Seorang bocah bertelanjang dada dengan celana yang nyaris kedodoran menyodorkan baskom plastik kepada penjaja makanan kecil sejenis “Chiki”. Baskom tersebut untuk ditukarkan dengan beberapa takar Chiki kampung. Tentu saja ini menjadi sebuah pemandangan unik, masih ada praktik jual beli di masyarakat pedesaan yang tak menggunakan uang sebagai alat tukarnya, melainkan barang bekas seperti botol, baskom atau benda lain yang dianggap masih memiliki nilai jual.
Malang nian bocah kecil itu, baskom plastik berwarna hitam yang dibawanya itu tak laku untuk ditukarkan. Buyarlah impian sederhana miliknya sekadar untuk menikmati makanan kampung tersebut. “Baskomnya sangat kotor, lagi pula sudah pecah,” alasan Mamang penjaja kue ringan itu. Sementara si bocah masih mematung berdiri berharap belas kasih, tangannya tak bergerak terus menyodorkan baskomnya.
Sedih rasanya, melihat seorang bocah terus berharap penuh semangat untuk sekadar mendapatkan makanan ringan yang belum tentu sehat itu. Baskomnya terus diayun-ayunkan seolah memaksa menyodorkan kepada penjaja kue, namun wajah memelas bocah tersebut tak membuat Mamang penjual itu tergubris. Ia malah asik melayani anak-anak lainnya.
“Berapa harga satu semua makanan itu mang,” tanya saya sambil menunjuk sekarung Chiki kampung yang dijualnya itu.
“Murah pak, cuma enam belas ribu rupiah saja...” jawabnya sambil tersenyum sumringah.
“Kalau begitu, berikan kepada semua anak-anak itu, ini uangnya,” seru saya sambil menyerahkan selembar dua puluh ribuan.
Seketika, terjadi aski saling rebut, saling dorong, saling tarik makanan. Tak hanya anak-anak, bahkan remaja, pemuda, ibu-ibu dan bapak-bapak pun ikut bertarung memperebutkan makanan yang tak seberapa itu. Seorang teman yang mencoba membagi-bagikan pun kewalahan dibuatnya. Ada seorang bapak yang menjadikan pecinya sebagai wadah. Lain lagi dengan seorang ibu yang tiba-tiba mengangkat roknya untuk menampung raupan makanan yang berhasil didapatnya. Termasuk bocah kecil tadi yang menjadikan baskom tak laku-nya sebagai tempat. Cukup disayangkan, akibat aksi rebutan itu, tak sedikit makanan ringan itu yang terbuang.
Bertambah miris hati melihat kenyataan yang ada, betapa makanan yang jatuh di tanah pun masih jadi rebutan anak-anak yang bertubuh dekil itu. Malu rasanya jika untuk mereka hanya makanan kecil tak bergizi yang diberikan, padahal mereka teramat membutuhkan asupan gizi dan energi yang memadai.
Anak-anak itu tak peduli lagi akan rumah-rumah mereka yang hancur tertimbun tanah. Tak lagi memusingkan bagaimana menyelamatkan barang-barang berharga yang sudah terkubur bebatuan. Longsor dan banjir yang menerjang rumah mereka juga telah memusnahkan satu-satunya mainan kesayangannya, yang entah berapa tahun lalu sanggup dibeli Ayah mereka. Mereka hanya tahu bahwa setiap pagi, siang, dan malam harus mendapatkan makan, tapi tanya mereka tak pernah terjawab, “kenapa siang ini tak ada makanan? Kemarin juga tidak ada?”
Korban bencana bukan hanya orang tua, justru anak-anak lebih banyak jumlahnya. Bahkan anak-anak itu jauh lebih rentan dari bahaya paska bencana, seperti penyakit dan kelaparan. Bocah-bocah kecil itu takkan pernah kuat untuk berlama-lama bertelanjang dada, dengan perut yang kosong yang sesekali terisi dengan makanan sedapatnya. Beruntung bagi mereka yang masih ada orang tuanya, bagaimana dengan anak-anak korban bencana yang ibu bapaknya ikut tertimbun longsor? Kakak, paman dan bibinya hilang terseret banjir bandang? Seberapa lama mereka mampu bertahan?
Ini akan menjadi bencana berikutnya jika tak segera ditangani. Mari bersama bantu mereka.
Bayu Gawtama
No comments:
Post a Comment