Jika Anda berkesempatan ke Bogor, mampirlah ke satu daerah bernama Tegal Gundil. Mendengar nama Tegal Gundil, bayangan Anda akan dibawa kepada sebuah daerah yang terpencil, tertinggal, atau mungkin jauh dari peradaban. Sesungguhnya tidak demikian, Tegal Gundil hanya lah sebuah nama. Pertama kali ke daerah tersebut, singkat saya bergumam, “namanya saja yang aneh”
Keanehan nama itu pula yang membuat sebagian besar warga lebih suka menyebut daerah itu dengan Perumnas Bantar Jati, Bogor. Tetapi tidak dengan sekelompok anak muda kreatif yang bertekad melestarikan keaslian kampungnya. Mereka tetap bangga menyebut “Tegal Gundil” untuk daerah tempat tinggalnya. Mereka pun lebih senang menyebut dirinya “anak TeGe” alias anak Tegal Gundil.
Ada apa dengan Tegal Gundil? Ada banyak hal yang bisa didapat di kawasan itu. Tapi dari semuanya hanya satu yang tak boleh Anda lewatkan. Mampirlah ke Sanggar Barudak Tegal Gundil. Sebuah saung kecil di pinggir jalan terbuat dari bambu dan kayu yang dibangun di atas tanah milik pemerintah daerah setempat. Jangan lihat kecilnya, tapi tengok isinya yang bisa dibilang tak sepadan dengan lahan yang ditempatinya. Ada perpustakaan gratis, radio komunitas, tempat kursus bahasa Inggris, percetakan dan sablon, tempat penitipan anak, tempat periksa gigi gratis, bahkan tempat itu juga saat ini sering menjadi tempat pelarian remaja-remaja broken home. Dan satu lagi, jadi tempat janjian ketemu juga bisa.
Bermula dari empat tahun lalu, seorang pemuda resah melihat kampungnya berkembang tak seindah mimpinya. Anak-anak muda yang nongkrong tanpa tujuan, begadang hingga pagi dan sering meresahkan warga, bahkan pemda setempat mencap merah kawasan tersebut. Jelas kondisi itu tak membuatnya nyaman, ia pun berganti identitas dari anak pengajian yang selalu berbaju koko (baju muslim), menyerupai anak-anak jalanan. Rambutnya dibiarkan panjang tak terpotong agar lebih terlihat sebagai bagian dari komunitas preman di Tegal Gundil.
Perlahan, satu persatu preman dan anak-anak jalanan didekatinya. “Nongkrong boleh, asal kreatif” ajaknya. Idenya pun diterima, meski tak sedikit yang menentangnya. Tapi pemuda ini sudah bertekad untuk mengubah wajah kampungya yang menyeramkan agar lebih bersahabat. Beberapa pemuda yang berhasil didekati, diajaknya untuk berkumpul dan membuat kegiatan-kegiatan yang positif dan bermanfaat. Oya, rambutnya masih tetap gondrong.
Sebuah bangunan kecil terbuat dari bambu pun berdiri, bersinergi dengan pedagang kaki lima di kawasan itu. Ia pun mengumpulkan buku-buku sumbangan dari warga, maka jadilah saung itu sebagai perpustakaan yang diperuntukkan bagi siapapun. Jika Anda ingin melihat perpustakaan komunitas yang penjaganya adalah pemuda-pemuda beranting dan bertampang kurang ramah, Sanggar Barudak Tegal Gundil lah tempatnya. Lokasinya di Jl. Bangbarung Raya, Bogor, Jawa Barat.
Lahan strategis yang digunakan untuk membangun perpustakaan itu pun masih bermasalah. Sehingga berkali-kali sanggar itu terancam dirobohkan dengan alasan tak berizin. Yang unik, saat mereka memberitahukan keberadaan sanggar itu ke kecamatan setempat, pihak kecamatan meminta pemuda-pemuda itu mengganti kata “Allah SWT” sebagai pelindung sanggar dengan kata “Bapak Anu, selaku Camat setempat”. Katanya, itu sarat mutlak jika mereka ingin mendapatkan izin keberadaan sanggar itu.
“Begini Pak, seandainya kami punya masalah di tengah malam dan saat itu bapak sedang tidur. Bersediakah jika kami menggedor-gedor rumah bapak, membangunkan bapak agar mau membantu kami menyelesaikan masalah?” “Wah nggak bisa dik, saya punya privasi,” begitu jawab sang Camat.
“Saat bapak sedang berada di luar kota atau di luar negeri dan kami memerlukan bapak untuk kesulitan yang kami hadapi. Mungkinkan bapak segera pulang untuk melihat keadaan kami?” “Itu juga tidak mungkin, urusan saya bukan cuma kalian,” tegasnya.
Jelaslah sudah. Hanya Allah yang bisa diganggu 24 jam, kapan pun, dalam keadaan apa pun, dan siapa pun yang hendak mengadu. Hanya Dia yang bersedia melongok keadaan hambanya tak terbatas ruang dan waktu. Dan pasti hanya Dia yang mampu memberikan perlindungan tanpa kenal lelah.
***
Anak-anak muda itu tak salah menempatkan Allah sebagai pelindung sanggar tersebut. Meski tak berizin, empat tahun sudah tempat itu berdiri tanpa ada yang menggugatnya. Anda akan menemukan kesejukan dan suasana persahabatan di Tegal Gundil. Keramahtamahan telah menggantikan wajah seram kampung itu empat tahun yang lalu.
Pemuda itu, saya tak akan menyebut namanya. Setahun terakhir ia sudah memangkas kembali rambutnya. Jika bertemu dengannya, Anda akan melihatnya kembali seperti anak masjid.
Bayu Gawtama
1 comment:
Allhamdulillah, terimakasih yg gak akan habis untuk Rabb yang Maha Tinggi...Allah SWT...yang mengaruniani kampung "tege" dgn "memberi" seorgn pemuda yg hebat...
semoga Allah juga akan melimpahkan berkahnya bagi kampung2 lain...Amiin..
Post a Comment