ini aneh, sungguh aneh. Sangat tidak biasa. Biasanya saya hanya perlu waktu kurang dari dua puluh menit untuk menyelesaikan sebuah tulisan. Kadang hanya sepuluh menit, satu karya selesai ditulis. Tetapi ini sudah tiga jam lebih! Belum satupun tulisan selesai dibuat.
Haruskah saya menggebrak-gebrak notebook? Tentu saja tidak. Sebab masalahnya bukan pada perangkat yang setia menemani hari-hari saya itu. Melainkan pada otak ini yang sepertinya belum mau bekerja.
Buntu, otak ini seperti tidak bisa diajak berpikir sama sekali. Saya bahkan tidak tahu mau menulis apa, bahkan juga tidak tahu kenapa tiba-tiba mengambil notebook. Begitu sudah berhadapan dengan layar notebook, malah tidak tahu harus menulis apa. Padahal rasanya otak ini sudah penuh dan harus ditumpahkan ke dalam tulisan, tetapi kenapa setiap kali dicoba untuk menumpahkannya hanya sedikit yang keluar.
“Hey….” saya berteriak kepada otak sendiri, agar mau sedikit mencair dari kebekuan. Beberapa detik kemudian, kepala ini pun saya pukul-pukul sendiri agar ide-ide berjatuhan, kemudian saya punguti satu persatu untuk ditulis. Sudah pusing kepala ini dikeplak-keplak, dan nyaris saya hantamkan kepala ke dinding, namun saya urungkan. Saya sadar, ada yang tidak beres dengan diri ini, otak ini, hati ini sehingga tidak satupun tulisan bisa dihasilkan pagi ini.
Saya berdiri, mencoba cari udara segar di luar. Kembali lagi, melihat layar notebook yang masih kosong melompong. Keluar lagi, kali ini bukan cuma udara segar yang dicari, siapa tahu ide-ide yang biasanya dekat sedang bermain di luar dan tidak tahu jalan pulang. Ternyata, di luar juga tidak ada ide. Ujung-ujungnya, saya pun bengong di depan pintu menunggu ide. “Siapa tahu ada ide orang nyasar ke sini, salah alamat…”
Disaat bengong dan melamun tidak karuan, isteri saya menegur, “daripada bengong begitu, mending sholat dhuha bi…”
***
Air wudhu mencairkan kebekuan otak ini. Sholat dhuha bisa melunturkan dosa-dosa pagi, kalimat takbir membuka cakrawala, sujud panjang di pagi hari mencerahkan pikiran.
Bodoh sekali saya, saking buntunya kenapa sampai lupa sholat dhuha? Sumpah, habis sholat dhuha, beberapa tulisan pun berhasil saya buat hanya dalam waktu satu jam saja. Produktivitas dan kreativitas meningkat usai sholat dhuha. Buktikan sendiri! (gaw)
RI-1 Mau Datang ke Rumah Saya!
Suara dering telepon selular mengagetkan saya di pagi hari,
“Benar saya berbicara dengan bapak … ?” suara di seberang telepon menyebut nama saya. Saya pun mengiyakan tanpa basa-basi.
Kemudian, suara yang terdengar tegas itu mengaku mengatasnamakan Bapak RI-1, alias presiden negeri ini dan menjelaskan bahwa atasannya itu hendak berkunjung ke rumah saya.
“Bapak becanda kali… mana mungkin presiden mau ke rumah saya? Lagi pula beliau kan tidak kenal saya dan ada urusan apa orang penting seperti beliau ke rumah saya,” kata saya.
“Tidak perlu banyak cakap pak, sebutkan alamat lengkap bapak, kami akan datang sore ini juga, Presiden mau berbuka puasa bersama Anda…” suaranya makin tegas, mungkin ia mantan tentara, oh, atau malah masih aktif.
Orang sepenting RI-1 mau ke rumah saya? Ahh, saya tidak percaya, ini pasti orang mau menipu saya. Maka saya pun mencoba melakukan verifikasi, seperti halnya saya ketika ditelepon pihak bank.
“Maaf, boleh sebutkan tanggal lahir bapak presiden? Nama ibu kandung beliau? Alamat lengkapnya?”
“Anda menghina saya? Tidak hormat pada presiden?” gertaknya. Nampaknya ia mulai tidak sabar berhadapan dengan saya.
“Ya kalau Anda memang mengatasnamakan bapak presiden, jawab saja pertanyaan saya, Anda pasti tahu kan? Ini sekadar meyakinkan saya bahwa Anda tidak hendak menipu saya,” jawab saya lagi tak mau kalah. Sebenarnya, kalau dia mau menipu, apa sih yang diharapkan dari saya? Toh saya tidak punya apa-apa…
Tiba-tiba, “Assalaamu’alaikum…” suara yang berbeda dari sebelumnya. Namun kali ini, saya rasa mengenal suaranya. Sangat tidak asing karena kerap saya dengar di televisi. Masya Allah…!!! Nyaris tertahan nafas saya, sementara dada ini berdegup kencang sekali.
Suara itu… ya, suara RI-1. Rupanya orang tadi benar dan tidak hendak menipu saya. Mungkin Pak Presiden tidak sabar dan mau berbicara langsung dengan saya. Eh, tapi… bukannya banyak pelawak yang bisa menirukan suara beliau?
“Ini benar bapak presiden? Coba sebutkan tanggal lahir Anda, nama ibu kandung dan alamat lengkap…” verifikasi lagi.
Sebenarnya, kalau dia sebutkan pun saya juga tidak tahu apa-apa soal data itu, selain alamat lengkapnya. tetapi intinya, saya percaya ini benar dan semakin membuat dada saya berdegup. Mau apa? Memangnya beliau kenal saya? Siapa saya? Sudah bikin dosa apa saya, sehingga orang nomor satu negeri ini mau ke rumah saya?
Langsung saya panggil isteri saya, tanya di rumah ada persediaan makan apa. “Beras sih ada, sama tempe sisa kemarin…” jawab isteri saya.
Panik saya. langsung saya perintahkan –biasanya minta tolong- isteri untuk belanja semua makanan yang lezat, daging, sayuran terbaik, dan jangan lupa buah-buahan yang beraneka ragam. Tentu kepanikan saya membuat isteri bingung, “Siapa yang mau datang sih? Kok segitu repotnya?”
“Presiden!” jawab saya singkat.
“Becanda ah…”tuh kan, isteri saya saja tidak percaya, saya juga sebenarnya.
“Buat beli segala macam tadi, uangnya mana?” isteri saya masih bingung, masalahnya memang tidak ada cukup uang untuk beli semua keperluan tadi. Saya pun terduduk lemas, tidak tahu harus mencari pinjaman dari mana untuk menyambut tamu mulia sore nanti.
Yang mau datang ini orang terhormat, mulia dan disegani. Maka menyambutnya pun tidak boleh asal dan sembarangan. Saya harus membersihkan rumah, tidak boleh ada setitik debu pun menempel di lantai. Dinding harus bersih dari coretan, sudut-sudut ruangan jangan ada ramat-ramat. Kamar mandi harus disikat dan wangi, biar Presiden nyaman berlama-lama di kamar mandi saya.
Bagaimana kalau beliau mau menginap? Wah, ganti seprei, bantal guling beli yang baru kalau perlu. Kasur pun harus dijemur dulu, biar empuk dan hangat saat dipakai.
Seluruh isi rumah jadi kelabakan, sampai anak-anak saya pun ikut sibuk membantu bersih-bersih, setidaknya kamar mereka sendiri. Karena kamar di rumah kami hanya dua, berarti malam nanti saya dan isteri harus tidur berdesak-desakan bersama anak-anak. Tidak apa-apa, yang penting presiden merasa nyaman selama berada di rumah saya.
***
Untungnya …
Cerita di atas tadi tidak sungguh-sungguh terjadi. Tetapi kalau benar-benar terjadi, benarkah saya sepanik itu memersiapkan kedatangan seorang pemimpin Negara? Seperti itulah kiranya saya memuliakan seseorang yang dianggap terhormat.
Bagaimana jika telepon saya berbunyi dan suara di seberang berkata, “Pak, nanti sore ada beberapa anak yatim akan datang ke rumah untuk berbuka puasa…”
Sepanik itukah saya? serepot ketika hendak menyambut presiden kah saya? apakah saya akan menyiapkan semua yang terbaik untuk anak-anak yatim? Bahkan rela meminjam uang dari tetangga untuk membeli makanan?
Bukankah kita diperintahkan memuliakan anak yatim? Bukan sekadar menyayangi atau mencintai. Jika saya sebegitu sibuk saat hendak menyambut presiden, bagaimana sikap saya menyambut tamu mulia anak-anak yatim?
Astaghfirullaah… (gaw)
“Benar saya berbicara dengan bapak … ?” suara di seberang telepon menyebut nama saya. Saya pun mengiyakan tanpa basa-basi.
Kemudian, suara yang terdengar tegas itu mengaku mengatasnamakan Bapak RI-1, alias presiden negeri ini dan menjelaskan bahwa atasannya itu hendak berkunjung ke rumah saya.
“Bapak becanda kali… mana mungkin presiden mau ke rumah saya? Lagi pula beliau kan tidak kenal saya dan ada urusan apa orang penting seperti beliau ke rumah saya,” kata saya.
“Tidak perlu banyak cakap pak, sebutkan alamat lengkap bapak, kami akan datang sore ini juga, Presiden mau berbuka puasa bersama Anda…” suaranya makin tegas, mungkin ia mantan tentara, oh, atau malah masih aktif.
Orang sepenting RI-1 mau ke rumah saya? Ahh, saya tidak percaya, ini pasti orang mau menipu saya. Maka saya pun mencoba melakukan verifikasi, seperti halnya saya ketika ditelepon pihak bank.
“Maaf, boleh sebutkan tanggal lahir bapak presiden? Nama ibu kandung beliau? Alamat lengkapnya?”
“Anda menghina saya? Tidak hormat pada presiden?” gertaknya. Nampaknya ia mulai tidak sabar berhadapan dengan saya.
“Ya kalau Anda memang mengatasnamakan bapak presiden, jawab saja pertanyaan saya, Anda pasti tahu kan? Ini sekadar meyakinkan saya bahwa Anda tidak hendak menipu saya,” jawab saya lagi tak mau kalah. Sebenarnya, kalau dia mau menipu, apa sih yang diharapkan dari saya? Toh saya tidak punya apa-apa…
Tiba-tiba, “Assalaamu’alaikum…” suara yang berbeda dari sebelumnya. Namun kali ini, saya rasa mengenal suaranya. Sangat tidak asing karena kerap saya dengar di televisi. Masya Allah…!!! Nyaris tertahan nafas saya, sementara dada ini berdegup kencang sekali.
Suara itu… ya, suara RI-1. Rupanya orang tadi benar dan tidak hendak menipu saya. Mungkin Pak Presiden tidak sabar dan mau berbicara langsung dengan saya. Eh, tapi… bukannya banyak pelawak yang bisa menirukan suara beliau?
“Ini benar bapak presiden? Coba sebutkan tanggal lahir Anda, nama ibu kandung dan alamat lengkap…” verifikasi lagi.
Sebenarnya, kalau dia sebutkan pun saya juga tidak tahu apa-apa soal data itu, selain alamat lengkapnya. tetapi intinya, saya percaya ini benar dan semakin membuat dada saya berdegup. Mau apa? Memangnya beliau kenal saya? Siapa saya? Sudah bikin dosa apa saya, sehingga orang nomor satu negeri ini mau ke rumah saya?
Langsung saya panggil isteri saya, tanya di rumah ada persediaan makan apa. “Beras sih ada, sama tempe sisa kemarin…” jawab isteri saya.
Panik saya. langsung saya perintahkan –biasanya minta tolong- isteri untuk belanja semua makanan yang lezat, daging, sayuran terbaik, dan jangan lupa buah-buahan yang beraneka ragam. Tentu kepanikan saya membuat isteri bingung, “Siapa yang mau datang sih? Kok segitu repotnya?”
“Presiden!” jawab saya singkat.
“Becanda ah…”tuh kan, isteri saya saja tidak percaya, saya juga sebenarnya.
“Buat beli segala macam tadi, uangnya mana?” isteri saya masih bingung, masalahnya memang tidak ada cukup uang untuk beli semua keperluan tadi. Saya pun terduduk lemas, tidak tahu harus mencari pinjaman dari mana untuk menyambut tamu mulia sore nanti.
Yang mau datang ini orang terhormat, mulia dan disegani. Maka menyambutnya pun tidak boleh asal dan sembarangan. Saya harus membersihkan rumah, tidak boleh ada setitik debu pun menempel di lantai. Dinding harus bersih dari coretan, sudut-sudut ruangan jangan ada ramat-ramat. Kamar mandi harus disikat dan wangi, biar Presiden nyaman berlama-lama di kamar mandi saya.
Bagaimana kalau beliau mau menginap? Wah, ganti seprei, bantal guling beli yang baru kalau perlu. Kasur pun harus dijemur dulu, biar empuk dan hangat saat dipakai.
Seluruh isi rumah jadi kelabakan, sampai anak-anak saya pun ikut sibuk membantu bersih-bersih, setidaknya kamar mereka sendiri. Karena kamar di rumah kami hanya dua, berarti malam nanti saya dan isteri harus tidur berdesak-desakan bersama anak-anak. Tidak apa-apa, yang penting presiden merasa nyaman selama berada di rumah saya.
***
Untungnya …
Cerita di atas tadi tidak sungguh-sungguh terjadi. Tetapi kalau benar-benar terjadi, benarkah saya sepanik itu memersiapkan kedatangan seorang pemimpin Negara? Seperti itulah kiranya saya memuliakan seseorang yang dianggap terhormat.
Bagaimana jika telepon saya berbunyi dan suara di seberang berkata, “Pak, nanti sore ada beberapa anak yatim akan datang ke rumah untuk berbuka puasa…”
Sepanik itukah saya? serepot ketika hendak menyambut presiden kah saya? apakah saya akan menyiapkan semua yang terbaik untuk anak-anak yatim? Bahkan rela meminjam uang dari tetangga untuk membeli makanan?
Bukankah kita diperintahkan memuliakan anak yatim? Bukan sekadar menyayangi atau mencintai. Jika saya sebegitu sibuk saat hendak menyambut presiden, bagaimana sikap saya menyambut tamu mulia anak-anak yatim?
Astaghfirullaah… (gaw)
Lebih Baik (Tak) Sendiri
Hal paling menakutkan dalam hidup adalah berada dalam kesendirian, dan kesulitan terbesar dalam hidup yakni ketika kita tak memiliki seseorang pun untuk berbagi.
***
Waktu kecil, saya paling takut dengan anjing. Saya lebih memilih berputar arah dan rela mencari jalan yang lebih jauh ketimbang melintasi rumah yang ada anjingnya. Mungkin karena saya pernah melihat langsung teman saya, Kun, digigit anjing sampai menangis. Tak hanya itu, saya sendiri pernah dikejar anjing, berlari sekencang-kencangnya sambil menangis, berteriak minta tolong.
Perasaan trauma itu yang terus menghantui, sehingga setiap kali berpapasan dengan anjing saya langsung gemetar. Biasanya, saya tunggu sampai anjing itu menyingkir atau saya menunggu orang dewasa atau anak lain yang tidak takut anjing yang hendak melintasi jalan yang sama.
Kadang, saya berdua dengan teman sepermainan melewati jalan yang sama. Kami sama-sama takut kepada hewan itu. Ketika menyalak, bulu kuduk pun berdiri. Tapi karena berdua, perasaan takutnya sedikit berkurang dibanding saat sendiri. Setidaknya kami bisa bilang, “Sama-sama lari, kalau pun digigit ya sama-sama digigit”. Meskipun hukum yang berlaku berkata lain, “siapa cepat dia selamat!”
Sama halnya ketika di malam hari saya bertemu atau melintasi rumah yang dianggap angker, ada hantunya. Beberapa meter sebelum rumah tersebut, saya sudah berancang-ancang mengambil langkah seribu. Tetapi kalau berdua, jangankan melintas, kadang kami berani menyambangi rumah angker itu. Meski sebenarnya sama-sama takut, tetapi jika ada yang menemani perasaan itu bisa berkurang.
Dalam kesedihan pun demikian. Menjalani lara sendiri, seolah sepanjang hari berwarna kelabu. Tetapi ketika kita menemukan seseorang yang mau menyediakan bahunya untuk bersandar, terbagilah kesedihan itu. Saat menangis, ada yang mengusap bulir air mata kita dengan jemari atau punggung tangannya. Bulir-bulir air mata yang jatuh sebelumnya, seketika berubah menjadi bunga berwarna-warni yang membuat hidup begitu indah.
Tak hanya perasaan takut dan sedih, sebaliknya di waktu-waktu bahagia pun kita memilih tak sendiri. Merayakan hari kelahiran, sebagian kita kerap menunggu orang-orang tercinta mengirim pesan singkat atau menelepon sekadar berucap, “Selamat ulang tahun…”
Bayangkan, kalau sampai tengah hari belum satupun yang kirim ucapan selamat? Belum ada doa dari suami, isteri, anak-anak, orang tua, kakak, adik, sahabat, mungkin kita akan bertanya-tanya, “Kemana semua orang?” atau “Lupa hari ini saya ulang tahun?”
Ketika seseorang merasa senang, mungkin karena mendapat hadiah kejutan, rezeki yang tak disangka-sangka, dilamar calon suami, naik pangkat, naik gaji, punya mobil baru, memenangkan pertandingan, misalnya. Ia akan mencari orang lain untuk meluapkan kegembiraannya. Ia memerlukan seseorang yang mau ikut berteriak histeris merayakan kesenangannya itu.
Andai tak seorang pun peduli dengan kegembiraan Anda itu. Misalkan tak satupun menanggapi atau menyadari betapa hari itu Anda tengah berbahagia, membiarkan Anda senyum-senyum atau berteriak kegirangan sendirian, ada sesuatu yang kurang dalam kebahagiaan itu.
Ya, kita selalu memerlukan orang lain baik dalam keadaan takut, sedih, maupun bahagia. Seseorang yang mau berlari bersama dalam ketakutan, menggigil bersama dalam kedinginan, menangis bersama dalam kesedihan, juga tertawa bersama merayakan kemenangan dan kebahagiaan.
Sobat, jika pun Anda tak sendirian menjalani kehidupan, mungkin sahabat Anda tidak demikian. Sapalah sahabat yang sudah lama tak disapa, temuilah mereka sekarang juga, mungkin ia tengah sendiri menjalani segala rasanya. Katakan kepadanya, “Sobat, saya ada untukmu”. (gaw)
***
Waktu kecil, saya paling takut dengan anjing. Saya lebih memilih berputar arah dan rela mencari jalan yang lebih jauh ketimbang melintasi rumah yang ada anjingnya. Mungkin karena saya pernah melihat langsung teman saya, Kun, digigit anjing sampai menangis. Tak hanya itu, saya sendiri pernah dikejar anjing, berlari sekencang-kencangnya sambil menangis, berteriak minta tolong.
Perasaan trauma itu yang terus menghantui, sehingga setiap kali berpapasan dengan anjing saya langsung gemetar. Biasanya, saya tunggu sampai anjing itu menyingkir atau saya menunggu orang dewasa atau anak lain yang tidak takut anjing yang hendak melintasi jalan yang sama.
Kadang, saya berdua dengan teman sepermainan melewati jalan yang sama. Kami sama-sama takut kepada hewan itu. Ketika menyalak, bulu kuduk pun berdiri. Tapi karena berdua, perasaan takutnya sedikit berkurang dibanding saat sendiri. Setidaknya kami bisa bilang, “Sama-sama lari, kalau pun digigit ya sama-sama digigit”. Meskipun hukum yang berlaku berkata lain, “siapa cepat dia selamat!”
Sama halnya ketika di malam hari saya bertemu atau melintasi rumah yang dianggap angker, ada hantunya. Beberapa meter sebelum rumah tersebut, saya sudah berancang-ancang mengambil langkah seribu. Tetapi kalau berdua, jangankan melintas, kadang kami berani menyambangi rumah angker itu. Meski sebenarnya sama-sama takut, tetapi jika ada yang menemani perasaan itu bisa berkurang.
Dalam kesedihan pun demikian. Menjalani lara sendiri, seolah sepanjang hari berwarna kelabu. Tetapi ketika kita menemukan seseorang yang mau menyediakan bahunya untuk bersandar, terbagilah kesedihan itu. Saat menangis, ada yang mengusap bulir air mata kita dengan jemari atau punggung tangannya. Bulir-bulir air mata yang jatuh sebelumnya, seketika berubah menjadi bunga berwarna-warni yang membuat hidup begitu indah.
Tak hanya perasaan takut dan sedih, sebaliknya di waktu-waktu bahagia pun kita memilih tak sendiri. Merayakan hari kelahiran, sebagian kita kerap menunggu orang-orang tercinta mengirim pesan singkat atau menelepon sekadar berucap, “Selamat ulang tahun…”
Bayangkan, kalau sampai tengah hari belum satupun yang kirim ucapan selamat? Belum ada doa dari suami, isteri, anak-anak, orang tua, kakak, adik, sahabat, mungkin kita akan bertanya-tanya, “Kemana semua orang?” atau “Lupa hari ini saya ulang tahun?”
Ketika seseorang merasa senang, mungkin karena mendapat hadiah kejutan, rezeki yang tak disangka-sangka, dilamar calon suami, naik pangkat, naik gaji, punya mobil baru, memenangkan pertandingan, misalnya. Ia akan mencari orang lain untuk meluapkan kegembiraannya. Ia memerlukan seseorang yang mau ikut berteriak histeris merayakan kesenangannya itu.
Andai tak seorang pun peduli dengan kegembiraan Anda itu. Misalkan tak satupun menanggapi atau menyadari betapa hari itu Anda tengah berbahagia, membiarkan Anda senyum-senyum atau berteriak kegirangan sendirian, ada sesuatu yang kurang dalam kebahagiaan itu.
Ya, kita selalu memerlukan orang lain baik dalam keadaan takut, sedih, maupun bahagia. Seseorang yang mau berlari bersama dalam ketakutan, menggigil bersama dalam kedinginan, menangis bersama dalam kesedihan, juga tertawa bersama merayakan kemenangan dan kebahagiaan.
Sobat, jika pun Anda tak sendirian menjalani kehidupan, mungkin sahabat Anda tidak demikian. Sapalah sahabat yang sudah lama tak disapa, temuilah mereka sekarang juga, mungkin ia tengah sendiri menjalani segala rasanya. Katakan kepadanya, “Sobat, saya ada untukmu”. (gaw)
Monday, September 22, 2008
Baju Barumu Berapa?
“Baju barumu berapa?” Pertanyaan yang lazim kita dengar di hari-hari menjelang lebaran, atau hari-hari terakhir bulan ramadhan. Lebaran identik dengan baju baru, dan hal-hal baru lainnya secara fisik.
Lebaran atau hari raya Idul Fitri kerap dimaknai terlahirnya diri orang-orang yang berpuasa selama sebulan penuh bagai sosok bayi yang masih suci dan bersih. Maka layaknya bayi yang baru lahir, segala pakaian yang melekat pun serba baru, mulai dari baju hingga sepatu. Serba baru ini seolah melambangkan hati yang bersih tanpa noda, tubuh yang bersih tanpa dosa setelah sebulan penuh digodok, digembleng dan dibakar. Hangus sudah seluruh dosa terbakar, punah sudah semua keliru dihempas ramadhan. Jadilah ia orang yang baru, benar-benar baru, berbeda dari sebelum ia memasuki bulan ramadhan.
Selayaknya bayi yang baru lahir pun, kita memulai hidup baru, menggores lembaran-lembaran baru dalam kehidupan. Setiap gerak dan langkah akan merwarnai kertas putih kehidupan, entah dengan warna apa kita memulainya. Warna terang benderangkah atau justru kita menorehkan warna kegelapan sehingga membuat pekat kembali kertas putih lembaran kehidupan kita yang baru itu.
Sayang seribu sayang jika demikian adanya. Kita telah berjuang penuh menjalani berbagai ujian selama bulan ramadhan, berharap di satu syawal berdiri sebagai orang-orang yang layak menggenggam predikat kemenangan, justru langkah berikutnya tidak terarah, bahkan cenderung salah.
Atau, jangan-jangan ada ujian yang tidak kita ikuti selama masa ujian bulan ramadhan? Sehingga sejujurnya kita tidak benar-benar terlahir sebagai orang baru di satu syawal? Mungkin ada nilai-nilai buruk dari serangkaian test yang diberikan Allah selama bulan itu? Atau ada soal-soal ujian yang kita benar-benar gagal dan tak mampu mengerjakannya? Dan karena itu, sebenarnya kita tak tergolong orang-orang yang lulus dalam ujian ramadhan?
Ibarat siswa sekolah dasar yang menempuh ujian untuk kelulusan, jika ia mendapat nilai baik sesuai standar kelulusan, maka ia akan dinyatakan lulus dan berhak menyandang predikat baru sebagai siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP). Nah, setelah menyandang status siswa SMP, ia pun berhak berganti pakaian, dari merah putih menjadi biru putih, sebagai bukti keberhasilannya.
Namun jika ia gagal dalam ujian, maka tak ada hak sedikit pun untuk menyandang gelar siswa SMP. Ia sepantasnya bersedih karena tidak lulus dan harus mengulang kelas terakhir hingga waktu ujian tiba kembali. Jika ada siswa SD yang tak lulus ujian, berhakkah ia masuk ke kelas SMP? Bolehkah ia mengenakan seragam biru putih seperti halnya teman-temannya yang lulus?
Kembali ke soal baju baru untuk lebaran, jika memang dianggap sebagai perlambang kemenangan usai menempuh ujian ramadhan, benarkah kita menjadi pemenang? Kalaulah dianggap sebagai perlambang kebahagiaan setelah berhasil melewati beragam test sepanjang ramadhan, coba cek kembali nilai-nilai test kita, sudah bagus semuanya? Kalau belum, kenapa tersenyum?
Kalau anak kecil yang bertanya, “berapa baju barumu” kepada teman sebayanya, itu lain soal. Tapi kalau orang dewasa yang di hari-hari terakhir ramadhan ini sudah sibuk memikirkan baju baru apa yang akan dikenakannya di hari lebaran, ups, nanti dulu, ujian masih berlangsung loh, belum tentu kita dinyatakan lulus. Ya kan?
Siap-siap punya baju baru sih boleh, tapi harus yakin dulu ujian ramadhan ini terselesaikan dengan baik. Sebab belum tentu tahun depan ketemu ramadhan lagi. Sepakat?
Gaw
Lebaran atau hari raya Idul Fitri kerap dimaknai terlahirnya diri orang-orang yang berpuasa selama sebulan penuh bagai sosok bayi yang masih suci dan bersih. Maka layaknya bayi yang baru lahir, segala pakaian yang melekat pun serba baru, mulai dari baju hingga sepatu. Serba baru ini seolah melambangkan hati yang bersih tanpa noda, tubuh yang bersih tanpa dosa setelah sebulan penuh digodok, digembleng dan dibakar. Hangus sudah seluruh dosa terbakar, punah sudah semua keliru dihempas ramadhan. Jadilah ia orang yang baru, benar-benar baru, berbeda dari sebelum ia memasuki bulan ramadhan.
Selayaknya bayi yang baru lahir pun, kita memulai hidup baru, menggores lembaran-lembaran baru dalam kehidupan. Setiap gerak dan langkah akan merwarnai kertas putih kehidupan, entah dengan warna apa kita memulainya. Warna terang benderangkah atau justru kita menorehkan warna kegelapan sehingga membuat pekat kembali kertas putih lembaran kehidupan kita yang baru itu.
Sayang seribu sayang jika demikian adanya. Kita telah berjuang penuh menjalani berbagai ujian selama bulan ramadhan, berharap di satu syawal berdiri sebagai orang-orang yang layak menggenggam predikat kemenangan, justru langkah berikutnya tidak terarah, bahkan cenderung salah.
Atau, jangan-jangan ada ujian yang tidak kita ikuti selama masa ujian bulan ramadhan? Sehingga sejujurnya kita tidak benar-benar terlahir sebagai orang baru di satu syawal? Mungkin ada nilai-nilai buruk dari serangkaian test yang diberikan Allah selama bulan itu? Atau ada soal-soal ujian yang kita benar-benar gagal dan tak mampu mengerjakannya? Dan karena itu, sebenarnya kita tak tergolong orang-orang yang lulus dalam ujian ramadhan?
Ibarat siswa sekolah dasar yang menempuh ujian untuk kelulusan, jika ia mendapat nilai baik sesuai standar kelulusan, maka ia akan dinyatakan lulus dan berhak menyandang predikat baru sebagai siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP). Nah, setelah menyandang status siswa SMP, ia pun berhak berganti pakaian, dari merah putih menjadi biru putih, sebagai bukti keberhasilannya.
Namun jika ia gagal dalam ujian, maka tak ada hak sedikit pun untuk menyandang gelar siswa SMP. Ia sepantasnya bersedih karena tidak lulus dan harus mengulang kelas terakhir hingga waktu ujian tiba kembali. Jika ada siswa SD yang tak lulus ujian, berhakkah ia masuk ke kelas SMP? Bolehkah ia mengenakan seragam biru putih seperti halnya teman-temannya yang lulus?
Kembali ke soal baju baru untuk lebaran, jika memang dianggap sebagai perlambang kemenangan usai menempuh ujian ramadhan, benarkah kita menjadi pemenang? Kalaulah dianggap sebagai perlambang kebahagiaan setelah berhasil melewati beragam test sepanjang ramadhan, coba cek kembali nilai-nilai test kita, sudah bagus semuanya? Kalau belum, kenapa tersenyum?
Kalau anak kecil yang bertanya, “berapa baju barumu” kepada teman sebayanya, itu lain soal. Tapi kalau orang dewasa yang di hari-hari terakhir ramadhan ini sudah sibuk memikirkan baju baru apa yang akan dikenakannya di hari lebaran, ups, nanti dulu, ujian masih berlangsung loh, belum tentu kita dinyatakan lulus. Ya kan?
Siap-siap punya baju baru sih boleh, tapi harus yakin dulu ujian ramadhan ini terselesaikan dengan baik. Sebab belum tentu tahun depan ketemu ramadhan lagi. Sepakat?
Gaw
Subscribe to:
Posts (Atom)