Anak Betawi yang Keliling Dunia Lewat Blog

Kate siape anak Betawi kagak bise maju? siape kate anak Betawi pade males dan banyak nyang jadi pengangguran? Bukan maksud nyombong atawe unjuk gigi, aye cuma ngasih tau kalo kagak semue anak Betawi kayak nyang ente kire...

Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...

Wednesday, September 07, 2005

Lelaki Paling Sederhana

Saya tak akan menyebut namanya dalam tulisan ini, satu alasannya tentu saja untuk menjaganya tetap rendah hati dan sesederhana kesederhanaannya saat ini. Lelaki ini sudah menjadi sahabat saya sejak belasan tahun lalu saat kami sama-sama dipersatukan dalam wadah organisasi pelajar islam. Hingga detik ini, sejak belasan tahun itu pula ada yang tak berubah dari dirinya, yakni kesederhanaan yang erat melekat dalam kesehariannya.

Ada banyak kisah kebersamaan dengannya. Medio tahun 2000, beberapa bulan setelah saya menikah, isteri saya bercerita tentang sahabat perempuannya yang juga berkeinginan mengakhiri fase kesendiriannya dan berharap dipertemukan dengan seorang pangeran yang kan mengukirkan nama indahnya di atas prasasti cinta berbingkai pernikahan. Terbetiklah nama sahabat saya itu untuk dipertemukan dengan sahabat isteri saya. Lelaki ini bukanlah pangeran, ia tidak akan membawa sekuntum bunga yang kan disematkan ke hati yang merindu biru itu. Lelaki ini hanya punya satu cinta, bukan cinta yang sederhana, melainkan cintanya kepada kesederhanaan.

Hari yang ditentukan pun tiba, saya menjemput lelaki ini di kawasan Menteng untuk beranjak ke Bogor. Layaknya seorang lelaki yang hendak dipertemukan dengan gadis, pakaian perlente, sisiran rambut klimis mengkilap ditambah empat-lima semprotan pewangi di sudut-sudut tertentu tubuh semestinya dilakukan. Tidak dengan lelaki ini, bersandal jepit, kaos oblong dari gantungan di balik pintu, mandi ala kadarnya dan tak sempat ber-shampoo, berangkatlah ia. Sodoran pakaian lebih rapih dari tangan ini ditolaknya halus, "gadis itu akan menikah dengan saya, bukan dengan baju kamu". Mengalahlah saya.

Pertemuan di selasar sebuah masjid di Bogor pun begitu menegangkan, saya menangkap kerut tajam di alis gadis yang hendak diperkenalkan dengan lelaki sederhana sahabat saya. Mencoba menebak gurat wajahnya yang terlihat tak nyaman dengan penampilan lelaki yang ia mencoba menautkan hati padanya. Akankah?

Malam setelah pagi yang menegangkan itu, saya beranikan diri bertanya kepada isteri saya perihal komentar, pikiran, tanggapan, penilaian dan juga perasaan sahabatnya terhadap sahabat saya. "Aneh," cuma itu pernyataan yang keluar dari mulutnya menjelang kami berpisah sebelum siang.

Kurang dari tiga bulan lalu, perempuan sahabat isteri saya itu baru saja melahirkan anak kedua dari suami yang empat tahun lalu dianggapnya aneh. Ya, lelaki sederhana itu menjadi Ayah dari putri kedua perempuan yang sejak saya mengenalnya, ternyata tak kalah sederhananya. Kalaulah ada perempuan yang bahagia menikah dengan lelaki sederhana, ialah perempuan sederhana. Jika saya menganggap sahabat saya itu lelaki paling sederhana yang pernah saya kenal, tentulah isterinya adalah perempuan paling sederhana yang saya kenal.

***

Disaat beberapa sahabat lain berkali-kali mengganti telepon selularnya, lelaki ini tak pernah iri dan tetap setia dengan yang digenggamnya bertahun-tahun lalu. Sudah pasti Anda tak akan pernah menemukan telepon selularnya di barisan barang bekas sekali pun. Ia lebih sering mengganti nomor selularnya lantaran teramat sering hangus tak terisi ulang.

Jangan pernah tertipu dengan senyum manisnya yang sering menyembunyikan beribu gundah di hatinya, tentang Ayahnya yang sakit-sakitan, kecemasan akan ibunya yang masih saja berjualan nasi uduk di usia senjanya, tentang penghasilannya yang sudah habis di pekan pertama. Kemampuannya mengubah sedih menjadi aura ketenangan di wajah dan sikapnya seolah menjelaskan kepada siapa pun yang mengenalnya dengan sebuah kalimat, "tenang, semua bisa diatasi".

Saat SMA dahulu, kami sering tertipu dengan senyum dan ketenangannya. Jika tak kami desak untuk bercerita, tak kan pernah tahu kami bahwa begitu cemasnya ia akan sebuah harapan untuk bisa menyelesaikan sekolahnya. Pantaslah jika sang ibu membasahi pipinya dengan air mata bangga saat lelaki sederhana itu menyandang gelar sarjana di tangannya.

Kalau Anda bertanya siapa lelaki paling sederhana yang pernah saya kenal, saya akan memperkenalkan Anda kepadanya. Saya bangga menjadi sahabatnya, ia sahabat sekaligus guru saya.

Bayu Gawtama

No comments: