Masih senang buang nasi? saya selalu teringat kalimat ini dan rasanya takkan pernah lupa. Adalah ibu yang pernah mengutarakannya dulu saat saya kecil. Setiap kali waktu makan tiba, ibu menyediakan kelima anaknya untuk makan masing-masing sepiring. Dan saya, salah satu dari dua anak ibu yang gemar membuang-buang nasi pada saat makan. Maksudnya, setiap kali ibu luput mengawasi makan kami, saya membuang nasi ke selokan, atau ke tempat sampah dengan berbagai alasan; kenyang, makanan tidak enak, sedang tidak selera makan, atau sekadar mengejar ketinggalan dari saudara-saudara yang lain yang tumpukan nasi di piringnya sudah hampir habis.
Tapi ibu selalu tahu kalau saya melakukan itu, seketika kalimat itu pun terdengar, "masih terus membuang nasi?". Tak hanya itu, seperti penceramah di masjid pada saat sholat Jum'at -begitu saya menilai ibu saat menasehati kami dulu-, tak berhenti bicara sebelum anaknya ini benar-benar menunjukkan penyesalan. Keluarnya khotbah ibu tentang anak-anak terlantar yang bertemu nasi seperti menanti matahari di musim penghujan, mereka yang tak pernah bermasalah soal rasa makanan. Karena masalah mereka bukan pada rasa, tetapi pada wujud fisik makanan yang jarang mereka dapatkan. Berceritalah ibu tentang kaum fakir yang untuk bisa makan sekali sehari, selaut peluh harus terkucur deminya, segunung doa tak henti dipanjatnya untuk sesuap nasi di hari itu, lelah pun tak pernah ada dalam perjalanan panjang mereka mengganjal perut kosongnya.
Lagi-lagi saya membuang nasi, juga diwaktu makan siang bersama abang dan adik. Si bungsu manis dari keluarga kami pun berteriak, "bu, abang buang nasi lagi...". Tiba-tiba saya mendelik dan menampar piring milik si manis. Lalu saya bilang ke ibu, "abang cuma dikit kok, itu buktinya adik yang lebih banyak membuang nasinya," kilah saya tak mau kalah.
Tapi ibu tetap tahu siapa yang bersalah sebenarnya. Saya mendapat hukuman tak mendapatkan makanan untuk malam hari. Di waktu makan malam, saya tak diperkenankan berada di ruang makan. Anak nakal ini diminta untuk merenungi perbuatannya siang hari. Tak banyak yang bisa direnungkan anak sekecil saya waktu itu, selain satu hal yang bisa dirasa; "begini rasanya telat makan..." benar-benar menderita. Saya juga mendapati pelajaran berharga, tidak enak rasanya hanya menjadi penonton orang-orang yang sedang nikmat menyantap makanan, terlebih jika yang dimakan adalah penganan kegemaran saya. Terbersit harap, abang dan adik-adik berbaik hati tak melahap habis semua makanan dan menyisakan sedikit saja untuk saya. Semoga
Ternyata hukuman ibu tak sekejam yang saya kira. Ibu tetaplah manusia paling baik sedunia. Usai waktu makan malam ibu memanggil dan mempersilahkan saya duduk di meja makan. Nasi pun tersedia, semur tahu nikmat buatan ibu yang tadi membuat tenggorokan ini sempat tergelegak pun lahap disantap. Nikmatnya. Ternyata, nasi lebih nikmat untuk dimakan ketimbang dibuang. Dan sungguh, teramat banyak saudara kita yang nyaris tak pernah menikmati makanan senikmat yang kami punya.
***
Sungguh saya tak henti menangis, setiap kali mendengar dan melihat banyak orang membuang makanan yang tak termakan. Setiap kali mendengar bahwa teramat banyak restoran dan hotel yang lebih rela membuang sisa makanan ketimbang membagi-bagikannya kepada orang yang lebih membutuhkan. Setiap kali mendengar berita di televisi tentang orang-orang yang mulai menyantap nasi bekas (aking), atau anak-anak yang menjadikan batang pohon sebagai santapannya, lantaran tak ada lagi yang bisa dimakan.
Miris hati ini, ketika mendengar sekeluarga di Indramayu keracunan setelah menyantap jamur yang diambil dari kebun belakang rumah mereka. Mereka terpaksa makan jamur karena tak lagi ada yang bisa dimakan, dan jamur menjadi pilihan terakhir untuk mengganjal perut kerontang mereka.
Masihkah kita senang membuang nasi?
Bayu Gawtama
3 comments:
Assalamualaikum,
Salam kenal Mas Gawtama,maaf baru sempet nengok blognya nih.Terima kasih untuk tulisan-tulisannya.Benar-benar mencerahkan :)
betul banget bos...saya suka buang makanan...
Ok setujuh bosss...bagus banget tuh tulisannya...
andai semua orang seperti mas gawtama wah di indonesia bisa jadi ga ada orang kelaparan
Post a Comment