Dulu sering terjadi seorang pengendara motor atau mobil jika menabrak seekor kucing hingga mati, maka ia segera menghentikan kendaraannya, segera menguburnya dan berdoa agar tak terjadi apa pun terhadap diri dan keluarganya. Bahkan jika yang menabrak kucing seorang wanita yang tengah hamil, ketakutannya makin bertambah. Ia khawatir akan terjadi sesuatu terhadap janin yang tengah dikandungnya. Intinya, jika seseorang menabrak seekor kucing hingga mati, takutnya bukan kepalang sehingga harus menguburnya terlebih dulu sebelum melanjutkan perjalanan. Sebab kalau tidak, akan terjadi sesuatu terhadap si penabrak.
Saya pikir mitos itu sudah lama hilang ditelan perkembangan peradaban anak manusia. Namun ternyata anggapan saya itu tidak sepenuhnya benar. Belum lama saya melihat lagi kejadian tersebut. Seseorang tengah sibuk menggali tanah di pinggir jalan, motornya di parkir tak jauh darinya. Rupanya ia tengah mengubur seekor kucing yang baru saja ditabraknya. “Takut saya kenapa-napa di jalan nanti mas,” ujarnya singkat tentang alasannya mengubur kucing mati itu.
Tidak ada yang salah “perasaaan bersalah” setiap kali seseorang menabrak seekor kucing hingga mati. Namun kalau boleh membandingkannya dengan berbagai kasus tabrak lari, si pengendara malah memacu lebih cepat kendaraannya. Ada yang karena menghindari amukan massa, ada pula yang memang benar-benar tidak berani bertanggungjawab. Padahal, boleh jadi si pengendara tidak bertanggungjawab tersebut pernah menabrak kucing dan tetap dia berhenti lalu “bertanggungjawab” menguburnya.
Aneh. Kadang saya merasa aneh dengan orang-orang seperti ini. Ia sangat ketakutan saat menabrak seekor kucing, tetapi tetap melaju kencang ketika manusia yang ditabraknya. Apakah kucing lebih berharga dari nyawa manusia? Bukan, tentu bukan itu alasannya. Jelas karena ia takut terkena akibat langsung yang sering dijadikan mitos bagi siapa pun penabrak kucing. Tetapi tetap saja aneh, kenapa seorang pelaku tabrak lari tidak merasa takut “terjadi apa-apa” lantaran menabrak seseorang?
Ini yang mesti diluruskan. Ketakutan dan merasa bersalah semestinya jangan salah alamat. Seharusnya seseorang itu takut kepada Allah setiap kali ia melakukan kesalahan. Memang benar ada kewajiban untuk meminta maaf kepada yang bersangkutan, tetapi taubat tetap dialamatkan kepada Allah. Penabrak kucing misalnya, ia tak semestinya merasa takut berlebihan ketika menabrak kucing. Sebab apa yang terjadi sesudah ia menabrak kucing, itu semua ada di tangan Allah.
Contoh menabrak kucing ini, sebenarnya bisa menjadi cermin betapa kita masih salah mengalamatkan ketakutan dan rasa bersalah setiap kali melakukan kesalahan. Misalnya saja orang yang melakukan korupsi, ia lebih takut perilakunya diketahui rekan sekerja, atasan, bawahan, atau tercium aparat keamanan. Sebaliknya, ia tidak pernah merasa bahwa di detik pertama ia menjamah sesuatu yang bukan miliknya itu, Allah tidak buta dan pasti mengawasinya.
Ketakutan dan rasa bersalah sering kali salah alamat. Khusus si penabrak lari, ia lebih takut kepada amukan massa ketimbang murka Allah lantaran telah tidak bertanggungjawab menghilangkan nyawa manusia. Si koruptor misalnya, lebih takut masuk penjaran ketimbang masuk neraka. Dan tentu saja masih banyak lagi berbagai perilaku yang mengalamatkan rasa bersalahnya tidak pada tempatnya.
Menulis rangkaian kalimat di atas, saya jadi malu sendiri. Sambil terus mengingat-ingat, berapa kali saya salah mengalamatkan ketakutan dan rasa bersalah?
Gaw
Anak Betawi yang Keliling Dunia Lewat Blog
Kate siape anak Betawi kagak bise maju? siape kate anak Betawi pade males dan banyak nyang jadi pengangguran? Bukan maksud nyombong atawe unjuk gigi, aye cuma ngasih tau kalo kagak semue anak Betawi kayak nyang ente kire...
Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...
Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...
Friday, January 26, 2007
Thursday, January 25, 2007
Sebab Cinta
Seorang ibu muda berlari kencang mengejar bis yang berjalan merambat di depan halte di daerah Kebon Nanas, Tangerang, Banten. Saat berlari, ia tidak sendiri. Ia menggendong anaknya yang masih berusia satu tahun. Pundak kecilnya juga masih harus dibebani dengan sekotak alat musik karaoke. Dua beban yang tak menyurutkan laju kencangnya mengejar bis kota, sayangnya bis besar itu hanya menyisakan kepulan asap hitam di wajah wanita pengamen itu.
Si kecil yang digendongnya, hanya bisa menutup mata untuk menghindari kepulan asap yang memerihkan mata. Ia, sungguh takkan pernah mengerti sebab apa dibawa berlari mengejar satu bis ke bis lainnya. Ia, juga takkan pernah memahami, setiap kali ibunya bernyanyi di depan puluhan pasang mata di dalam bis kota. Yang ia tahu hanyalah, terik matahari, atau derasnya hujan, debu jalanan, asap knalpot, aroma bis kota, tatapan iba, dan juga makian penumpang yang terganggu oleh hingar musik ibunya. Semua itu menjadi sahabat sehari-hari si kecil.
Lain lagi dengan pemandangan di Pasar pagi Cikokol, Tangerang, Banten. Pukul 02.00 dini hari, seorang anak berusia tidak lebih tiga tahun terlelap di tengah pasar. Berselimut angin malam, berteman aroma pasar, si kecil tertidur ditemani hiruk pikuk para aktor pasar; penjual dan pembeli. Sesekali mimpinya tergugah oleh klakson mobil, matanya terbuka melihat sekejap sang ibu yang sibuk melayani pembeli. Kemudian terlelap kembali merajut mimpi indahnya.
Anak pasar itu –kalau boleh disebut begitu- tak pernah tahu sebab apa ibunya menyertakannya dalam aktivitas di pasar dini hari itu. Ia tak pernah benar-benar mengerti kenapa dirinya berada di tengah-tengah tumpukan cabai, bawang, tomat dan sayuran setiap pagi dan melihat transaksi jual beli yang dilakukan ibunya. Saat terbangun dan menemani ibunya, cabai, bawang, tomat itulah sahabatnya. Angin pagi yang menusuk menjadi selimutnya, dan aroma tak sedap pasar becek lah yang kerap mengakrabinya.
Di tempat yang berbeda. Seorang ibu di Bogor naik turun KRL (kereta api listrik) menggendong anaknya yang cacat mental dan fisik, padahal si anak sudah berusia belasan tahun. Anak yang takkan pernah mengerti itu, benar-benar tidak tahu, sebab apa ibunya rela menanggung malu mengemis belas kasih dari penumpang kereta. Si anak juga tak pernah bertanya, “beratkah ibu menggendong saya?”
Masih di kereta yang sama, seorang ibu lainnya menggendong anaknya yang berusia tiga tahun. Si kecil yang lucu dan ramah itu, hanya memiliki sebelah tangan. Ia tak dianugerahi tangan kiri dan dua kaki saat terlahir ke dunia ini. Anak itu, tak pernah memahami kenapa di setiap menit selalu ada tetes air mata di sudut mata ibunya. Si kecil selalu tersenyum, meski air muka ibunya tak pernah menyiratkan bahagia. Senyum sang ibu kerap dipaksakan di depan para penumpang kereta, demi sekeping receh yang diharapnya.
***
Anak-anak itu, memang belum akan mengerti sebab apa ibunya mengejar bis kota, mengakrabi malam di pasar, dan menyusuri gerbong demi gerbong kereta api. Yang mereka tahu hanyalah, mereka tak pernah jauh dari ibunya. Yang mereka rasakan adalah kecupan di kening dan wajah setiap kali sang ibu berkesah tak mendapatkan rezeki. Bahasa kalbu ibu berkata, “sebab cinta, ibu melakukan semua ini nak”.
Sungguh, jika tak karena cinta, langkahnya sudah terhenti. Cintalah yang mengajarkannya untuk menghapus kata “lelah” dan “putus asa” dalam kamus hidup seorang ibu. Masih ragu kah dengan cinta ibu?
Gaw
Si kecil yang digendongnya, hanya bisa menutup mata untuk menghindari kepulan asap yang memerihkan mata. Ia, sungguh takkan pernah mengerti sebab apa dibawa berlari mengejar satu bis ke bis lainnya. Ia, juga takkan pernah memahami, setiap kali ibunya bernyanyi di depan puluhan pasang mata di dalam bis kota. Yang ia tahu hanyalah, terik matahari, atau derasnya hujan, debu jalanan, asap knalpot, aroma bis kota, tatapan iba, dan juga makian penumpang yang terganggu oleh hingar musik ibunya. Semua itu menjadi sahabat sehari-hari si kecil.
Lain lagi dengan pemandangan di Pasar pagi Cikokol, Tangerang, Banten. Pukul 02.00 dini hari, seorang anak berusia tidak lebih tiga tahun terlelap di tengah pasar. Berselimut angin malam, berteman aroma pasar, si kecil tertidur ditemani hiruk pikuk para aktor pasar; penjual dan pembeli. Sesekali mimpinya tergugah oleh klakson mobil, matanya terbuka melihat sekejap sang ibu yang sibuk melayani pembeli. Kemudian terlelap kembali merajut mimpi indahnya.
Anak pasar itu –kalau boleh disebut begitu- tak pernah tahu sebab apa ibunya menyertakannya dalam aktivitas di pasar dini hari itu. Ia tak pernah benar-benar mengerti kenapa dirinya berada di tengah-tengah tumpukan cabai, bawang, tomat dan sayuran setiap pagi dan melihat transaksi jual beli yang dilakukan ibunya. Saat terbangun dan menemani ibunya, cabai, bawang, tomat itulah sahabatnya. Angin pagi yang menusuk menjadi selimutnya, dan aroma tak sedap pasar becek lah yang kerap mengakrabinya.
Di tempat yang berbeda. Seorang ibu di Bogor naik turun KRL (kereta api listrik) menggendong anaknya yang cacat mental dan fisik, padahal si anak sudah berusia belasan tahun. Anak yang takkan pernah mengerti itu, benar-benar tidak tahu, sebab apa ibunya rela menanggung malu mengemis belas kasih dari penumpang kereta. Si anak juga tak pernah bertanya, “beratkah ibu menggendong saya?”
Masih di kereta yang sama, seorang ibu lainnya menggendong anaknya yang berusia tiga tahun. Si kecil yang lucu dan ramah itu, hanya memiliki sebelah tangan. Ia tak dianugerahi tangan kiri dan dua kaki saat terlahir ke dunia ini. Anak itu, tak pernah memahami kenapa di setiap menit selalu ada tetes air mata di sudut mata ibunya. Si kecil selalu tersenyum, meski air muka ibunya tak pernah menyiratkan bahagia. Senyum sang ibu kerap dipaksakan di depan para penumpang kereta, demi sekeping receh yang diharapnya.
***
Anak-anak itu, memang belum akan mengerti sebab apa ibunya mengejar bis kota, mengakrabi malam di pasar, dan menyusuri gerbong demi gerbong kereta api. Yang mereka tahu hanyalah, mereka tak pernah jauh dari ibunya. Yang mereka rasakan adalah kecupan di kening dan wajah setiap kali sang ibu berkesah tak mendapatkan rezeki. Bahasa kalbu ibu berkata, “sebab cinta, ibu melakukan semua ini nak”.
Sungguh, jika tak karena cinta, langkahnya sudah terhenti. Cintalah yang mengajarkannya untuk menghapus kata “lelah” dan “putus asa” dalam kamus hidup seorang ibu. Masih ragu kah dengan cinta ibu?
Gaw
BERANI COBA??? SELEKSI CALON RELAWAN TIM RESCUE ACT!
Jika Anda bermental kuat, para survivors, punya fisik dan ketahanan tubuh yang prima, dan berani menghadapi resiko tinggi di lokasi bencana, maka Anda pantas menjadi relawan rescue ACT.
ACT – Aksi Cepat Tanggap, adalah lembaga kemanusiaan yang memfokuskan programnya pada penanganan bencana. Emergency Recue merupakan komponen penting di lembaga ini, karenanya ACT membuka kesempatan untuk Anda bergabung sebagai relawan (volunteers) tim Rescue.
Ikuti seleksi calon relawan tim rescue! (terbatas, hanya 50 orang)
Kamis, 1 Februari 2007
Jam. 09.00 s/d 16.00 WIB
Kantor ACT
Perkantoran Ciputat Indah Permai
Jl. Ir. H. Juanda No. 50 Blok B-8
Telp. 021-7414482 ext 121
Sarat-sarat (wajib):
1. Pria/Wanita
2. Usia maksimal 30 tahun
3. Background pecinta alam/kepanduan/pramuka/survivors
4. Berjiwa sosial
5. Sehat Jasmani dan Rohani
6. Berkemampuan dasar rescue : Renang, Menyetir (mobil dan motor), dan menggunakan alat komunikasi
Materi seleksi meliputi:
1. Test tertulis
2. Wawancara/interview
3. Test fisik
Peserta yang terseleksi (50 orang) akan mengikuti pelatihan (training) rescue pada akhir Februari 2007. Mereka yang lulus training rescue secara resmi teregistrasi sebagai relawan rescue ACT dengan sertifikat khusus, yang siap diterjunkan ke berbagai lokasi bencana.
Jika Anda tertantang untuk mencoba seleksi, kirimkan curriculum vitae (data pribadi), foto terbaru dan data pendukung lainnya ke masyarakat_relawan_indonesia@yahoo.co.id paling lambat tanggal 31 Januari 2007.
Informasi dan Contact Person:
Gandi Purnama 0813 21088441
Bayu Gawtama 0852 190 68581
Catatan: Seleksi dan training rescue tidak dipungut biaya (gratis)
ACT – Aksi Cepat Tanggap, adalah lembaga kemanusiaan yang memfokuskan programnya pada penanganan bencana. Emergency Recue merupakan komponen penting di lembaga ini, karenanya ACT membuka kesempatan untuk Anda bergabung sebagai relawan (volunteers) tim Rescue.
Ikuti seleksi calon relawan tim rescue! (terbatas, hanya 50 orang)
Kamis, 1 Februari 2007
Jam. 09.00 s/d 16.00 WIB
Kantor ACT
Perkantoran Ciputat Indah Permai
Jl. Ir. H. Juanda No. 50 Blok B-8
Telp. 021-7414482 ext 121
Sarat-sarat (wajib):
1. Pria/Wanita
2. Usia maksimal 30 tahun
3. Background pecinta alam/kepanduan/pramuka/survivors
4. Berjiwa sosial
5. Sehat Jasmani dan Rohani
6. Berkemampuan dasar rescue : Renang, Menyetir (mobil dan motor), dan menggunakan alat komunikasi
Materi seleksi meliputi:
1. Test tertulis
2. Wawancara/interview
3. Test fisik
Peserta yang terseleksi (50 orang) akan mengikuti pelatihan (training) rescue pada akhir Februari 2007. Mereka yang lulus training rescue secara resmi teregistrasi sebagai relawan rescue ACT dengan sertifikat khusus, yang siap diterjunkan ke berbagai lokasi bencana.
Jika Anda tertantang untuk mencoba seleksi, kirimkan curriculum vitae (data pribadi), foto terbaru dan data pendukung lainnya ke masyarakat_relawan_indonesia@yahoo.co.id paling lambat tanggal 31 Januari 2007.
Informasi dan Contact Person:
Gandi Purnama 0813 21088441
Bayu Gawtama 0852 190 68581
Catatan: Seleksi dan training rescue tidak dipungut biaya (gratis)
Tuesday, January 23, 2007
Ayah Jarang Pulang
“Subhanallah, bagus sekali baju dede dan teteh, baju baru ya?” seru saya melihat baju yang dikenakan anak-anak pagi ini.
“Yee… kemana aja? Ini baju sudah lama. Abi sih jarang pulang…,” sahut anak sulung saya.
Saya tertohok dengan jawabannya. Isteri saya mengerlingkan matanya seolah tahu saya tengah tersindir oleh kalimat polos anak-anak. Saya jadi malu sendiri dan tidak mau berkata apa-apa untuk membalas kalimat tersebut. Padahal rasanya saya ingin meluruskan, bahwa ‘jarang pulang’nya saya adalah kewajiban seorang Ayah untuk mencari nafkah. Dan memang, pekerjaan saya menuntut untuk selalu bepergian meninggalkan mereka beberapa hari. Tapi percuma saya meluruskannya, karena nyatanya, diri ini memang seorang Ayah yang jarang pulang. Hanya itu yang anak-anak mengerti.
“Kemana aja?” dan “Jarang pulang”, dua kalimat yang saya pikirkan sepanjang jalan ke kantor. Benarkah dua kalimat itu hanya sebuah kalimat polos yang tidak datang dari perasaan mereka sebenarnya? Atau justru, itulah dua kalimat yang mewakili pikiran dan kerinduan mereka akan kehadiran sosok Ayahnya untuk lebih sering di rumah.
Kemudian saya mencoba berkaca lagi tentang semua perjalanan kebersamaan bersama keluarga selama ini. Menerawang lebih jauh dan mengingat kembali seberapa banyak moment istimewa yang anak-anak lewati tanpa kehadiran lelaki ini. Duh, ingatlah saya. Ulang tahun ke empat si bungsu satu Juni lalu, saya berada di Jogja, tengah sibuk-sibuknya membantu korban gempa. Sungguh saya tidak mau melanjutkan terawang masa terlewat, pastilah panjang daftar hari-hari istimewa yang terlewati tanpa kehadiran diri ini.
Sendirikah saya? Atau justru teramat banyak Ayah paruh waktu di muka bumi ini? Kenapa setiap anak selalu lebih dulu bisa mengucapkan kalimat “Mamaa”, ketimbang “Papa”? tentu karena ia lebih banyak menghabiskan waktu bersama bundanya. Kemana para Ayah saat si kecil pertama kali bisa berdiri? Sehingga suatu saat si Ayah terheran, “Eeh anak Ayah sudah bisa berdiri”. Padahal mungkin sudah sepekan si kecil bisa berdiri. Andai ia bisa bicara, mungkin akan berujar “Kemana aja yah? Sudah seminggu nih bisa berdiri”.
Dalam kasus yang berbeda, ada seorang Ayah yang terlupa tanggal kelahiran anak-anaknya. Mungkin bagi sebagian orang tidaklah penting, tetapi jika tanggal kelahiran saja sudah lupa, bagaimana dengan hal lainnya? Seperti makanan kesukaannya, warna kesukaannya, model pakaian yang digemarinya dan masih banyak lagi. Kapan pertama kali anak-anak masuk sekolah? Kapan terakhir kali seorang Ayah mengantar anaknya ke sekolah? Kapan terakhir kali seorang Ayah mengajari anaknya mengaji? Kapan pula terakhir seorang Ayah menemani tidur anak-anak serta mengiringinya dengan dongeng?
Berapa banyak waktu yang diberikan seorang Ayah untuk anak-anak mereka? Seberapa sering seorang Ayah memanfaatkan waktu di rumahnya untuk bermain-main dengan anak-anak? Seberapa sering seorang Ayah meluangkan sedikit waktunya untuk sekadar bertanya, “Apa kabar anak kita?” melalui telepon? Sejauh apa pun jarak memisahkan.
Kepada anak saya, saya cuma bisa bilang, “Maaf… “ sambil berdoa semoga masih ada kesempatan di hari esok untuk memperbaikinya. Menjadikan hari-hari yang terbatas bersama anak-anak, sebagai hari paling istimewa sepanjang hidup mereka. Semoga
Gaw
“Yee… kemana aja? Ini baju sudah lama. Abi sih jarang pulang…,” sahut anak sulung saya.
Saya tertohok dengan jawabannya. Isteri saya mengerlingkan matanya seolah tahu saya tengah tersindir oleh kalimat polos anak-anak. Saya jadi malu sendiri dan tidak mau berkata apa-apa untuk membalas kalimat tersebut. Padahal rasanya saya ingin meluruskan, bahwa ‘jarang pulang’nya saya adalah kewajiban seorang Ayah untuk mencari nafkah. Dan memang, pekerjaan saya menuntut untuk selalu bepergian meninggalkan mereka beberapa hari. Tapi percuma saya meluruskannya, karena nyatanya, diri ini memang seorang Ayah yang jarang pulang. Hanya itu yang anak-anak mengerti.
“Kemana aja?” dan “Jarang pulang”, dua kalimat yang saya pikirkan sepanjang jalan ke kantor. Benarkah dua kalimat itu hanya sebuah kalimat polos yang tidak datang dari perasaan mereka sebenarnya? Atau justru, itulah dua kalimat yang mewakili pikiran dan kerinduan mereka akan kehadiran sosok Ayahnya untuk lebih sering di rumah.
Kemudian saya mencoba berkaca lagi tentang semua perjalanan kebersamaan bersama keluarga selama ini. Menerawang lebih jauh dan mengingat kembali seberapa banyak moment istimewa yang anak-anak lewati tanpa kehadiran lelaki ini. Duh, ingatlah saya. Ulang tahun ke empat si bungsu satu Juni lalu, saya berada di Jogja, tengah sibuk-sibuknya membantu korban gempa. Sungguh saya tidak mau melanjutkan terawang masa terlewat, pastilah panjang daftar hari-hari istimewa yang terlewati tanpa kehadiran diri ini.
Sendirikah saya? Atau justru teramat banyak Ayah paruh waktu di muka bumi ini? Kenapa setiap anak selalu lebih dulu bisa mengucapkan kalimat “Mamaa”, ketimbang “Papa”? tentu karena ia lebih banyak menghabiskan waktu bersama bundanya. Kemana para Ayah saat si kecil pertama kali bisa berdiri? Sehingga suatu saat si Ayah terheran, “Eeh anak Ayah sudah bisa berdiri”. Padahal mungkin sudah sepekan si kecil bisa berdiri. Andai ia bisa bicara, mungkin akan berujar “Kemana aja yah? Sudah seminggu nih bisa berdiri”.
Dalam kasus yang berbeda, ada seorang Ayah yang terlupa tanggal kelahiran anak-anaknya. Mungkin bagi sebagian orang tidaklah penting, tetapi jika tanggal kelahiran saja sudah lupa, bagaimana dengan hal lainnya? Seperti makanan kesukaannya, warna kesukaannya, model pakaian yang digemarinya dan masih banyak lagi. Kapan pertama kali anak-anak masuk sekolah? Kapan terakhir kali seorang Ayah mengantar anaknya ke sekolah? Kapan terakhir kali seorang Ayah mengajari anaknya mengaji? Kapan pula terakhir seorang Ayah menemani tidur anak-anak serta mengiringinya dengan dongeng?
Berapa banyak waktu yang diberikan seorang Ayah untuk anak-anak mereka? Seberapa sering seorang Ayah memanfaatkan waktu di rumahnya untuk bermain-main dengan anak-anak? Seberapa sering seorang Ayah meluangkan sedikit waktunya untuk sekadar bertanya, “Apa kabar anak kita?” melalui telepon? Sejauh apa pun jarak memisahkan.
Kepada anak saya, saya cuma bisa bilang, “Maaf… “ sambil berdoa semoga masih ada kesempatan di hari esok untuk memperbaikinya. Menjadikan hari-hari yang terbatas bersama anak-anak, sebagai hari paling istimewa sepanjang hidup mereka. Semoga
Gaw
Monday, January 22, 2007
30 Menit Tanpa Ponsel
Dalam satu kelas pelatihan, saya meminta sekitar 30 peserta yang hadir untuk mengumpulkan telepon seluler milik mereka di meja depan kelas. Perlu diketahui, para peserta ini termasuk mereka yang super sibuk dan menjadikan ponsel sebagai salah satu alat kerja andalannya. Kemudian satu persatu maju untuk meletakkan teleponnya, namun sebelumnya saya meminta tak satu pun yang mematikan atau men-silent-kannya.
Tak lebih dari lima menit, ponsel berbagai merk dan tipe pun teronggok di meja depan kelas. Aturan mainnya, tidak satu pun peserta boleh mengambil ponselnya selama 30 menit. Tidak peduli apakah mereka mendapat panggilan penting, mendapat puluhan kali SMS atau lainnya. Beberapa peserta mulai bertanya, apa maksud dari simulasi ini. Beberapa lainnya mulai melirik ponsel mereka yang berdering mendapat panggilan atau SMS. Sementara lainnya nampak tenang mengikuti permainan tersebut.
Baru lima menit, beberapa ponsel yang terkumpul di meja depan berdering. Beberapa lainnya menandakan SMS yang masuk. Deringnya beragam, tentu saja masing-masing pemilik tahu persis ponsel siapa yang berdering. Dari gerak tubuhnya, terlihat mereka sangat ingin mengambil ponsel dan menjawab panggilan telepon atau melihat SMS yang masuk. Namun tentu saja mereka harus menahan keinginannya itu selama tiga puluh menit.
Nampak beberapa peserta agak ‘tersiksa’ mendengar ponselnya berdering berkali-kali. Terdengar pelan suara dari salah seorang peserta, “Itu Bos saya yang telepon, pasti penting”. Namun lagi-lagi ia hanya bisa bersabar menunggu waktu tiga puluh menit yang sudah disepakati. Beragam panggilan yang masuk ke ponsel para peserta itu, ada yang dari isterinya, dari suaminya, dan dari pacarnya. Ada juga panggilan dari klien bisnisnya, dari atasannya, atau dari bawahannya yang tengah menunggu instruksi darinya. Beberapa peserta men-set dering ponsel berdasar kategori; keluarga, rekan kantor, sahabat, dan lain-lain. Sehingga mereka tahu dari mana panggilan berasal.
Tiga puluh menit berlalu. Dan berhamburan lah para peserta ke depan untuk mengambil ponsel mereka. Nyaris seluruhnya langsung menelepon balik semua orang yang selama tiga puluh menit meneleponnya. Sebagian lainnya sibuk menekan tombol menjawab SMS-SMS yang masuk.
***
Handphone atau telepon seluler sudah menjadi kebutuhan primer bagi sebagian orang, terutama masyarakat perkotaan. Untuk sebagian lainnya, bahkan keberadaannya mengalahkan kebutuhan lainnya seperti makan, dan juga seks. Misalnya saja, ada saja orang yang rela kembali lagi ke rumah setelah perjalanan ke kantor menempuh seperempat jam hanya untuk mengambil handphone yang tertinggal. Padahal sebelum berangkat, sarapan yang disediakan sang isteri tidak disentuhnya dengan alasan; sudah kesiangan!
Tiga puluh menit saja waktu yang diminta untuk tidak menjawab telepon atau SMS. Mereka mengaku begitu tersiksa, beberapa bahkan mengaku rugi lantaran tidak segera menjawab atau membalasnya.
Sebegitu ‘tersiksa’kah mereka hanya tiga puluh menit tak menyentuh telepon seluler? Bagaimana dengan kebutuhan lainnya? Jika mereka tak makan selama 24 jam? Tidak menonton televisi selama sepekan? Tidak tidur selama beberapa hari? Dan tidak bisa melakukan berbagai aktivitas yang merupakan kebutuhan primer mereka? Seperti halnya orang-orang fakir miskin yang kesulitan mencari makan? Seperti anak-anak yatim yang sering menahan lapar belum makan seharian? Seperti para korban bencana yang berhari-hari menggantang harapan menunggu datangnya bantuan?
Gaw
Tak lebih dari lima menit, ponsel berbagai merk dan tipe pun teronggok di meja depan kelas. Aturan mainnya, tidak satu pun peserta boleh mengambil ponselnya selama 30 menit. Tidak peduli apakah mereka mendapat panggilan penting, mendapat puluhan kali SMS atau lainnya. Beberapa peserta mulai bertanya, apa maksud dari simulasi ini. Beberapa lainnya mulai melirik ponsel mereka yang berdering mendapat panggilan atau SMS. Sementara lainnya nampak tenang mengikuti permainan tersebut.
Baru lima menit, beberapa ponsel yang terkumpul di meja depan berdering. Beberapa lainnya menandakan SMS yang masuk. Deringnya beragam, tentu saja masing-masing pemilik tahu persis ponsel siapa yang berdering. Dari gerak tubuhnya, terlihat mereka sangat ingin mengambil ponsel dan menjawab panggilan telepon atau melihat SMS yang masuk. Namun tentu saja mereka harus menahan keinginannya itu selama tiga puluh menit.
Nampak beberapa peserta agak ‘tersiksa’ mendengar ponselnya berdering berkali-kali. Terdengar pelan suara dari salah seorang peserta, “Itu Bos saya yang telepon, pasti penting”. Namun lagi-lagi ia hanya bisa bersabar menunggu waktu tiga puluh menit yang sudah disepakati. Beragam panggilan yang masuk ke ponsel para peserta itu, ada yang dari isterinya, dari suaminya, dan dari pacarnya. Ada juga panggilan dari klien bisnisnya, dari atasannya, atau dari bawahannya yang tengah menunggu instruksi darinya. Beberapa peserta men-set dering ponsel berdasar kategori; keluarga, rekan kantor, sahabat, dan lain-lain. Sehingga mereka tahu dari mana panggilan berasal.
Tiga puluh menit berlalu. Dan berhamburan lah para peserta ke depan untuk mengambil ponsel mereka. Nyaris seluruhnya langsung menelepon balik semua orang yang selama tiga puluh menit meneleponnya. Sebagian lainnya sibuk menekan tombol menjawab SMS-SMS yang masuk.
***
Handphone atau telepon seluler sudah menjadi kebutuhan primer bagi sebagian orang, terutama masyarakat perkotaan. Untuk sebagian lainnya, bahkan keberadaannya mengalahkan kebutuhan lainnya seperti makan, dan juga seks. Misalnya saja, ada saja orang yang rela kembali lagi ke rumah setelah perjalanan ke kantor menempuh seperempat jam hanya untuk mengambil handphone yang tertinggal. Padahal sebelum berangkat, sarapan yang disediakan sang isteri tidak disentuhnya dengan alasan; sudah kesiangan!
Tiga puluh menit saja waktu yang diminta untuk tidak menjawab telepon atau SMS. Mereka mengaku begitu tersiksa, beberapa bahkan mengaku rugi lantaran tidak segera menjawab atau membalasnya.
Sebegitu ‘tersiksa’kah mereka hanya tiga puluh menit tak menyentuh telepon seluler? Bagaimana dengan kebutuhan lainnya? Jika mereka tak makan selama 24 jam? Tidak menonton televisi selama sepekan? Tidak tidur selama beberapa hari? Dan tidak bisa melakukan berbagai aktivitas yang merupakan kebutuhan primer mereka? Seperti halnya orang-orang fakir miskin yang kesulitan mencari makan? Seperti anak-anak yatim yang sering menahan lapar belum makan seharian? Seperti para korban bencana yang berhari-hari menggantang harapan menunggu datangnya bantuan?
Gaw
Tuesday, January 09, 2007
Orang Gila Naik Motor... Jeggeerrr!
Kejadiannya kemarin sore, Senin 8 Januari 2007 sekitar pukul 17.15 WIB. Saya pacu motor di kecepatan standar, 80 KM/jam, dari Ciputat menuju Cilandak. Tidak ada masalah selama perjalanan, seperti biasa, arus lalu lintas memang agak ramai (tidak padat) karena memang jam pulang kantor.
Ketika sampai di perempatan di sekitar Secapa Polri, di jalan menuju jalan Dewi Sartika, sebuah motor memacu kendaraannya lebih cepat dari saya, padahal saya sudah menurunkan kecepatan sekitar 60-70 KM/jam. Dasar orang agak aneh, dia nyalip saya dari kiri dengan kecepatan tinggi. Eh nggak taunya di depan dia ada taksi yang berjalan lambat. Kena deh kecium itu bamper belakang taksi sama motor bututnya.
Kalau cuma dia yang nyungsep sih biarin, masalahnya, tuh motor nabrak taksi setelah nyalip motor saya dari kiri. Alhasil, si gila ini terlempar ke kanan jalan yang kebetulan sepersekian detik di belakangnya ada motor saya, dengan kecepatan 70 KM/jam. Ya sudah, tidak mungkin lah saya menghindari motor butut yang sudah terkapar di jalan itu. Sebab pilihannya cuma tiga, nabrak taksi, nabrak trotoar (dan kemungkinan masuk selokan) atau nabrak si motor butut gila itu...
Dalam hitungan sepersekian detik itu pula saya 'putuskan' nabrak si motor edan itu. Hasilnya, saya ikut nyungsep bersama, motor saya ikut terkapar kayak motor pacaran dan berdempetan. Sementara saya, langsung terbang -kayak di film hollywood- dan mendarat mulus di aspal dengan lengan kanan bagian atas sebagai tumpuannya.
Hasil akhir: kemudi motor bengkok, bustep kiri depan bengkok, spion pecah, helm -yang baru beli seminggu lalu- lecet (untung pake helm, kalo nggak, kepala ini yang lecet abis), tulang kering kaki kiri memar dan bengkak, punggung telapak kaki kiri lecet, memar dan bengkak, lengan kanan atas bengkak dan susah bergerak. Dan sekarang agak demam nih...
Pengen sih marah, tapi percuma. si pengendara motor edan itu juga kayaknya parah. Lagi pula dia langsung nyamperin saya dan tersenyum... ah memang benar. senyum itu obat segala hal... he he
Gaw
Ketika sampai di perempatan di sekitar Secapa Polri, di jalan menuju jalan Dewi Sartika, sebuah motor memacu kendaraannya lebih cepat dari saya, padahal saya sudah menurunkan kecepatan sekitar 60-70 KM/jam. Dasar orang agak aneh, dia nyalip saya dari kiri dengan kecepatan tinggi. Eh nggak taunya di depan dia ada taksi yang berjalan lambat. Kena deh kecium itu bamper belakang taksi sama motor bututnya.
Kalau cuma dia yang nyungsep sih biarin, masalahnya, tuh motor nabrak taksi setelah nyalip motor saya dari kiri. Alhasil, si gila ini terlempar ke kanan jalan yang kebetulan sepersekian detik di belakangnya ada motor saya, dengan kecepatan 70 KM/jam. Ya sudah, tidak mungkin lah saya menghindari motor butut yang sudah terkapar di jalan itu. Sebab pilihannya cuma tiga, nabrak taksi, nabrak trotoar (dan kemungkinan masuk selokan) atau nabrak si motor butut gila itu...
Dalam hitungan sepersekian detik itu pula saya 'putuskan' nabrak si motor edan itu. Hasilnya, saya ikut nyungsep bersama, motor saya ikut terkapar kayak motor pacaran dan berdempetan. Sementara saya, langsung terbang -kayak di film hollywood- dan mendarat mulus di aspal dengan lengan kanan bagian atas sebagai tumpuannya.
Hasil akhir: kemudi motor bengkok, bustep kiri depan bengkok, spion pecah, helm -yang baru beli seminggu lalu- lecet (untung pake helm, kalo nggak, kepala ini yang lecet abis), tulang kering kaki kiri memar dan bengkak, punggung telapak kaki kiri lecet, memar dan bengkak, lengan kanan atas bengkak dan susah bergerak. Dan sekarang agak demam nih...
Pengen sih marah, tapi percuma. si pengendara motor edan itu juga kayaknya parah. Lagi pula dia langsung nyamperin saya dan tersenyum... ah memang benar. senyum itu obat segala hal... he he
Gaw
Subscribe to:
Posts (Atom)