Aneh, klasik, norak, atau entah kata apa lagi yang pantas diungkapkan untuk sebuah kebijakan yang berlaku di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS) Jakarta, yang memperketat aturan berjilbab di kampus tersebut yang dianggap melanggar hak asasi manusia (HAM). Para mahasiswi di kampus itu hanya diperbolehkan menggunakan jilbab kecil yang tak menutupi dada mereka. Kebijakan ini jelas melanggar kebebasan seseorang untuk menjalankan agamanya.
Negara menjamin setiap warga negaranya untuk menjalankan ajaran agamanya, dan rasanya sangatlah aneh di negara yang menjunjung tinggi alam demokrasi seperti saat ini, masih ada kebijakan yang mengekang kebebasan orang untuk menjalankan keyakinannya. Ini seperti lagu klasik yang coba diputar kembali, yang semestinya tak perlu terulang kembali. Terlebih di era setiap orang maupun lembaga yang melakukan pelanggaran HAM menjadi sorotan tajam.
Berita yang ditulis Harian Republika (14/2) menerangkan, STIS memperketat aturan berjilbab bagi mahasiswinya. Para mahasiswi tingkat I khususnya hanya diperkenankan mengenakan jilbab ukuran kecil, yang tak menutup bagian dada mereka. Mereka yang tak menghiraukan aturan tersebut terancam dikeluarkan dari perguruan tinggi di Jakarta Timur itu. Sebuah gaya lama ternyata masih berlaku di sekolah ini, sikap otoriter yang tak perlu.
Selain alasan keseragaman, tidak jelas kenapa pihak sekolah menerapkan kebijakan ini. Ketua STIS Jakarta, Satwiko Darmesto mengaku opsi untuk memberlakukan jilbab ukuran kecil itu untuk keragaman agar terlihat lebih bagus. “Ini agar terlihat seragam. Kalau dibiarkan ada yang menggunakan jilbab besar dan kecil, kan terlihat tidak bagus,” katanya. (republika, 16/2).
Agak aneh mendengar penjelasan Satwiko tersebut. Sebelumnya, diakui Satwiko, pihaknya memiliki dua opsi bagi mahasiswa untuk menggunakan jilbab kecil dan besar. Dan akhirnya dipilih untuk diseragamkan semua mahasiswa menggunakan jilbab kecil. Jika yang menjadi alasan adalah keseragaman agar terlihat bagus, kenapa juga tidak dipilih opsi jilbab besar saja. Pilihan ini tentu lebih aman dan tidak melanggar HAM seseorang dalam menjalankan ajaran agamanya. Kecuali, jika pihak STIS mempunyai pandangan lain, bahwa jilbab besar itu tidak bagus, di sisi lain jilbab kecil lebih bagus. Ini tentu akan menimbulkan persoalan lain, dan perlu pula dipertanyakan. Misalnya, apakah pihak sekolah sengaja –dengan memilih opsi jilbab kecil- agar para mahasiswinya tetap terlihat seksi meski mengenakan jilbab?
Jilbab hakikatnya tak sekadar menutup aurat –selain wajah dan tapak tangan, semuanya adalah aurat bagi wanita yang harus tertutup- tapi juga bagian dari keyakinan seseorang yang menjalaninya. Jika seseorang atau institusi melakukan tindakan pelarangan atau membatasi orang lain untuk menjalaninya, tentu saja ini lebih dari sekadar pelanggaran HAM.
Menutup aurat dan menggunakan jilbab hukumnya wajib, karena dalilnya jelas. Meski diakui soal bentuk, ukuran, motif dan warnanya tidak aturan yang mutlak. Kewajiban setiap mukmin untuk menutup auratnya memang tidak mesti harus dengan jilbabnya yang panjang ke bawah, seseorang yang mengenakan jilbab ukuran kecil serta mengenakan pakaian lain yang menutupi bagian lainnya, tentu sudah dianggap menutup aurat. Tetapi jika ada seseorang yang mengenakan jilbab berukuran panjang untuk menutupi lekukan tubuhnya –terutama bagian dada- berdasarkan keyakinannya, tentu saja merupakan hak mereka yang juga harus dihormati atas dasar HAM. Orang yang terinjak kakinya saja bisa marah, apalagi yang menyangkut asasi untuk menjalankan keyakinannya.
Nampaknya pihak STIS perlu menengok kembali kebijakannya tersebut, serta membiarkan para mahasiswanya menjalankan keyakinannya. Yang mau jilbab pendek yang biarkan, yang berkeyakinan untuk mengenakan jilbab panjang juga jangan dihambat. Terlalu banyak ‘pekerjaan rumah’ yang perlu dilakukan umat dan bangsa ini, dan tak perlu direcoki lagi dengan urusan klasik seperti kasus STIS ini. Dan alasan keseragaman itu nampaknya terlalu mengada-ada.
Ummu Iqna
No comments:
Post a Comment