Anak Betawi yang Keliling Dunia Lewat Blog

Kate siape anak Betawi kagak bise maju? siape kate anak Betawi pade males dan banyak nyang jadi pengangguran? Bukan maksud nyombong atawe unjuk gigi, aye cuma ngasih tau kalo kagak semue anak Betawi kayak nyang ente kire...

Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...

Thursday, March 23, 2006

Guruku Sayang, Guruku Malang

Pak Catur namanya. Saya pernah memperolok-olok guru Bahasa Indonesia itu, bahkan berkali-kali. Tak terhitung kali saya menjelek-jelekkan namanya di belakang dia, bahkan pernah sekali saya berseru kegirangan saat seorang teman berteriak meledeknya. Pertanda saya setuju dan mengamini ledekan teman yang dialamatkan untuk guru berperawakan kurus dan tak tinggi itu.

Jika mengingatnya kembali, saya menyesal telah memperlakukannya dengan tidak hormat. Sepanjang tiga tahun di bangku SMA saya tak pernah melihatnya memakai pakaian bagus, kecuali "seragam" putih biru yang kerap ia kenakan. Jangan-jangan gajinya yang kecil memang tak memungkinkannya membeli pakaian baru, karena untuk makan sehari-hari pun sudah begitu kurangnya. Selama tiga tahun itu pula saya tak pernah melihatnya bertambah gemuk, sejak pertama masuk sekolah itu hingga saya lulus, berat badannya tak bertambah. Jangan-jangan, ia terlalu pusing memutar dan mengatur pengeluaran sehari-harinya dari penghasilannya yang tak seberapa itu. Sepanjang tiga tahun itu pula, bahkan motornya tak pernah ganti. Boleh jadi, motor milik Pak Catur itu motor terjelek yang parkir di halaman sekolah. Kalah mentereng dari motor milik anak-anak didiknya. Saya tak pernah tahu, apakah Pak Catur saat itu berstatus guru bantu atau guru honorer yang lebih sering harus mengurut dada saat menerima imbalan dari jerih payah mengajarnya setiap hari?

"Bu bayar bu, bu bayar..." begitu ledekan saya kepada salah seorag guru SD saya, Ibu Bayyar. Namanya memang demikian, jadi tak sedikit memang siswa di SD itu yang mengolok-olok namanya. Terlebih ketika ia secara inisiatif pribadinya menyelenggarakan program belajar tambahan di luar sekolah (les privat tapi sedikit wajib) di rumahnya. Ibu Bayyar memungut biaya yang sekitar 500 rupiah setiap anak untuk satu kali pertemuan. Waktu itu kami sering menudingnya sebagai "program pengayaan diri".

Tapi kini saya menyesal telah melakukan itu semua. Bu Bayyar tak pernah marah saya meledeknya, ia tetap tersenyum. Barangkali senyumnya itulah yang menutupi kesulitannya selama ini menyambung hidup dengan mengandalkan profesinya sebagai guru. Jangan-jangan Ibu Bayyar termasuk guru bantu atau honorer yang dibayar secara tak manusiawi, sehingga memaksanya mencari tambahan dengan menyelenggarakan les privat.

Tak hanya Ibu Bayyar. Sebagian besar guru di SD, SMP dan SMA waktu itu juga seolah berlomba menjual buku pelajaran, apakah itu merupakan program bersama sekolah maupun program pribadi, apakah buku baru maupun fotocopy-an. Waktu itu saya menanggapinya sinis sebagai bisnis tambahan para guru itu. Pernah sekali saya berpikir, jelas saja banyak siswa di Indonesia sering gagal dalam banyak pelajaran, karena guru-gurunya sibuk berbisnis. Bahkan saya juga mencurigai, tidak majunya pendidikan di Indonesia bisa jadi disebabkan oleh konsentrasi guru-gurunya terpecah, ya mendidik ya bisnis.

Belakangan saya menyadari semua dugaan itu salah. Penghasilan guru yang hanya cukup untuk makan beberapa hari itu lah penyebab sesungguhnya. Bagaimana mereka tak pusing memikirkan bayar listrik, air, atau sewa rumah mereka setiap bulan? dari mana ia mendapatkan uang untuk makan minggu kedua hingga menjelang gajian berikutnya? bagaimana juga mereka menyediakan bayaran sekolah untuk anak-anak mereka sendiri? atau jangan-jangan banyak kasus di negeri ini, bahwa terdapat anak-anak guru yang tak bisa sekolah lantaran tak ada biaya?

Jika kini ratusan ribu guru menuntut hak mereka untuk sekadar dijadikan pegawai negeri sipil, atau menuntut transparansi atas hasil seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil, itu bukan semata tuntutan emosional pribadi. Tangisan mereka adalah cermin luka puluhan tahun menanti sebuah mimpi yang tak pernah terwujud, sebatas harap akan status; pegawai negeri. Mereka tak pernah putus asa berharap perhatian dan kepedulian pemerintah akan nasib para guru yang selalu dianaktirikan. Tenggotakan mereka tak pernah kering untuk tetap menyuarakan impian sederhana mereka, demi mendapatkan jaminan di masa depan.

Sejuta maaf saya untuk semua guru di muka bumi ini, betapa diri ini kurang menghargai semua jerih payahmu. Akankah nasib guru terus seperti ini, hingga suatu saat nanti tak ada lagi yang berkenan menjadi guru karena nasib mereka yang tak pasti? bukankah pemimpin negeri ini dan seluruh orang sukses di muka bumi ini adalah hasil didikan para guru?

Saya yakin masih ada yang akan menjadi guru sampai kapan pun, tapi saya juga berharap mereka tak sekadar mendapat imbalan yang membuat mereka tak bersemangat mendidik anak-anak kita. Sungguh, jika Anda menanyakan kepada para guru, terhiburkah mereka dengan sematan "pahlawan tanpa tanda jasa?"

Bayu Gawtama

4 comments:

Anonymous said...

Assalamu'alaikum Wr.Wb., salam kenal,... :)
Begitulah hidup..., mengambil satu cuplikan lirik lagu "Guru juga manusia, jangan samakan dengan pisau belati". Semoga kita semua mengerti akan arti Guru sesungguhnya bagi kecerdasan anak bangsa ini, perlakukanlah mereka selayaknya "Pahlawan tanpa tanda jasa" yang seutuhnya, yang walaupun di wajah dan bibir mereka selalu tersungging senyuman setiap mendengar kata pujian tersebut, namun "hati mereka menangissss..!!! ", sebab "hati tak pernah berkata dusta..!!". Wallahu'alam..

Unknown said...

Topik yang menarik, karena saya jg sempat punya pikiran picik yang sama yaitu menganggap guru kadang memaksakan kehendak mereka seperti membeli buku yg sebenarnya kita jg punya dari "lungsuran" kakak kita dsb.. tp saat ini memang nasib guru lebih menderita dari nasib tukang parkir.. Guru harus menjadi pintar dan banyak belajar sedangkan tukang parkir tdk perlu sekolah, tp penghasilan guru mungkin lbh sedikit dari tukang parkir... (just an example from thousands out there)

salam kenal mas gawtama

- iwancurhat.blogspot.com -

Dini said...

:) dah lama ga ninggalin jejak...

Insya4JJI saya ga pernah "underestimate" guru (karena mama saya juga guru) kecuali kalo gurunya ganjen, hehe, "matre" si masih bisa dimaklumi, tapi kalo ganjen, hmmm...

Btw, guru negeri (ga tau kalo yang honorer) sekarang gajinya lumayan lho... hehe, walopun ga jauh beda sama PNS di kantoran seperti saya... apalagi kalo sekolahannya "top", muridnya dari kalangan berada, ntar bikin study tour sponsornya dari orang tua, guru juga kecipratan, hehe kok jadi sinis sih... well, it's just because I've seen this thing happens...

Terus ditunggu karyanya bang :)

Anonymous said...

Assalamu alaikum.

tell the truth, Cita-cita saya dari kecil adalah ingin menjadi guru - guru matematika tepatnya.
Waktu itu orang tua saya mengatakan 'bagus' atas cita-cita saya.

Namun setelah menjalani kehidupan, saya berfikir bahwa jadi guru bukanlah pilihan yang 'baik'. Namun hati kecil saya tetap mengatakan bahwa jadi guru itu sangat membanggakan.
waktu SD , bila saya bertemu guru di pasar, saya akan memberikan salam 'selamat pagi bu'...
mungkin banyak juga penghargaan non 'MATRE' yang didapat dari profesi guru
Dan insya Allah akan bertambah-dan bertambah sampai akhir jaman atas jasanya memberikan/menyampaikan ilmu yang berguna. Aaamiiiin
Bravo Guru, Bravo Gaw
salam